Pemerintahan Imam Ali as
Pemerintahan Imam Ali as merujuk pada suatu pemerintahan di awal Islam di mana Imam Ali as, sebagai khalifah keempat umat Islam, memimpin masyarakat Islam pada masa itu. Pemerintahan ini dimulai pada tahun 35 H dan berakhir pada tahun 40 H, serta dianggap sebagai salah satu periode terpenting dalam kepemimpinan Islam yang berbasis keadilan dan prinsip-prinsip agama.
Menurut pandangan Syiah, pengangkatan Imam Ali as sebagai pemimpin pada tahun 35 H merupakan pelaksanaan yang tertunda dari perjanjian umat di Ghadir Khum, di mana Rasulullah saw menetapkan Ali as sebagai penggantinya dan Imam bagi umat Islam. Pemerintahan Ali bin Abi Thalib terbentuk setelah ketidakpuasan terhadap pemerintahan khalifah ketiga dan terbunuhnya Utsman, serta desakan mayoritas umat Islam.
Berdasarkan laporan sejarah, Imam Ali melihat kondisi masyarakat sangat rusak, sehingga awalnya ia menolak menerima khilafah. Hal ini karena pada masa tiga khalifah sebelumnya, telah muncul kesenjangan sosial yang dalam, musuh-musuh Rasulullah saw berkuasa dalam pemerintahan Islam, tradisi Nabi telah berubah, dan bentuk baru kejahiliyahan muncul.
Menurut para sejarawan, perjuangan Imam Ali melawan korupsi yang terjadi memicu masalah selama masa pemerintahannya. Ia lebih menekankan pelaksanaan keadilan, menghidupkan kembali tradisi Nabi saw, memberantas korupsi dari masyarakat, dan menciptakan kesetaraan di antara semua umat Islam. Hal ini menyebabkan ia menghadapi tiga perang saudara besar, yaitu Jamal, Shiffin, dan Nahrawan, yang menyita banyak waktu dan energi pemerintahannya.
Pemerintahan Imam Ali berakhir setelah empat tahun sembilan bulan dengan kesyahidannya. Para peneliti menyatakan bahwa meskipun ia tidak dapat sepenuhnya merealisasikan seluruh rencananya, ia berhasil mencegah diskriminasi rasial dan ekonomi dengan membentuk pemerintahan yang meritokratis dan adil, serta mewariskan model pemerintahan yang menjadi acuan bagi pemerintahan Islam selanjutnya.
Kedudukan Pemerintahan Imam Ali dalam Pemikiran Islam dan Syiah
Pemerintahan Imam Ali as dimulai setelah terbunuhnya Utsman bin Affan, khalifah ketiga, pada tahun 35 H.[1] Hasan Zein, peneliti sejarah asal Lebanon, menyatakan bahwa Imam Ali berhasil mewariskan gambaran yang benar tentang nilai-nilai, prinsip, dan hukum pemerintahan Islam bagi generasi berikutnya.[2] Rasul Ja'farian, peneliti Iran dalam bidang sejarah Islam, menulis bahwa berbeda dengan tiga khalifah sebelumnya, Ali as membentuk pemerintahan Islam yang murni tanpa penyimpangan dari prinsip-prinsip Islam dan hanya berdasar pada ketentuan-ketentuan Islam.[3]
Menurutnya, Imam Ali as, dalam menjalankan pemerintahannya, lebih menekankan penerapan keadilan, menghidupkan tradisi Rasulullah, memperbaiki kerusakan masyarakat, dan menciptakan kesetaraan antara Arab dan non-Arab.[4] Namun, Imam Ali tidak dapat sepenuhnya merealisasikan program-program reformasinya;[5] tetapi menurut Musthafa Delsyad Tehrani, penulis dan peneliti Nahj al-Balaghah, ia meraih banyak keberhasilan sehingga mewariskan model pemerintahan yang menjadi acuan bagi penguasa setelahnya.[6]
Ibnu Abi al-Hadid, salah seorang penafsir Sunni Nahj al-Balaghah, berpendapat bahwa Amirul Mukminin dalam kebijakan yang benar dan pengelolaan pemerintahan tidak dapat dibandingkan dengan penguasa mana pun.[7] Menurutnya, sebagian teolog Sunni menganggap kebijakan Imam Ali dan pemerintahannya yang adil dalam kondisi sulit itu seperti mukjizat.[8] Dengan kesyahidan Imam Ali, berakhirlah periode yang oleh kalangan Sunni disebut sebagai Khilafah Rasyidah—suatu era yang dalam pemikiran politik Ahlus Sunnah dianggap ideal sebelum munculnya penyimpangan-penyimpangan.[9]
Pembentukan
Setelah Pembunuhan Utsman, penduduk Madinah (dari kalangan Anshar dan Muhajirin) berduyun-duyun mendatangi Ali untuk membaiatnya sebagai khalifah.[10] Menurut Thaha Husain, penulis Sunni asal Mesir, masyarakat kebingungan dalam urusan khilafah; penduduk Kufah menginginkan Zubair sebagai khalifah, penduduk Bashrah menghendaki Thalhah, sementara penduduk Mesir menginginkan Ali as, tetapi ketiganya menolak menerima khilafah.[11] Meskipun kekhalifahan Utsman digulingkan oleh para penentangnya, mereka tetap berpegang pada prinsip khilafah dan menyadari bahwa kekhalifahan khalifah baru hanya sah dengan persetujuan penduduk Madinah.[12] Oleh karena itu, mereka mengumpulkan para sahabat Nabi dan mendesak agar memilih seseorang sebagai khalifah, dan mereka memilih Ali untuk posisi itu.[13] Para penentang Utsman hanya mengawasi proses baiat.[14] Hisyam Ju'aith, sejarawan asal Tunisia, juga menyatakan bahwa pengangkatan Imam Ali sebagai khalifah merupakan hasil pilihan Anshar dan Muhajirin, bukan hasil pilihan para penentang Utsman.[15]
Menurut laporan sejarah, baiat masyarakat kepada Imam Ali terjadi setelah 18 Dzulhijjah tahun 35 H (hari 18[16] atau 19[17] atau 23 Dzulhijjah[18]). Dalam pandangan Syiah, pemerintahan Imam Ali as pada tahun 35 H merupakan pelaksanaan yang tertunda dari baiat yang—berdasarkan beberapa peristiwa, terutama peristiwa Ghadir—menetapkan Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti Nabi dan Imam bagi umat Islam.[19] Dalam baiat masyarakat kepada Imam, selain Muhajirin dan Anshar, hadir pula masyarakat dari Irak dan Mesir, sehingga legitimasi pemilihan Imam semakin kuat.[20] Menurut laporan Diyarbakri, sejarawan Sunni abad ke-10, semua peserta Perang Badar yang masih hidup saat itu membaiat Ali.[21] Menurut Ja'far Subhani, dalam sejarah kekhalifahan Islam, tidak ada khalifah yang dipilih dengan dukungan mayoritas mutlak seperti Ali as.[22]
Latar Belakang
Delsyad Tehrani, peneliti Nahj al-Balaghah, meyakini bahwa sebelum Imam Ali menjadi khalifah, muncul sebuah "Jahiliyah baru" yang terselubung dalam nama Islam, membawa perubahan sosial, budaya, dan ekonomi yang signifikan.[23] Pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab, sistem kelas sosial terbentuk, dan keadilan sosial diabaikan.[24] Hal ini terjadi karena khalifah kedua memberikan hak-hak istimewa berdasarkan rekam jejak keislaman dan kesukuan tertentu.[25] Dia lebih mengutamakan Quraisy atas non-Quraisy, Muhajirin atas Anshar, dan orang Arab atas non-Arab.[26]
Menurut Ibrahim Baidhun, seorang ahli sejarah Islam asal Lebanon, pada masa Umar bin Khattab, pemerintahan Islam mencapai puncak kekuasaannya. Namun, ketika Utsman berkuasa, sistem pemerintahan bergeser dari khilafah menjadi kerajaan.[27]
Pada masa Utsman, kesenjangan ekonomi antara orang kaya dan miskin semakin melebar. Harta rampasan perang, jizyah, dan pajak hanya dinikmati oleh segelintir orang.[28] Ekspansi Islam membawa kekayaan melimpah, tetapi karena diskriminasi, muncul kelas elit yang memanfaatkan agama untuk kepentingan pribadi.[29]
Menurut Mamun Gharib, penulis Mesir, ketidakpuasan terhadap kebijakan Utsman terus berkembang hingga mencapai titik di mana tidak ada lagi kekuatan yang mampu menghentikannya.[30] Utsman secara sistematis menempatkan Bani Umayyah dalam posisi-posisi strategis, sehingga beberapa sejarawan menyebut masa itu sebagai "pemerintahan yang di-Umayyah-kan".[31] Di Suriah, muncul pemerintahan berbasis kesukuan yang mengubah agama sedemikian rupa sehingga memicu kembalinya fanatisme jahiliyah.[32] Fanatisme ini mencapai puncaknya ketika Imam Ali naik menjadi khalifah.[33]
Akibat ketidakpuasan terhadap pemerintahan Utsman, sekelompok orang dari Mesir, Bashrah, Kufah, dan Madinah mengepung rumahnya.[34] Sebagian dari mereka menyerbu dan membunuh Utsman.[35] Setelah pembunuhan Utsman, perhatian masyarakat beralih kepada Ali as, dan mereka mendesaknya untuk menerima tampuk kepemimpinan.[36]
Penolakan Terhadap Pemerintahan
Berdasarkan berbagai laporan sejarah, Imam Ali awalnya menolak permintaan berulang masyarakat untuk menerima kekhalifahan.[37] Ia meminta masyarakat untuk mendatangi Thalhah dan Zubair, serta mendesak keduanya untuk menerima tampuk kepemimpinan.[38] Ketika Imam Ali menawarkan kekhalifahan kepada Thalhah dan Zubair, keduanya justru menyatakan bahwa Ali lebih layak menjadi khalifah.[39]
Menurut Ibnu A'tsam al-Kufi, sejarawan abad ke-3 dan ke-4 Hijriah, ketika Thalhah dan Zubair menyerahkan kekhalifahan kepada Ali as, Imam Ali mengungkapkan kekhawatirannya bahwa di masa depan, keduanya mungkin akan menimbulkan masalah bagi pemerintahannya. Namun, mereka berjanji tidak akan melakukan perlawanan terhadap kepemimpinan Ali.[40]
Abdul Husain Zarrinkub, penulis buku Bamdad-e Islam, meyakini bahwa Ali as secara serius menolak kekhalifahan, dan ucapannya bukan sekadar retorika.[41] Ja'farian berpendapat bahwa alasan penolakan Imam Ali adalah karena ia melihat masyarakat saat itu terlalu rusak untuk dipimpin dengan prinsip-prinsipnya.[42]
Syarat Penerimaan Pemerintahan
Baiat masyarakat kepada Ali as dan penerimaannya terhadap kekuasaan dilakukan dengan syarat bahwa pemerintahannya harus berdasarkan Al-Qur'an dan Sunnah Nabi.[43] Ketika diajukan syarat agar pemerintahannya mengikuti tradisi Syaikhain (Abu Bakar dan Umar), Ali as menolak dengan tegas. Alasannya, tradisi Abu Bakar dan Umar tidak bernilai jika bertentangan dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.[44]
Selain itu, Ali as mensyaratkan bahwa:
- Baiat kepadanya tidak boleh dilakukan secara rahasia, melainkan harus terang-terangan di masjid.
- Baiat harus dilakukan dengan kerelaan para pembaiat.[45]
Al-Askafi, seorang fakih dan teolog Syiah abad ke-4 Hijriah, menulis bahwa dukungan penuh masyarakat merupakan syarat lain bagi Ali as untuk menerima kekhalifahan.[46]
Tidak Ada Paksaan dalam Baiat
Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan Imam Ali dan baiat mereka kepadanya dilakukan tanpa paksaan sama sekali.[47] Menurut Thaha Husain, penulis dan intelektual Mesir, Ali as tidak mengizinkan seorang pun dipaksa atau ditekan untuk berbaiat.[48] Ketika beberapa orang menolak berbaiat, Imam Ali membiarkan mereka bebas dan menjamin keamanan mereka.[49]
Malik al-Asytar ingin memastikan semua orang berbaiat untuk mencegah perlawanan terhadap pemerintahan di masa depan, tetapi Ali as menentang usulannya.[50] Namun, menurut Wilferd Madelung, seorang peneliti Syiah asal Jerman, kelompok yang memberontak terhadap Utsman—bertentangan dengan keinginan Imam Ali—mendorong orang-orang untuk berbaiat kepadanya.[51] Ja'far Subhani menolak pandangan ini dan menyebutnya sebagai hasil dari kebohongan sejarah yang disebarkan oleh pihak-pihak tertentu.[52]
Orang-Orang yang Tidak Membaiat
Menurut Ibnu Jarir ath-Thabari, sejarawan Sunni abad ke-3 dan ke-4 H, semua Anshar kecuali beberapa orang berbaiat kepada Ali as.[53] Ibrahim Harakat, sejarawan asal Maroko, menyatakan bahwa mereka yang menolak berbaiat adalah orang-orang yang pernah memegang jabatan atau mendapat hak istimewa di masa Utsman.[54]
Di antara mereka yang menolak berbaiat adalah: Hasan bin Tsabit, Ka'ab bin Malik ,Maslamah bin Mukhallad, Muhammad bin Maslamah. Beberapa tokoh lain yang termasuk kelompok Utsmaniyyah (pendukung Utsman).[55] Beberapa tokoh non-Anshar yang juga menolak berbaiat adalah: Abdullah bin Umar, Zaid bin Tsabit, Usamah bin Zaid. Mereka semua adalah orang-orang dekat Utsman.[56]
Wilayah Kekuasaan
Ketika Imam Ali menjadi khalifah, seluruh wilayah kekuasaan Utsman—kecuali Syam—berada di bawah pemerintahannya.[58] Wilayah Islam saat itu meliputi: Utara: Konstantinopel dan Laut Kaspia, Barat Laut: Romawi, Timur Laut: Nisyapur dan Marw, Selatan: Yaman, Barat: Mesir, Timur: Sijistan, Tenggara: Oman
Daerah-daerah penting pemerintahan Imam Ali as, meliputi: Hijaz, Irak, Iran, Syam, Mesir, Yaman, Oman, Jazirah (wilayah Mesopotamia).[59]
Meskipun Syam adalah bagian dari wilayah Islam, Imam Ali tidak dapat menguasainya, dan daerah itu tetap berada di bawah kendali Muawiyah bin Abu Sufyan.[60]
Beberapa wilayah di Iran kurang penting karena jauh dari pusat pemerintahan.[61] Namun, Bashrah sangat strategis karena mengendalikan beberapa wilayah: Ahwaz, Fars, Kerman, Sistan, Bahrain dan Oman. Pajak dari daerah-daerah ini dikirim ke Bashrah.[62] Begitu juga dengan Mesir merupakan daerah yang sangat penting karena:
- Sungai Nil yang subur
- Populasi besar
- Peradaban maju
- Pusat ilmu dan budaya
Imam Ali segera mengambil langkah untuk mengatur pemerintahan di sana.[63]
Karena perbedaan geografis, demografis, dan budaya di wilayah-wilayah tersebut, penting untuk menunjuk gubernur yang berpengalaman, cerdik, dan memahami kondisi lokal.[64]
Ibu Kota Pemerintahan
Setelah mengalahkan kelompok Jamal dalam Perang Jamal, Imam Ali as pergi ke Kufah dan menjadikannya sebagai pusat pemerintahan Islam.[65] Ia meyakini bahwa Perang Jamal terjadi karena konspirasi Muawiyah, sehingga ia memindahkan ibu kota mendekati Syam untuk memberantas sumber fitnah utama, yaitu Muawiyah.[66]
Di sisi lain, penduduk Hijaz sulit menerima kepemimpinan Imam Ali karena peran aktifnya dalam peperangan di masa Nabi saw, di mana banyak tokoh penting Hijaz terbunuh olehnya.[67] Inilah mengapa sebagian penduduk Hijaz menolak berbaiat, sementara yang lain melakukannya dengan terpaksa.[68]
Sayid Ja'far Murtadha Amili, ahli sejarah Islam dan Syiah, berpendapat bahwa pemindahan ibu kota memiliki alasan strategis. Beberapa keunggulan Kufah meliputi: 1. Kekuatan ekonomi Irak yang lebih unggul dibanding Madinah dan Hijaz. 2. Ketaatan dan kecintaan penduduk Kufah kepada Imam Ali. 3. Kemudahan mobilisasi pasukan dan logistik militer. 4. Akses mudah ke wilayah-wilayah lain.[69]
Ketika Imam Ali menjadi khalifah, Kufah terletak di pusat dunia Islam, dengan jarak yang relatif seimbang ke Iran, Hijaz, Syam, dan Mesir.[70] Karena itu, Ali as menyebutnya "Qubbat al-Islam" (Kubah/Pusat Islam).[71]
Setelah Kufah menjadi ibu kota, Madinah kehilangan status politiknya dan berubah menjadi pusat pendidikan Al-Qur'an dan Sunnah, bukan lagi pusat kekhalifahan.[72]
Penghentian Ekspansi Islam
Artikel terkait untuk kategori ini adalah Futuhat (Ekspansi Islam).
Menurut Murtadha Muthahhari, cendekiawan Syiah abad ke-14, Imam Ali as tidak fokus pada ekspansi wilayah Islam, melainkan berusaha memperbaiki kondisi internal masyarakat Muslim yang rusak.[73] Ia merasa Islam telah berkembang secara lahiriah tetapi mengalami kerusakan internal.[74]
Sebaliknya, beberapa penulis berpendapat bahwa Imam Ali sibuk menghadapi perang saudara melawan para pembangkang, sehingga ekspansi Islam terhenti pada masanya.[75]
Struktur Pemerintahan
Pemerintahan Islam pada masa kekhalifahan Imam Ali as bersifat terpusat secara politik tetapi desentralisasi secara administratif dengan otonomi daerah.[76] Meski strukturnya mirip dengan sistem dua khalifah pertama, kebijakan dan praktik pemerintahannya berbeda secara fundamental, menjadikan pemerintahan Alawi sebagai model ideal bagi Syiah dan banyak pemikir Muslim.[77]
Di masa Utsman, semua pejabat pemerintahan berasal dari Bani Umayyah, termasuk mantan musuh Nabi, yang menyebabkan krisis di era Imam Ali.[78] Karena itu, Ali as berupaya mereformasi sistem politik-administratif negara.[79] Menurut Hisham Ju'ait, Ali bertujuan memulihkan kesatuan umat Islam, sehingga ia mengangkat figur seperti Malik al-Asytar—yang tidak terlibat pembunuhan Utsman—sebagai kebijakan yang didukung penduduk Madinah.[80]
Aparat Pemerintahan
Artikel terkait untuk kategori ini adalah Daftar Aparat Pemerintahan Imam Ali as.
Ali bin Abi Thalib memberikan kewenangan penuh kepada sebagian pejabatnya untuk efisiensi pemerintahan.[81] Aparat pemerintahannya terbagi dua: 1. Pejabat wilayah strategis (seperti Utsman bin Hanif, Malik al-Asytar, Muhammad bin Abi Bakar, dan Qutham bin Abbas). 2. Pejabat wilayah kecil.
Mereka memiliki kewenangan luas meliputi:
- Urusan militer
- Penunjukkan hakim
- Pelaksanaan hukum
- Pengelolaan haji
- Perang melawan musuh
- Pengumpulan pajak dan rampasan perang.[82]
Untuk mencegah korupsi, Ali as melakukan pengawasan ketat terhadap gubernurnya.[83] Pejabat diberi penghargaan atau sanksi berdasarkan kinerja, dengan jaminan kehidupan yang layak.[84] Namun, menurut Abdul Husain Zarrinkub, para gubernur baru ini tidak sepenuhnya diterima di Kufah maupun Syam.[85]
Sistem Meritokrasi
Meritokrasi (sistem yg memberikan kesempatan kpd seseorang untuk memimpin berdasarkan kemampuan atau prestasi, bukan kekayaan, senioritas, dsb) menjadi pilar utama kebijakan politik Imam Ali.[86] Ia memilih pejabat berdasarkan kompetensi, kecakapan, dan integritas, bukan ikatan kesukuan.[87]
Mughirah bin Syu'bah menyarankan agar Muawiyah dan mantan pejabat Utsman dipertahankan sementara untuk stabilitas,[88] didukung oleh Ibnu Abbas yang menganggapnya sebagai nasihat baik.[89] Namun, Ali as menolak tegas karena prinsip keadilan dan meritokrasi.[90]
Ia juga memberhentikan semua pejabat Utsman yang diangkat berdasarkan nepotisme.[91] Penolakannya terhadap tuntutan Thalhah dan Zubair untuk memimpin Bashrah dan Kufah[92] memicu kemarahan mereka, yang akhirnya bergabung dengan Aisyah dan memicu Perang Jamal.[93]
Pasukan Keamanan (Syurthah al-Khamis)
Artikel terkait untuk kategori ini adalah Syurthah al-Khamis.
Ali bin Abi Thalib membentuk satuan bersenjata bernama Syurthah al-Khamis untuk menjaga keamanan masyarakat dan memantau situasi.[94] Dalam pemerintahan Islam, pasukan ini memegang peran vital—pemimpinnya adalah jabatan penting yang bertanggung jawab atas keamanan wilayah setelah penguasa setempat.[95]
Tugas utama Syurthah al-Khamis:
- Penangkapan pelaku kejahatan
- Pencegahan kriminal
- Penjagaan ketertiban umum
- Perlindungan harta dan hak masyarakat.[96]
Struktur Peradilan=
Dengan memperluas wilayah kekhalifahan, Ali as menyerahkan tugas peradilan kepada beberapa orang. Di antara mereka adalah Abu al-Aswad al-Du'ali di Basra, Shurayh bin Harits al-Kindi di Kufah, dan Rifa'ah bin Syaddad di Ahwaz.[97] Menurut Baqir Sharif al-Qurashi, seorang peneliti sejarah Irak, ketika Imam Ali as berkuasa, meskipun beliau terkadang sendiri yang memutuskan perkara, beliau menyerahkan jabatan peradilan di Kufah kepada Shurayh al-Qadhi dan memerintahkannya untuk menyampaikan keputusan-keputusan yang telah diambil kepada beliau agar dapat mengawasi kebenaran putusan tersebut.[98] Dalam pemerintahan Imam Ali, lembaga peradilan bersifat independen dan memperlakukan semua anggota masyarakat secara setara.[99] Seorang hakim bahkan dapat memanggil khalifah umat Islam ke pengadilan dan menjatuhkan putusan terhadapnya berdasarkan aturan lembaga peradilan;[100] misalnya, ketika Ali as menemukan hartanya di tangan seorang Nasrani, karena tidak memiliki bukti, hakim memutuskan demi kepentingan orang Nasrani tersebut.[101]
Menurut Qurashi, Imam Ali adalah khalifah pertama yang membangun penjara.[102] Meskipun penjara telah ada sebelum Islam,[103] pada masa Nabi Muhammad saw dan Syaikhain, tidak ada penjara resmi. Untuk menahan orang, di Madinah digunakan sebuah rumah di samping Masjid Nabawi, sementara di Makkah digunakan rumah Shafwan bin Umayyah.[104] Dalam pemerintahan Ali, terdapat program khusus bagi narapidana: pembelajaran Al-Qur'an serta membaca dan menulis merupakan program wajib bagi mereka.[105] Narapidana diizinkan menghadiri salat Jumat dan kemudian dikembalikan ke penjara setelah salat.[106] Menurut Qadhi Abu Yusuf, seorang fakih mazhab Hanafi, Imam Ali adalah orang pertama yang menyediakan makanan dan pakaian bagi narapidana, dan metode ini kemudian diikuti oleh khalifah setelahnya. Jika narapidana memiliki harta sendiri, Ali as menggunakan hartanya; jika tidak, biayanya ditanggung oleh baitulmal.[107]
Gaya Pemerintahan
Keadilan
Menegakkan keadilan dianggap sebagai tujuan utama pemerintahan Imam Ali.[108] Menurut Aziz Sayyid Jasim, penulis Irak, langkah praktis pertama Imam Ali dalam pemerintahannya adalah menciptakan kesetaraan ekonomi.[109] Khalifah sebelumnya membagi baitulmal berdasarkan rekam jejak individu dalam peperangan awal Islam atau lamanya keimanan dan hal-hal serupa; namun Ali as menyatakan tradisi ini bertentangan dengan perintah Al-Qur'an dan menentangnya.[110] Selain itu, ketika Ali bin Abi Thalib mengambil alih kekhalifahan, beliau menyatakan semua tanah yang diberikan Utsman bin Affan kepada berbagai pihak sebagai milik Allah dan memerintahkan agar harta tersebut dikembalikan ke baitulmal.[111]
Ali as karena ketelitiannya dalam menegakkan keadilan dan memberantas korupsi yang telah terjadi selama bertahun-tahun, menimbulkan permusuhan terhadap dirinya.[112] Kebijakannya ini tidak hanya membuat Thalhah dan Zubair marah, tetapi juga saudaranya Aqil bin Abi Thalib dan sepupunya Abdullah bin Abbas.[113] Dalam pembagian baitulmal, beliau tidak membedakan antara orang-orang kaya Quraisy dan budak-budak non-Arab, dan keadilan ini membuat para pembesar Arab marah.[114]
Pembagian Baitulmal
Pemerintahan Imam Ali dinilai sangat ketat dalam pengumpulan dan pengelolaan baitulmal.[115] Ali as bersikap keras terhadap baitulmal; bahkan ketika putrinya meminjam kalung mutiara dari Ali bin Abi Rafi', penjaga baitulmal, beliau menegur baik putrinya maupun Ali bin Abi Rafi'.[116] Imam Ali tidak mempertimbangkan rekam jejak keislaman dalam pembagian baitulmal, menganggap keimanan hanya sebagai urusan spiritual, dan menyamakan hak semua Muslim dalam menerima hak-hak mereka.[117] Ketika beberapa orang kaya memprotes mengapa beliau tidak mengikuti tradisi Umar bin Khattab yang mempertimbangkan keimanan dan hubungan kekerabatan dalam pembagian baitulmal, Ali as menyatakan bahwa tradisi Nabi lebih utama daripada tradisi Umar dan menolak permintaan mereka yang berlebihan.[118]
Hubungan dengan Rakyat
Menurut Hasan Zain, peneliti sejarah Lebanon, pada masa pemerintahan Imam Ali, rakyat dapat dengan mudah dan cepat berkomunikasi dengan otoritas tertinggi pemerintah dan berpartisipasi aktif dalam urusan pemerintahan.[119] Pemerintahan Ali as menciptakan ruang yang memungkinkan kritik dan protes dari rakyat.[120] Menurut beberapa peneliti, pada masa itu, rakyat setiap kota mengawasi para pemimpin mereka dan dapat mengadukan mereka kepada Ali as.[121] Berdasarkan Khutbah 216 Nahj al-Balaghah, Imam Ali meminta rakyat berbicara secara terbuka kepadanya dan menghindari sikap berhati-hati yang berlebihan ketika berbicara dengan penguasa.[122]
Berdasarkan Surat 51 Nahj al-Balaghah, Ali as menasihati petugas pemungut kharaj untuk bersikap adil, bijaksana, dan sabar terhadap rakyat.[123] Selain itu, ketika Imam Ali as mengangkat Malik al-Asytar sebagai gubernur Mesir, beliau memerintahkannya untuk bersikap ramah dan baik kepada semua orang (baik Muslim maupun non-Muslim) serta memperlakukan mereka secara manusiawi.[124]
Kebebasan bagi Oposisi
Menurut Mustafa Delshad Tehrani, kebebasan dalam pemerintahan Imam Ali sangat jelas terlihat; sejak awal pemerintahannya, baiat rakyat dilakukan secara sukarela, dan beliau menjamin kebebasan para penentangnya serta melarang tindakan represif terhadap mereka.[125] Ali as menganggap Muslim dan non-Muslim berada di bawah perlindungan pemerintah, dan dalam pemerintahannya, tidak ada seorang pun yang kehilangan hak asasi dan sosial karena keyakinannya.[126] Menurut Sayyid Ja'far Syahidi, seorang peneliti sejarah Syiah abad ke-14, Ali bin Abi Thalib bahkan bersikap sabar terhadap kelompok seperti Khawarij, membiarkan mereka bebas, dan hanya melawan mereka ketika mereka mulai menyerang rakyat.[127]
Ketegasan dalam Menegakkan Agama dan Hukum
Ali bin Abi Thalib sangat serius dan tidak toleran dalam urusan agama, penegakan hukum yang tepat, dan tata kelola pemerintahan yang benar.[128] Beliau tidak memandang bulu dalam menegakkan hukum, baik terhadap kalangan elit, kerabat, maupun orang terdekatnya.[129] Komitmen Ali as terhadap hukum bahkan membuat sebagian orang terdekatnya merasa tidak nyaman.[130] Imam as bersikap keras bahkan terhadap sahabat terdekatnya; misalnya, ketika budaknya, Qanbar, dalam menjalankan hukuman cambuk, secara tidak sengaja memberikan tiga cambukan lebih, Ali as memerintahkan agar Qanbar menerima tiga cambukan sebagai gantinya.[131] Selain itu, berdasarkan Surat Imam Ali as kepada Utsman bin Hunayf, gubernurnya di Basra, Imam Ali as menegur Utsman bin Hunayf karena menghadiri pesta mewah yang diadakan tanpa mengundang orang miskin, dan mengajaknya untuk mengikuti jalan zuhud dan takwa.[132] Menurut Delshad Tehrani, dalam surat-surat Nahj al-Balaghah, dapat dilihat dengan jelas betapa sensitifnya Imam Ali terhadap pelanggaran hukum oleh para pejabat pemerintahannya.[133]
Perhatian terhadap Ilmu dan Pembangunan
Menurut riwayat dari Imam Baqir as, orang-orang berkumpul di sekitar Imam Ali saat matahari terbit, dan beliau mengajarkan fikih dan Al-Qur'an kepada mereka.[134] Dalam suratnya kepada Qutsam bin Abbas, gubernurnya di Mekkah, beliau menyarankan agar mengajarkan baca tulis kepada orang buta huruf dan bergaul dengan para ulama.[135] Dalam Suratnya kepada Malik al-Asytar, beliau juga memerintahkan agar tidak menghancurkan tradisi-tradisi yang baik.[136]
Imam Ali as dalam sebuah surat kepada salah satu gubernurnya memerintahkan agar memperhatikan pembangunan kota-kota.[137] Ali as melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki dan mengembangkan lahan, membuat saluran air dan sungai, serta memerintahkan para pejabatnya untuk mencegah kerusakan tanah dan sumur-sumur.[138] Atas perintahnya, petani dikenakan pajak yang lebih ringan untuk mendorong produksi dan pembangunan.[139] Dalam beberapa riwayat dari Ali as, terdapat anjuran untuk bercocok tanam[140] dan berdagang.[141]
Tantangan Pemerintahan Imam Ali as
Templat:Kronologi Pemerintahan Imam Ali as
Menurut Hasan Zain, peneliti sejarah Lebanon, Imam Ali as mengambil alih pemerintahan ketika korupsi dan penyimpangan dari hukum dan prinsip agama telah mengancam sistem politik, ekonomi, dan sosial Islam.[142] Kekuasaan Islam saat itu dilihat dengan penuh ketamakan.[143] Mustafa Delshad Tehrani juga berpendapat bahwa sebelum Ali as, tradisi-tradisi jahiliyah telah dihidupkan kembali, dan kebangkitan tradisi ini menjadi penyebab masalah selama masa kekhalifahan Imam Ali.[144] Masalah-masalah seperti ambisi kekuasaan para pemimpin, kebodohan masyarakat, tuntutan sosial yang bertentangan, materialisme, kesukuan, runtuhnya meritokrasi, elitisme politik dan ekonomi, serta fanatisme dan pandangan sempit sebagian pengikutnya menjadi tantangan besar yang dihadapinya.[145]
Rasul Jafarian juga melaporkan bahwa situasi politik masyarakat Islam setelah pembunuhan Utsman sangat kacau, mengisyaratkan masa depan pemerintahan yang suram.[146] Ia menyebutkan tantangan utama pemerintahan Ali as sebagai berikut:
- Diskriminasi Ekonomi: Pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, rekam jejak keislaman dan suku seseorang memengaruhi pembagian baitulmal. Pada masa Utsman bin Affan, diskriminasi ini semakin parah. Kebijakan Imam Ali yang membagi baitulmal secara merata memicu protes dari kalangan yang sebelumnya diuntungkan, sehingga mereka bergabung dengan Muawiyah bin Abu Sufyan.[147]
- Diskriminasi Rasial: Dengan ekspansi Islam, berbagai ras bercampur dengan bangsa Arab; namun, mereka tidak mendapatkan hak yang setara. Ali bin Abi Thalib menghapus diskriminasi ini, tetapi sebagian orang Arab tidak menerimanya, sehingga pemerintahannya menghadapi perlawanan.[148]
- Penyimpangan dan Keraguan Agama: Para khalifah sebelumnya menetapkan tradisi yang tidak sesuai dengan Sunnah Nabi, tetapi Imam Ali menolak untuk menyimpang dari Sunnah Nabi.[149]
- Korupsi Sosial: Pada masa Utsman, korupsi sosial dan moral, terutama di kalangan elit Sahabat dan anak-anak mereka, merajalela. Menurut Imam Ali,[150] yang tersisa dari Islam hanyalah nama dan simbol belaka.[151]
Peperangan dan Pemberontakan
Hampir seluruh masa pemerintahan Imam Ali dihabiskan dalam peperangan:[152]
- Perang Jamal: Perang pertama pada masa pemerintahan Imam Ali as,[153] terjadi karena pengkhianatan Thalhah, Zubair, dan Aisyah.[154] Perang ini berakhir dengan kemenangan Imam Ali.[155]
- Perang Shiffin: Melawan Muawiyah. Imam Ali ingin mencopot Muawiyah dari kekuasaan di Syam,[156] tetapi Muawiyah menolak, sehingga pecahlah Perang Shiffin.[157] Ketika pasukan Muawiyah hampir kalah, mereka mengangkat Al-Qur'an di ujung tombak dan mengajak berunding (hakamiah).[158] Tipu daya ini berhasil, dan perang berakhir tanpa hasil yang jelas.[159]
- Pemberontakan Khawarij: Kelompok yang awalnya mendesak Imam Ali menerima hakamiah, setelah gagal, memintanya bertobat dan membatalkan perjanjian.[160] Ketika ditolak, mereka melakukan banyak kekejaman.[161] Imam Ali kemudian memerangi mereka di Nahrawan[162] dan menghancurkan mereka.[163]
Wilferd Madelung, orientalis Jerman, berpendapat bahwa setelah Ali menjadi khalifah, umat Islam terpecah menjadi tiga kelompok, memicu perang saudara:
- Pendukung Ali,
- Bani Umayyah dan pendukung Utsman,
- Mayoritas Quraisy yang ingin mengembalikan kekhalifahan seperti masa Syaikhain.[164]
Menurut Rasul Jafarian, kebijakan reformasi Imam Ali adalah akar perlawanan dan peperangan, karena kebijakannya mengancam kepentingan banyak pihak.[165]
Hasan Zain dan Rasul Jafarian menegaskan bahwa Ali bin Abi Thalib tidak pernah memulai peperangan.[166] Ia hanya berperang ketika terpaksa dan selalu mengajak berdamang terlebih dahulu.[167] Meskipun perang memakan banyak waktu, aspek politik, sosial, dan ekonomi pemerintahannya tetap berjalan.[168] Ibrahim Baidhun berpendapat bahwa karena peperangan yang terus-menerus, pemerintahan Imam Ali mirip dengan masa Nabi saw dan merupakan kelanjutan dari pemerintahan kenabian.[169]
Akhir Pemerintahan
Pemerintahan Imam Ali as berlangsung selama empat tahun sembilan bulan dan berakhir dengan syahidnya beliau.[170] Pasukan pemerintahan mulai kelelahan akibat peperangan, terjadi perpecahan di antara mereka, dan dalam beberapa kasus, mereka menolak perintah Ali as.[171] Muawiyah bin Abu Sufyan menjalin hubungan rahasia dengan sejumlah komandan militer pemerintahan (seperti Asy'ats bin Qais) dan dengan memberikan hadiah serta janji jabatan tinggi, ia berhasil memanfaatkan mereka untuk menyebarkan isu dan menakut-nakuti pasukan Ali.[172]
Setelah syahidnya Ali as, para sahabatnya berbaiat kepada Imam Hasan as sebagai khalifah.[173] Enam bulan setelah pemerintahan Ali as dan pengunduran diri Imam Hasan as, peperangan di antara umat Islam berakhir, dan dengan berkuasanya Muawiyah bin Abu Sufyan, kesatuan umat Islam secara lahiriah kembali terwujud.[174] Namun, menurut Hisham Ju'aith, sejarawan Tunisia, kesatuan ini tidak berakar di hati umat Islam, dan gerakan-gerakan bawah tanah melawan pemerintahan saat itu tetap aktif.[175]
Sukses atau Gagal?
Meskipun Imam Ali tidak berhasil mencapai semua tujuannya selama berkuasa, beliau berhasil menampilkan model pemerintahan kenabian kepada masyarakat, khususnya bagi mereka yang tidak pernah melihat Nabi saw.[176] Walaupun tidak semua rencana reformasinya terlaksana sepenuhnya,[177] menurut analisis Mustafa Delshad Tehrani, pakar Nahj al-Balaghah, beliau meraih keberhasilan signifikan dan menjadi teladan bagi pemerintahan selanjutnya.
Rasul Jafarian, sejarawan Syiah, menyebutkan alasan kegagalan lahiriah Imam Ali:
- Akar korupsi dan fitnah yang sudah mengakar di masyarakat.
- Situasi kacau suku-suku Irak.
- Menguatnya posisi kepala suku.
- Penolakan menggunakan kezaliman untuk memperkuat pemerintahan.[178]
Ahmad Amin, pemikir Mesir, berpendapat bahwa Ali bin Abi Thalib "gagal" karena keteguhannya pada tradisi dan teks-teks agama. Sementara Umar bin Khattab dan Muawiyah terkadang bertindak berdasarkan pertimbangan pribadi—meski bertentangan dengan nash—dan justru berhasil.[179]
Sebaliknya, Allamah Thabathaba'i berargumen bahwa para munafik yang dulunya melawan Nabi saw, justru berintegrasi dengan kekuasaan di masa tiga khalifah pertama dan berhenti melawan pemerintahan Islam.[180]
Mengapa Imam Ali as Tidak Fleksibel dalam Memperkuat Pemerintahannya
Ja'far Subhani, seorang sejarawan, berpendapat bahwa bahkan jika Imam Ali as bersikap fleksibel terhadap korupsi Muawiyah, masalah pemerintahannya tidak hanya tidak akan teratasi, tetapi justru akan bertambah parah.[181] Menurutnya, jika Muawiyah dipertahankan sebagai penguasa Syam, Ali as akan kehilangan mayoritas pendukungnya sejak hari-hari pertama. Hal ini karena para pendukungnya telah memberontak akibat ketidakadilan yang dialami di masa pemerintahan Utsman, dan mempertahankan pejabat-pejabat Utsman akan membuat mereka kecewa.[182]
Di sisi lain, mempertahankan Muawiyah secara sementara juga tidak akan mengurangi penentangannya terhadap kekhalifahan Ali as, karena Muawiyah adalah seorang yang cerdik dan politisi ulung, dan ia akan menyadari hal ini.[183] Subhani menganggap pembunuhan Utsman sebagai peluang terbesar bagi Muawiyah—jika tidak dimanfaatkannya sejak awal, ia akan kehilangan peluang itu selamanya.[184]
Beberapa sejarawan berpendapat bahwa pemerintahan Ali as goyah karena ia tidak menggunakan tipu daya atau politik dalam pemerintahannya.[185] Wilferd Madelung, seorang peneliti Syiah asal Jerman, juga menggambarkan Imam Ali sebagai seorang yang sederhana dan tidak visioner dalam politik, karena ia tidak mengindahkan nasihat Ibnu Abbas yang menyarankannya untuk tidak memecat Muawiyah guna menghindari masalah.[186]
Sebaliknya, Hasan Zain, sejarawan Lebanon, berpendapat bahwa dengan meneliti sejarah, dapat disimpulkan bahwa semua tindakan Imam Ali untuk menjauhkan korupsi dari pemerintahannya—meskipun berujung pada kehancuran pemerintahannya sendiri—adalah benar.[187] Menurutnya, dengan tidak mengabaikan Muawiyah dan para pejabat Utsman, serta dengan menolak memberikan jabatan tertentu kepada Thalhah dan Zubair, Imam Ali berhasil membangun pemerintahan yang berdasarkan prinsip dan nilai-nilai Islam, menjadi contoh nyata pemerintahan Islam yang dapat dijadikan teladan dan diikuti di masa-masa berikutnya.[188]
Monograf
Berbagai buku telah ditulis tentang pemerintahan Imam Ali dan analisis peristiwa-peristiwanya, di antaranya:
1. Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm:
- Ditulis dalam bahasa Arab oleh Hasan Zain, peneliti sejarah asal Lebanon.[189]
- Buku ini menganalisis kondisi dan latar belakang Imam Ali dalam mencapai kekhalifahan serta metode pemerintahannya.[190]
- Diterjemahkan ke bahasa Persia oleh Amir Salmani Rahimi dengan judul Hukumat-e Imam Ali as.[191]
2. Dawlat-e Aftab (Negara Matahari):
- Ditulis oleh Mustafa Delshad Tehrani, pakar Nahj al-Balaghah asal Iran.[192]
- Buku ini menganalisis pemikiran politik dan metode pemerintahan Ali bin Abi Thalib.[193]
- Terdiri dari enam bagian yang membahas pemerintahan Imam Ali dengan fokus pada Nahj al-Balaghah.[194]
3. Ali bin Abi Thalib as Sulthat al-Haqq (Kekuasaan Kebenaran):
- Ditulis oleh Aziz Sayyid Jasim, penulis Irak, dengan penelitian oleh Shadiq Ja'far al-Rawaziq.[195]
- Buku ini menjelaskan kepribadian dan kebijakan politik Ali bin Abi Thalib dalam sebelas bab.[196]
- Diterjemahkan ke bahasa Persia oleh Musa Danish dengan judul Imam Ali as Lambang Pemerintahan Kebenaran.[197]
4. Al-Imam Ali as fi Ru'yah al-Nahj wa Riwayah al-Tarikh (Imam Ali dalam Perspektif Nahj al-Balaghah dan Narasi Sejarah):
- Ditulis oleh Ibrahim Baidhun, profesor sejarah Islam di Universitas Lebanon.[198]
- Menganalisis peristiwa masa pemerintahan Imam Ali dalam empat bab utama, termasuk gambaran pemikiran politiknya.[199]
- Diterjemahkan ke bahasa Persia oleh Ali Asghar Mohammadi Sijani dengan judul Perilaku Imam Ali as dalam Cermin Sejarah.[200]
Pranala Terkait
Catatan Kaki
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 427.
- ↑ Zein, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribat al-Hukm, 1994 M, hlm. 33.
- ↑ Ja'farian, Tarikh Tahawwul al-Dawlah wa al-Khilafah, 1373 S, hlm. 138.
- ↑ Ja'farian, Tarikh Tahawwul al-Dawlah wa al-Khilafah, 1373 S, hlm. 171.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad-e Islam, 1376 S, hlm. 109.
- ↑ Delsyad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 S, hlm. 19.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, 1404 H, jil. 7, hlm. 73.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, 1404 H, jil. 7, hlm. 73.
- ↑ Ja'farian, Tarikh Tahawwul al-Dawlah wa al-Khilafah, 1373 S, hlm. 168.
- ↑ Ju'aith, Al-Fitnah, 2000 M, hlm. 141.
- ↑ Thaha Husain, Ali wa Banuhu, Dar al-Ma'arif, hlm. 8.
- ↑ Ju'aith, Al-Fitnah, 2000 M, hlm. 141.
- ↑ Husain, Ali wa Banuhu, Dar al-Ma'arif, hlm. 8.
- ↑ Baidhun, Al-Imam Ali fi Ru'yah al-Nahj wa Riwayah al-Tarikh, 2009 M, hlm. 70.
- ↑ Ju'aith, Al-Fitnah, 2000 M, hlm. 141.
- ↑ Lihat: Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 1417 H, jil. 1, hlm. 145.
- ↑ Ibnu Sa'ad, Al-Thabaqat al-Kubra, 1410 H, jil. 3, hlm. 22.
- ↑ Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 178.
- ↑ Halm, Syiah, 1389 H, hlm. 27–28.
- ↑ Ja'farian, Tarikh Tahawwul al-Dawlah wa al-Khilafah, 1373 S, hlm. 143.
- ↑ Diyarbakri, Tarikh al-Khamis, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 262.
- ↑ Subhani, Furugh Wilayat, 1380 S, hlm. 368.
- ↑ Delsyad Tehrani, Dawlat-e Aftab, 1395 HS, hlm. 47.
- ↑ Delsyad Tehrani, Dawlat-e Aftab, 1395 HS, hlm. 33–34.
- ↑ Nasiri, Tahlili az Tarikh-e Tasyayyu' wa A'imma as, 1386 HS, hlm. 107.
- ↑ Nasiri, Tahlili az Tarikh-e Tasyayyu' wa A'imma as, 1386 HS, hlm. 106.
- ↑ Baidhun, Al-Imam Ali fi Ru'yat al-Nahj wa Riwayat al-Tarikh, 2009 M, hlm. 191.
- ↑ Nasiri, Tahlili az Tarikh-e Tasyayyu' wa A'imma as, 1386 HS, hlm. 106.
- ↑ Delsyad Tehrani, Dawlat-e Aftab, 1395 HS, hlm. 43–44.
- ↑ Gharib, Khilafat Utsman bin Affan, 1997 M, hlm. 103.
- ↑ Bakhtiyari, "Sakhtār-e Siyāsī-ye Hokūmat-e Utsman", hlm. 65.
- ↑ Baidhun, Al-Imam Ali fi Ru'yat al-Nahj wa Riwayat al-Tarikh, 2009 M, hlm. 191.
- ↑ Baidhun, Al-Imam Ali fi Ru'yat al-Nahj wa Riwayat al-Tarikh, 2009 M, hlm. 191.
- ↑ Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, 1409 H, jil. 3, hlm. 490.
- ↑ Ibnu A'tsam al-Kufi, Al-Futuh, 1411 H, jil. 2, hlm. 426–428.
- ↑ Ibnu Qutaibah al-Dinawari, Al-Imamah wa al-Siyasah, 1410 H, jil. 1, hlm. 65–66. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 427. Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 179. Ibnu A'tsam al-Kufi, Al-Futuh, 1411 H, jil. 2, hlm. 434.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Salih, Khutbah 92, hlm. 136; Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 434; Ibnu Syahr Ashub, Al-Manaqib, 1379 HS, jil. 2, hlm. 110; Miskawaih, Tajarib al-Umam, 1379 HS, jil. 1, hlm. 458.
- ↑ Ibnu A'tsam al-Kufi, Al-Futuh, 1411 H, jil. 2, hlm. 434–435.
- ↑ Ibnu A'tsam al-Kufi, Al-Futuh, 1411 H, jil. 2, hlm. 434.
- ↑ Ibnu A'tsam al-Kufi, Al-Futuh, 1411 H, jil. 2, hlm. 434–435.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad-e Islam, 1376 HS, hlm. 105.
- ↑ Ja'farian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 65; Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Salih, Khutbah 92, hlm. 136.
- ↑ Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 179; Ibnu A'tsam al-Kufi, Al-Futuh, 1411 H, jil. 2, hlm. 435–436.
- ↑ Ja'farian, Tarikh-e Tahawwul-e Dawlat wa Khilafat, 1373 HS, hlm. 147.
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 427.
- ↑ Askafi, Al-Mi'yar wa al-Muwazanah, 1402 H, hlm. 51.
- ↑ Zein, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribat al-Hukm, 1994 M, hlm. 123.
- ↑ Husain, Ali wa Banuhu, Dar al-Ma'arif, hlm. 9.
- ↑ Khawarizmi, Al-Manaqib, 1388 H, hlm. 15.
- ↑ Dinawari, Al-Akhbar al-Thiwal, 1368 HS, hlm. 143.
- ↑ Madelung, The Succession to Muhammad, 1377 HS, hlm. 200–202.
- ↑ Subhani, Furugh-e Wilayat, 1380 HS, hlm. 370.
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 428–431.
- ↑ Harakat, Al-Siyasah wa al-Mujtama' fi 'Asr al-Rashidin, 1985 M, hlm. 125.
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 429–430.
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 428–431.
- ↑ "Expansion of the Caliphate", di kanal EmperorTigerstar.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 84.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 81–82.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 83.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 83.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 83.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 84.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 85.
- ↑ Subhani, Furugh-e Wilayat, 1380 HS, hlm. 467–468.
- ↑ Subhani, Furugh-e Wilayat, 1380 HS, hlm. 467.
- ↑ Rijabi, "Barrasi-ye Intikhab-e Kufah be Unwan-e Markaz-e Khilafat-e Islami", hlm. 7–8.
- ↑ Rijabi, "Barrasi-ye Intikhab-e Kufah be Unwan-e Markaz-e Khilafat-e Islami", hlm. 7–8.
- ↑ Amili, "Istiratijiyat al-Kufah fi Khilafat Ali as", situs Sayid Ja'far Murtadha al-Amili.
- ↑ Rijabi, "Barrasi-ye Intikhab-e Kufah be Unwan-e Markaz-e Khilafat-e Islami", hlm. 6.
- ↑ Ibnu al-Faqih, Al-Buldan, 1416 H, hlm. 203. Majlisi, Bihar al-Anwar, 1403 H, jil. 22, hlm. 386.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad-e Islam, 1376 HS, hlm. 107.
- ↑ Muthahhari, Panjdeh Goftar, 1402 H, hlm. 254.
- ↑ Muthahhari, Panjdeh Goftar, 1402 H, hlm. 254.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 154.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 91.
- ↑ Muhajirnia, "Sakhtar-e Hokumat-e Imam Ali as", hlm. 161.
- ↑ Muhajirnia, "Sakhtar-e Hokumat-e Imam Ali as", hlm. 147.
- ↑ Muhajirnia, "Sakhtar-e Hokumat-e Imam Ali as", hlm. 148.
- ↑ Ju'ait, Al-Fitnah, 2000 M, hlm. 142.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 93.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 93–96.
- ↑ Husain, Ali wa Banuhu, Dar al-Ma'arif, hlm. 147.
- ↑ Muhajirnia, "Sakhtar-e Hokumat-e Imam Ali as", hlm. 149–150.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad-e Islam, 1376 HS, hlm. 106.
- ↑ Adak, "Shayasteh-salari dar Hokumat-e Imam Ali as", hlm. 56.
- ↑ Adak, "Shayasteh-salari dar Hokumat-e Imam Ali as", hlm. 56.
- ↑ Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 180.
- ↑ Dinawari, Al-Akhbar al-Thiwal, 1368 HS, hlm. 142.
- ↑ Adak, "Shayasteh-salari dar Hokumat-e Imam Ali as", hlm. 46.
- ↑ Zein, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribat al-Hukm, 1994 M, hlm. 28.
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 4, hlm. 429.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad-e Islam, 1376 HS, hlm. 106.
- ↑ Qurashi, Mawsū'at al-Imām Amīr al-Mu'minīn Ali bin Abi Thalib as, 1429 H, jil. 11, hlm. 31.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 194.
- ↑ Mu'ini Nia, Sireh-ye Edari-ye Imam Ali as dar Dowran-e Khilafat, 1379 HS, hlm. 194.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 138.
- ↑ Qurashi, Mausu'ah al-Imam Amir al-Mu'minin Ali bin Abi Thalib as, 1429 H, jil. 9, hlm. 63.
- ↑ Adak, "Syayistah Salari dar Hukumat Imam Ali as", hlm. 56.
- ↑ Adak, "Syayistah Salari dar Hukumat Imam Ali as", hlm. 56.
- ↑ Tsaqafi, al-Gharat, 1353 HS, jil. 1, hlm. 125.
- ↑ Qurashi, Mausu'ah al-Imam Amir al-Mu'minin Ali bin Abi Thalib as, 1429 H, jil. 11, hlm. 31.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 143.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 145.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 146.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 146.
- ↑ Qadhi Abu Yusuf, al-Kharaj, 1399 H, hlm. 149-150.
- ↑ Hakim Abadi, "Dawlat wa Siyasat-ha Eqtesadi", hlm. 373.
- ↑ Jasim, Ali bin Abi Thalib Sulthah al-Haq, 1427 H, hlm. 359.
- ↑ Mahmudi, Nahj al-Sa'adah fi Mustadrak Nahj al-Balaghah, Mu'assasah al-A'lami, jil. 1, hlm. 224.
- ↑ Mas'udi, Itsbat al-Washiyyah, 1426 H, hlm. 149.
- ↑ Nasiri, Tahlili az Tarikh Tasyayyu' wa A'immah as, 1386 HS, hlm. 111.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad Islam, 1376 HS, hlm. 110.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad Islam, 1376 HS, hlm. 112.
- ↑ Hakim Abadi, "Dawlat wa Siyasat-ha Eqtesadi", hlm. 374.
- ↑ Syaikh Thusi, Tahdzib al-Ahkam, 1407 H, jil. 10, hlm. 151-152.
- ↑ Nasiri, Tahlili az Tarikh Tasyayyu' wa A'immah as, 1386 HS, hlm. 106.
- ↑ Ibnu Hayyun, Da'a'im al-Islam, 1385 H, jil. 1, hlm. 384.
- ↑ Zain, al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 128.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 248.
- ↑ Zain, al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 127.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Shalih, Khutbah 216, hlm. 335.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Shalih, Surat 51, hlm. 425.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Shalih, Surat 53, hlm. 427-428.
- ↑ Delshad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 HS, hlm. 33.
- ↑ Delshad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 HS, hlm. 38-39.
- ↑ Syahidi, Ali az Zaban-e Ali, 1380 HS, hlm. 133-134.
- ↑ Delshad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 HS, hlm. 145.
- ↑ Delshad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 HS, hlm. 147.
- ↑ Delshad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 HS, hlm. 148.
- ↑ Qummi, Safinah al-Bihar, 1414 H, jil. 6, hlm. 176.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Shalih, Surat 45, hlm. 416-420.
- ↑ Delshad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 HS, hlm. 156.
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, 1404 H, jil. 4, hlm. 109.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Shalih, Surat 67, hlm. 457.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Shalih, Surat 53, hlm. 431.
- ↑ Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 203.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 124-125.
- ↑ Mui'ni Nia, Sireh Idari Imam Ali as dar Dowran Khilafat, 1379 HS, hlm. 125.
- ↑ Hurr al-Amili, Wasail al-Syiah, 1409 H, jil. 9, hlm. 213.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, 1407 H, jil. 5, hlm. 319.
- ↑ Zain, al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 39.
- ↑ Zain, al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 33.
- ↑ Delshad Tehrani, Dawlat-e Aftab, 1395 HS, hlm. 27.
- ↑ Delshad Tehrani, Hukmrani-ye Hakimaneh, 1395 HS, hlm. 18-19.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 65.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 65-66.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 66-67.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 67.
- ↑ Nahj al-Balaghah, disunting oleh Subhi Shalih, Khutbah 192, hlm. 299.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 68-69.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad-e Islam, 1376 HS, hlm. 109.
- ↑ Thabathaba'i, Syi'ah dar Islam, 1378 HS, hlm. 42.
- ↑ Delshad Tehrani, Sowda-ye Peyman Shekanan, 1394 HS, hlm. 14.
- ↑ Dinawari, al-Akhbar al-Thiwal, 1368 HS, hlm. 151.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 81.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 87-88.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 94-95.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 95-97.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 99-100.
- ↑ Thabathaba'i, Syi'ah dar Islam, 1378 HS, hlm. 44.
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 5, hlm. 80-92.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 105.
- ↑ Madelung, The Succession to Muhammad, 1377 HS, hlm. 205.
- ↑ Jafarian, Hayat-e Fikri-Siyasi-ye A'imma-ye Syiah, 1390 HS, hlm. 72.
- ↑ Zain, al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 143.
- ↑ Zain, al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 143.
- ↑ Baidhun, al-Imam Ali fi Ru'yah al-Nahj wa Riwayah al-Tarikh, 2009 M, hlm. 149.
- ↑ Baidhun, al-Imam Ali fi Ru'yah al-Nahj wa Riwayah al-Tarikh, 2009 M, hlm. 172.
- ↑ Amili, Al-Shahih min Sirah al-Imam Ali as, 1430 H, jil. 19, hlm. 109.
- ↑ Qurashi, Mausu'ah al-Imam Amir al-Mu'minin Ali bin Abi Thalib as, 1429 H, jil. 11, hlm. 215.
- ↑ Qurashi, Mausu'ah al-Imam Amir al-Mu'minin Ali bin Abi Thalib as, 1429 H, jil. 11, hlm. 215.
- ↑ Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, 1387 H, jil. 5, hlm. 158.
- ↑ Ju'aith, Al-Fitnah, 2000 M, hlm. 313.
- ↑ Ju'aith, Al-Fitnah, 2000 M, hlm. 324-325.
- ↑ Fakhri, Tarikh Tasyayyu' min Sadr al-Islam ila Nihayah Dowrah al-Khulafa' al-Rasyidin, 1388 H, hlm. 229.
- ↑ Zarrinkub, Bamdad-e Islam, 1376 HS, hlm. 109.
- ↑ Jafarian, Tarikh Tahawwul Dawlah wa Khilafat, 1373 HS, hlm. 171.
- ↑ Amin, Zuhur al-Islam, Dar al-Kitab al-Arabi, jil. 4, hlm. 37-38.
- ↑ Thabathaba'i, Al-Mizan, 1417 H, jil. 19, hlm. 290.
- ↑ Subhani, Furugh Wilayat, 1380 HS, hlm. 379.
- ↑ Subhani, Furugh Wilayat, 1380 HS, hlm. 380.
- ↑ Subhani, Furugh Wilayat, 1380 HS, hlm. 381.
- ↑ Subhani, Furugh Wilayat, 1380 HS, hlm. 382.
- ↑ Zain, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 33.
- ↑ Madelung, The Succession to Muhammad, 1377 HS, hlm. 208.
- ↑ Zain, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 93.
- ↑ Zain, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. 93.
- ↑ Zain, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. sampul buku.
- ↑ Zain, Al-Imam Ali bin Abi Thalib wa Tajribah al-Hukm, 1994 M, hlm. daftar isi.
- ↑ Zain, Hukumat-e Imam Ali as, terjemahan Amir Salmani Rahimi, 1386 HS, hlm. sampul buku.
- ↑ Delshad Tehrani, Dawlat-e Aftab, 1395 HS, hlm. sampul buku.
- ↑ Delshad Tehrani, Dawlat-e Aftab, 1395 HS, hlm. daftar isi.
- ↑ Delshad Tehrani, Dawlat-e Aftab, 1395 HS, hlm. daftar isi.
- ↑ Jasim, Ali bin Abi Thalib Sulthat al-Haqq, 1427 H, hlm. sampul buku.
- ↑ Jasim, Ali bin Abi Thalib Sulthat al-Haqq, 1427 H, hlm. daftar isi.
- ↑ Jasim, Imam Ali as Namad-e Hukumat-e Haqq, terjemahan Musa Danish, 1381 HS, hlm. sampul buku.
- ↑ Baidhun, Al-Imam Ali fi Ru'yah al-Nahj wa Riwayah al-Tarikh, 2009 M, hlm. sampul buku.
- ↑ Baidhun, Al-Imam Ali fi Ru'yah al-Nahj wa Riwayah al-Tarikh, 2009 M, hlm. daftar isi.
- ↑ Mohammadi Sijani, Raftar-shenasi-ye Imam Ali as dar Ayineh-ye Tarikh, 1379 HS, hlm. sampul buku.
Daftar Pustaka
- Ibnu Abil Hadid, Abdul Hamid bin Hibatullah, Syarh Nahj al-Balaghah, Qom, Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1404 H.
- Ibnu Abi Syaibah, Abdullah bin Muhammad, Al-Mushannaf Fi Al-Ahadits Wa Al-Atsar, Riyadh, Maktabah Ar-Rusyd, 1409 H.
- Ibnu Al-Faqih, Ahmad bin Muhammad, Al-Buldan, Beirut, Alam Al-Kutub, 1416 H.
- Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad, Usd Al-Ghabah, Beirut, Dar Al-Fikr, 1409 H.
- Ibnu Atsam Kufi, Ahmad, Al-Futuh, Beirut, Dar Al-Adwa', 1411 H.
- Ibnu Hiyyun, Nu'man bin Muhammad, Da'aim Al-Islam Wa Dzikr Al-Halal Wa Al-Haram Wa Al-Qadha' Wa Al-Ahkam, Qom, Al-Al-Bait saw, 1385 H.
- Ibnu Sa'ad, Muhammad bin Sa'd, Al-Tabaqat Al-Kubra, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1410 H.
- Ibnu Syahr Asyub, Muhammad bin Ali, Manaqib Al-Al Abi Talib saw, Qom, Alami, 1379 Sh.
- Ibnu Abdul Bar, Yusuf bin Abdullah, Al-Istidzkar, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1421 H.
- Ibnu Qutaybah Dinawari, Abdullah bin Muslim, Al-Imamah Wa Al-Siyasah, Beirut, Dar Al-Adwa', 1410 H.
- Ibnu Muzahim, Nasr, Waq'ah Siffin, Qom, Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1404 H.
- Ibnu Nadheem, Muhammad bin Ishaq, Al-Fihrist, Beirut, Dar Al-Ma'rifah, 1417 H.
- Adak, Saber, "Syayisteh Salari Dar Hukumat Imam Ali saw", dalam Majalah Maskawaih, Nomor 47, 1397 Sh.
- Iskafi, Muhammad bin Abdullah, Al-Mi'yar Wa Al-Muwazanah Fi Fadha'il Amir Al-Mu'minin Ali bin Abi Talib saw Wa Bayan Afdlaliyyatihi 'Ala Jamii' Al-'Alamin Ba'da Al-Anbiya' Wa Al-Mursalina, Penyunting: Muhammad Baqir Mahmudi, Beirut, tanpa nama, 1402 H.
- Amin, Ahmad, Zhuhur Al-Islam, Beirut, Dar Al-Kitab Al-Arabi, tanpa tahun.
- Bakhtiyari, Shahla, "Struktur Politik Pemerintahan Utsman", dalam Kayhan Andisheh, Nomor 77, Farvardin dan Ardibehesht 1377 Sh.
- Baydhun, Ibrahim, Al-Imam Ali Fi Ru'yah Al-Nahj Wa Rawayah Al-Tarikh, Beirut, Bisan, 2009 M.
- Baladhuri, Ahmad bin Yahya, Ansab Al-Ashraf, Beirut, Muassasah Al-A'lami Li Al-Matbu'at, 1394 H.
- Tsufi, Ibrahim bin Muhammad, Al-Gharat, Tehran, Anjuman A'shar Milli, 1353 Sh.
- Jassim, Aziz Al-Sayyid, Imam Ali saw Namad Hukumat Haqq, Terjemahan: Musa Danesh, Mashhad, Bonyad Pazhuhish-haye Islami Astan Quds Razavi, 1381 Sh.
- Jassim, Aziz Al-Sayyid, Ali bin Abi Talib Saltat Al-Haqq, Qom, Al-Ijtihad, 1427 H.
- Ja'fari, Sayyid Husain Muhammad, Tas-yi' Dar Masir Tarikh, Terjemahan Sayyid Muhammad Taqi Ayatollahi, Qom, Daftar Nashr Ma'arif, 1380 Sh.
- Ja'far-iyan, Rasul, Atlas Syi'ah, Tehran, Organisasi Geografi Angkatan Bersenjata, 1387 Sh.
- Ja'far-iyan, Rasul, Tarikh Taghyir Dawlat Wa Khilafat, Qom, Daftar Tablighat Islami, 1373 Sh.
- Ja'far-iyan, Rasul, Tarikh Wa Sirah Siyasi Imam Mu'minin Ali bin Abi Talib saw, Qom, Dalil Ma, 1380 Sh.
- Ja'far-iyan, Rasul, Hayat Fikri-Siyasi A'imah Syi'ah, Tehran, Nashr Ilm, 1390 Sh.
- Ju'ait, Hisyam, Al-Fitnah; Jadalilah Al-Din Wa Al-Siyasah Fi Al-Islam Al-Mubkiri, Terjemahan: Khalil Ahmad Khalil, Beirut, Dar Al-Thali'ah, 2000 M.
- Har Amili, Muhammad bin Hasan, Tafsil Wasa'il Al-Syi'ah Ila Tahsil Masa'il Al-Syari'ah, Qom, Muassasah Al-Al-Bait saw, 1409 H.
- Harakat, Ibrahim, Al-Siyasah Wa Al-Mujtama' Fi Asr Al-Rashidin, Beirut, Al-Ahliyah, 1985 M.
- Husain, Thaha, Ali Wa Banuh, Kairo, Dar Al-Ma'arif, tanpa tahun.
- Husaini Khamene'i, Sayyid Ali, "Pernyataan dalam Khutbah Shalat Jumat 21 Ramadan (16 Azar 1380 Sh)", di Situs Pusat Penyimpanan dan Publikasi Karya Ayatullah Khamene'i, Tanggal Kunjungan: 16 Farvardin 1404 Sh.
- Husaini Khamene'i, Sayyid Ali, "Pernyataan dalam Pertemuan Berbagai Kelompok Masyarakat (30 Shahrivar 1381 Sh)", di Situs Pusat Penyimpanan dan Publikasi Karya Ayatullah Khamene'i, Tanggal Kunjungan: 16 Farvardin 1404 Sh.
- Hakimabad-i, Muhammad Taqi, "Daulat Wa Siyasat-haye Iqtisadi", dalam Jilid 7 Ensiklopedia Imam Ali saw, Tehran, Markaz Nashr Athar Pazhuhishgah Farhang Wa Andisheh Islami, 1380 Sh.
- Khatib Baghdadi, Ahmad bin Ali, Tarikh Baghdad, Beirut, Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1417 H.
- Khajuiyan, Muhammad Kazhim, Tarikh Al-Tasyayyu', Mashhad, Jihad Universitas, 1376 Sh.
- Khwarazmi, Mufaq bin Ahmad, Al-Manaqib, Najaf, Al-Matba'ah Al-Haidariyah, 1388 H.
- Dilsyad Tehrani, Mustafa, Hukumran-i Hikmatmand, Tehran, Darya, 1395 Sh.
- Dilsyad Tehrani, Mustafa, Daulat Aftab, Tehran, Darya, 1395 Sh.
- Diyarbakri, Husain bin Muhammad, Tarikh Al-Khamis Fi Akhbar Anfus Al-Nafis, Beirut, Dar Sadir, tanpa tahun.
- Dinawari, Ahmad bin Dawud, Akhbar Al-Tiwal, Tehran, Nashr Ni, 1368 Sh.
- Rajabi, Muhammad Husain, "Studi Pemilihan Kufah sebagai Pusat Khilafah Islam", dalam Fasl Nama Mishbah, Nomor 3 dan 4, Pajon dan Zemestan 1371 Sh.
- Zarrinkub, Abdul Husain, Bamdad Islam, Tehran, Amir Kabir, 1376 Sh.
- Zain, Hasan, Al-Imam Ali bin Abi Talib Wa Tajribat Al-Hukm, Beirut, Dar Al-Fikr Al-Hadith, 1994 M.
- Zain, Hasan, Hukumat Al-Imam Ali saw, Terjemahan Amir Salmani Rahimi, Mashhad, Bonyad Pazhuhish-haye Islami, 1386 Sh.
- Subhani, Ja'far, Furugh Wilayat, Qom, Muassasah Imam Shadiq saw, 1380 Sh.
- Sayyid Razi, Muhammad bin Husain, Nahj al-Balaghah, Penyunting Subhi Shalih, Qom, Hijrat, 1414 H.
- Shahidi, Sayyid Ja'far, Ali Az Zaban Ali Ya Zendegani Amir Al-Mu'minin Ali saw, Tehran, Daftar Nashr Farhang Islami, Cetakan Ke-18, 1380 Sh.
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan, Tahdzib Al-Ahkam, 1407 H.
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan, Al-Amali, Qom, Dar Al-Thaqafah, 1414 H.
- Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, Al-Irsyad Fi Ma'rifat Hujaj Allah 'Ala Al-Ibad, Qom, Muassasah Al-Al-Bait saw, 1413 H.
- Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, Al-Jamal Wa Al-Nusrat Li Sayyid Al-Itrah Fi Harb Al-Basrah, Qom, Kongres Syekh Mufid, 1413 H.
- Thabathaba'i, Muhammad Husain, Al-Mizan Fi Tafsir Al-Quran, Qom, Daftar Intisyarat Islami, 1417 H.
- Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh Al-Umam Wa Al-Muluk (Tarikh Al-Thabari), Cetakan Kedua, Beirut, Dar Al-Turats, 1387 H.
- Amili, Sayyid Ja'far Murtadha, "Istrategiyyah Al-Kufah Fi Khilafah Ali saw", di Situs Sayyid Ja'far Murtadha Al-Amili, Tanggal Posting: 6 Februari 2014 M, Tanggal Kunjungan: 1 Bahman 1403 Sh.
- Amili, Sayyid Ja'far Murtadha, Al-Sahih Min Sirah Al-Imam Ali saw, Beirut, Markaz Islami Li Al-Dirasat, 1430 H.
- Gharib, Ma'mun, Khilafah Utsman bin Affan, Kairo, Markaz Al-Kitab, 1997 M.
- Fakhri, Muhammad, Tarikh Al-Tasyayyu' Min Shadr Al-Islam Ta Akhir Daur Al-Khulafa' Al-Rashidin, Mashhad, Ilia Fakhr, 1388 Sh.
- Qadhi Abu Yusuf, Ya'qub bin Ibrahim, Al-Kharaj, Beirut, Dar Al-Ma'rifah, 1399 H.
- Qarasyi, Baqir Sharif, Mu'jamah Al-Imam Amir Al-Mu'minin Ali bin Abi Talib saw, Qom, Muassasah Al-Kauthar Li Ma'arif Al-Islamiyyah, 1429 H.
- Qumi, Abbas, Safinah Al-Bihar Wa Madinah Al-Hikm Wa Al-Athar, Qom, Aswah, 1414 H.
- Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, Al-Kafi, Tehran, Dar Al-Kutub Al-Islamiyyah, 1407 H.
- Gardet, Louis, Al-Islam, Din Wa Ummah, Terjemahan: Riza Mushayyahi, Tehran, Sahami Intisyar, 1352 Sh.
- Madelung, Wilfred, Janashini Hazrat Muhammad saw, Terjemahan: Ahmad Namayi dan lainnya, Mashhad, Bonyad Pazhuhish-haye Islami, 1377 Sh.
- Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar Al-Anwar, 1403 H, Penerbit: Muassasah Al-Wafa', Cetakan Kedua.
- Mahrami, Ghulam Hasan, Tarikh Al-Tasyayyu' Min Agaz Ta Akhir Ghaibat Al-Sughra, Qom, Muassasah Ta'limi Wa Pazhuhishi Imam Khomeini, 1387 Sh.
- Mahdi Sijani, Ali Asghar, Raftarshinasi Imam Ali saw Dar Ayinah Tarikh, Tehran, Daftar Nashr Farhang Islami, 1379 Sh.
- Mahmudi, Muhammad Baqir, Nahj Al-Sa'adah Fi Mustadrak Nahj Al-Balaghah, Beirut, Muassasah Al-A'lami, tanpa tahun.
- Mas'udi, Ali bin Husain, Itsbat Al-Wasiyyah Li Al-Imam Ali bin Abi Talib saw, Qom, Ansarian, 1426 H.
- Muthahhari, Murtadha, Panzdah Guftar, Tehran, Sadra, 1402 H.
- Mu'ininiya, Maryam, Sirah Idari Imam Ali saw Dar Dauran Khilafah, Tehran, Chapp Wa Nashr Bain Al-Milal, 1379 Sh.
- Musawi Shirazi, Naser, Nahj Al-Balaghah Bi Tarjamah Farsi Rawan, Qom, Madrasah Imam Ali bin Abi Talib saw, 1384 Sh.
- Musawi Khumaini, Sayyid Ruhullah, Sahifah Al-Imam, Tehran, Muassasah Tanzim Wa Nashr Athar Al-Imam Khumaini (r.h.), 1378 Sh.
- Mahajirnia, Muhassin, "Struktur Pemerintahan Imam Ali saw", dalam Jilid 6 Ensiklopedia Imam Ali saw, Tehran, Markaz Nashr Athar Pazhuhishgah Farhang Wa Andisheh Islami, 1380 Sh.
- Miskawaih, Ahmad bin Muhammad, Tajarib Al-Umam, Tehran, Surush, 1379 Sh.
- Nashiri, Muhammad, Tahlili Az Tarikh Al-Tasyayyu' Wa Al-A'imah saw, Qom, Daftar Nashr Ma'arif, 1386 Sh.
- Hallm, Heinz, Al-Tasyayyu', Terjemahan Muhammad Taqi Akbari, Qom, Nashr Adyan, 1389 Sh.
- Ya'qubi, Ahmad bin Abi Ya'qub, Tarikh Al-Ya'qubi, Beirut, Dar Sadir, tanpa tahun.
- "Expansion of the Caliphate", di Channel YouTube EmperorTigerstar, Tanggal Posting: 18 Oktober 2010 M, Tanggal Kunjungan: 16 Farvardin 1404 Sh.