Imam Musa al-Kazhim as

Prioritas: b, Kualitas: a
Dari wikishia
(Dialihkan dari Imam Musa Kazhim)
Musa bin Ja'far al-Kazhim
Imam ketujuh Syiah
Example alt text
Lahir7 Shafar 128 H/746
Tempat lahirAbwa, Madinah
Wafat25 Rajab 183 H/799
Masa hidup55 Tahun
Tempat dimakamkanKazhimain, Irak
AyahImam al-Shadiq as
IbuHamidah
IstriNajmah
Putra putriImam al-Ridha asIbrahim • Ahmad (Syah Cerogh) • Qasim bin Musa bin Ja'farAbdullahFatimah Maksumah sa • Fatimah Kubra • Hakimah , ...
KunyaAbul Hasan (al-Awwal) • Abu Ibrahim • Abu Ali
GelarKazhimBab al-HawaijAbdu Shalih

Imam Musa bin Ja'far as (bahasa Arab: موسی بن جعفر عليه السلام) lebih populer dengan sebutan Imam Musa al-Kazhim. Ia bergelar Kazhim dan Bab al-Hawa'ij. Imam Musa al-Kazhim adalah imam ketujuh umat muslim Syiah 12 imam. Ia lahir pada tahun 128 H/746 M yang bertepatan dengan dimulainya kebangkitan Abu Muslim Khurasani yang terkenal sebagai mubalig bani Abbasiah melawan bani Umayyah. pada tahun 148 H, Imam Musa al-Kazhim menjabat sebagai imam setelah kesyahidan sang ayah, Imam al-Shadiq as.

Masa kepemimpinan dan imamahnya berlangsung selama 35 tahun semasa dengan khilafah Mansur, Hadi, Mahdi dan Harun al-Rasyid yang berasal dari bani Abbasiyah. Ia berulang kali dipenjara oleh Mahdi dan Harun. Pada tahun 183 H/799 Imam Musa al-Kazhim gugur sebagai syahid di penjara Sindy bin Syahik. Dengan kesyahidannya, kedudukan imamah berpindah ke putranya yang bernama Ali bin Musa al-Ridha as.

Masa hidup Imam Musa al-Kazhim as bersamaan dengan zaman keemasan kekuasaan khilafah Abbasi. Di masa pemerintahan ini, Imam al-Kazhim bertaqiyah dan menganjurkan umat Syiah juga untuk melakukan hal yang sama. Karena itu, tidak ada laporan terkait dengan sikap Imam al-Kazhim terkait dengan pemerintahan Abbasi dan perlawanan Alawi seperti perlawanan Syahid Fakh. Namun demikian, dalam perdebatan-perdebatan dan dialog-dialognya dengan para khalifah Abbasi dan yang lainnya, ia mempertanyakan legitimasi/kesahan kekhalifaan Abbasi.

Debat dan dialog Imam al-Kazhim dengan sebagian rabi Yahudi dan pendeta Kristen yang dikutip dalam sebagian literatur sejarah dan hadis adalah sebagai jawaban atas pertanyaan yang diajukan oleh mereka kepada Imam Kazhim as. Dialog dengan pemuka agama lain dan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mereka terhimpun dalam Musnad al-Imam al-Kazhim yang terdiri dari 3000 hadis yang berasal darinya. Sebagian hadis ini dikumpulkan oleh Ashab al-Ijma. Imam Kazhim as memperluas institusi perwakilan untuk menjalin hubungan komunikasi dengan para syiahnya dan di banyak tempat mengangkat beberapa orang sebagai wakil atau deputi.

Dari sisi lain, Imam Musa al-Kazhim as juga semasa dengan munculnya sekte-sekte dalam Syiah. Pada masa permulaan imamahnya, sekte Ismailiyah, Fathahiyyah dan Nawusiyyah terbentuk. Pada masa setelah kesyahidannya sekte Waqifiyyah berdiri.

Literatur-literatur Syiah dan Sunni memuji ibadah, kesabaran dan kemurahan hatinya sehingga menggelarinya sebagai al-Kazhim (orang yang sangat mengontrol amarahnya) dan al-Abd al-Shalih. Pembesar Sunni menghormati imam ketujuh Syiah ini sebagai ulama dan berziarah ke kuburannya sebagaimana orang-orang Syiah. Haram (Mausoleum) Imam Musa al-Kazhim berdampingan dengan haram cucunya Imam al-Jawad as terletak di sebuah kota dekat Bagdad dan dikenal sebagai Haram Kazhimain yang menjadi tempat ziarah umat Islam khususnya umat Muslim Syiah.

Biografi

Imam Musa al-Kazhim lahir pada bulan Dzulhijjah 127 H/745[1] atau 7 Shafar tahun 128 H/746[2], di sebuah tempat bernama Abwa' dan kala itu Imam Shadiq as dan istrinya Hamidah kembali dari haji[3]. Pendapat lain menyebutkan, ia lahir pada tahun 129 H/747 di kota Madinah.[4] Sebagian literatur menyebutkan tentang kecintaan luar biasa Imam Shadiq as kepadanya.[5] Berdasarkan riwayat Ahmad Barqi, Imam Shadiq as memberikan makanan kepada orang-orang selama tiga hari usai kelahiran putranya Musa.[6]

Nasab Musa bin Ja'far bin Muhammad bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib as sampai kepada Ali bin Abi Thalib melalui empat jalur. Ayahnya, Imam Shadiq as adalah Imam Keenam Syiah dan ibunya adalah Hamidah Barbariah. [7] Kunyahnya adalah Abu Ibrahim, Abu al-Hasan al-Awwal, Abu al-Hasan al-Madhi dan Abu Ali. Disebabkan kesabarannya yang tinggi dan kemampuannya mengendalikan amarah dalam menghadapi orang-orang yang berperilaku buruk padanya sehingga ia digelari sebagai al-Kazhim.[8] Karena sering menunaikan ibadah ia digelari sebagai Abdu al-Shalih. [9] Selain itu ia juga memiliki lakab yang lain yaitu Bāb al-Hawāij. [10] Orang-orang Madinah menyebutnya sebagai Zain al-Mujtahidin. [11]

Musa bin Ja'far as lahir bertepatan dengan pemindahan kekuasaan dari bani Umayah ke bani Abbasiyah. Tatkala usianya 4 tahun, khalifah pertama Abbasiyah menduduki singgasana kekuasaan. Tidak terdapat banyak informasi terkait dengan kehidupan Imam Kazhim hingga masa sebelum imamahnya kecuali beberapa dialog ketika ia masih belia di antaranya dialog dengan Abu Hanifah.[12] dan ulama agama lainnya[13] yang terjadi di Madinah.

Berdasarkan sebuah riwayat yang disebutkan dalam Manaqib, suatu waktu ia menyamar memasuki sebuah desa di Suriah (Syam). Di situ ia berdialog dengan seorang rahib yang akhirnya memeluk Islam bersama para pengikutnya.[14] Demikian juga dilaporkan terkait dengan perjalanan Imam Musa as ke Mekkah untuk menunaikan haji atau umrah.[15] Berulang kali juga Imam Musa dipanggil khalifah Abbasi. Selain yang disebutkan ini, Imam Musa lebih banyak menghabiskan waktunya di Madinah.

Bab al-Murad, salah satu pintu gerbang masuk haram Imam Musa al-Kazhim as

Istri dan Anak-anak

Tidak disebutkan dengan jelas tentang jumlah istri Imam Musa as. Istri pertamanya adalah Najmah ibunda Imam Ridha as.[16] Demikian juga jumlah anak Imam Musa dilaporkan dengan versi yang berbeda-beda. Menurut Syekh Mufid, ia memiliki 37 anak (18 putra dan 19 putri). Imam Ridha as, Ibrahim, Syahceragh, Hamzah, Ishak adalah di antara putra-putranya dan Fatimah Maksumah sa dan Hakimah adalah diantara putri-putri Imam Musa as.[17] Cucu dan keturunan Imam Musa as dikenal sebagai sadat Musawi. [18]

Masa Imamah

Pasca kesyahidan Imam Shadiq as pada tahun 148 H/765, Musa bin Ja'far menjadi seorang imam pada usia 20 tahun. [19] Masa imamahnya sezaman dengan empat khalifah pemerintahan Abbasiyah. [20] Imam Musa as menghabiskan waktu selama 10 tahun semasa dengan khilafah Mansur (pemerintahan 136 H/754-158 H/775), 11 tahun sezaman dengan pemerintahan Mahdi Abbasi (pemerintahan 158 H/775-169 H/786), 1 tahun bersama pemerintahan Hadi Abbasi (pemerintahan 169 H/786-170 H/787) dan 13 tahun berbarengan dengan pemerintahan Harun (pemerintahan 170 H/787-193 H/809).[21] Masa kepemimpinan Musa bin Ja'far adalah 35 tahun dan dengan kesyahidannya pada tahun 183 H/799, posisi imamahnya berpindah kepada putranya yang bernama Imam Ridha as.[22]

Nash-nash Imamah

Menurut mazhab Syiah, imam ditentukan oleh Allah swt dan salah satu jalan untuk mengenal imam adalah melaui nash (penegasan dari Rasulullah saw atau imam sebelumnya atas imam setelahnya). [23] Imam Shadiq as dalam pelbagai kesempatan mengumumkan kepemimpinan Musa bin Ja'far di hadapan para sahabat terdekatnya. Masing-masing dalam kitab al-Kafi, [24] al-Irsyad, [25] I'lam al-Wara, [26] Bihar al-Anwar, [27] terdapat bab yang terkait dengan nash-nash imamah Musa bin Ja'far as yang dikutip dalam 12, 14, 16, dan 46 riwayat sehubungan dengan masalah ini.[28] di antaranya:

  • Dalam sebuah riwayat, Faidh bin Mukhtar bertanya kepada Imam Shadiq as tentang siapa yang akan menggantikannya? Saat itu putranya Musa bin Ja'far datang dan Imam Shadiq as memperkenalkan diri putranya itu sebagai imam setelahnya. [29]
  • Ali bin Ja'far meriwayatkan bahwa Imam Shadiq menulis tentang Musa bin Ja'far: «فَإِنَّهُ أَفْضَلُ وُلْدِی وَ مَنْ أُخَلِّفُ مِنْ بَعْدِی وَ هُوَ الْقَائِمُ مَقَامِی وَ الْحُجَّةُ لِلَّهِ تَعَالَی عَلَی كَافَّةِ خَلْقِهِ مِنْ بَعْدِی»

"Sesungguhnya ia adalah putra terbaikku. Ia akan menggantikan posisiku dan setelahku ia menjadi hujjah Allah swt atas seluruh makhluk." [30]

Demikian juga dalam 'Uyun Akhbar al-Ridha disebutkan bahwa Harun al-Rasyid menyampaikan kepada putranya bahwa Musa bin Ja'far adalah imam yang hak dan orang yang paling layak menjadi pengganti Rasulullah saw. Harun menyebut pemerintahannya hanya lahiriyahnya saja dan berdiri berdasarkan paksaan. [31][catatan 1]

Akidah Syiah
‌Ma'rifatullah
TauhidTauhid DzatiTauhid SifatTauhid Af'alTauhid Ibadah
FurukTawasulSyafa'atTabarruk
Keadilan Ilahi
Kebaikan dan keburukanBada'Amrun bainal Amrain
Kenabian
KeterjagaanPenutup KenabianNabi Muhammad SawIlmu GaibMukjizatTiada penyimpangan Alquran
Imamah
Keyakinan-keyakinanKemestian Pelantikan ImamIsmah Para ImamWilayah TakwiniIlmu Gaib Para ImamKegaiban Imam Zaman asGhaibah SughraGhaibah KubraPenantian Imam MahdiKemunculan Imam Mahdi asRaj'ah
Para Imam
  1. Imam Ali
  2. Imam Hasan
  3. Imam Husain
  4. Imam Sajjad
  5. Imam Baqir
  6. Imam al-Shadiq
  7. Imam al-Kazhim
  8. Imam al-Ridha
  9. Imam al-Jawad
  10. Imam al-Hadi
  11. Imam al-Askari
  12. Imam al-Mahdi
Ma'ad
Alam BarzahMa'ad JasmaniKebangkitanShirathTathayur al-KutubMizanAkhirat
Permasalahan Terkemuka
AhlulbaitEmpat Belas Manusia SuciTaqiyyahMarja' Taklid


Wasiat Imam Shadiq as dan Kondisi Sebagian Syiah

Dalam berbagai literatur disebutkan bahwa Imam Shadiq as dengan memperhatikan pelbagai kesulitan yang dimunculkan oleh bani Abbasiyah dan untuk menyelamatkan Imam Kazhim as, beliau memperkenalkan lima orang sebagai washinya termasuk kepada khalifah bani Abbasiyah. [32] Meski Imam Shadiq as, berulang kali memperkenalkan imam setelahnya kepada sahabat-sahabat terdekatnya, namun langkah ini menyebabkan kebingungan bagi sebagian Syiah. Pada masa ini, sebagian sahabat terkemuka Imam Shadiq seperti Mukmin Thaq dan Hisyam bin Salim juga tadinya termasuk orang yang meragukan imamah Imam Musa al-Kazhim as. Pertama-tama mereka mengira Abdullah al-Afthah yang mengklaim dirinya sebagai imam dan bertanya kepadanya tentang zakat. Namun jawaban yang diberikan Abdullah Afthah kurang memuaskan keduanya. Lalu mereka bertemu dengan Imam Musa bin Ja'far as dan mengajukan pertanyaan yang sama. Jawaban Imam Musa as memuaskan mereka dan mereka pun menerima kepemimpinan (imamah) Imam Musa as. [33]

Kemunculan Firkah-firkah dalam Syiah

Pada masa keimamahan Musa bin Ja'far as, firkah-firkah seperti Ismailiyah, Fathahiyyah dan Nawusiyyah muncul. Meski pada masa kehidupan Imam Shadiq as tersedia ruang bagi kemunculan firkah-firkah Syiah namun hal itu tidak terjadi. Namun dengan kesyahidan Imam Shadiq as dan bermulanya kepemimpinan Musa bin Ja'far, mazhab Syiah terbagi menjadi beberapa firkah; sebagian dari mereka mengingkari kematian Ismail putra Imam Shadiq as dan menganggapnya sebagai imam. Sebagian dari firkah ini yang telah putus asa tentang keberadaan Ismail, menganggap Muhammad putra Ismail sebagai imam. Kelompok ini kemudian terkenal sebagai firkah Ismailiyah. Sebagian lainnya menganggap Abdullah al-Afthah sebagai imam dan terkenal dengan Fathahiyyah namun setelah kematiannya yang terjadi kira-kira selama 70 hari pasca kesyahidan Imam Shadiq mereka meyakini keimamahan Musa bin Ja'far. Sebagian lainnya mengikuti seseorang bernama Nawus yang berhenti pada keimamahan Imam Shadiq dan sebagian meyakini keimamahan dipegang oleh Muhammad bin Dibaj.[34]

Aktivitas Sekte Ghuluw

Pada masa Imam Musa al-Kazhim, sekte Ghulaw juga aktif. Pada masa ini, sekte Basyiriyyah terbentuk. Sekte ini disandarkan kepada Muhammad bin Basyir salah seorang sahabat Imam Musa bin Ja'far. Ia pada masa Imam Musa al-Kazhim banyak menyandarkan kebohongan kepada Imam Musa as. [35] Muhammad bin Basyir sering berkata bahwa sosok yang dikenal Musa bin Ja'far oleh masyarakat bukanlah Musa bin Ja'far yang merupakan imam dan hujjah Allah swt.[36] Ia mengklaim bahwa Musa bin Ja'far yang sebenarnya ada di sisinya dan ia bisa menunjukkannya kepada mereka.[37] Dia pandai main sulap dan membuat wajah seperti wajahnya Imam Kazhim as, lalu menunjukkannya kepada masyarakat sehingga sebagian dari mereka tertipu.[38]Sebelum Imam Musa al-Kazhim as menuai cawan syahadah, Muhammad bin Basyir dan pengikutnya menyebarkan kabar bohong di tengah-tengah masyarakat bahwa Imam Kazhim as tidak di penjara dan beliau hidup serta tidak akan meninggal.[39] Imam Musa menilai Muhammad bin Basyir sebagai najis dan melaknatnya dan boleh menumpahkan darahnya [40]

Aktivitas Keilmuan

Banyak laporan sehubungan dengan aktivitas-aktivitas keilmuan Imam Kazhim as; kegiatan-kegiatan ini tercantum dalam bentuk riwayat, debat, dialog ilmiah dalam kitab-kitab hadis Syiah. [41]

Riwayat-riwayat

Terdapat banyak hadis dari Imam Kazhim as yang diriwayatkan dalam literatur-literatur hadis Syiah; riwayat-riwayat ini lebih banyak dalam masalah teologi seperti tauhid, [42] bada', [43] iman [44] dan tema-tema akhlak. [45] Demikian juga munajat-munajat seperti Jausyan Shagir diriwayatkan darinya. Sehubungan dengan sanad-sanad riwayat ini nama-nama Imam Musa disebutkan sebagai al-Kazhim, Abi al-Hasan, Abi al-Hasan al-Awwal, Abi al-Hasan al-Madhi, al-Alim[46], dan al-Abdu al-Shalih. Azizullah Atharidi mengumpulkan 3134 hadis dari Imam Musa al-Kazhim as dalam Musnad al-Imam al-Kazhim. [47] Abu Imran Muruzi al-Baghdadi yang merupakan salah seorang ulama Ahlusunah juga mengoleksi hadis-hadis imam ketujuh Syiah ini dalam Musnad al-Imam Musa bin Ja'far.[48]

Terdapat karya-karya lainnya yang diriwayatkan dari Musa bin Ja'far, di antaranya adalah:

  • Ali bin Ja'far adalah saudara Imam Kazhim as memiliki suatu kitab yang bertemakan "al-Masail", dalam masalah-masalah tersebut, ada beberapa orang yang bertanya kepada Imam Kazhim as dan mereka memperoleh jawabannya lalu jawaban-jawaban tersebut ditulis dan dibukukan.[49] Judul buku tersebut bernama "al-Masailu al-Fiqhi.[50]kitab ini dicetak dan disebarkan oleh Muassasah Aal al-Bait dengan judul "Masail Ali bin Ja'far va Mustadrakatuha".
  • Telah ditulis Risalah tentang akal yang ditujukan kepada Hisyam bin Hakam. [51]
  • Risalah tentang tauhid dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan Fath bin Abdullah. [52]
  • Ali bin Ja'far Yaqthin juga belajar dengan Musa bin Ja'far dan mengoleksinya dalam sebuah kitab berjudul Masail 'an Abi al-Hasan Musa bin Ja'far.[53]

Debat dan Dialog

Terdapat laporan terkait debat-debat dan dialog-dialog Imam Musa al-Kazhim as dengan sebagian khalifah Abbasiyah, [54] ulama Yahudi, [55] Kristen, [56] Abu Hanifah[57] dan yang lainnya. Baqir Syarif Qarasyi mengumpulkan delapan dialog dari Imam Kazhim dengan judul Munazharah Imam al-Kazhim.[58] Imam Kazhim as sering terlibat perdebatan dengan Mahdi Abbasi terkait dengan Fadak dan juga keharaman khamar dalam Alquran.[59] Demikian juga dengan Harun Abbasi. Harun ingin menunjukkan kekerabatan dan kedekatan Rasulullah saw dengan dirinya lebih dekat daripada Musa bin Ja'far, Imam Musa menyatakan secara tegas bahwa ia lebih dekat hubungannya dengan Rasulullah saw. [60] Dialog-dialog Musa bin Ja'far dengan ulama dari agama-agama lain juga dilakukan dalam rangka menjawab pertanyaan-pertanyaan mereka yang berujung pada pernyataan mereka masuk Islam. [61]

Sirah

Imam Kazhim dalam cara berhubungan dengan Allah swt berbeda dengan berhubungan dengan masyarakat dan pemerintah pada masa itu. Caranya dalam berhubungan dengan Allah swt, masyarakat dan pemerintah pada masa itu disebut sebagai sirah ibadah, akhlak dan politik.

Sirah Ibadah

Berdasarkan literatur Syiah dan Sunni, Imam Kazhim as adalah orang yang banyak menghabiskan waktunya untuk ibadah; karena itu ia digelari sebagai al-Abdu al-Shaleh. [62] Berdasarkan sebagian laporan, Imam Kazhim as sedemikian beribadah sehingga sipir penjara juga terpengaruh olehnya. [63] Syekh Mufid menilai bahwa Imam Musa al-Kazhim as sebagai orang yang paling banyak beribadah di masanya. Ia melaporkan bahwa sedemikian Imam Musa menangis karena takut kepada Allah sehingga janggutnya basah dengan air mata. Ia mengulang-ulang doa ini dalam sujudnya «عَظُمَ الذَّنْبُ مِنْ عَبْدِكَ فَلْيَحْسُنِ الْعَفْوُ مِنْ عِنْدِكَ» dan doa «اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ الرَّاحَةَ عِنْدَ الْمَوْتِ وَ الْعَفْوَ عِنْدَ الْحِسَابِ»[64] Bahkan tatkala Harun memindahkannya ke penjara lain, ia berucap syukur kepada Allah swt lantaran menemukan banyak waktu untuk beribadah. "Tuhanku Aku senantiasa meminta kepadamu supaya ada waktu luang untuk beribadah kepada-Mu dan kini Engkau telah menyediakan waktu luang itu; karena itu Aku bersyukur kepada-Mu." [65] Tulisan kaligrafi atau dzikir yang terukir di cincinnya adalah «حَسْبِيَ اللَّهُ حَافِظِي»;[66] و ِ «الْمُلْكُ لِلَّهِ وَحْدَهُ»[67]

Sirah Akhlak

Dalam literatur-literatur Syiah dan Sunni, terdapat banyak laporan sehubungan dengan ketabahan[68] dan kemurahan Imam Kazhim as. [69]

Syekh Mufid menilai bahwa Imam Kazhim merupakan orang yang paling dermawan yang membawakan bekal pada malam-malam hari kepada orang-orang fakir Madinah. [70] Sehubungan dengan kedermawanan Imam Musa bin Ja'far menulis, "Ia pada malam hari keluar rumah dan membawa kantung-kantung dirham dan membagi-bagikan kantung itu kepada siapa saja yang dilalui atau kepada orang-orang yang berharap kebaikan darinya sedemikian sehingga kantung-kantung uangnya menjadi pepatah dan obrolan banyak orang. [71]

Demikian juga disebutkan Musa bin Ja'far memaafkan orang-orang yang bersikap kurang ajar kepadanya dan tatkala ia mendengar ada orang yang berusaha untuk berlaku kurang ajar terhadapnya segera beliau mengirimkan hadiah kepadanya. [72]

Selain itu, Syekh Mufid menyebutkan bahwa Imam Musa al-Kazhim as adalah orang yang paling kuat berusaha dalam menjalin hubungan silaturahmi dengan kerabat dan keluarganya. [73] Alasan ia digelari dengan Kazhim adalah karena ia dapat mengontrol amarahnya. [74] Banyak laporan yang menyebutkan bahwa Imam Musa mampu mengendalikan amarahnya pada musuh-musuh dan orang-orang yang berlaku buruk kepadanya. [75]

Di antaranya disebutkan bahwa seseorang dari keturunan Umar bin Khattab menghina Imam Ali bin Abi Thalib as di hadapan Imam Musa al-Kazhim. Orang-orang yang bersama Imam Musa ketika itu ingin menghajarnya namun Imam Musa menahan mereka dan kemudian pergi ke ladang orang itu. Tatkala melihat Imam Musa al-Kazhim, orang itu teriak supaya tidak dirusak hasil ladangnya. Imam Musa mendekatinya dan dengan wajah penuh senyum bertanya berapa banyak uang yang dikeluarkan untuk sekali panen? Orang itu berkata, "100 dinar", Lalu Imam Musa kembali bertanya, "Berapa banyak yang Anda akan panen dari hasil ladang itu? Orang itu menjawab bahwa ia tidak tahu. "Harapan Anda berapa banyak yang Anda bisa panen? "200 dinar." Jawab orang itu. Imam Musa kemudian memberikan 300 dinar kepadanya dan berkata, "Ini 300 dinar untukmu dan hasil panenmu juga kamu simpan saja untukmu." Kemudian Imam Musa pergi ke masjid. Orang itu segera menyusul ke masjid dan dengan melihat Imam Musa ia membacakan ayat ini," اللَّه أَعْلَمُ حَيْثُ يَجْعَلُ رِ‌سَالَتَهُ؛ [76][77] Basyr Hafi juga kemudian menjadi seorang guru sufi bertaubat atas pengaruh ucapan dan akhlaknya. [78]

Sirah Politik

Sebagian sumber menyebutkan Imam Musa al-Kazhim menggunakan ragam cara di antaranya berdebat, enggan bekerja sama, mempersoalkan legitimasi pemerintahan Abbasi dan berusaha melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap mereka. [79] Hal-hal berikut adalah contoh upaya Imam Musa al-Kazhim dalam mempersoalkan pemerintahan Abbasi:

  • Ia menunjukkan hubungan kekerabatannya yang lebih dekat kepada Nabi Muhammad saw ketimbang para khalifah bani Abbasiyah yang berusaha memberikan legitimasi atas pemerintahannya karena hubungan kekerabatan ini. Contohnya dialog dengan Harun Rasyid. Imam Musa dengan bersandar pada ayat-ayat Alquran seperti ayat Mubahala menetapkan hubungannya dengan Nabi Muhammad saw melalui jalur Fatimah Zahra sa. [80]
  • Tatkala Mahdi Abbasi melakukan radd mazhalim, Imam Musa menuntut tanah Fadak.[81] Mahdi meminta Imam Musa untuk menentukan batas-batas tanah Fadak. Imam Musa kemudian menunjukkan batas-batas tanah Fadak yang sebanding dengan wilayah kekuasaan bani Abbasiyah.[82]
  • Imam ketujuh Syiah menganjurkan sahabat-sahabatnya untuk tidak bekerja sama dengan pemerintahan Abbasiyah di antaranya Shafwan bin Jamal. Imam Musa melarangnya untuk tidak menyewakan untanya ke Harun.[83]

Namun demikian, Imam Musa meminta Ali bin Yaqthin untuk bekerja pada pemerintahan Harun al-Rasyid sebagai menteri supaya dapat mengurus orang-orang Syiah. [84] Meski dengan semua ini, Imam Musa as tidak menyatakan penentangan kepada pemerintahan Abbasiyah secara terang-terangan. Ia adalah orang yang kerap bertaqiyah dan meminta para pengikutnya untuk melakukan hal yang sama. Sebagai contoh, dalam sebuah surat ke Khizran ibu Hadi Abbasi mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnnya Hadi Abbasi. [85] Berdasarkan sebuah riwayat, tatkala Harun memanggilnya untuk menghadap ke istana, Imam Musa berkata, "Karena harus taqiyah di hadapan penguasa, saya akan memenuhi panggilan Harun." Demikian juga, ia menerima hadiah-hadiah yang dikirimkan Harun dalam pernikahan Alu (keluarga) Abi Thalib untuk mencegah terputusnya generasi mereka.[86] Bahkan Imam Musa al-Kazhim dalam suratnya ke Ali bin Yaqthin untuk berwudhu dengan cara Ahlusunah dalam beberapa lama sehingga ia berada dalam posisi yang aman.[87]

Imam Musa dan Kebangkitan-kebangkitan Alawi

Masa hidup Musa bin Ja'far semasa dengan naiknya bani Abbasiyah ke tampuk kekuasaan. Perlawanan-perlawanan yang dilancarkan oleh Alawiyun melawan mereka (bani Abbasiyah) juga hampir bersamaan dengan masa hidup imam ketujuh Syiah ini. Bani Abbasiyah naik tampuk kekuasaan dengan slogan pembelaan terhadap Ahlulbait Nabi saw, namun tidak lama berselang, mereka menjadi musuh bebuyutan bagi kaum Alawiyyin. Banyak di antara mereka yang dibunuh dan dipenjara. [88] Tindakan represif para penguasa bani Abbasiyah atas Alawiyyun menjadi sebab sehingga beberapa pembesar Alawiyyun bangkit melakukan perlawanan. kebangkitan Syahid Fakh, kebangkitan Yahya bin Abdullah dan pendirian pemerintahan Idrisiyan. Kebangkitan Fakh terjadi pada tahun 169 H/786 pada masa-masa kepemimpinan Musa bin Ja'far dan khilafah Hadi Abbasi. [89] Imam Musa tidak turut serta dalam kebangkitan-kebangkitan ini dan tidak ada laporan yang menyebutkan sikap tegasnya dalam mendukung atau menolak kebangkitan-kebangkitan ini; bahkan Yahya bin Abdullah, setelah kebangkitan Thabaristan, dalam sebuah surat mengeluhkan mengapa Imam Musa tidak ikut dalam kebangkitan ini. [90]

Terkait dengan sikap Imam Musa terhadap kebangkitan Fakh di Madinah terdapat dua pandangan:

  • Sebagian meyakini Imam Musa setuju dengan kebangkitan ini. Mereka bersandar pada ucapan Imam Musa yang dialamatkan kepada Syahid Fakh, "Maka seriuslah dalam pekerjaanmu lantaran orang-orang ini menyatakan keimanannya secara terang-terangan namun menyembunyikan kesyirikan."[91]
  • Sebagian lainnya berkata bahwa kebangkitan ini tidak mendapatkan persetujuan Imam Musa al-Kazhim as. [92]

Bagaimanapun, tatkala Imam Musa melihat kepala Syahid Fakh, ia memujinya dengan membacakan ayat istirja' (inna lillahi wa inna ilaihi rajiun) dan memujinya.[93] Hadi Abbasi menuding Imam Musa yang memerintahkan kebangkitan Fakh dan atas dasar itu ia mengancam akan membunuh Imam Musa al-Kazhim as.[94]

Penjara

Imam Musa al-Kazhim as, sepanjang masa imamahnya berulang kali dipanggil dan dipenjara oleh khalifah Abbasiyah. Pertama kali pada masa khilafah Mahdi Abbasi. Mereka memindahkan Imam Musa dari Madinah ke Baghdad berdasarkan perintah khalifah. [95] Harun juga dua kali memenjarakan Imam Musa as. Masa penangkapan dan penjara awal tidak disebutkan dalam literatur namun yang kedua kalinya pada 20 Syawal 179 H/796 Imam Musa dipenjara di Madinah. [96] Pada 7 Dzulhijjah Imam Musa kembali ditawan di Basrah di kediaman Isa bin Ja'far.[97] berdasarkan laporan yang disampaikan oleh Syekh Mufid, pada tahun 180 H dalam sebuah surat, Harun meminta kepada Isa bin Ja'far untuk membunuh Imam namun ia menolaknya.[98]setelah beberapa lama, mereka memindahkan Imam Musa al-Kazhim as ke penjara Fadhl bin Rabi' di Baghdad. Imam Kazhim melewati tahun-tahun di penghujung usianya di penjara Fadhl bin Rabi' dan Sindy bin Syahik. [99] Dalam bacaan doa ziarah Imam Musa al-Kazhim terdapat penggalan kalimat yang menyebutkan salam kepada orang yang disiksa disumur-sumur gelap. الْمُعَذَّبِ فِي قَعْرِ السُّجُون. [100] Adapun terkait dengan penangkapan imam ketujuh Syiah oleh para khalifah Abbasiyah dan pemindahannya ke penjara terdapat banyak laporan dalam sumber-sumber sejarah. Berdasarkan beberapa laporan sejarah alasan penangkapannya adalah berdasarkan perintah Harun, kecemburuan Yahya Barmaki dan fitnah Ali bin Ismail bin Ja'far di hadapan Harun; [101]

Disebutkan bahwa Harun sangat terganggu atas hubungan umat Syiah dengan Imam Musa al-Kazhim dan juga ketakutan karena keyakinan orang-orang Syiah kepada imamahnya yang melemahkan pemerintahannya.[102] Demikian juga berdasarkan sebagian laporan sejarah alasan pemenjaraan Imam Kazhim as karena sebagian Syiah seperti Hisyam bin Hakam yang tidak bertaqiyyah meski Imam Kazhim telah memerintahkannya. [103] Laporan-laporan ini menyebutkan perdebatan-perdebatan Hisyam bin Hakam yang dinilai menjadi salah satu sebab penawanan Imam Kazhim as.[104]

Kesyahidan

Detik-detik terakhir usia Imam Musa al-Kazhim dihabiskan di penjara Sindy bin Syahik. Syekh Mufid berkata, "Atas perintah Harun al-Rasyid, Imam Musa al-Kazhim as diracun dan tiga hari setelah itu, beliau meninggal dunia. [105]

Berdasarkan pandangan masyhur bahwa kesyahidannya bertepatan dengan 25 Rajab 183 H/799 di Baghdad.[106]berdasarkan pandangan Syiekh Mufid, kesyahidan imam terjadi pada tanggal 24 rajab.[107] Terkait dengan waktu dan tempat kesyahidan Imam Musa al-Kazhim as terdapat beberapa pendapat lain, diantaranya adalah tahun 181 H dan 186 H.[108]

Setelah kesyahidan Imam Musa al-Kazhim as, jenazahnya diletakkan di atas jembatan kota Baghdad atas perintah Sindy dan mengumumkan bahwa Musa bin Ja'far meninggal secara wajar.[109] Sehubungan dengan bagaimana syahidnya Imam Musa as terdapat beberapa riwayat yang berbeda; kebanyakan sejarawan menilai bahwa Yahya bin Khalid dan Sindy bin Syahik yang meracunnya.[110] Dalam sebuah laporan sejarah juga disebutkan bahwa mereka mencekiknya dengan melilitnya dalam karpet.[111][catatan 2]

Terdapat dua alasan yang disebutkan mengapa jasad Imam Kazhim diletakkan di hadapan khalayak ramai: Pertama, untuk menetapkan bahwa ia meninggal secara wajar; kedua, untuk menggugurkan kepercayaan orang-orang bahwa ia adalah Imam Mahdi. [112]

Jasad Musa bin Ja'far dikuburkan di pekuburan keluarga Mansur Dawaniqi yang dikenal sebagai pekuburan Quraisy.[113] Kuburan ini kemudian lebih dikenal sebagai Haram Kazhimain. Disebutkan bahwa alasan bani Abbasiyah menguburkan Imam Musa al-Kazhim as di tempat ini adalah untuk mencegah jangan sampai orang-orang Syiah menjadikan kuburannya sebagai tempat perkumpulan dan pertemuan mereka.[114]

Makam

Makam Imam Kazhim as dan Imam Jawad as ada di wilayah Kazhimain di kota Baghdad dan dikenal dengan Haram Kazhimain dan sebagai tempat ziarah bagi kaum muslimin khususnya Muslim Syiah. berdasarkan riwayat dari Imam Ridha as bahwa pahala berziarah ke makam Imam Kazhim as sama dengan pahala berziarah ke makam Rasulullah saw, Imam Ali as dan Imam Husain as.[115]

Sahabat dan Deputi

Sehubungan dengan sahabat-sahabat Imam Kazhim as tidak ada data yang akurat yang tersimpan dan terdapat perbedaan pendapat terkait dengan jumlah mereka:

  • Syekh Thusi menyebutkan jumlah sahabat Imam Kazhim as adalah 272 orang.[116]
  • Burqi menyebutkan 160 orang.[117]
  • Qarasyi meragukan jumlah yang disebutkan Burqi dan ia sendiri menyebutkan nama-nama 321 sahabat Imam Musa al-Kazhim as. [118]

Ali bin Yaqthin, Hisyam bin Hakam, [Hisyam bin Salim al-Jawaliqi|Hisyam bin Salim]], Muhammad bin Abi Umair, Himad bin Isa, Yunus bin Abdurrahman, Shafwan bin Yahya, Shafwan bin Jamal adalah sederatan nama lain yang menjadi sahabat Imam Musa al-Kazhim as dimana sebagian dari mereka tergolong sebagai ashab al-ijma.[119] Pasca kesyahidan Imam Kazhim, banyak sahabat di antaranya Ali bin Abi Hamzah Bathaini, Ziyad bin Marwan dan Usman bin Isa tidak menerima imamah dan kepemimpinan Ali bin Musa al-Ridha as dan berhenti pada kepemimpinan Musa bin Ja'far as. [120] Kelompok ini, kemudian dikenal dengan nama Waqiffiyah. Akan tetapi sebagian di antara mereka pada akhirnya menerima kepemimpinan Ali bin Musa al-Ridha as.

Organisasi Perwakilan

Untuk menjalin hubungan dengan orang-orang Syiah dan menguatkan kemampuan finansial mereka, Imam Musa al-Kazhim menguatkan organisasi perwakilan Syiah yang sebelumnya telah berdiri di masa Imam Ja'far Shadiq as. Imam Musa mengirim sebagian sahabatnya sebagai wakil ke berbagai daerah. Sebagian literatur menyebutkan bahwa terdapat 13 orang wakil Imam Musa al-Kazhim as.[121] Berdasarkan sebagian literatur, Ali bin Yaqthin, Mufaddhal bin Umar di Kufah, Abdurrahman bin Hajjaj di Baghdad, Ziyad bin Marwan di Qandahar, Usman bin Isa di Mesir, Ibrahim bin Salam di Naisyabur dan Abdullah bin Jundab di Ahwaz adalah wakil-wakil yang diangkat oleh Imam Musa al-Kazhim as.[122] Terdapat banyak laporan dalam sebagian literatur yang menyebutkan bahwa orang-orang Syiah menyerahkan khumus kepada Imam Musa al-Kazhim atau kepada wakil-wakilnya. Syekh Thusi juga menilai bahwa dalil bergabungnya sebagian wakil Imam Musa ke firkah Waqiffiyah adalah karena ketertarikan pada harta yang terkumpul pada mereka.[123] Dalam laporan Ali bin Ismail bin Ja'far ke Harun yang berujung pada pemenjaraan Imam Musa al-Kazhim disebutkan bahwa, "Banyak uang dari Timur dan Barat yang dikirimkan kepadanya dan gudang harta baitulmal yang sangat banyak terdiri dari emas dan perak dapat ditemukan di dalamnya."[124]

Korespondensi adalah model lain hubungan orang-orang Syiah dengan Imam Musa al-Kazhim as. Korespondensi dalam masalah-masalah fikih, akidah, nasihat dan hal-hal yang terkait dengan perwakilan. Bahkan disebutkan bahwa Imam Musa dalam penjara menuliskan surat-surat untuk para sahabatnya [125] dan menjawab persoalan-persoalan yang mereka hadapi.[126]

Kedudukan di Hadapan Ahlusunah

Ahlusunnah menghormati imam ketujuh Syiah sebagai seorang alim. Sebagian dari pembesar Ahlusunnah memuji ilmu dan akhlak Imam Musa al-Kazhim as.[127] Mereka juga menyebutkan kesabaran, kedermawanan, banyaknya ibadah dan sifat-sifat mulia lainnya. [128] Demikian juga banyak dilaporkan dalam literatur-literatur Ahlusunnah sehubungan dengan ketabahan dan ibadah Imam Musa al-Kazhim as. [129]Sebagian dari ulama Ahlusunnah seperti Sam'ani yang dikenal sebagai ahli sejarah, muhaddits dan fakih mazhab syafi'i di abad ke-6 H berziarah ke kuburan Imam Musa al-Kazhim as[130] dan bertawassul kepadanya. Abu Ali Khalal seorang ulama Ahlusunnah menyebutkan bahwa bilamana ia menemui kesulitan maka ia akan pergi berziarah ke kuburan Musa bin Ja'far dan bertawassul kepadanya. Usai ziarah dan tawassul kesulitan-kesulitan yang dihadapi terpecahkan.[131] Dinukil juga dari Imam Syafi'i sebagai salah satu fukaha ahlusunnah menyebutkan bahwa kuburan Imam Musa al-Kazhim as sebagai obat penyembuh.[132]

Bibliografi

Banyak karya terkait dengan Imam Musa al-Kazhim yang ditulis dalam bentuk buku, disertasi dan artikel-artikel dalam berbagai bahasa yang jumlahnya sebanyak 770.[133] Buku-buku seperti Ketabnameh Imam Musa al-Kazhim as,[134] Ketabsyenasi Kazhimain[135] dan artikel terkait Imam Musa al-Kazhim as yang memperkenalkan karya-karya ini. [136] Kebanyakan tema yang diangkat dalam karya-karya ini seputar kehidupan dan kepribadian imam ketujuh Syiah ini. Demikian juga seminar dengan judul "Sirah dan Zaman Imam Musa al-Kazhim as" diselenggarakan pada Bahman 1392 HS di Iran. Dari seminar ini terdapat banyak artikel yang diterbitkan dengan judul "Kumpulan Makalah Seminar Sirah Imam Musa al-Kazhim as". [137] Musnad al-Imam al-Kazhim karya Azizullah Utharedi, Bab al-Hawaij al-Imam Musa al-Kazhim karya Husain Haji Hasan dan Hayat al-Imam Musa bin Ja'far karya Muhammad Baqir Syarif Qarasyi, Imam al-Kazhim 'inda Ahlu al-Sunnah karya Farid Hasun dan Syirah al-Imam Musa al-Kazhim karya Abdullah Ahmad Yusuf adalah contoh karya yang ditulis terkait dengan Imam Musa al-Kazhim as.

Didahului oleh:
Imam Ja'far al-Shadiq as
Imam ketujuh Syiah Imamiyah
148 H/765-183 H/799
Diteruskan oleh:
Imam Ali al-Ridha as

catatan

  1. أَنَا إِمَامُ الْجَمَاعَةِ فِي الظَّاهِرِ وَ الْغَلَبَةِ وَ الْقَهْرِ وَ مُوسَى بْنُ جَعْفَرٍ إِمَامُ حَقٍّ وَ الله يَا بُنَيَّ إِنَّهُ لَأَحَقُّ بِمَقَامِ رَسُولِ اللَّهِ ص مِنِّي وَ مِنَ الْخَلْقِ جَمِيعا Wahai anakku, saya adalah pemimpin masyarakat secara lahiriyah yang saya memperolehnya melalui jalan kekerasan, tetapi Musa bin Ja'far adalah pemimpin yang sesungguhnya dan hujjah Tuhan di muka bumi dan saya bersumpah bahwa dia lebih layak dari saya dan dari seluruh makhluk Tuhan sebagai pemimpin dan pengganti Rasulullah saw
  2. Hamdalah Mustaufi, tanpa dokumen dan bukti, menyandarkan hal ini kepada orang-orang Syiah dan berkata Musa bin Ja'far mati dalam keadaan diracun. (Mustaufi, Tarikh Barguzideh, hlm. 204. Sesuai nukilan dari Ja'fariyan, Hayat Siyasi va Fikri Emaman Syi'ah, hlm.405)

Catatan Kaki

  1. Thabari, Dalail al-Imamah, hlm. 303.
  2. Thabarsi, I'lam al-Wara, jld. 2, hlm. 6.
  3. Mas'udi, Itsbat al-Washiyyah, hlm. 356-357.
  4. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld. 13, hlm. 29.
  5. Syabrawi, al-Itthaf Bihubb al-Asyraf, hlm. 295
  6. Amin, Sirah Ma'shuman, jld. 6, hlm. 113.
  7. Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 215.
  8. Ibnu Atsir, al-Kamil, jld.6, hlm.164; Ibnu al-Jauzi, Tazkirah al-Khawash, hlm.312
  9. Tārikh al-Baghdadi, hlm, jld. 13, hlm. 29.
  10. Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 227 dan 236; Thabarsi, I'lam al-Wara, jld. 2, hlm. 6; Ibnu Syahr Asyub, al-Manaqib Ibnu Syahr Asyub, jld. 4, hlm. 323; Qummi, al-Anwar al-Bahiyyah, hlm. 177.
  11. Al-Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm.235.
  12. Kulaini, al-Kafi, jld. 3, hlm. 297; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 10, hlm. 247; Ibnu Syu'ba al-Harrani, Tuhaf al-'Uqul, hlm. 411-412.
  13. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm.227; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 10, hlm. 244-245
  14. Ibnu Syahr Asyub, al-Manaqib, jld. 4, hlm. 311-312.
  15. Ibnu Syahr Asyub, al-Manaqib, jld. 4, hlm. 312-313.
  16. Syusytari, Risalah fi Tawarikh al-Nabi wa al-Al, hlm. 75.
  17. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 244
  18. Sam'ani, al-Insan, jld. 12, hlm. 478.
  19. Ja'fariyan, Hayat Fikri va Siyasi Emaman Syi'ah, hlm.385.
  20. Thabarsi, I'lam al-Wara, jld.2, hlm.6
  21. Pisyvai, Sirah Pisyvayan, hlm.413
  22. Ja'fariyan, Hayat Fikri va Siyasi Emaman Syi'ah, hlm. 379-384
  23. Fadhil Miqdad, Irsyad al-Thalibin, hlm. 337.
  24. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 307-311.
  25. Mufid, al-Irsyad, jld. 2,h`lm. 216-222.
  26. Thabarsi, I'lam al-Wara, jld. 2, hlm. 7-16.
  27. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 48, hlm. 12-29.
  28. Majmu'a Maqalat Sirah wa Zamanihi Imam Kazhim, jld. 2, hlm. 79 & 81
  29. Thabarsi, I'lam al-Wara, jld.2, hlm.10
  30. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.220.
  31. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.91
  32. Pisyvai, Sirah Pisyvayan, hlm. 414
  33. Kassyi, Rijal, hlm. 282-283
  34. Nubakhti, Firaq al-Syi'ah, hlm.66-79.
  35. Thusi, al-Tahriri al-Thusi, hlm. 524
  36. Thusi, Ikhtiyar Ma'rifat al-Rijal, hlm.482
  37. Thusi, Ikhtiyar Ma'rifat al-Rijal, hlm.480
  38. Thusi, Ikhtiyar Ma'rifat al-Rijal, hlm. 480
  39. silakan merujuk ke Haji Zadeh, Jaryan-e Ghulu dar Ashr-e Emam Kazhim as, hlm.112
  40. Kasysyi, Rijal, hlm. 482
  41. Thabarsi, al-Ihtijaj, jld.2, hlm. 385-396; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.10, hlm.234-249
  42. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.141.
  43. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.148-149.
  44. Kulaini, al-Kafi, jld.2, hlm.38-39.
  45. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld. 2, hlm. 190, 278, 297 dan 307
  46. Kulaini, Al-Kafi, jld.1, hlm.149
  47. 'Athardi, Musnad al-Imam al-Kazhim, jld. 1, mukaddimah
  48. Muruzi, Musnad al-Imam Musa bin Ja'far as, hlm. 187-232.
  49. Syekh Thusi, Fehrest, hlm.264
  50. Najasyi, Rijal Najasyi, hlm.252
  51. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.13-20; Ahmadi Miyaniji, Makatib al-Aimmah, jld.4, hlm.483-501.
  52. Ahmadi Miyanaji, Makatib al-Aimmah, jld.4, hlm.358-359; Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm.238.
  53. Thusi, al-Fehrest, hlm.271.
  54. Ibnu Syahr Asyub, al-Manaqib, jld.4, hlm.312-313; Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.84-85; Kulaini, al-Kafi, jld.6, hlm.406.
  55. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.10, hlm.244-245.
  56. Ibnu Syahr Asyub, al-Manaqib, jld.4, hlm.311-312.
  57. Kulaini, al-Kafi, jld.3, hlm.297.
  58. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.1, hlm.278-294.
  59. Kulaini, Al-Kafi, jld.6, hlm.406; Hurr al-Amili, Wasail al-Syi'ah, jld.25, hlm.301
  60. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm. 84-85; Syabrawi, al-Ittihaf Bihubbi al-Asyraf, hlm.295; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.10, hlm.241-242.
  61. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.10, hlm.244-245; Ibnu Syahr Asyub, al-Manaqib, jld.4, hlm.311-312; Shaduq, Tauhid, hlm.270-275
  62. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld.13, hlm.29; Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, jld.2, hlm.414.
  63. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld.13, hlm.32-33.
  64. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.231-232.
  65. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.240.
  66. Thabarsi, Makarim al-Akhlak, hlm.91
  67. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.48, hlm.11
  68. Ibnu Atsir, al-Kamil, jld.6, hlm.164; Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawwash, hlm.312.
  69. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld.13, hlm.30-33; Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm.154-167.
  70. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.231-232.
  71. Ibnu 'Anbah, Umdah al-Thalib, hlm.177.
  72. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld.13, hlm.29.
  73. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.232.
  74. Ibnu Atsir, al-Kamil, jld.6, hlm.164; Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawwash, hlm.312.
  75. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.233; Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm. 160-162.
  76. QS. An'am : 124
  77. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld.13, hlm.30.
  78. Haji Hasan, Bab al-Hawaij, hlm.281; Hilli, Minhaj al-Karamah, hlm.59.
  79. Ja'fariyan, Hayat Siyasi wa Fikri Imaman Syi'ah, hlm.406.
  80. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.84-85; Syabrawi, al-Ittihaf Bihubbi al-Asyraf, hlm.295
  81. Thusi, Tahdzib al-Ahkam, jld.4, hlm.149
  82. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, hlm.472
  83. Kassyi, Rijal, hlm.441.
  84. Kassyi, Rijal, hlm.433
  85. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.48, hlm.134
  86. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.77
  87. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.227-228
  88. Allahuakbari, Rabetheh 'Alawiyyan va Abbasiyan, hlm. 22-23
  89. Ja'fariyan, Hayat Siyasi va Fikri Emaman-e Syi'ah, hlm. 384-385.
  90. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.367.
  91. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.366; Mamaqani, Tanqih al-Maqal, jld.22, hlm.285
  92. Silakan lihat, Ja'fariyan, Hayat Siyasi va Fikri Emaman Syi'ah, hlm.389
  93. Ishfahani, Maqatil al-Thalibin, hlm.380
  94. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.1, hlm.494-496
  95. Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawwash, hlm.313
  96. Kualini, al-Kafi, jld.1, hlm.476
  97. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha as, jld.1, hlm.86
  98. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.239
  99. Qummi, al-Anwar al-Bahiyyah, hlm.192-196
  100. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.99, hlm.17
  101. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.237-238; Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld.2, hlm.760; Ishfahani, Maqatil al-Thalibin, hlm.414-415
  102. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.101
  103. Shaduq, Kamal al-Din, jld.2, hlm.361-363; Ja'fariyan, Hayat Siyasi va Fikri Emaman-e Syi'ah, hlm.398-400
  104. Kassyi, Rijal, hlm.270-271; Mamaqani, Tanqih al-Maqal, jld.3, hlm.298
  105. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.242
  106. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.99 & 105
  107. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.215
  108. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm.516-517; Ja'fariyan, Hayat Siyasi va Fikri Emaman Syi'ah, hlm.404
  109. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.242-243
  110. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm.242; Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm.508-510
  111. Ishfahani, Maqatil al-Thalibin, hlm.417
  112. Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld.2, hlm.763
  113. Shaduq, 'Uyun Akhbar al-Ridha, jld.1, hlm.105
  114. Ishfahani, Maqatil al-Thalibin, hlm.417
  115. Kulaini, al-Kafi, jld.4, hlm.583
  116. Thusi, Rijal, hlm.329-347
  117. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm.231
  118. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm. 231
  119. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm.231-373
  120. Thusi, al-Ghaibah, hlm.64-65
  121. Jibari, Imam Kazhim va Sazeman Vikalat, hlm.16
  122. Jibari, Imam Kazhim va Sazeman Vikalat, hlm.423-599
  123. Thusi, al-Ghaibah, hlm.64-65
  124. Qarasyi, Hayat al-Imam Musa bin Ja'far, jld.2, hlm.455
  125. Kulaini, al-Kafi, jld.1, hlm.313
  126. Amin, A'yan al-Syi'ah, jld.1, hlm.100; Jabbari, Imam Kazhim va Sazeman Vikalat, hlm.16
  127. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, jld.15, hlm.273
  128. Ibnu 'Anbah, Umdah al-Thalib, hlm.177; Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld. 13, hlm. 29; Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawwash, hlm. 312; Ibnu Atsir, al-Kamil, jld. 6, hlm. 164; Syami, al-Durr al-Nazhim, hlm. 651-653.
  129. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld.13, hlm.29-33
  130. Sam'ani, al-Ansab, jld.12, hlm.479
  131. Baghdadi, Tarikh Baghdad, jld.1, hlm.133
  132. Ka'bi, al-Imam Musa bin al-Kazhim as, Sirah va Tarikh, hlm.216
  133. Abadzari, Ketabsyenasi Kazhimain, hlm.14
  134. Anshari Qummi, Ketabnameh Imam Kazhim
  135. Abadzari, Ketabsyenasi Kazhimain.
  136. Majmu'a Maqalat Hemayesy Zamanih va Sirah Imam Kazhim.
  137. Majmu'a Maqalat Hemayesy Sirah va Zamanih Imam Kazhim, jld.1, hlm.30-31

[1]

Daftar Pustaka

  • Abu al-Faraj al-Isfahani, Ali bin Husain. Maqātil ath-Thālibiyyīn. Beirut: Dar al-Ma`rifah.
  • Ahmadi Miyanji. Makātīb al-Aimmah. Qom: Dar al-Hadist, 1421 H.
  • Allahuakbari, Muhammad. Rawābeth-e 'Alawiyyān wa Abbāsiyān. Majalah Tarikh dar oyen-e pazuhesy. Qom: Muassasah Amuzesy-e Imam Khomeini, 1381 HS (2002).
  • Amili, Hasan bin Zainuddin. At-Tahrīr ath-Thawusi. Qom: ketabkhune (perpustakaan) Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1411 H.
  • Amin, as-Sayid Muhsin. A'yān asy-Syi'ah. Beirut: Dar at-Ta'aruf li al-Mathbu'at, 1403 H.
  • Amin, as-Sayid Muhsin. Sīre-e Ma'shumān. Diterjemahkan oleh Ali Hujjati Kermani. Tehran: Surusy, 1370 HS (1991).
  • Anshari Qummi, Nashiruddin. Ketabname-e Imam Kadzim as.Masyhad: Muktamar Internasioanal Imam Ridha alaihissalam, 1370 HS (1991).
  • Atharudi, Azizullah. Musnad al-Imam al-Kazhim Musa bin Ja’far. Masyhad: Astan-e Quds-e Razawi, 1409 H.
  • Baghdadi, Khatib. Tārikh Baghdād. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1417 H.
  • Fadhil Miqdad, Miqdad bin Abdullah. Irsyād at-Thālibīn ila Nahj al-Mustarsyidīn. Qom: Ketabkhune (perpustakaan) Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1405 H.
  • Haji Hasan, Husain. Bab al-Hawaij al-Imam Musa al-Kazhim. Beirut: Dar al-Murtadha, 1420 H.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Minhāj al-Karāmah fī Ma'rifah al-Imāmah. Masyhad: Muassasah Asyura. 1379 HS (2000).
  • Himyari, Abdullah bin Jakfar. Qurb al-Isnād. Tehran: Maktabah Nainawa al-Haditsah.
  • Hurr al-'Amili, Muhammad bin Hasan. Wasāil asy-Syi'ah. Qom: Alulbait li Ihya` at-Turats, 1409 H.
  • Ibnu Abi al-Hadid, Abdul Hamid bin Hibatullah. Syarh Nahj al-Balāghah. Qom: Ketabkhune (Perpustakaan) Ayatullah al-'Udzma Mar'asyi Najafi.
  • Ibnu al-Jauzi, Sibth. Tadzkirah al-Khawwāsh . Qom: Mansyurat Syarif ar-Radhi, 1418 H.
  • Ibnu 'Inabah Hasani. 'Umdah ath-Thālib fī Ansāb Āli Abī Thālib. Qom: Ansharian, 1417 H.
  • Ibnu Atsir. Al-Kāmil fī At-Tārikh. Beirut: Dar ash-Shadir, 1385 H.
  • Ibnu Syahr Asyub, Muhammad bin Ali. Al-Manāqib. Qom: Nasyr-e Allame, 1379 H.
  • Ibnu Syu'bah al-Harrani, al-Hasan bin Ali. Tuhaf al-'Uqul. Qom: Jami'ah al-Mudarrisin, 1404 H.
  • Irbili, Ali bin Isa. Kasyf al-Ghummah fī Ma'rifah al-Aimmah. Qom: Intisyarat-e Syarif ar-Radhi, 1421 H.
  • Jabbari, Muhammad Reza. Sazmān-e Wekālat. Qom: Muassasah Imam Khomeini, 1382 HS (2003).
  • Jabbari, Muhammad Reza. Imam Kādzim as wa Sazmān-e Wekālat. Majalah Tarikh Islam.no 53. Qom: Universitas Baqir al-Ulum, 1392 HS (2013).
  • Jakfariyan, Rasul. Hayāt-e Fikrī wa Siyāsī-e Imāmān-e Syiah. Qom: Anshariyan, 1381 HS (2002).
  • Ka'bi, Ali Musa. Rijāl. Muassasah ar-Risalah, 1430 H.
  • Kasysyi, Muhammad bin Umar. Rijāl. Masyhad: Muassasah Nasr-e Danesygah-e Masyhad, 1409 H.
  • Khui, Sayid Abu al-Qasim. Mu'jam Rijal al-Hadist wa Tafshil Thabaqāt ar-Ruwāt. Qom: Markaz-e Nasyr-e Atsar-e asy-Syiah, 1410 H.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfī. Riset Ghaffari. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1407 H.
  • Kumpulan Penulis, Anjuman-e Tarikh Pezuhan-e Hawze-e Ilmiyyah Qom. Majmu'e-ye Maqālāt Hamāyesy-e Sire wa zamāne-e Imam Kādzim. Qom: markaz-e Mudiriyyat Hawzehha-ye 'Ilmiyyah, 1392 HS (2013).
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār al-Jāmi'ah li Dhurar Akhbār al-Aimmah al-Athhār. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi, 1403 H.
  • Mamaqani, Abdullah. Tanqīh al-Maqāl fī `Ilm ar-Rijāl. Qom: Muassasah Alulbait li Ihya at-Turats.
  • Mas'udi, Ali bin al-Husain. Itsbāt al-Washiyyah. Vol. 2. Diterjemahkan oleh Muhammad Jawad Najafi. Tehran: Islamiyyah, 1362 HS (1983).
  • Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Irsyād fī Ma'rifati Hujajillah 'ala al-'Ibād. jil.2. Qom: Muktamar Syeikh Mufid, 1413 H.
  • Muqaddasi, Yadullah. Tārikh-e Welāyat wa Syahādat-e Ma'shumān. Qom: Daftar-e Tablighat-e Hawze-ye Ilmiyyah, 1391 HS (2012).
  • Muruzi, Musa bin Ibrahim. Musnad al-Imam Musa bin Ja'far. Majalah Elm-e Hadist. No. 15. Qom: Danesygah-e Quran wa Hadist, 1425 H.
  • Nashr Isfahani, Aba dzar. Ketabsyenasi Kazhimain. Tehran: Masy'ar, 1393 HS (2014).
  • Naubakhti, Hasan bin Musa. Firaq asy-Syi'ah. Beirut: Dar al-Adhwa', 1404 H.
  • Pisywayi, Mahdi. Sīre-e Pīsywāyān. Qom: Muassasah Imam Shadiq, 1372 HS (1993).
  • Qarasyi, Baqir Syarif. Hayāh al-Imām Musa bin Ja'far. Qom: Mehr Deldar, 1429 H.
  • Qummi, Abbas. Al-Anwār al-Bahiyyah. Qom: Jami'ah al-Mudarrisin, 1417 H.
  • Sam'ani, Abdulkarim bin Muhammad. Al-ansāb. 1382 H: Majles-e Dairah al-Ma'arif al-'Ustmaniyyah, 1404 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. 'Uyūn Akhbār ar-Ridhā. Tehran: Nasyr-e Jahan, 1378 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. At-Tauhid. Qom: Jami'ah al-Mudarrisin, 1398 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. Kamāl ad-Din wa Tamām an-Ni`mah. Tehran: Islamiyyah, 1395 H.
  • Syabrawi, Jamaluddin. Al-Ithāf bi Hubb al-Asyrāf. Qom: Dar al-Kitab, 1423 H.
  • Syami, Yusuf bin hatim. Ad-Durr an-Nadzīm. Qom: Jami'ah al-Mudarrisin, 1420 H.
  • Syusytari, Muhammad Taqi. Risālah fī Tawārikh an-Nabi wa al- Āl. Qom: Jami'ah al-Mudarrisin, 1423 H.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir. Dalāil al-Imāmah. Qom: Be'tsat, 1403 H.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Al-Ihtijāj 'ala Ahli al-Lujāj. Masyhad: Nasyr-e Murtadha, 1403 H.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan. I'lām al-warā bi-A'lām al-Hudā. Masyhad: Alulbait, 1417 H.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Makārim al-Akhlāk. Qom: Asy-Syarif ar-Radhi, 1412 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Fihrist. Qom: Maktabah al-Muhaqqiq ath-Thaba Thabai, 1420 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Ghaibah. Qom: Muassasah al-Ma'arif al-Islamiyyah, 1411 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Ikhtiyār Ma'rifah ar-Rijāl. Qom: Muassasah Alulbait li Ihya' at-Turats,.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Rijāl ath-Thusī. Qom: Jami'ah al-Mudarrisin, 1415 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Tahdzīb al-Ahkam. Qom: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1407 H.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Ya'qub. Tārikh al-Ya'qubī. Beirut: Dar ash-Shadir.
  1. Sisipkan teks catatan kaki di sini