Tawasul

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Tawassul)
Akidah Syiah
‌Ma'rifatullah
TauhidTauhid DzatiTauhid SifatTauhid Af'alTauhid Ibadah
FurukTawasulSyafa'atTabarruk
Keadilan Ilahi
Kebaikan dan keburukanBada'Amrun bainal Amrain
Kenabian
KeterjagaanPenutup KenabianNabi Muhammad SawIlmu GaibMukjizatTiada penyimpangan Alquran
Imamah
Keyakinan-keyakinanKemestian Pelantikan ImamIsmah Para ImamWilayah TakwiniIlmu Gaib Para ImamKegaiban Imam Zaman asGhaibah SughraGhaibah KubraPenantian Imam MahdiKemunculan Imam Mahdi asRaj'ah
Para Imam
  1. Imam Ali
  2. Imam Hasan
  3. Imam Husain
  4. Imam Sajjad
  5. Imam Baqir
  6. Imam al-Shadiq
  7. Imam al-Kazhim
  8. Imam al-Ridha
  9. Imam al-Jawad
  10. Imam al-Hadi
  11. Imam al-Askari
  12. Imam al-Mahdi
Ma'ad
Alam BarzahMa'ad JasmaniKebangkitanShirathTathayur al-KutubMizanAkhirat
Permasalahan Terkemuka
AhlulbaitEmpat Belas Manusia SuciTaqiyyahMarja' Taklid


Tawasul (bahasa Arab:التوسل) adalah menjadikan seseorang atau sesuatu sebagai perantara di sisi Allah swt, dengan niat untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan untuk meminta hajat atau keinginan. Tawasul merupakan kepercayaan bersama umat Islam. Beberapa dalil seperti ayat-ayat Al-Qur'an, sunah Nabi saw, riwayat-riwayat Maksumin as dam juga dalil akal digunakan sebagai rujukan untuk membuktikan legalitasnya secara syariat.

Disebutkan bahwa keyakinan terhadap tawasul merupakan hal yang umum di kalangan semua aliran Islam hingga abad ke-8 H. Pada abad ini, beberapa jenisnya, seperti tawasul kepada dzat Nabi saw dan hamba-hamba saleh, tawasul kepada mereka yang memiliki kedudukan tertentu disisi Tuhan, dan tawasul kepada orang yang sudah meninggal, dipertanyakan oleh sekelompok ulama Salafi, khususnya Ibnu Taimiyah, dan setelah beberapa abad kemudian, seiring dengan masifnya gerakan Wahabi, hal-hal tersebut ditentang oleh kaum Wahabi.

Dalil utama yang dikemukakan oleh para ulama Salafi dan Wahabi adalah tidak adanya riwayat tawasul seperti itu di kalangan sahabat Nabi saw. Pandangan Salafisme dan Wahabisme tentang tawasul mendapat kritik dari ulama Syiah dan Sunni. Mereka mengutip beberapa riwayat dan laporan sejarah yang menjadi dasar bahwa para sahabat Nabi saw pernah melakukan tawasul semacam ini.

Kedudukan Tawasul di Kalangan Umat Muslim

Umat Muslim Sepakat tentang Legalitas Syariat Tawasul

Tawasul adalah salah satu keyakinan umum umat Islam. [1] Ibnu Taimiyah menganggap keabsahan prinsipnya adalah hal yang umum bagi semua umat Islam. [2] Taqi al-Din al-Subaki (W. 756 H), seorang ulama Syafi Mesir, dalam buku Syifa al-Saqqam, membahas dan diskusi terkait masalah tersebut merupakan pembahasan tentang hal-hal inti dalam agama.[3] Ja'far Subhani, seorang teolog Syiah, juga menganggap prinsip penggunaan sarana dalam kehidupan manusia adalah hal yang wajar dan merupakan fitrah.[4]

Penentangan Wahabi terkait Legalitas Sebagian Jenis Tawasul

Dikatakan bahwa tawasul sudah umum di kalangan mzahab Islam, khususnya di kalangan Imamiyah dan Sufi sampai batas tertentu. Sejak abad ke-8 H, beberapa ulama Salafi, khususnya Ibnu Taimiyah, meragukan keabsahan beberapa jenis tawasul. Persoalan ini menimbulkan perselisihan antara kelompok Syiah dan Sunni dengan kelompok Salafi mengenai keabsahan tawasul dalam syariat Islam, dan ditulislah karya-karya yang menyangkal pandangan mereka. [5] Di antara karya-karya tersebut adalah kitab Syifa al-Saqam karya Taqi al-Din Subaki yang ditulis untuk membantah pendapat para ulama Salafi, khususnya tentang tawasul.[6]

Saat ini (abad ke-15 H), kaum Wahabi dengan mengikuti Salafiyah juga mempertanyakan keabsahan beberapa jenis tawasul. Oleh karena itu, pembahasan tawasul kembali menjadi perhatian para ulama Syiah dan Sunni, dan beberapa karya disusun untuk mengkritik sudut pandang Wahabi.[7]

Perhatian Khusus Syiah kepada Tawasul

Tawassul mempunyai tempat khusus di kalangan Syiah. Selain tawasul kepada Nabi saw dan para imam Maksum as, mereka juga bertawasul kepada keluarga para Imam as, seperti istri dan ibu mereka dan keturunan para Imam as.[8] Kaum Syiah ketika berziarah ke kuburan Para imam as dan keturunannya membaca doa ziarah yang mana mereka memohon kepada pemilik tempat suci tersebut dengan cara yang berbeda.[9]

Tawasul dilakukan baik secara individu maupun kelompok. Doa Tawasul merupakan salah satu doa yang di kalangan Syi'ah; Khususnya di Iran, dibacakan secara berkelompok setiap minggu, seringkali pada malam Rabu, dalam bentuk majelis rumah atau di masjid, tempat suci, dan husainiyah, mereka bertawasul kepada Empat Belas manusia suci as.[10] Terkadang juga, tawasul dilakukan dengan cara tertentu untuk meminta sebuah hajat tertentu, misalnya, di Iran, untuk meminta kesembuhan dari suatu penyakit atau untuk memenuhi kebutuhan finansial dan kebutuhan lainnya, mereka menggelar acara makan bersama dengan nama Imam Ali Zainal Abidin as.[11] yang umum di kalangan sebagian orang Iran.

Tentu saja, tawasul di kalangan Sunni juga pernah dilaporkan. Misalnya, Samani, sejarawan, ahli hadis dan ahli hukum mazhab Syafi'i abad ke-6 H, biasa mengunjungi makam Imam Kazhim as dan bertawasul kepadanya. [12] Abu Ali Khallal, salah satu ulama Sunni lainnya, mengatakan bahwa setiap kali ada masalah bagiku, Dulu aku akan berziarah ke makam Musa bin Ja'far as dan aku akan memohon padanya dan masalahku akan terselesaikan. [13] Dikutip juga dari Muhammad bin Idris Syafi'i, salah satu empat Imam fikih Sunni, bahwa beliau menggambarkan makam Musa bin Ja'far sebagai “obat penyembuh”.

Makna dan Dalil Legalitas Tawasul

Tawasul bermakna melakukan pekerjaan untuk mendekatkan diri kepada sesuatu atau seseorang. [1] Menurut istilah, kalimat ini berarti menjadikan pekerjaan-pekerjaan baik, orang-orang saleh dan orang-orang yang dekat dengan Allah swt sebagai perantara demi tercapainya keinginan dan terjawabnya doa. Dalam praktik tawasul, ketika orang berdoa dan beristigatsah, ia panjatkan kepada Allah swt sesuatu yang menjadi perantara diterimanya taubat dan doanya serta terpenuhi keinginannya. Orang atau objek tempat tawasul adalah setiap orang atau sesuatu yang terhormat di sisi Allah swt; seperti sifat dan nama-nama Allah swt atau Nabi Muhammad saw dan doanya atau para Auliya besar dan Malaikat. Keinginan yang diminta bisa perkara agama dan spiritual atau perkara duniawi dan material.

Wasilah atau perantara adalah sesuatu yang mana manusia melalui itu menjadi dekat dengan sesuatu yang lain. [2]

Menurut riwayat Syiah, wasilah atau perantara memiliki makna luas meliputi kewajiban, sunah syar'i,[3] doa-doa orang shaleh, orang-orang beriman, atau para auliya Allah swt. [perlu sumber].

Dalil-dalil Legalitas Tawasul

Berikut adalah beberapa dalil yang disebutkan untuk membuktikan legalitas dan keabsahab tawasul dalam syariat Islam:

  • Al-Qur'an: Allah swt dalam ayat wasilah memerintahkan orang-orang beriman yang jika ingin mendekatkan dirinya kepada Allah swt, maka carilah suatu perantara: یا أَیهَا الَّذِینَ آمَنُواْ اتَّقُواْ اللّهَ وَابْتَغُواْ إِلَیهِ الْوَسِیلَةَ وَجَاهِدُواْ فِی سَبِیلِهِ لَعَلَّکُمْ تُفْلِحُونَ; Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. [4] Juga dalam surah An-Nisa ayat 64, dianjurkan kepada para pendosa agar pergi mengunjungi Nabi saw dan memohon kepada beliau agar memintakan ampun untuknya sampai Allah swt mengampuninya. Pada saat saudara-saudara Yusuf menyesali perbuatannya, bukannya mereka langsung memohon ampunan kepada Allah swt, tetapi mereka menjadikan ayahnya sebagai perantara dan mereka memohon kepada ayahnya agar memohonkan ampunan di sisi Allah swt. [5]
  • Riwayat: Dalam sumber riwayat Syiah dan Ahlusunah [24], banyak hadis yang menunjukkan kepada legalitas syariat.[25]
  • Tradisi Muslim: Tradisi orang-orang Islam pada permulaan Islam dan para sahabat Nabi saw menunjukan bahwa tawasul kepada orang-orang saleh dan suci adalah perkara baik dan dapat diterima.[26] Contohnya, di dalam kitab Shahih al-Bukhari dalam bab al-Istisqa disebutkan ketika seorang sahabat bertawasul kepada Nabi saw untuk beristisqa atau meminta hujan.[27]
  • Dalil akal:Mendekatkan diri kepada Allah swt yang merupakan tujuan akhir dan keinginan manusia dalam beribadah. Sebab tanpa mendekatkan diri kepada Allah swt maka kebahagiaan dan keselamatan dunia dan akhirat tidak akan diberikan kepada manusia. Di sisi lain, mendekatkan diri kepada Allah swt tidak dapat dicapai tanpa sarana, oleh karena itu kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat bergantung pada sarana dan tawasul.[28]

Penentangan Wahabi terhadap Legalitas Tawasul dengan Nabi saw dan Hamba Saleh

Tawasul melalui Nabi saw dan hamba-hamba saleh adalah sebagai berikut: misalnya orang yang bertawasul berkata:"Ya Allah, melalui Nabi-Mu Muhammad saw, aku memohon kepada-Mu untuk memenuhi kebutuhanku".[29]

Menurut Isa bin Abdullah Himyari, ulama mazhab Maliki dari UEA, tawasul semacam ini ditentang oleh sekelompok ulama Salafi sejak abad ke-7 H, dan pada saat yang sama, ulama Islam lainnya menjawab secara tegas terhadap mereka yang mengingkari tawasul semacam ini. Namun belakangan perselisihan ini dimunculkan kembali oleh kaum Wahabi dan tawasul semacam ini dianggap tidak ada dalam syariat.[31] Misalnya, Muhammad Nasib Rafa'i (W. 1412 H), salah seorang Wahabi asal Suriah, mengatakan bahwa mendekatkan diri kepada Allah swt melalui para nabi wali Allah (makhluk) adalah tidak benar dan menganggap perbuatan tersebut sebagai penistaan ​​dan bid’ah.[32] Untuk membuktikan ucapannya, Rifa'i mengatakan bahwa tidak ada dalil dari Al-Qur’an dan sunah Nabi saw tentang legalitas dan kebolehannya.[33]

Kritik Ulama Islam terhadap Pandangan Wahabi

Taqi al-Din Subaki, seorang ulama agama Syafi'i pada abad ke-8 H, mengatakan bahwa ada hadis mutawatir dan banyak hadis yang menunjukkan keabsahan tawasul melalui Nabi saw dan hamba-hamba saleh.[34] Ali bin Abdullah Samhudi (W.911 H) seorang ulama mazhab Syafi'i Mesir, dalam kitab Wafa' al-Wafa' mengklaim bahwa keabsahan tawasul melalui Nabi saw dan orang-orang saleh adalah ijmak (konsensus) para ulama. [35] Mereka bersandar kepada beberapa riwayat yang ditemukan dalam teks riwayat Ahlusunah yang otentik.[36] Bukhari meriwayatkan bahwa Umar bin Khattab bertawasul melalui Abbas bin Abd al-Muthalib (paman Nabi saw) untuk meminta hujan.[37]

Banyak hadis yang diriwayatkan dari para imam Syiah mengenai keabsahan bertawasul melalui Nabi saw dan para wali Allah swt. Dalam beberapa riwayat tersebut, Ahlulbait as diperkenalkan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.[38] Misalnya, doa tawasul yang merupakan salah satu doa yang berisi permohonan hajat kepada Allah swt melalui perantara empat belas manusia suci.[39]

Ibnu Taimiyah Menganggap Tawasul dengan Orang yang Sudah Wafat adalah Bid'ah

Menurut Ibnu Taimiyah, bertawasul dengan para nabi dan wali Allah swt setelah kematian mereka adalah tindakan yang tidak sah dan bid’ah. Menurutnya, tidak ada seorangpun dari para sahabat dan ahli hukum terdahulu yang pernah melakukan perbuatan tersebut dan tidak ada bukti keabsahan dan kebolehannya. [40] Juga Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri aliran Wahabi[41] dengan mengikutinya para ulama Wahabi menganggap tawasul kepada para Nabi dan wali setelah kematian mereka, adalah perbuatan syirik dan bid'ah.[42]

Legalitas Tawasul dengan Orang Meninggal Menurut Ulama Islam

Pandangan ini juga dikritik oleh ulama Syiah dan Sunni. Muhammad bin Ali Syaukani (W. 1250 H), seorang ahli hukum mazhab Zaidi, mengutip ijmak para sahabat tentang keabsahan tawasul melalui Nabi saw baik selama hidupnya maupun setelah wafatnya, dan mengatakan bahwa tidak ada satupun sahabat Nabi saw yang mengingkari keabsahan tawasul semacam ini.[43] Selain itu, Ahmad bin Muhammad Qasthalani (W. 923 H), seorang sejarawan dan ahli hadis dari mazhab Syafi'i Mesir, mengatakan bahwa riwayat dan hadis terkait tawasul melalui Nabi saw setelah wafatnyanya tidak dapat dihitung.[44] Menurut Samhudi, tidak ada perbedaan dalam tawasul melalui Nabi saw apakah itu selama hidupnya atau setelah wafatnya. Ia menyebutkan beberapa hadis dari sumber hadis Ahlusunah yang dijadikan dasar bahwa para sahabat bertawasul dengan melalui Nabi saw setelah wafatnya untuk berbagaui macam urusan.[46]

Ja'far Subhani juga mengatakan: tradisi umat Islam didasarkan pada fakta bahwa mereka bertawasul melalui Nabi saw selama hidupnya, dan juga setelah wafatnya.[47] Muhammad bin Zahid Kautsari ulana mazhab Hanafi Turki mengatakan bahwa pengingkaran tawasul melalui para nabi dan orang-orang saleh setelah mereka meninggal, sama dengan mengimani kemusnahan jiwa-jiwa setelah mati, dan mengingkari hari kebangkitan dan akhirat.[48] Beliau menilai bahwa pengkhususan riwayat-riwayat dan hadis tentang kebolehan tawasul hanya pada zaman hidupnya merupakan sebuah distorsi pada riwayat dan merupakan ta'wil yang tidak didasari oleh dalil apapun.[49]

Klaim Syirik Tawasul melalui Kedudukan Nabi saw dan Para Wali

Taqi al-Din al-Subaki

Bertawasul melalui Nabi saw adalah amalan yang boleh dan baik, dan kebolehan serta kebaikannya diketahui oleh seluruh agama, itu adalah amalan para Nabi, Rasul, dan tradisi para pendahulu, ulama, dan ulama yang saleh. Dalam waktu dan agama apa pun, tidak ada seorang pun yang mengingkarinya hingga Ibnu Taimiyyah datang dan dengan kata-katanya, ia membuat syubhah di tengah orang-orang lemah dalam masalah ini [catatan 1] dan membuat sebuah bid'ah yang belum ada presedennya di era mana pun. [50]

Bertawasul melalui kedudukan Nabi saw dan para wali Allah swt seperti ketika mengatakan: Ya Allah, dengan perantara kedudukan dan kehormatan Nabi saw di sisi-Mu agar Engkau mengabulkan hajatku.[51] Muhammad Nasib Rifa'i, salah satu Wahabi, berpendapat bahwa tidak ada bukti keabsahan mendekatkan diri kepada Allah swt dengan perantara kedudukan dan kehormatan Nabi saw dan para wali, dan tidak ada satu pun sahabat Nabi saw yang melakukan hal seperti itu. [52] Abdul Aziz bin Baaz (W.: 1420 H), mufti Wahabi Arab Saudi, juga menganggap hal semacam ini sebagai bid’ah dan syirik bahkan mengeluarkan fatwa tentang keharamannya.[53]

Kritik Ulama terhadap Pandangan Wahabi

Pandangan ini dikritik oleh ulama Syiah dan Sunni. Menurut Samhudi, tawasul melalui kedudukan Nabi saw dan keberkahan keberadaannya di sisi Allah swt adalah tradisi para nabi dan para pendahulu yang saleh, baik itu sebelum penciptaan, atau semasa hidupnya, atau setelah kematiannya.[54] Syahab al-Din Alusi (W.: 1270 H), ahli tafsir mazhab Syafi'i, juga membolehkan bertawasul kepada kedudukan dan martabat Nabi saw dan orang-orang saleh yang mempunyai martabat di sisi Allah swt.[55]

Ja'far Subhani, salah satu ulama Syiah, mengatakan: tawasul melalui hak dan martabat para nabi dan hamba-hamba saleh tidak berarti bahwa mereka memiliki hak inheren atas Allah swt sehingga dapat dianggap syirik. Sebaliknya, semua hak adalah milik Allah swt, dan Dialah yang memberikan kedudukan dan martabat kepada beberapa hamba karena rahmat dan martabat-Nya dan untuk menghormati mereka.[56]

Dar al-Ifta, Mesir, menanggapi hukum tawasul melalui kedudukan dan martabat Nabi saw, dengan mengutip ayat 35 Surah Al-Maidah dan ayat 57 Surah Al-Isra dan beberapa hadis, mengeluarkan fatwa bahwa tidak ada perbedaan antara tawasul melalui kedudukan Nabi saw dengan tawasul melalui Nabi saw sendiri. Tawasul melalui kedudukan Nabi saw para nabi lainnya adalah salah satu hal sah yang terbukti keabsahannya dalam Al-Qur'an dan Sunnah Nabi saw.[57]

Konsensus Umat Islam tentang Keabsahan Tawasul dengan Al-Qur'an dan Nama-nama Allah swt

Tawasul dengan Nama-nama dan Sifat-sifat Allah swt

Tawasul dengan nama-nama dan sifat-sifat Allah swt misalnya orang yang bertawasul berkata: "Ya Allah, aku memohon dengan nama-Mu, Ya Allah, Ya Rahman, Ya Rahim… Bebeaskanlah kami dari api neraka". Dikatakan bahwa tidak ada perbedaan diantara kaum muslim tentang kebolehan tawasul seperti ini. Dalam ayat 80 Surah Al-A'raf, Allah swt memerintahkan agar dibacakan dengan Asmaul Husna. [60] Dikatakan juga bahwa banyak hadis Nabi saw dan para imam maksum as [61] yang menunjukkan keabsahan tawasul semacam ini. [62] Doa Jausyan Kabir terdiri dari 100 bait dan di dalamnya terdapat 1001 nama dan sifat-sifat Allah swt.[63] Juga dalam beberapa hadis dianjurkan untuk membaca doa ini di malam Qadar.[64]

Tawasul dengan Al-Qur'an

Tawasul dengan Al-Qur'an seperti misalnya, dengan mengatakan:"Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dengan sebenar-benarnya kitab-Mu yang diturunkan (Al-Quran) dan apa yang ada di dalamnya, serta di dalamnya nama besar-Mu dan nama-nama kebaikan-Mu... agar Engkau jadikan aku termasuk orang-orang yang terbebas dari api neraka".[65] Dalam riwayat dari sumber Ahlusunah dan Syiah Sunni, [66] menggunakan Al-Quran untuk mendekatkan diri kepada Tuhan atau meminta sesuatu kepada-Nya dianggap sah dan boleh. [67] Juga, dalam riwayat dari para Imam Maksum as, dianjurkan untuk meletakkan Al-Qur'an di kepala saat bertaawsul dengan Al-Quran di malam-malam lailatul qadr.[68]

Tawasul dengan amal saleh juga dianggap sebagai salah satu jenis tawasul. [69] Dalam sebuah riwayat dar Imam Ali as, amal-amal seperti beriman kepada Allah swt dan Nabi saw, berjihad di jalan Allah swt, menunaikan salat, membayar zakat, berpuasa, haji, menyambung silaturahmi, dan bersedekah adalah beberapa cara terbaik untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.[70] Meminta doa kepada seseorang yang dengan keberkahannya ada harapan doanya dikabulkan juga merupakan bagian dari tawasul yang mana para ulama dengan bersandar kepada beberapa ayat Al-Qur'an dan hadis membolehkannya.[71]

Catatan

  1. Ibnu Taimiyyah, dalam bukunya yang berjudul Qa'ida Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, menganggap tawasul ada tiga macam:
    1. Tawasul berarti mendekatkan diri kepada Allah swt melalui ketaatan kepada-Nya dan Nabi-Nya. Ia menganggap tawasul semacam ini sebagai prinsip agama dan meyakini bahwa tidak ada umat Islam yang mengingkarinya;
    2. Tawasul melalui doa Nabi saw semasa hidupnya dan syafaatnya di hari kiamat. Ia meyakini bahwa tawasul seperti ini pernah dilakukan oleh para Sahabat;
    3. Tawasul melalui dzat Nabi saw dan meminta sesuatu darinya. Ibnu Taimiyyah menganggap tawasul jenis ini haram dan meyakini tidak ada satupun sahabat yang melakukannya. (Ibn Taimiyah, Qa'idah Jalilah fi al-Tawassul wa al-Wasilah, hal. 87-88)

Catatan Kaki

  1. Ibn Manzur, Lisan al-Arab, juz 11, hal. 724, kata Wasala.
  2. Jauhari, al-Shihah, hal. 560.
  3. Al-Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.30, hlm. 43
  4. QS. Al-Maidah: 35
  5. QS. Yusuf: 97.

Daftar Pustaka