Diamnya Imam Ali As Selama 25 Tahun
Templat:Fontcolor | |
---|---|
599 | Lahir |
610 | Orang pertama yang masuk Islam |
619 | Wafat Abu Thalib (ayah) |
622 | Lailatul Mabit: tidur mengganti Nabi Muhammad saw |
Templat:Fontcolor | |
622 | Hijrah ke Madinah |
624/2 | Ikut serta dalam Perang Badar |
625/3 | Ikut serta dalam Perang Uhud |
626/4 | Wafat Fatimah binti Asad (ibu) |
627/5 | Ikut serta dalam Perang Ahzab dan membunuh Amr bin Abdiwudd |
628/6 | Menyusun isi Perjanjian Hudaibiyah |
629/7 | Menaklukan benteng Khaibar dalam Perang Khaibar |
630/8 | Ikut serta dalam Pembukaan Kota Mekah dan mengahncuran berhala atas perintah Nabi saw |
630/9 | Wakil Nabi Muhammad saw di Madinah dalam Perang Tabuk |
632/10 | Ikut serta dalam Haji Wada' |
632/10 | Peristiwa Ghadir |
632/11 | Wafat Nabi Muhammad saw dan penguburan beliau oleh Imam Ali as |
Templat:Fontcolor | |
632/11 | Peristiwa Saqifah dan permulaan khilafah Abu Bakar |
632/11 | Syahadah Sayidah Fatimah sa |
634/13 | Permulaan khilafah Umar bin Khattab |
644/23 | Perserta dalam Syura Enam Orang |
644/23 | Permulaan khilafah Utsman bin Affan |
Templat:Fontcolor | |
655/35 | Permulaan khilafahnya |
656/36 | Perang Jamal |
657/37 | Perang Shiffin |
658/38 | Perang Nahrawan |
661/40 | Syahadah |
599 | Birth |
599 | Birth |
599 | Birth |
Diamnya Imam Ali as selama 25 tahun merujuk pada masa ketika beliau menarik diri dari kehidupan publik, dimulai sejak wafatnya Nabi Muhammad saw (11 H) hingga menerima kekhalifahan pada tahun 35 H. Dalam periode ini, Imam Ali as dengan penuh kebijaksanaan mengesampingkan haknya sebagai penerus Nabi saw demi menjaga kepentingan agama dan memelihara persatuan umat Islam. Beliau juga memilih untuk bekerja sama dengan tiga khalifah yang memimpin sebelumnya.
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, peristiwa Saqifah Bani Sa’idah menetapkan Abu Bakar sebagai khalifah. Keputusan ini mendapat penolakan dari Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat lainnya. Namun, karena minimnya pendukung, kekhawatiran atas keselamatan Ahlul Bait dan umat Islam, serta untuk mencegah perpecahan dalam masyarakat Muslim, Imam Ali as memilih untuk menahan diri selama 25 tahun.
Meskipun demikian, menurut para sejarawan dan perawi hadis, Imam Ali as tetap berperan aktif dalam menghadapi peristiwa penting umat Islam. Selama periode tersebut, beliau menyusun mushaf Al-Qur'an, memberikan pandangan strategis terkait ekspansi Islam, memberikan nasihat kepada tiga khalifah dalam urusan politik dan pemerintahan, serta membantu kaum miskin dan yang membutuhkan.
Pentingnya dan Kedudukan Pembahasan
Diamnya selama 25 tahun merupakan bagian dari kehidupan Imam Ali as pada masa pemerintahan tiga khalifah, di mana beliau memilih untuk tidak mengambil haknya sebagai penerus Nabi Muhammad saw. Periode ini dimulai setelah wafatnya Nabi saw dan berakhir ketika Imam Ali as menerima kekhalifahan pada tahun 35 Hijriah.[1]
Beberapa penulis menggambarkan Diamnya beliau selama 25 tahun ini sebagai contoh dari taktik taqiyah yang diterapkan oleh para imam[2], khususnya taqiyah mudaratiyah (taqiyah toleransi), yaitu penghindaran konflik untuk menjaga persatuan umat.[3] Meskipun selama periode ini Imam Ali as tidak memegang kekuasaan sebagai khalifah, sebuah hadis dari Imam Ridha as menunjukkan bahwa beliau tetap memegang kedudukan sebagai imam selama masa tersebut.[4]
Jawad Muhadditsi, penulis buku Farhangh-e Ghadeer, berpendapat bahwa istilah "Diam selama 25 tahun" bukanlah sebuah istilah yang tepat. Hal ini karena Imam Ali as berkali-kali membela kebenaran haknya dan memberikan kritik serta nasihat terhadap kebijakan-kebijakan tiga khalifah.[5] Menurut sejarawan Rasul Jafarian, perselisihan antara Imam Ali as dan lawan-lawannya semakin jelas seiring waktu, yang menimbulkan berbagai masalah dalam hubungan mereka, seperti serangan terhadap rumah Imam Ali as, ketegangan antara Fatimah sa dengan kedua khalifah pertama, serta syahadatnya.[6] Karena Imam Ali as menganggap perebutan kekhalifahan akan bertentangan dengan tujuannya, yaitu mempertahankan Islam dan melanjutkan perjuangan Nabi saw, maka beliau merasa terpaksa untuk tetap diam.[7]
Ali bin Abi Thalib dalam Khotbah Syiqsyiqiyyah menyampaikan secara tegas mengenai masalah kekhalifahan Nabi Muhammad saw, mengeluhkan pengangkatan khalifah-khalifah sebelumnya sebagai penggantinya.[8] Dalam khotbah ini, Imam Ali as mengungkapkan sejarah penuh mengenai tiga khalifah pertama menurut pandangannya. Alasan di balik diamnya Imam Ali as selama 25 tahun dan motivasi penerimaan kekhalifahan juga merupakan salah satu topik utama dalam khotbah ini.[10] Menurut beberapa penulis, masyarakat mulai menyadari nilai penting Ali as setelah melihat kekurangan dalam pemerintahan tiga khalifah sebelumnya. Oleh karena itu, setelah kematian Utsman, mereka mendesak agar Imam Ali as diangkat sebagai khalifah.[11] Mengambil teladan dari Diamnya 25 tahun Imam Ali as demi mencapai persatuan umat Islam dianggap sebagai hal yang sangat penting bagi kaum Muslimin, agar mereka dapat mencegah dominasi musuh-musuh Islam.[12]
Alasan Diamnya Imam Ali
Menurut pandangan Syiah, meskipun Ali bin Abi Thalib adalah penerus pertama Nabi Muhammad saw,[13] ia memilih untuk diam demi menjaga kepentingan komunitas agama dan persatuan Islam serta bekerja sama dengan para khalifah.[14] Menurut Muhammad Taqi Misbah Yazdi, dalam periode 25 tahun tersebut, Ali as sebenarnya dapat memerintah umat dan pemerintahannya sah. Namun, karena umat tidak berbaiat kepadanya dan pemerintahannya tidak diterima oleh masyarakat, ia memilih untuk tidak memaksakan pemerintahan atas mereka dan tidak menegakkan pemerintahannya dengan kekuatan atau paksaan.[15]
Sebaliknya, Mahdi Bazargan dan Mahdi Hairi Yazdi, dua peneliti Syiah, berpendapat bahwa hak pemerintahan hanya diperoleh melalui pemilihan rakyat, dan bahwa Allah swt, Nabi, serta para Imam tidak secara otomatis memiliki hak untuk memimpin.[16] Menurut pandangan mereka, sikap diam Imam Ali as dapat dipahami dalam konteks ini.[17] Di sisi lain, Ahlusunah berkeyakinan bahwa masalah kepemimpinan Nabi saw diserahkan kepada umat.[18] Mereka percaya bahwa Ali as tidak menganggap dirinya sebagai penerus yang ditunjuk oleh Nabi saw. Oleh karena itu, setelah pembunuhan Utsman, ketika rakyat meminta Ali as untuk menjadi khalifah, ia menolak untuk menerima jabatan tersebut.[19]
Tidak Ada Pendukung
Imam Ali as dalam khotbah ke-26 Nahjul Balaghah menyebutkan bahwa salah satu alasan dari diamnya beliau selama 25 tahun adalah tidak adanya pendukung yang setia.[20] Selain itu, menurut sebuah riwayat yang terdapat dalam kitab Amali karya Syekh Thusi yang diriwayatkan dari Imam Hasan as, beliau menyatakan bahwa alasan Nabi Muhammad saw meninggalkan Makkah, diamnya ayahnya selama 25 tahun, dan juga perdamaian beliau dengan Muawiyah adalah karena ketidakberdayaan dan ketidakmampuan umat untuk mendukung mereka.[21]
Kekhawatiran Akan Bahaya Terhadap Jiwa Ahlul Bait dan Muslimin
Dalam khotbah 26[22] dan 217 Nahjul Balaghah[23], ketakutan akan bahaya terhadap jiwa keluarga Imam Ali as merupakan salah satu alasan di balik sikap diam Imam Ali as.[24] Dalam sebuah riwayat yang diriwayatkan oleh Ibnu Abil Hadid, seorang pensyarah Nahjul Balaghah dari kalangan Sunni, Imam Ali as juga khawatir akan bahaya yang mengancam jiwa umat Muslim.[25]
Kondisi yang Tidak Tepat
أَفْلَحَ مَنْ نَهَضَ بِجَنَاحٍ أَوِ اسْتَسْلَمَ فَأَرَاحَ هَذَا مَاءٌ آجِنٌ وَ لُقْمَةٌ يَغَصُّ بِهَا آكِلُهَا وَ مُجْتَنِي الثَّمَرَةِ لِغَيْرِ وَقْتِ إِينَاعِهَا كَالزَّارِعِ بِغَيْرِ أَرْضِهِ.
Ibnu Maitsam Bahrani, penulis buku Misbah al-Salikīn, dengan merujuk pada khotbah ke-5 Nahjul Balaghah, berpendapat bahwa setelah peristiwa Saqifah, Imam Ali bin Abi Thalib as tidak melihat kondisi yang tepat untuk merebut kembali kekhalifahan. Oleh karena itu, ia menganggap menuntut haknya seperti memetik buah pada waktu yang tidak tepat.[26] Muhammad Taqi Ja'fari, seorang pensyarah Nahjul Balaghah, juga berpendapat bahwa optimisme masyarakat terhadap satu sama lain dan rumor yang menyatakan bahwa Imam Ali as setuju dengan peristiwa Saqifah, membuat masyarakat tidak siap untuk menerima pemerintahan Imam Ali as.[27]
Mencegah Keruntuhan Masyarakat Islam
Syekh Mufid dalam bukunya al-Fushul al-Mukhtarah menyatakan bahwa salah satu alasan Imam Ali as tetap diam adalah untuk mencegah perpecahan di kalangan umat Islam.[28] Dalam sebuah riwayat yang ia sampaikan dalam Al-Amali, Imam Ali as menjelaskan bahwa ia mengabaikan haknya atas kekhalifahan demi menjaga persatuan umat Islam dan karena khawatir jika perpecahan terjadi, hal itu dapat membawa umat Islam kembali ke dalam kekufuran.[29] Sebagaimana disebutkan juga dalam surat ke-62 Nahjul Balaghah.[30] Selain itu, ketika Sayidah Fatimah sa mendukung suaminya untuk merebut kembali kekhalifahan, Imam Ali as menjawab bahwa ia memilih untuk tetap diam demi menjaga kelangsungan Islam, dengan merujuk pada suara azan yang terus terdengar, sebagai tanda tetap tegaknya agama Islam.[31]
Ancaman Serangan Romawi
Mahdi Pisywai, seorang sejarawan Syiah, mengidentifikasi ancaman potensial dari serangan Romawi terhadap umat Muslim sebagai salah satu alasan selama 25 tahun Imam Ali as diam. Bangsa Romawi menganggap umat Muslim sebagai ancaman serius, dan mereka mencari kesempatan yang tepat untuk menyerang. Perpecahan internal di kalangan umat Muslim dapat memberikan peluang bagi mereka untuk melancarkan serangan. Selama masa Nabi Muhammad saw, Romawi telah terlibat dalam tiga pertempuran langsung melawan umat Muslim.[34]
Mengikuti Metode Para Nabi
Menurut sebuah riwayat yang diriwayatkan dari Imam Ali as,[35] beliau menjelaskan alasan mengapa beliau berperang melawan Aisyah, Talhah, dan Zubair, tetapi memilih untuk diam terhadap khalifah-khalifah tiga pertama. Imam Ali as menyatakan bahwa alasan sikap diam beliau adalah mengikuti metode 6 nabi, yaitu Nabi Ibrahim as, Nabi Luth as, Nabi Yusuf as, Nabi Musa as, Nabi Harun as, dan Nabi Muhammad saw, yang juga terpaksa diam terhadap umat mereka untuk sementara waktu.[36]
Peristiwa Selama 25 Tahun dan Sikap Imam Ali as
Mustafa Delsyad Tehrani, seorang sejarawan Syiah, tidak menganggap 25 tahun sikap diam Imam Ali as sebagai perilaku pasif. Ia berpendapat bahwa Imam Ali as memiliki strategi aktif dalam menghadapi perkembangan dan peristiwa-peristiwa penting dalam masyarakat Muslim pada masa itu.[37]
Pengumpulan Al-Qur'an
Setelah wafatnya Nabi Muhammad saw, Imam Ali as mengumpulkan Al-Qur'an dalam sebuah mushaf yang lengkap.[38] Namun, beberapa sahabat tidak menerima mushaf tersebut, sehingga Imam Ali as memutuskan untuk menyimpannya dan tidak menyebarkannya ke publik.[39] Meskipun demikian, Imam Ali as mendukung langkah Khalifah Utsman dalam menyatukan mushaf-mushaf yang berbeda, yang akhirnya menghasilkan mushaf Utsmani. Setelah menjadi khalifah, Imam Ali as juga tetap berpegang teguh pada mushaf yang disusun oleh Utsman tersebut.[40]
Penaklukan Muslimin
Menurut al-Mas'udi dalam Muruj al-Dzahab, saat Umar meminta Ali as untuk ikut dalam penaklukan Persia, Ali as menolaknya.[41] Namun, selama masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar, Ali as sering memberikan nasihat tentang penaklukan.[42]
Pembunuhan Utsman
Kekacauan dan ketegangan selama masa pemerintahan khalifah ketiga, Utsman bin Affan, merupakan peristiwa penting dalam periode 25 tahun kekhalifahan para khalifah.[43] Menurut Rasul Jafarian, Imam Ali menerima banyak kritik yang ditujukan kepada Utsman, tetapi secara politik, beliau menentang pembunuhan Utsman dan melihatnya sebagai langkah yang menguntungkan bagi Muawiyah.[44] Imam Ali menasihati para pemberontak dan mengingatkan mereka akan kesalahan-kesalahan mereka.[45]
Aktivitas Imam Ali as Selama Masa Diam
Ja'far Subhani, seorang ulama terkemuka Syiah, menyebutkan beberapa aktivitas penting yang dilakukan oleh Imam Ali selama periode "Diamnya" ini, di antaranya:
- Menafsirkan Al-Qur'an dan mendidik para murid, seperti Ibnu Abbas.
- Memberikan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan dari ilmuwan dunia, khususnya dari kalangan Yahudi dan Kristen.
- Menyampaikan penjelasan tentang hukum-hukum yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa baru yang muncul.
- Memberikan nasihat dan solusi kepada tiga khalifah pertama terkait masalah-masalah politik dan pemerintahan.
- Mendidik individu-individu dengan hati yang murni dan jiwa yang bersih.
- Berusaha keras untuk memenuhi kebutuhan hidup orang-orang miskin dan yang membutuhkan.[۴۶]