Husnu wa Qubhu

Prioritas: b, Kualitas: c
tanpa foto
Dari wikishia

Akhlak


Ayat-ayat Akhlak
Ayat-Ayat IfkAyat UkhuwahAyat Istirja'Ayat Ith'amAyat Naba'Ayat Najwa


Hadis-hadis Akhlak
Hadis ''Qurb Nawafil''Hadis Makarim AkhlakHadis MikrajHadis ''junud aql'' dan ''jahl''


Keutamaan-keutamaan Akhlak
Rendah HatiKepuasanDermawanMenahan AmarahIkhlasLembutZuhud


Keburukan-keburukan Moral
CongkakTamakHasudDustaGibahGunjingkikirMendurhakai orang tuaHadis ''Nafs''Besar DiriMengupingMemutus hubungan silaturahmiPenyebaran Kekejian


Istilah-istilah Akhlak
Jihad NafsNafsu LawamahNafsu AmarahJiwa yang tenangPerhitunganMuraqabahMusyaratahDosaPelajaran AkhlakRiadat


Ulama Akhlak
Mulla Mahdi NaraqiMulla Ahmad NaraqiSayid Ali QadhiSayid Ridha BahauddiniDastgheibMuhammad Taqi Bahjat


Sumber Referensi Akhlak

Al-Qur'anNahjul BalaghahMishbah al-Syari'ahMakarim al-AkhlaqAl-Mahajjah al-Baidha' Majmu'atu WaramJami' al-Sa'adatMi'raj al-Sa'adahAl-Muraqabat

Husnu dan Qubhu (Konsep Kebaikan dan Keburukan) (bahasa Arab: حُسن و قُبح) Pembahasan kebaikan dan keburukan merupakan bagian dari permasalahan ilmu teologi Islam, khususnya yang berkaitan dengan masalah apakah konsep kebaikan dan keburukan itu adalah sesuatu yang dzati, ataukah sesuatu berdasarkan pertimbangan syar'i, sehingga apa yang Tuhan perintahkan itu pasti baik dan apa yang dilarang Allah swt itu pasti buruknya. Para ulama Islam memberikan perhatian khusus pada pembahasan kebaikan dan keburukan ini, sehingga mereka memperluas pembahasan ini pada berbagai sisi.

Dalam masalah pembahasan kebaikan dan keburukan, terdapat perbedaan pendapat dari kalangan para ulama Islam: Mazhab Syi'ah dan Mu'tazilah meyakini bahwa kebaikan dan keburukan itu bersifat aqli (dipahami secara akal); Artinya, mereka menganggap nilai perbuatan itu adalah sesuatu yang dzati dan akal memiliki kemampuan untuk memahami sebagian dari perbuatan baik dan buruk. Di sisi lain, Asy'ariyah menyatakan bahwa kebaikan dan keburukan adalah syar'i; Artinya, setiap perbuatan itu sendiri tidak disifati baik atau buruk; Sebaliknya, apa yang Tuhan perintahkan itu pasti baik dan apa yang Dia larang pasti buruk.

Masalah kebaikan dan keburukan juga dibahas di dalam ilmu ushul fikih, jikalau terbukti kebaikan dan keburukan itu bisa dipahami melalui akal, maka akal bisa menjadi salah satu dari empat sumber ilmu hukum syariat; hal itu sebagaimana diyakini oleh ulama ushuli dari kalangan Syiah.

Urgensitas Pembahasan kebaikan dan Keburukan

Masalah kebaikan dan keburukan dianggap sebagai salah satu topik penting dari ilmu kalam dan juga merupakan dasar dari banyaknya pembahasan permasalahan tersebut.[1] Para ulama telah memberikan perhatian besar terhadap masalah ini dan telah banyak membahasnya.[2] Dalam tulisan-tulisan ilmu kalam, masalah ini dibahas dalam pembahasan perbuatan (fi'il) Tuhan dan dikaji untuk membuktikan keadilan ilahi.[3]

Menurut Ja'far Subhani, persoalan baik dan buruk juga penting dalam ilmu-ilmu lain seperti ilmu akhlak dan ushul fikih.[4] Dalam ilmu akhlak, menerima konsep kebaikan dan keburukan menurut akal berarti menerima pembuktian kemutlakan nilai-nilai akhlak, dan jikalau tidak menerimanya, maka berarti dia menerima sifat kerelatifan dari akhlak.[5]

Dalam ilmu ushul fikih juga dibahas tentang “kelaziman secara akal”, sehingga jikalau kebaikan dan keburukan bisa dibuktikan melalui akal, maka akal menjadi salah satu sumber ilmu hukum syariat.[6] Konsep kebaikan dan keburukan telah dibahas secara rinci dalam buku-buku teologis Syiah dan Sunni[7] dan kitab-kitab Ushul fikih mereka.[8]

Pertanyaan Penting Mengenai Konsep Kebaikan dan Keburukan

Pembahasan kebaikan dan keburukan sering menjadi perdebatan pada kriteria kebaikan dan keburukan perbuatan. Apakah kebaikan dan keburukan itu sesuatu yang waqi’i (ada secara realita), ataukah keduanya hanyalah i’tibȃri (hanya penganggapan saja) artinya apa saja yang Tuhan perintahkan dianggap suatu kebaikan dan apa pun yang Dia larang dianggap keburukan?[9]

Kondisi pertama disebut sebagai husnu wa qubh aqlian (kebaikan dan keburukan secara akal) atau dzatian (secara hakikatnya), sedangkan kondisi kedua adalah husnu wa qubh syar'ian (kebaikan dan keburukan secara syar'i).[10]

Perbedaan Pendapat Mengenai Kebaikan dan Keburukan

Para ulama berbeda pendapat mengenai apakah konsep kebaikan dan keburukan itu adalah aqli atau syar'i. Di antaranya, Syiah[11] dan Mu'tazilah[12] keduannya meyakini bahwa konsep kebaikan dan keburukan itu bersifat aqli, adapun Asyȃ'irah[13] menganggap bahwa konsep kebaikan dan keburukan bersifat syar'i. Teolog Syiah dan Mu'tazilah mengatakan bahwa akal bisa menghukumi perbuatan itu baik atau buruk terlepas dari apakah Tuhan menilai perbuatan itu sebagai sebuah kebaikan atau keburukan, akal dengan sendirinya mampu menentukan kebaikan dan keburukan sebagian permasalahan.[14]

Namun para teolog Asya'irah percaya bahwa kebaikan dan keburukan hanya bisa dipahami melalui tuntunan syariat.[15] Jika syariat memerintahkan sesuatu maka itu adalah baik, dan jika melarang sesuatu maka itu berarti buruk, dari sanalah dapat disimpulkan bahwa tanpa merujuk kepada syariat, tidak bisa dikatakan sesuatu itu baik atau buruk.[16]

Asal Mula Munculnya Permasalahan Konsep Kebaikan dan Keburukan

Dikatakan pembahasan tentang konsep kebaikan dan keburukan perbuatan telah dibahas dalam agama lain,[17] sebelum Islam datang, dan juga telah dibahas dalam pemikiran beberapa filosof Yunani.[18] Tetapi umat Islam telah memberikan perhatian khusus terkait masalah ini.[19]

Pembahasan kebaikan dan keburukan menjadi isu hangat di tengah-tengah mazhab Mu'tazilah dari abad ke-2 Hijriah, setelah itu mazhab Asyȃirah yang merupakan kelompok yang menentang husnu wa qubhu aqlian memasuki dunia perdebatan, lalu mereka mempromosikan konsep husnu wa qubhu syar'iyyan.[20]

Dalil Pendukung Kebaikan dan Keburukan Bersifat Rasional

Beberapa dalil dari ulama Syiah untuk membuktikan konsep kebaikan dan keburukan bersifat akal adalah sebagai berikut:

• Kebaikan dan keburukan bersifat akal adalah sesuatu yang jelas dan tidak memerlukan pembuktian, karena akal mampu menentukan kebaikan pada keadilan dan keburukan pada kezaliman tanpa mengacu pada syariat; Karena kita secara pasti mampu menilai bahwa berbuat baik kepada orang lain itu adalah suatu kebaikan dan pelakunya pun pantas dipuji. Kita juga mampu menilai bahwa melakukan kejahatan sebagai sesuatu yang buruk dan pelakunya pantas dihukum.[21]

• Jika kebaikan dan keburukan tidak bisa dipahami secara akal, maka melalui syariat pun, kita tidak dapat memahaminya, karena akal kita tidak dapat memahami bahwa perbuatan bohong itu buruk, maka kita mungkin bisa mengatakan bahwa Tuhan juga telah berbohong. Akibatnya, jika Tuhan mengatakan sesuatu itu baik atau buruk, kita pun tidak mampu untuk memastikannya.[22]

• Jika kebaikan dan keburukan tidak bisa dipahami melalui akal, maka kita tidak mungkin membuktikan kebenaran agama samawi; Karena keburukan apa pun jikalau kita nisbahkan kepada Tuhan bukanlah sesuatu yang buruk, seperti tidaklah buruk jikalau Tuhan memberikan mukjizat kepada siapa saja sementara dia bukan seorang nabi. Akibatnya, tidak ada pembuktian kenabian yang dimungkinkan melalui mukjizat, dan pada akhirnya tidak ada agama samawi yang dapat dibuktikan.[23]

Argumentasi Pendukung Bersifat Syariat

Beberapa argumentasi dari mazhab Asya'irah untuk membuktikan konsep kebaikan dan keburukan bersifat syariat adalah:

• Jikalau berbohong, dengan sendirinya (tanpa mempertimbangkan syariat) adalah buruk, maka setiap kebohongan adalah buruk; Namun, kenyataannya tidaklah semua perbuatan bohong itu demikian. Kita mengetahui bahwa kebohongan yang menyelamatkan nyawa seorang nabi tidaklah buruk sama sekali.[24]

• Semisal kita bayangkan ada seseorang yang mengatakan kepada orang lain bahwa dia akan membunuh orang lain besok. Dalam hal ini, jika dia membunuh, dia telah melakukan perbuatan keji, dan jika dia tidak membunuh, dia telah berbohong, dan berdasarkan pendapat kebaikan dan keburukan bersifat akal maka ber[[bohong dalam segala kondisi adalah buruk. walaupun kita sepakat bahwa tindakan pembunuhan tidaklah diperbolehkan dan buruk, maka berbohong bukanlah secara mutlak merupakan hal yang buruk.[25]

• Mereka yang berpendapat bahwa konsep baik dan buruk itu dipahami melalui akal, maka Tuhan wajib untuk tidak melakukan perbuatan buruk. Misalnya, mereka mengatakan bahwa ketika seseorang bersyukur kepada Tuhan, maka Tuhan wajib memberinya pahala kepadanya; Meskipun jelas bahwa kita tidak dapat menganggap apa pun kewajiban atas Tuhan; Karena setiap kewajiban ada yang mewajibkannya, dan tidak ada wujud yang lebih tinggi dari Tuhan yang dapat mewajibkan sesuatu kepada-Nya.[26]

Bibliografi

Ulama Syiah dan Sunni telah membahas masalah konsep kebaikan dan keburukan ini dalam karya-karya teologis[27] dan ushul fikih[28] mereka, tetapi karya-karya mereka mengenai masalah ini secara terpisah juga telah dibukukan, beberapa di antaranya adalah sebagai berikut:

Husnu va Qubh-e Aqli ya Pȃyeh Hȃye Akhlȃq-e Jȃvidȃn (Konsep Kebaikan dan Keburukan Menurut Akal Atau Landasan Moralitas Abadi), ditulis oleh Ja'far Subhani. • Husnu wa Qubhu-e Dzati va Aqli Az Manzare Danishmandȃn-e Eslami (Konsep Kebaikan dan keburukan Dzati dan Aqli dari Perspektif Cendekiawan Islam), oleh Hadi Vahdanifar • Qȃideh-e Kalȃmi-e Husnu wa Qubhu-e Aqli (Kaidah Teologis tentang kebaikan dan keburukan menurut akal), ditulis oleh Reza Barinjkar dan Mehdi Nosratian • Husnu wa Qubhu-e Dzati va Aqli az Manzare Rivayȃt-e Islami (Konsep Kebaikan dan keburukan Dzati dan Aqli dari Perspektif Riwayat Islam), ditulis oleh Hadi Vahdanifar dan Zakia Begum Hosseini.

Catatan Kaki

  1. Subhani, Husn Wa Qubh-e Aqli Ya Payeha-e Akhlaq-e Jawdan, hlm. 7-8.
  2. Hasyimi, Husn Wa Qubh, Majalah Jahan-e Eslam, vol. 13, hlm. 364.
  3. Lihat: Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 279-280.
  4. Lihat: Subhani 'Husn Wa Qubh-e Aqli Ya Payeha-e Akhlaq-e Jawdan, hlm. 7-8.
  5. Subhani, Husn Wa Qubh-e Aqli Ya Payeha-e Akhlaq-e Jawdan, hlm. 7-8.
  6. Subhani, Husn Wa Qubh-e Aqli Ya Payeha-e Akhlaq-e Jawdan, hlm. 7-8.
  7. Lihat: Hilli, Nahj al-Haqq Wa Kasyf ash-Shidq, hlm. 82-85; Fakhruddin Razi, al-Arba'īn, jld. 1, hlm. 348.
  8. Mudhzaffar, Ushūl al-Fiqh, jld. 2, hlm. 271; Fakhruddin Razi, al-Mahshūl, jld. 1, hlm. 123-140.
  9. Mudzhaffar, Ushūl al-Fiqh, jld. 2, hlm. 271; Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 279-280.
  10. Mudzhaffar, Ushūl al-Fiqh, jld. 2, hlm. 271; Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 279-280.
  11. Hilli, Nahj al-Haqq Wa Kasyf ash-Shidq, hlm. 82.
  12. Syahrestani, al-Milal Wa an-Nihal, jld. 1, hlm. 58.
  13. Syahrestani, al-Milal Wa an-Nihal, jld. 1, hlm. 115.
  14. Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 280-281.
  15. Fakhruddin Razi, al-Arba'īn, jld. 1, hlm. 136.
  16. Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 281.
  17. Pakatci, Husn Wa Qubh, Makalah Dayirah al-Ma'arif-e Buzurg-e Eslami, jld. 20, hlm. 644-645.
  18. Hasyimi, Husn Wa Qubh, Majalah Jahan-e Eslam, vol. 13, hlm. 364.
  19. Hasyimi, Husn Wa Qubh, Majalah Jahan-e Eslam, vol. 13, hlm. 364.
  20. Rabbani Gulpaigani, Tarikh Wa Tathawwwur-e Qa'ede-e Husn Wa Qubh-e Aqli Dar Kalam-e Eslami, Jurnal Kalam-e Eslami, vol. 1, hlm. 22-23.
  21. Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 281.
  22. Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 281.
  23. Hilli, Nahj al-Haqq Wa Kasyf ash-Shidq, hlm. 84.
  24. Fakhruddin Razi, al-Arba'īn, jld. 1, hlm. 136.
  25. Fakhruddin Razi, al-Arba'īn, jld. 1, hlm. 349.
  26. Isfarayini, at-Tabshīr, hlm. 171.
  27. Lihat: Hilli, Nahj al-Haqq Wa Kasyf ash-Shidq, hlm. 82-85; Fakhruddin Razi, al-Arba'īn, jld. 1, hlm. 348.
  28. Lihat: Mudzhaffar, Ushūl al-Fiqh, jld. 2, hlm. 271; Fakhruddin Razi, al-Mahshūl, jld. 1, hlm. 123-140.

Daftar Pustaka

  • Fakhruddin Razi, Muhammad bin Umar. Al-Arba'īn Fī Ushūl ad-Dīn. Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah. Cet. 1, 1986.
  • Fakhruddin Razi, Muhammad bin Umar. Al-Mahshūl. Riset: Taha Jabir Fayyadh al-'Alwani. Muassasah ar-Risalah. Cet. 3, 1418 H.
  • Hasyimi, Muhammad Manshur. Husn Wa Qubh. Majalah Danesyname-e Eslam. Jld. 13. Tehran: Dayirah al-Ma'arif-e Eslami. Cet. 1, 1388 HS/2010.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Kasyf al-Murād Fī Syarh Tajrīd al-I'tiqād. Beirut: Muassasah al-A'lami Li al-Mathbu'at.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Nahj al-Haqq Wa Kasyf ash-Shidq. Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1982.
  • Isfarayini, Thahir bin Muhammad. At-Tabshīr Fī ad-Dīn Wa Tamyīz al-Firqah an-Nājiyah 'An al-Firaq al-Hālikīn. Riset: Kamal Yusuf al-Haut. Lebanon: 'Alam al-Kitab. Cet. 1, 1403 H.
  • Mudzhaffar, Muhammad Ridha. Ushul al-Mudzhaffar. Qom: Entesyarat-e Eslami. Cet. 5, 1430 H.
  • Pakatci, Ahmad. Husn Wa Qubh. Dayirah al-Marif-e Buzurg-e Eslami. Jld. 20. Tehran: Markaz-e Dayirah al-Ma'aref-e Buzurge Eslami. Cet. 2, 1391 HS/2013.
  • Rabbani Gulpaigani, Ali. Tarikh Wa Tathawwur-e Qa'ede-e Husn Wa Qubh-e Aqli Dar Kalam-e Eslami. Majalah Kalam-e Eslami. Vol: 1, 1371 HS/1993.
  • Subhani, Ja'far. Husn Wa Qubh-e Aqli Ya Paye-ha-e Akhlaq-e Jawdan. Editor: Ali Rabbani Gulpaigani. Qom: Muassese-e Emam Shadeq. Cet. 1, 1381 HS/2003.
  • Syahrestani, Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal Wa an-Nihal. Riset: Amir Ali Mahna & Ali Hasan Fa'ur. Beirut: Dar al-Ma'rifah. Cet. 4, 1415 H.