Syiah

tanpa referensi
Dari wikishia
(Dialihkan dari Mazhab Syiah)



Artikel ini membahas tentang Syiah. Untuk informasi lebih tentang Syiah Dua Belas Imam, silahkan lihat Imamiyah.

Syiah (bahasa Arab: التشيع) adalah salah satu dari dua mazhab besar dalam agama Islam. Imamah adalah salah satu ushul mazhab Syiah dan hal yang membedakannya dari Ahlusunah. Menurut ushul mazhab ini, Imam ditetapkan oleh Allah dan diperkenalkan kepada manusia melalui Nabi saw. Berdasarkan keyakinan mazhab ini, Nabi Muhammad saw atas perintah Allah swt, menunjuk Imam Ali as sebagai pengganti setelahnya secara langsung.

Semua mazhab Syiah kecuali Zaidiyah, meyakini bahwa Imam haruslah maksum dan mereka percaya bahwa Imam terakhir, Imam Mahdi as sedang mengalami kegaiban dan suatu hari nanti akan bangkit untuk menegakkan keadilan di dunia.

Beberapa keyakinan teologi yang membedakan Syiah antara lain, Husnu wa Qubhu, kesucian sifat-sifat Allah, Amrun bainal Amrain, ketiadaan keadilan sahabat, taqiyyah, tawasul dan syafaat.

Dalam mazhab Syiah, sumber-sumber pengistinbatan hukum-hukum syariat terdiri dari, Al-Qur'an, sunah, akal dan ijma'. Selain Sunah Nabi saw, Syiah juga menganggap sunah para Imam as sebagai hujjah, yaitu perbuatan dan perkataan mereka.

Saat ini, mazhab Syiah terbagi menjadi tiga aliran: Imamiyah, Ismailiyah dan Zaidiyah. Penganut Syiah Imamiyah atau Syiah Dua Belas Imam menjadi mayoritas dari penganut Syiah. Mereka meyakini Imamah dari Dua Belas Imam, dimana imam yang terakhir adalah Imam Mahdi as.

Ismailiyah menerima imam-imam dari Imamiyah hingga Imam keenam, yaitu Imam Shadiq as dan setelahnya mereka mengakui Ismail bin Ja'far dan Muhammad bin Ismail sebagai Imam serta mereka percaya bahwa dia adalah Mahdi Maw'ud. Sedangkan Zaidiyah tidak membatasi jumlah Imam dan mereka percaya bahwa setiap keturunan Sayidah Fatimah sa yang alim, zuhud, berani dan dermawan serta melakukan kebangkitan adalah seorang Imam.

Pemerintahan-pemerintahan Dinasti Idrisiyyah, Alawiyyah dari Tabaristan, Alu Buwaih, Zaidiyah di Yaman, Fatimiyah, Ismailiyah, Sarbadars dari Sabzevar, Safawiyah dan Republik Islam Iran adalah di antara pemerintahan Muslim Syiah di dunia Islam.

Menurut laporan Pew Research Center, antara 10 hingga 13 persen dari populasi Muslim dunia adalah Syiah. Populasi Syiah diperkirakan sekitar 154 hingga 200 juta orang. Sebagian besar umat Syiah tinggal di Iran, Pakistan, India dan Irak.

Definisi Syiah

Syiah adalah merujuk kepada para pengikut Imam Ali as, dimana mereka meyakini bahwa Nabi saw dengan jelas menunjuk Imam Ali as sebagai penggantinya secara langsung.[1] Syekh Mufid meyakini bahwa kata الشیعه bila digunakan dengan "alif dan lam" hanya mengacu pada pengikut Imam Ali as, dimana mereka meyakini pada wilayah dan imamah langsung setelah Nabi saw.[2] Di sisi lain, Ahlusunah meyakini bahwa Nabi saw tidak menunjuk penggantinya dan karena ijma' kaum muslimin dalam berbaiat setia kepada Abu Bakar, maka ia adalah penerus Nabi saw.[3]

Menurut Rasul Ja'fariyan, seorang sejarawan Syiah, hingga beberapa abad setelah kemunculan Islam, para pecinta Ahlulbait as menganggap Imam Ali as lebih dulu dari Utsman (khalifah ketiga) sebagimana juga diyakini Syiah.[4] Mereka disebut dengan Syiah Muhibbin (pecinta Ahlulbait)[5] sebagai kebalikan dari kelompok pertama yang disebut Syiah keyakinan.[catatan 1]

Syiah secara harfiah adalah berarti pengikut, penolong dan kelompok.[6]

Sejarah Singkat Kemunculan Syiah

Ada perbedaan pendapat tentang sejarah kemunculan Syiah; Antara lain, sejak zaman hidup Nabi saw, setelah peristiwa Saqifah, setelah peristiwa terbunuhnya Utsman dan setelah peristiwa tahkim disebutkan sebagai sejarah kemunculan Syiah.[7] Beberapa ulama Syiah meyakini bahwa sejak masa hidup Nabi saw, beberapa sahabat berada di sekitar Imam Ali as dan Syiah ada sejak saat itu.[8] Mereka bersandar dengan hadis-hadis[ 9] dan laporan-laporan sejarah[10] yang menyatakan bahwa pada masa Nabi Muhammad saw, beliau memberikan kabar gembira kepada orang-orang yang disebut sebagai Syiah Ali.[11] Setelah wafatnya Nabi saw, kelompok ini keberatan dengan keputusan syura Saqifah yang memilih Abu Bakar sebagai khalifah dan menolak berbaiat setia kepadanya sebagai khalifah.[12] Menurut Nasyi Akbar dalam kitab "Masail al-Umamah", keyakinan Syiah i'tiqadi sudah ada sejak zaman Imam Ali as.[13]

Teori Imamah

Pandangan Syiah tentang Imamah dianggap sebagai titik persamaan di antara aliran-aliran Syiah.[14] Imamah mempunyai tempat yang sangat penting dan sentral dalam diskusi teologis Syiah.[15] Menurut keyakinan Syiah, imam adalah otoritas tertinggi dalam menafsirkan hukum-hukum agama setelah Nabi saw.[16] Dalam riwayat-riwayat Syiah, kedudukan imam sedemikian rupa sehingga jika seseorang meninggal tanpa mengenal imamnya, maka ia meninggal sebagai orang kafir.[17]

Nabi Muhammad saw bersabda: "Barangsiapa meninggal tanpa mengenal Imam zamannya, maka ia meninggal dalam keadaan jahiliyah." (Taftazani, Syarh al-Maqashid, jld. 5, hal. 239.)

Keharusan Nash atas Imam

Orang-orang Syiah meyakini bahwa Imamah adalah salah satu prinsip agama dan kedudukan Ilahi; Artinya, para nabi tidak bisa menyerahkan pemilihan imam kepada masyarakat dan wajib bagi para nabi untuk mengangkat penggantinya.[18] Oleh karena itu, para teolog Syiah (kecuali Zaidiyah)[19] menekankan perlunya “pengangkatan” imam (oleh nabi atau imam sebelumnya).[20] Dan mereka menganggap "Nash" (ucapan atau tindakan yang secara jelas menunjukkan maksud yang dimaksudkan)[21] sebagai satu-satunya cara untuk mengetahui Imam.[22]

Argumen mereka adalah bahwa imam haruslah seorang yang maksum dan hanya Allah yang mengetahui maksumnya manusia;[23] Karena ishmah adalah sifat internal dan seseorang tidak dapat mengetahui kemaksuman dari lahiriahnya.[24] Oleh karena itu, Allah perlu mengangkat imam dan melalui Nabi yang memperkenalkannya kepada masyarakat.[25]

Dalam kitab-kitab teologi Syiah, terdapat beberapa argumen tekstual dan rasional tentang perlunya keberadaan Imam di tengah-tengah masyarakat.[26] Ayat Ulu al-Amr dan Hadis Man Mata termasuk di antara argumentasi tekstual Syiah tentang perlunya keberadaan seorang Imam.[27] Bersandar kepada Kaidah Lutf juga termasuk di antara argumentasi rasional mereka. Dalam menjelaskan argumentasi ini, mereka menulis: Di satu sisi, kehadiran seorang imam membuat manusia lebih taat kepada Allah dan mengurangi perbuatan dosa; Dan sebaliknya, menurut kaidah lutf, Allah wajib melakukan apa pun yang menyebabkan hal tersebut; Oleh karena itu, pengangkatan seorang imam adalah wajib bagi Allah swt.[28]

Kemaksuman Para Imam

Orang-orang Syiah meyakini ishmah para imam dan menganggapnya sebagai syarat imamah.[29] Dalam konteks ini mereka bersandar kepada argumen tekstual dan rasional,[30] di mana ayat ulu al-Amr,[31] ayat ujian Nabi Ibrahim as[32] dan hadis Tsaqalain adalah di antara argumen tersebut.[33]

Di antara kalangan Syiah, Zaidiyah tidak meyakini pada kemaksuman semua imam. Menurut keyakinan mereka, hanya Ashab al-Kisa' yaitu, Nabi saw, Ali as, Fatimah sa, Hasan as dan Husain as yang maksum [34] dan para imam lainnya tidak maksum seperti orang pada umumnya.[35]

Persoalan Pengganti Nabi saw

Orang-orang Syiah meyakini bahwa Nabi Muhammad saw memperkenalkan Imam Ali as kepada masyarakat sebagai penggantinya dan menganggap Imamah sebagai hak istimewanya dan anak-anaknya.[36] Tentu saja di antara mereka, Zaidiyah juga menerima imamah Abu Bakar dan Umar; Tetapi mereka menganggap Imam Ali as lebih layak daripada keduanya dan menyatakan bahwa umat Islam telah salah memilih Umar dan Abu Bakar sebagai imam, tetapi karena Imam Ali as menyetujuinya, kita juga menerima imamah mereka.[37]

Para teolog Syiah untuk membuktikan suksesi langsung Imam Ali as setelah Nabi saw, bersandar pada ayat-ayat dan riwayat-riwayat, di mana di antaranya adalah Ayat Wilayah, Khotbah al-Ghadir dan Hadis Manzilah.[38]

Aliran-aliran Syiah

Sekte-sekte Syiah paling penting dikenal sebagai Imamiyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Ghulat, Kaisaniyah dan Waqifiyah sampai batas tertentu.[39] Beberapa sekte ini memiliki cabang berbeda; Seperti Zaidiyah terbagi menjadi sepuluh cabang;[40] dan Kaisaniyah terbagi menjadi empat cabang.[41] Hal ini menyebabkan banyak sekte disebut sebagai sekte Syiah. Banyak sekte Syiah telah menghilang dan saat ini hanya tinggal tiga mazhab, Imamiyah, Zaidiyah dan Ismailiyah yang masih memiliki pengikut.[43]

Kaisaniyah adalah pengikut Muhammad Hanafiyah. Setelah Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as, mereka menganggap Muhammad Hanafiyah, putra Imam Ali as yang lain, sebagai Imam dan mereka percaya bahwa Muhammad Hanafiyah tidak mati, dialah Mahdi Mau'ud dan dia tinggal di Gunung Razvi.[44]

Waqifiyah adalah orang-orang yang berhenti sampai Imam Kazhim as setelah ia syahid. Artinya, mereka menganggapnya sebagai imam terakhir.[45] Orang-orang Ghulat juga merupakan kelompok yang membesar-besarkan kedudukan imam Syiah. Artinya, mereka meyakini ketuhanan mereka, mereka tidak menganggapnya sebagai makhluk dan menyerupakan mereka dengan Tuhan.[46] Imam-imam Syiah dalam berbagai situasi, telah melawan aliran ghulat dan segala bentuk pemikiran ghulat.[47]

Syiah Dua Belas Imam

Syiah Dua Belas Imam adalah sekte terbesar dalam mazhab Syiah.[48] Menurut mazhab Imamiyah setelah Nabi Islam, ada dua belas imam yang pertama adalah Imam Ali as dan yang terakhir adalah Imam Mahdi as[49] yang masih hidup hingga kini, beliau mengalami kegaiban dan suatu hari dia akan muncul untuk menegakkan keadilan di muka bumi.[50]

Raj'ah dan bada' adalah keyakinan khusus Syiah Dua Belas Imam.[51] Menurut doktrin raj'ah, setelah kemunculan Imam Mahdi as, sebagian orang mati akan dibangkitkan. Mereka yang mati termasuk orang-orang saleh dan orang-orang Syiah, begitu juga musuh-musuh Ahlulbait yang seharusnya menerima hukuman atas perbuatan mereka di dunia ini juga.[52] Bada' juga berarti bahwa Tuhan terkadang mengubah apa yang telah diperintahkan-Nya kepada Nabi atau Imam di karenakan kemaslahatan dan menggantikannya dengan sesuatu lainnya.[53]

Para teolog Imamiyah yang paling terkemuka adalah: Syekh Mufid (336 atau 338-413 H), Syekh Thusi (385-460 H), Khajah Nashiruddin al-Thusi (597-672 H) dan Allamah Hilli (648-726 H).[54] Para fukaha Imamiyah yang paling terkemuka adalah: Syekh Thusi, Muhaqqiq Hilli, Allamah Hilli, Syahid Awwal, Syahid Tsani, Ja'far Kasyif al-Ghitha, Mirza al-Qummi dan Syaikh Murtadha al-Anshari.[55]

Kebanyakan penganut Syiah berda di Iran, di mana 90% dari populasi negara tersebut, adalah Syiah Dua Belas Imam.[55]

Zaidiyah

Mazhab Zaidiyah dinisbahkan kepada Zaid, putra Imam Sajjad as. [57] Menurut mazhab ini, hanya Imam Ali as, Imam Hasan as dan Imam Husain as yang diangkat oleh Nabi saw.[58] Kecuali Ketiga imam ini, siapa pun yang berasal dari keturunan Sayidah Zahra sa yang melakukan kebangkitan dan alim, zuhud, dermawan dan berani adalah seorang imam.[59]

Zaidiyah mempunyai dua pendapat tentang Imamah Abu Bakar dan Umar bin Khattab: Sebagian dari mereka meyakini Imamah keduanya dan sebagian lagi tidak menerimanya.[60] Pandangan Zaidiyah di Yaman saat ini mirip dengan pandangan kelompok Zaidiyah pertama.[60]

Jarudiyah, Shalihiyah dan Sulaimaniyah adalah tiga sekte utama Zaidiyah.[61] Menurut Syahrestani, penulis kitab "Al-Milal wa al-Nihal", sebagian besar Zaidiyah dipengaruhi oleh Mu'tazilah dalam bidang teologi dan mazhab Hanafi dalam bidang fikih yang merupakan salah satu dari empat mazhab fikih [[]Ahlusunah]].[62]

Menurut kitab "Athlas Syiah", Zaidiyah sekitar 35-40% dari 20 juta penduduk Yaman.[63]

Ismailiyah

Ismailiyah adalah sebuah sekte Syiah, selain meyakini imamah Imam Ali as hingga Imam Ja'far Shadiq as, setelah Imam Ja'far Shadiq as menganggap Ismail, putra sulungnya, sebagai imam dan tidak menerima imamah Imam Kazhim as dan Imam-imam imamiyah lainnya.[64] Ismailiyah meyakini bahwa imamiyah memiliki tujuh periode dan setiap periode dimulai dengan seorang "Nathiq" yang membawa syariat baru, diikuti oleh tujuh imam setelahnya dalam setiap periode.[65]

Menurut keyakinan Ismailiyah, Nathiq dari enam periode pertama imamah adalah para nabi ulul azmi yaitu: Adam as, Nuh as, Ibrahim as, Musa as, Isa as, dan Nabi Muhammad saw.[66] Muhammad Maktum putra Ismail adalah Imam ketujuh dari periode keenam imamah yang dimulai dengan Nabi Islam saw. Dia adalah Mahdi Mau'ud di mana ketika bangkit akan menjadi Nathiq dari periode ketujuh imamah.[67] Mereka berpendapat bahwa beberapa ajaran ini mengalami perubahan selama pemerintahan Fatimiyah.[68]

Ismailiyah memiliki cirikhas terpenting adalah batiniah; sebab mereka mena'wilkan ayat-ayat, hadis-hadis, pengetahuan dan hukum-hukum Islam secara batiniah dan memahami makna yang berbeda dari makna lahiriah. Menurut keyakinan mereka, ayat-ayat Al-Qur'an dan riwayat memiliki dimensi lahiriah dan batiniah. Imam mengetahui batinya dan filosofi imamah mereka adalah mengajarkan batiniah agama dan menyampaikan pengetahuan batiniah.[69]

Qadhi Nu'man sebagai fukaha terbesar Ismailiyah[70] dan kitabnya "Da'aim al-Islam" sebagai rujukan primer fikih bagi mazhab ini. Abu Hatim al-Razi, Nashir Khusru dan kelompok yang dikenal sebagai Ikhwan al-Ṣhafa juga dianggap sebagai cendekiawan terkemuka Ismailiyah.[71] Kitab-kitab sperti, "Rasail Ikhwan al-Ṣhafa" dan "A'lam al-Nubuwwah" yang ditulis oleh Abu Hatim Razi yang merupakan salah satu karya filosofis terpenting mereka.[72]

Ismailiyah saat ini dibagi menjadi dua kelompok yaitu Agha Khaniyah dan Buhra, yang merupakan turunan dari dua cabang Fatimiyah di Mesir yaitu, Nizariyah dan Musta'liyah.[73] Kelompok pertama diperkirakan berjumlah sekitar satu juta orang, di mana sebagian besar tinggal di negara-negara Asia seperti India, Pakistan, Afghanistan dan Iran.[74] Jumlah kelompok kedua diperkirakan sekitar lima ratus ribu orang, lebih dari 80% di antaranya tinggal di India.[75]

Mahdawiyah

Mahdawiyah dianggap sebagai doktrin umum di antara semua mazhab Islam;[76] Tetapi gagasan ini mempunyai tempat khusus di dalam mazhab Syiah dan telah disebutkan dalam banyak riwayat-riwayat, kitab-kitab dan artikel-artikel.[77]

Meskipun semua sekte Syiah sepakat tentang keberadaan Imam Mahdi as, tetapi terdapat perbedaan dalam detail dan implementasinya. Penganut Syiah Dua Belas Imam meyakini bahwa Mahdi as adalah putra dari Imam Hasan Askari as yaitu Imam kedua belas dan Mahdi yang dijanjikan yang sedang mengalami kegaiban.[78] Ismailiyah menganggap Muhammad Maktum putra Ismail, putra dari Imam Ja'far Shadiq as sebagai Mahdi yang dijanjikan.[79] Sedangkan Zaidiyah, karena mereka menganggap kebangkitan sebagai syarat untuk menjadi Imam, mereka tidak percaya pada penantian Imam Zaman dalam masa gaibah.[80] Mereka menganggap setiap Imam sebagai Mahdi dan penyelamat.[81]


Pandangan Teologis Penting Lainnya

Penganut Syiah, meskipun memiliki kesamaan ushuluddin dengan umat Islam lainnya seperti, tauhid, kenabian dan hari kiamat dengan umat Islam lainnya, penganut Syiah juga memiliki keyakinan-keyakinan yang membedakan mereka dari sebagian atau seluruh Ahlusunah. Keyakinan-keyakinan ini, selain dua persoalan Imamah dan Mahdawiyah, keyakinan tersebut meliputi: Husnu wa Qubhu, pensucian sifat-sifat Allah, amrun bainal amrain, keadilan sahabat, taqiyyah, tawasul dan syafaat.

Ulama Syiah seperti hal Mu'tazilah, menganggap husnu wa qubhu bersifat rasional.[82] Husnu wa Qubhu Aqli berarti bahwa perbuatan-perbuatan terlepas apakah Allah menghukuminya sebagai baik atau buruk, secara rasional dapat dibedakan antara baik dan buruk.[83] Pernyataan ini berlawanan dengan pandangan Asy'ariyah yang memandang husnu wa qubhu bersifat syariat;[84] Artinya mereka berpendapat bahwa baik dan buruk tidak memiliki eksistensi yang nyata dan semata-mata bersifat konvensional; oleh karena itu, apapun yang Allah perintahkan adalah baik dan apapun yang Allah larang adalah buruk.[85]

Teori "Tanzih sifat" berlawanan dengan pandangan "Ta'til" dan "Tasybih", di mana yang pertama menyatakan bahwa tidak ada sifat yang bisa dinisbahkan kepada Allah dan yang kedua menyerupakan sifat-sifat Allah dengan makhluk.[86] Menurut mazhab Syiah, beberapa sifat tsubutiyah (positif) yang digunakan untuk makhluk bisa dinisbahkan kepada Allah, tetapi tidak boleh menganggap bahwa Dia memiliki sifat-sifat tersebut sebagaimana makhluk-Nya.[87] Sebagai contoh, kita dapat mengatakan bahwa sebagaimana manusia memiliki ilmu, kekuatan dan kehidupan, Allah juga memiliki sifat-sifat tersebut, namun ilmu, kekuatan dan kehidupan Allah tidak sama dengan yang dimiliki oleh manusia.[88]

Menurut teori Amrum bainal Amrain manusia bukanlah makhluk yang sepenuhnya bebas seperti yang dipercayai oleh Mu'tazilah dan tidak pula sepenuhnya dipaksa seperti yang dikatakan oleh Ahlul Hadis;[89] sebaliknya manusia memiliki kebebasan dalam melakukan perbuatan-perbuatan, tetapi kehendak dan kekuatannya tidak berdiri sendiri dan bergantung pada kehendak Allah.[90] Dari kalangan Syiah, Zaidiyah berpikir seperti Mu'tazilah.[91]

Para teolog Syiah berbeda pendapat dengan Ahlusunah,[92] tidak meyakini bahwa semua sahabat Nabi adalah adil[93] dan mereka mengatakan bahwa besahabat dengan Nabi saw saja bukanlah argumen keadilan.[94]

Selain Zaidiyah,[95] Syiah lainnya menganggap taqiyyah diperbolehkan; Artinya mereka meyakini bahwa dalam situasi di mana mengungkapkan keyakinan dapat berisiko merugikan dari pihak lawan, kita dapat menyembunyikan keyakinan kita dan mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan itu.[96]

Meskipun konsep tawassul telah umum di kalangan sekte Islam lainnya, namun memiliki tempat yang lebih penting di kalangan Syiah.[97] Syiah, berbeda dengan sebagian Ahlusunah seperti Wahabi,[98] menganggap penting bagi seseorang untuk menjadikan wali-wali Allah sebagai perantara dalam berdoa dan mendekatkan diri kepada Allah.[99] Tawassul memiliki hubungan yang erat dengan syafaat.[99] Menurut Syekh Mufid maksud dari syafaat adalah bahwa Nabi dan Imam-imam dapat menjadi pensyafaat bagi orang-orang berdosa di hari Kiamat dan Allah akan menyelamatkan banyak dari orang-orang berdosa melalui syafaat mereka.[101]

Fikih

Al-Qur'an dan Sunah Nabi saw dianggap sebagai dua rujukan utama hukum-hukum syariat yang sah bagi semua Syiah;[102] Tetapi mereka berbeda pendapat dalam hal cara menggunakan kedua rujukan ini dan juga rujukan-rujukan fikih lainnya.

Sebagian besar Syiah, yaitu Imamiah dan Zaidiyah seperti Ahlusunah, menganggap akal dan ijma' juga sebagai hujjah selain Al-Qur'an dan Sunah Nabi;[103] Tetapi Ismailiyah tidak berpandangan demikian. Menurut mazhab Ismailiyah, bertaqlid dari seorang mujtahid tidak diperbolehkan dan hukum-hukum syariat harus diperoleh langsung dari Al-Qur'an, Sunnah Nabi dan ajaran para Imam.[104]

Zaidiyah hanya menganggap tindakan dan perkataan Nabi saw sebagai hujjah dalam hal hadis, dan mereka merujuk kepada sumber-sumber hadis Ahlusunah seperti Shihah Sittah;[105] Tetapi, Imamiah dan Ismailiyah juga menganggap hadis yang dinukil dari para Imam mereka sebagai sumber fikih.[106]

Zaidiyah juga menganggap Qiyas dan Istihsan sebagai hujjah seperti Ahlusunah;[107] Tetapi, hal ini tidak dianggap sah oleh Syiah Imamiyah dan Ismailiyah[108]. Tentu saja, dalam beberapa hukum berbeda dengan Imamiyah dan Ahlusunah, Zaidiyah lebih memilih fatwa Syiah; seperti menganggap kalimat [[Hayya 'Ala Khairil 'Amal] sebagai bagian dari adzan dan menganggap mengumandangkan "As-Shalatu Khairun minan Nawm (Salat lebih baik dari tidur) dalam adzan sebagai haram.[109]

Mengenai nikah mut'ah juga merupakan salah satu perbedaan antara Imamiyah dan Ahlusunah, Ismailiyah dan Zaidiyah sependapat dengan Ahlusunah;[110] artinya berbeda dengan Imamiyah yang menganggap pernikahan mut'ah halal, mereka menganggapnya haram.[111]

Populasi dan Sebaran Geografis

Pada tahun 2009 "Pew Religion and Public Life Association" mengumumkan bahwa jumlah Syiah di dunia adalah antara 154 hingga 200 juta orang dan setara dengan 10 hingga 13 persen umat Islam[113]. Tentu saja, beberapa menganggap jumlah ini tidak akurat dan menganggap populasi Syiah sebenarnya lebih dari tiga ratus juta, yaitu 19 persen dari populasi Muslim di dunia.[114]

Menurut laporan "Pew Religion and Public Life Association", 68-80% Syiah dunia tinggal di empat negara yaitu Iran, Irak, Pakistan dan India.[115] di Iran sekitar 66-70 juta (37-40% Syiah dunia), di Pakistan sekitar 17-26 juta (10-15%), di India sekitar 16-24 juta (9-14%), di Irak sekitar 19-22% (11-12%) 7-11 juta (2-6 %) Syiah tinggal di Turki.[116]

Di Iran, Azerbaijan, Bahrain dan Irak, mayoritas penduduknya adalah Syiah.[117] Syiah juga tinggal di Timur Tengah, Afrika Utara, kawasan Asia-Pasifik serta Amerika dan Kanada[118] dan Cina.[119]

Pemerintahan-pemerintahan

Pemerintahan Dinasti Idrisiyyah, Alawi Thabaristan, Alu Buwaih, Zaidiyah Yaman, Dinasti Fatimiyah, Ismailiyah Alamut, Sarbdaran Sabzevar, Shafawiyah dan Republik Islam Iran termasuk di antara pemerintahan Syiah di dunia Islam.

Pemerintahan Dinasti Idrisiyah di Maroko dan sebagian Al-Jazair[120] dianggap sebagai pemerintahan pertama yang dibentuk oleh orang Syiah.[121] Pemerintahan ini didirikan pada tahun 172 H oleh Idris, cucu Imam Hasan Mujtaba as dan berlangsung selama sekitar dua abad.[122] Kaum Alawi adalah Zaidiyah.[123] Zaidiyah juga memerintah Yaman dari tahun 284 H hingga 1382 H.[124] Dinasti Fatimiyah dan Ismailiyah Alamut menganut mazhab Ismailiyah.[125] Sebagian dari mereka menganggap mereka sebagai Zaidiyah, sebagian mengatakan bahwa mereka adalah Imamiyah dan menurut yang lain, mereka awalnya adalah Zaidiyah dan kemudian menjadi Imamiyah.[126]

Sultan Muhammad Khodabande yang dikenal dengan Uljaito (memerintah 703-716 H) juga menyatakan mazhab Syiah Dua Belas Imam sebagai mazhab resmi pemerintahannya. Tetapi, karena tekanan dari organisasi pemerintahannya yang berbasis pada agama Ahlusunah, ia mendeklarasikan kembali mazhab Sunni mazhab resmi.[127]

Pemerintahan Sarbdaran di Sabzevar juga dianggap sebagai pemerintahan Syiah.[128] Tentu saja, menurut Rasul Ja'farian, mazhab para pemimpin dan penguasa Sarbdaran tidak diketahui secara pasti; Namun yang jelas, para pemimpin agama mereka adalah penganut Sufi yang cenderung Syiah.[129] Khajah Ali Muayid adalah penguasa terakhir Sarbdaran[130] mendeklarasikan Imamiah sebagai mazhab resmi pemerintahannya.[131]

Pada pemerintahan Shafawiyah yang didirikan oleh Syah Ismail pada tahun 907 H, mazhab Syiah Dua Belas Imam diakui secara resmi.[132] Pemerintah ini menyebarkan mazhab Imamiyah di Iran dan mengubah Iran menjadi negara yang sepenuhnya Syiah.[133]

Di Republik Islam Iran, prinsip-prinsip mazhab dan fikih Syiah Dua Belas Imam menjadi rujukan.[134]

Kajian Lebih Lanjut

Kitab Syiah dalam Islam ditulis oleh Allamah Thabathabai: Buku ini ditulis dalam bahasa Persia dengan tujuan untuk memperkenalkan mazhab Syiah -khususnya bagi pembaca non Muslim-. Dalam buku ini, materi yang diperlukan untuk memahami Syiah telah disajikan dalam bahasa yang sederhana dan ringkas. Buku Syiah dalam Islam telah diterjemahkan ke berbagai bahasa.

Pranala Terkait

Catatan Kaki

Daftar Pustaka