Salat Qashar
Artikel ini merupakan artikel deskriptif umum tentang masalah fikih. |
Salat Wajib: Salat Jumat • Salat Id • Salat Ayat • Salat Mayit Ibadah-ibadah lainnya Hukum-hukum bersuci Hukum-hukum Perdata Hukum-hukum Keluarga Hukum-hukum Yudisial Hukum-hukum Ekonomi Hukum-hukum Lain Pranala Terkait |
Salat qashar (bahasa Arab: صلاة القصر) adalah istilah fikih yang mengisyaratkan kepada hukum syariat salat seorang musafir dimana ia (jika memenuhi syarat) wajib mendirikan salat-salat empat rakaatnya menjadi dua rakaat. Mengqashar salat bagi seorang musafir dalam mazhab Imamiyah hukumnya wajib dan dalam mazhab Islam lainnya hukumnya diperbolehkan (mubah) saja.
Salat Qashar dalam Alquran dan Sunnah
Istilah salat qashar atau salat musafir digunakan sebagai lawan dari salat tamam (sempurna).[1] Berdasarkan hukum salat qashar, seorang musafir (bila memenuhi syarat) wajib menunaikan salat-salat empat rakaatnya menjadi dua rakaat.[2] Dalil hukum ini, ayat 101 Surah An-Nisa:
Dimuat dalam sumber-sumber Sunni[3] dan Syiah[4] bahwa Nabi saw dalam perjalanan, mendirikan salat-salat empat rakaatnya menjadi dua rakaat. Pembahasan ini dikhususkan dalam sumber-sumber hadis dan fikih, pada bab-bab tentang pengqasharan salat.
Hukum-hukum Shalat Qashar
- Musafir harus mendirikan salat-salat 4 rakaatnya menjadi 2 rakaat. Oleh karena itu, hukum salat musafir tidak mencakup salat subuh dan salat maghrib.
- Jika seorang musafir telah melaksanakan salatnya dengan cara qashar sebelum sampai ke tempat tinggalnya, setelah dia sampai ke tempat tinggalnya maka dia tidak perlu lagi melaksanakan salatnya secara sempurna, namun jika dia belum melaksanakan salatnya, maka dia harus melaksanakannya secara sempurna (tamam).
- Seorang musafir untuk mendirikan salat qashar harus sudah sampai di had al-Tarakhus.
- Seorang musafir yang berniat menetap 10 hari di satu tempat, jika melebihi 10 hari, misalnya menetap 13 atau 15 hari, selama ia tidak melakukan perjalanan lagi dan tidak pergi dari sana, maka ia wajib menunaikan salatnya secara sempurna dan tidak harus berniat menetap 10 hari lagi.
- Apabila ada salat tertinggalkan, maka harus diqadha, artinya apabila salat yang tertinggalkan itu berupa salat qashar, maka qadhanya harus dilaksanakan secara qashar, dan apabila salat itu berupa salat sempurna maka qadhanya harus dilaksanakan secara sempurna pula.
Salat Guru dan Mahasiswa
Salat dan puasa mahasiswa dan orang-orang yang jarak antara tempat kerja dan tempat tinggalnya lebih dari jarak perjalanan syar'i (masafah syar'iyah), memiliki hukum-hukum khusus. Informasi lebih lengkapnya harus merujuk ke situs Porseman.[5]
Musafir dalam Fikih Islam
Tidaklah demikian bahwa setiap orang yang melakukan perjalanan (safar) atau pada setiap waktu dalam perjalanannya, salatnya harus diqashar. Akan tetapi dalam fikih, supaya hukum salat qashar belaku kepada seseorang maka harus terpenuhi beberapa syarat, di antaranya adalah:
- Perjalanannya mencapai jarak yang telah ditentukan secara syariat, yaitu jarak yang ditempuh (apakah itu hanya rute keberangkatan atau total pulang pergi), setidaknya 8 farsakh syar'i.
- Dari awal perjalanan, dia berniat untuk meniti perjalanannya sampai 8 farsakh, dan selama belum mencapai jarak itu, dia tidak berpaling dari niatnya.
- Dia tidak akan melewati tanah kelahirannya sebelum mencapai 8 farsakh atau tinggal di suatu tempat 10 hari atau lebih.
- Tidak bepergian untuk pekerjaan haram.
- Bukan termasuk dari orang-orang yang tinggal di gurun atau padang pasir yang berputar-putar di sekelilingnya sebagai tempat tinggalnya (nomaden).
- Safar atau mengadakan perjalanan bukan merupakan tugas dan profesinya (orang tersebut selalu dalam perjalanan)
- Sampai pada Haddu Tarakkhush.[6]
Filosofi Pengqasharan Salat Musafir
Hukum-hukum Islam mengikuti maslahat dan mafsadah yang dalam beberapa kasus telah dijelaskan dan dalam beberapa kasus lainnya belum dijelaskan. Dalam riwayat-riwayat Islam, pengqasharan salat (dan begitu juga dengan berbuka puasa) dalam perjalanan, dianggap sebagai hadiah dan despensasi dari sisi Allah swt dan juga dikarenakan perubahan keadaan, rasa lelah dan kesibukan manusia dalam perjalanan.[7]
Dalam sebuah riwayat dari Imam al-Shadiq as yang dikutip dari Nabi saw:
- Tuhan telah memuliakanku dan umatku dengan sebuah anugerah yang belum pernah diberikan kepada umat yang lain yaitu dibolehkannya berbuka puasa dan mengqashar salat dalam perjalanan; dengan demikian, siapapun yang tidak melakukannya, berarti dia telah menolak karunia Tuhan. [8]
Sudut Pandang Fikih Mazhab-mazhab Islam
Di antara mazhab-mazhab Islam, Imamiyah dan Hanafiyah menganggap pengqasharan salat dalam perjalanan, hukumnya adalah wajib, namun Malikiyah menganggapnya sebagai hal yang sunnah muakkad (mustahab), sedangkan Syafi'iyah dan Hanbaliyah menganggapnya sebagai hal yang diperbolehkan (mubah) saja yaitu musafir berhak atau berikhtiyar untuk mendirikannya secara tamam atau qashar. [9]
Mereka yang meyakini bahwa tidak ada kewajiban mengqashar salat dalam perjalanan bersandar pada ungkapan ayat «فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ»; "maka tidak mengapa yaitu tidak ada dosa", namun orang-orang yang meyakininya sebagai suatu hal yang diwajibkan menganggap bahwa ayat tersebut ingin menghilangkan gambaran ilusi bahwa salat qashar adalah salat yang tidak sempurna dan karena itu dilarang. [10] Dalam ayat-ayat Alquran yang lainnya, ibarat semacam itu juga digunakan untuk makna wajib. [11]
Dari sisi yang lain juga, sebagian orang dengan berdasarkan pada lahiriah ayat meyakini bahwa hukum mengqashar dikhususkan untuk satu perjalanan di mana di sana ada rasa takut dan ketidakamanan, namun hadis nabawi menafsirkan ayat tersebut dalam dua keadaan baik itu ada rasa takut atau tidak dan Nabi saw dalam kedua kasus tersebut, melaksanakan salatnya dengan qashar. Oleh karena itu, tanda atau batasan yang ada dalam ayat tersebut, mengacu pada sebagian besar kasus saja. [12]
Catatan Kaki
- ↑ Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 416
- ↑ Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld. 3, hlm. 414
- ↑ Bukhari, Shahih Bukhari, jld.2, hlm. 42
- ↑ Haidar, al-Imam al-Shadiq wa al-Madzahib al-Arbaah, jld. 3, hlm. 345
- ↑ [1]
- ↑ Yazdi, al-Urwah al-Wutsqa, jld.3, hlm.414-470.
- ↑ Al-Hurr al-Amili, Wasail al-Syiah, jld.8, hlm.520, hadis 11337.
- ↑ Al-Hurr al-Amili, Wasail al-Syiah, jld.8, hlm.520, hadis 11337.
- ↑ Subhani, al-Qashr fi al-Safar, hlm.5-6.
- ↑ Subhani, al-Qashr fi al-Safar, hlm.13 dinukil dari al-Kasysyaf, jld.1, hlm.294, cetakan Dar al-Makrifah.
- ↑ QS. Al-Baqarah, 158.
- ↑ Subhani, al-Qashr fi al-Safar, hlm.12.
Daftar Pustaka
- Al-Hurr al-Amili. Wasail al-Syiah. Qom: Muassasah Alul Bait as Li Ihya al-Turats, 1410 H.
- Haidar, Asad. Al-Imam al-Shadiq wa al-Madzahib al-Arba'ah. Beirut: Dar al-Taaruf, Cet. V, 1422 H.
- Subhani, Ja'far. Al-Qashr fi al-Safar. Qom: Muassasah al-Imam al-Shadiq, 1422 H.
- Thabathabai Yazdi, Sayid Muhammad Kazhim. Al-Urwah al-Wutsqa. Qom: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1420 H.