Imamah

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Keimamah)



Imamah (bahasa Arab: الإمامة ) dalam pandangan Syiah adalah kepemimpinan sebuah komunitas Islam dengan pelantikan Ilahi dan penganti Nabi Islam saw dalam urusan agama dan duniawi. Ajaran ini, termasuk dari dasar-dasar mazhab Syiah dan termasuk sisi-sisi perbedaan akidah antara Syiah dan Sunni. Urgensitas permasalahaan imamah di sisi kaum Syiah menyebabkan mereka dijuluki dengan mazhab Imamiyah.

Menurut ajaran-ajaran Syiah, Nabi mulia saw semenjak awal misinya, memberikan perhatian khusus pada urusan pelantikan dan pengenalan khalifahnya dan imam kaum muslimin setelah wafatnya. Tindakan-tindakannya dalam merealisasikan hal ini, dimulai sejak awal dakwah terang-terangannya, dengan mengenalkan Imam Ali as sebagai khalifah dan pengganti setelahnya dan hal ini terus berlanjut hingga hari-hari akhir hayatnya, dalam perjalanan pulang dari Haji Perpisahan pada tanggal 18 Dzulhijjah di Ghadir Khum.

Kaum muslimin dari kalangan Ahlusunah menegaskan keharusan akan adanya imam dan keharusan mengikuti perintah-perintahnya, namun mereka meyakini bahwa seorang imam harus dipilih oleh masyarakat dan Nabi saw sama sekali tidak mengenalkan seseorangpun sebagai khalifah setelahnya.

Kaum Syiah memiliki perbedaan pendapat dalam penentuan jumlah dan sosok konkrit para imam. Jumlah para imam Syiah adalah duabelas orang. Imam pertama dari mereka adalah Imam Ali as dan Imam yang terakhir dari mereka adalah Imam Mahdi as. Setelah Imam Ali as, Imam Hasan as dan kemudian saudara laki-lakinya Imam Husain as(salam sejahtera kepada mereka) yang mengemban jabatan imamah dan setelah tiga Imam ini, sembilan orang dari anak keturunan Imam Husain as secara tertib yang mengemban tugas jabatan ini.

Falsafah keberadaan imam adalah menukil, menjaga agama Islam dan menjelaskan secara benar pengetahuan-pengetahuan agama. Oleh karena itu, supaya imam lebih baik dalam menjalankan tugasnya maka harus maksum, memiliki Ilmu Ladunni dan kewenangan wilayah dari sisi Tuhan.

Konsep dan Terminologi

Imamah dalam bahasa berarti kepemimpinan. Dalam bahasa Arab, kata Imam berarti seseorang atau sesuatu yang diikuti. Atas dasar ini, kata imam bisa memiliki beberapa contoh kongkret seperti: Alquran, Nabi Islam Yang mulia saw, Pengganti Nabi saw, imam salat jamaah, panglima tentara, pemandu parawisata, pemandu unta dan seorang cendikiawan yang diikuti.[1]

Para teolog mendefinisikan imamah dalam dua bentuk: Definisi pertama bersifat umum dan mencakup kenabian. Dalam definisi ini imamah adalah kepemimpinan umum dalam permasalahan-permasalahan agama dan duniawi.[2] Definis kedua dengan definisi khusus mendefinisikan imamah dengan pengganti Nabi dalam urusan-urusan agama.[3]

Definisi imamah dengan "kepemimpinan umat Islam dalam urusan agama dan duniawi sebagai pengganti Nabi saw" merupakan hal yang disepakati oleh semua aliran-aliran Islam.[4]

Kata Imam dalam Alquran

Alquran al-Karim, menggunakan kata imam untuk sebagian manusia dan makhluk lainnya. Penggunaan-penggunaan kata imam pada selain manusia adalah: Lauh Mahfudh, [5] jalan yang terang, [6] dan kitab suci Nabi Musa as. [7] Sedangkan penggunaan kata imam untuk manusia memiliki dua bentuk, yaitu imam yang haq (benar) dan imam yang batil (tidak benar). Contoh-contoh imam yang haq adalah para Nabi yang diutus oleh Allah, [8] hamba-hamba Allah yang layak, [9] dan orang-orang yang lemah. [10]

Dalam sebuah ayat Alquran kata "imam" digunakan sedemikian rupa sehingga mencakupi semua penggunaan-penggunaan di atas, sebagaimana firmannya:

﴾وَیوْمَ نَدْعُو کلّ أُناس بِإِمامِهِم﴿
"(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu)Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya". [11]

Kedudukan Imamah dalam Syiah

Dalam pandangan Syiah, Imamah termasuk dari pokok-pokok akidah Islam, namun Mu'tazilah dan Asya'irah juga mazhab-mazhab Islam lainnya menganggap hal itu sebagai cabang agama. Dalam literatur Syiah, masalah Imamah selain mencakup permasalahan khilafah juga mencakup janji Ilahi dan menjadi faktor penyempurna agama.

Imamah dan Khilafah

Dilihat dari kacamata sejarah, Imamah adalah permasalahan terpenting yang menjadi pembahasan dan dialog, setelah Nabi Besar Islam saw. Tidak ada satupun dari ajaran-ajaran agama, yang menjadi pembahasan dan konflik dalam sepanjang waktu seperti pembahasan Imamah. [12]

Dilihat dari berbabagai sudut pandang, kepemimpinan umat Islam setelah Nabi saw disebut dengan beberapa nama, diantaranya adalah "imamah" (kepemimpinan) dan "khilafah" (kekhalifahan). Jabatan ini dikatakan Imamah karena memiliki sisi kepemimpinan dan dikatakan khilafah karena sebagai pengganti Rasulullah saw. Atas dasar ini, imam dalam syariat Islam adalah khalifah dan pengganti Rasulullah saw. Tentunya dalam hal ini apakah dia dapat juga dinamakan sebagai khalifatullah? Di dalam pandangan Ahlusunah ada dua pendapat: Sebagian meyakini bahwa title seperti ini diperbolehkan dan sebagian lagi meyakini bahwa hal ini tidak dapat dibenarkan. [13] Riwayat-riwayat Ahlulbait as juga meyakini bahwa Imamah adalah khalifah Allah dan Rasul-Nya. [14]

Imamah; Janji Ilahi

Alquran al-Karim, meyakini bahwa kedudukan Imamah (kepemimpinan) lebih unggul dari kedudukan nubuwah, karena telah diingatkan tentang Nabi Ibrahim as, bahwa dia setelah meraih jabatan nubuwah dan risalah serta sukses dalam menjalani cobaan-cobaan dan ujian-ujian Allah, baru kemudian Allah memberinya posisi imamah.[15] Berdasarkan ayat 124 surah Al-Baqarah, Allah melestarikan Imamah sebagai janji dan ikatan ilahi. Dan riwayat-riwayat Ahlulbait as juga menunjukkan akan hal tersebut. [16]

Imamah; Faktor Kesempurnaan Agama

Ayat Ikmal adalah salah satu ayat yang berkaitan dengan peristiwa al-Ghadir

Dari hadis-hadis yang berkaitan dengan sebab turunnya ayat Ikmaluddin dapat disimpulkan juga kedudukan tinggi jabatan Imamah.[17] Menurut riwayat-riwayat ini, ayat ikmaluddin turun berkenaan dengan peristiwa Ghadir Khum, yang mana Nabi saw dengan perintah Allah ditugaskan untuk mengenalkan Ali as sebagai pemimpin umat Islam setelahnya. [18] Dengan demikian, agama Islam, melalui Imamah sampai pada kesempurnaan yang dikehendaki.

Berkas:آیه تبلیغ.jpg
Ayat 67 Surah Al-Maidah terkenal dengan ayat Tabligh

Ayat Tabligh [19] juga penjelas hal ini, karena sesuai dengan ayat ini dan dengan memperhatikan beberapa riwayat mengenai sebab turunnya ayat tersebut, Imamah begitu memiliki kedudukan yang sangat tinggi sehingga jika Nabi saw tidak menyampaikan masalah ini, seakan-akan dia tidak menyampaikan risalah Ilahinya dan usaha serta jerih payahnya akan sia-sia. [20]

Urgensitas Imamah di Hari Kiamat

Menurut Alquran al-Karim, pada hari Kiamat setiap orang akan pergi menuju pemimpin dan imamnya. Allah swt berfirman:

﴾یوْمَ نَدْعُو کلّ أُناس بإِمامِهِمْ﴿

(Ingatlah) suatu hari (yang di hari itu) Kami panggil tiap umat dengan pemimpinnya; [21]

Pembahasan ini juga disinggung dalam sebuah hadis dari Imam Ridha as yang dinukil oleh Syiah dan Ahlusunah. Dengan demikian, kelak di hari Kiamat setiap kelompok akan dipanggil dengan nama kitab samawi, sunah nabi dan imam zamannya. [22]

Amirul Mukminin Ali as berkata:

Para imam adalah para pemimpin dan pemberi hidayah bagi hamba-hambanya dan seseorang tidak akan masuk surga, kecuali dia mengenal mereka dan mereka juga mengenalnya dan seseorang tidak akan masuk neraka, kecuali dia mengingkari mereka dan dan mereka juga mengingkarinya. [23]

Dalam beberapa hadis yang diriwayatkan oleh para imam Syiah as diterangkan bahwa salat, zakat, puasa, haji dan wilayah adalah termasuk dari rukun-rukun Islam dan diantara kelima rukun tersebut, wilayah (kepemimpinan) memiliki kedudukan yang lebih unggul, karena hal itu merupakan kunci dan petunjuk bagi rukun-rukun lainnya. [24]

Keharusan Keberadaan Imam

Dalam pandangan para teolog Imamiyah, Imamah adalah sebuah kewajiban dan kewajibannya adalah kewajiban teologi; yaitu kewajiban bagi Allah dan bukan bagi manusia. Makna dari kewajiban ini adalah bahwa hal ini merupakan tuntutan keadilan, hikmah, kebijaksanaan, kedermawanan dan sifat-sifat kesempurnaan lainnya dari Allah swt dan karena pengabaian tindakan ini melazimkan suatu kekurangan dalam zat Allah swt yang hasilnya adalah kemustahilan maka pelaksanaan pekerjaan tersebut adalah hal yang wajib dan darurat. Tentunya kewajiban ini muncul dari sifat-sifat kesempurnaaan Allah dan bukan berarti seseorang mewajibkannya kepada Allah. Sebagaimana Ia telah mewajibkan kepada diriNya sebagai pemberi rahmat dan petunjuk:

Khajeh Nashir dalam hal ini berkata:

Imamiyah meyakini bahwa pelantikan imam adalah sebuah karunia; karena mendekatkan masyarakat untuk melakukan ketaatan dan menjauhkan mereka dari perbuatan maksiat; dan karunia bagi Allah adalah hal yang wajib. [25]

Mazhab-mazhab selain Syiah

Kebanyakan dari mazhab-mazhab Islam, mewajibkan permasalahan Imamah walaupun mereka berselisih pendapat dalam menentukan posisi pembahasan ini apakah kewajiban secara hukum fikih atau teolog dan kewajiban tekstual (naqli) atau rasional (aqli).

  • Wajib secara tekstual (naqli): Kelompok Asya'irah juga mewajibkan permasalahan Imamah, namun dikarenakan mereka tidak meyakini baik-buruk bersifat rasional (aqli) dan tidak ada hal yang wajib bagi Allah swt, maka mewajibkan imamah itu kepada masyarakat dan meyakini bahwa kewajiban itu sifatnya adalah tekstual sesuai dengan riwayat dan tidak secara rasional. Adhududdin Eiji meyakini bahwa menurut Asya'irah pelantikan imam wajib secara teks, [26] dan ini dalam artian bahwa karena Allah swt berkata, 'keberadaan imam dan pelantikannya adalah wajib bukan karena akal kita dapat memahami.
  • Wajib secara rasional (aqli): Mu'tazilah, Maturidiyah, Ibadhiyah dan sekelompok dari Zaidiyah meyakini bahwa Imamah suatu hal yang wajib bagi masyarakat. Sebagian dari Mu'tazilah meyakini bahwa kewajiban Imamah adalah secara rasional dan sebagian lainnya meyakini secara tekstual. [27]

Dalil-dalil kewajiban Imamah

Ayat Ulil Amr

﴾یا أَیهَا الَّذِینَ آمَنُوا أَطِیعُوا اللَّهَ وَأَطِیعُوا الرَّسُولَ وَأُولِی الْأَمْرِ مِنْکمْ﴿

Dalam ayat ini Allah swt menyuruh untuk taat kepada Ulil Amr, maka Ulil Amr harus ada supaya mereka ditaati. [28] Taftazani dengan mengisyaratkan pada bukti ini berkata: kewajiban mentaati Ulil Amr menuntut perealisasian hal tersebut. [29]

Hadis Man Māta

Rasulullah saw bersabda:

﴾مَنْ ماتَ وَ لَمْ یعْرِفْ إمامَ زَمانِهِ ماتَ مِیتَةً جاهِلِیةً﴿

[30]

Sesuai dengan hadis di atas, barang siapa yang mati dan dia tidak mengetahui imam zamannya dia akan mati sebagaimana mati jahiliyah. Sebagian dari para teolog Islam meyakini bahwa hadis ini adalah dalil kewajiban Imamah, karena sesuai dengan hadis tersebut, mengenal dan mengetahui imam di setiap zaman adalah merupakan taklif syar'i dan keharusannya adalah zaman tidak pernah kosong dari seorang Imam. [31]

Metode Praktis Kaum Muslimin

Sebagian dari para teolog menganggap metode praktis (sirah) kaum muslimin sebagai dalil atas kewajiban imamah, karena dari sirah kaum muslimin akan jelas bahwa mereka mengganggap kewajiban imamah sebagai perkara yang diterima dan hal yang tidak diragukan lagi. Perselisihan antara Syiah dan Ahlusunah juga berkaitan dengan permasalahan konkrit dan sosok imam yang mengemban imamah, bukan pada pokok permasalahan imamah itu sendiri. [32] Abu Ali dan Abu Hasyim al-Jubbai dan sebagian yang lainnya berdalih tentang kewajiban imamah dengan ijma' para sahabat. [33]

Kaidah lutf (karunia Allah)

Bukti rasional terpenting para teolog Imamiah tentang kewajiban Imamah adalah kaidah lutf atau karunia Allah swt. Para teolog Syiah meyakini bahwa Imamah adalah salah satu contoh konkrit dari karunia Allah swt dan menjelaskan bahwa karena Allah harus memberikan karunia kepada hamba-hamba-Nya dan melantik serta mengenalkan Imam juga adalah bentuk dari sebuah karunia, maka Imamah juga adalah suatu hal yang wajib.

Sayid Murtadha dalam menjelaskan bahwa Imamah adalah sebuah karunia berkata:

Kita tahu bahwa ada banyak sekali tugas logika bagi manusia dan kita juga tahu bahwa orang-orang yang mukallaf itu tidak maksum. Dengan memperhatikan dua poin ini, maka dalil Imamah adalah sebagai berikut bahwa setiap orang yang berakal yang mengenal dan tahu tentang uruf dan sirah uqala (sikap praktis orang-orang yang berakal) dia tahu bahwa di mana saja, di satu masyarakat ada seorang pemimpin yang layak dan benar-benar mumpuni untuk mencegah kezaliman dan kebatilan serta membela keadilan dan nilai-nilai kemanusiaan, maka kondisi masyarakat akan lebih siap untuk pengembangan keutamaan-keutamaan dan nilai-nilai luhur dan ini tidak lain adalah sebuah karunia, karena karunia adalah sebuah motivasi yang mendorong para mukallaf menuju kepada ketaatan dan kebaikan dan menjauhi hal-hal yang buruk dan yang menjerumuskan. Oleh karena itu, Imamah adalah sebuah karunia bagi para mukallaf.[34]

Para teolog seperti Ibnu Maitsam Bahrani, Sadiduddin Hamshi, Khajah Nashiruddin Thusi dan tokoh lainnya juga sesuai dengan kaidah ini, telah memberikan penjelasan-penjelasan yang berbeda-beda dalam menggambarkan Imamah dan kewajibannya. [35]

Para teolog Mu'tazilah, walaupun menerima kaidah lutf, namun mereka dalam masalah ini tidak menerima penerapan kaidah ini dan tidak pula menerima bahwa imam adalah termasuk dari anugerah ini serta banyak keberatan-keberatan dalam hal ini yang mana Sayid Murtadha telah menjawabnya dalam kitab Al-Syāfi Fi al-Imāmah.

Falsafah Imamah

Sebagaimana yang diyakini oleh Ahlusunah bahwa imam hanya sosok seorang hakim bagi masyarakat, biasanya mereka mengenalkan falsafah keberadaan seorang imam dengan terbentuknya sebuah pemerintahan dan pelaksanaan tugas-tugas pemerintah dan pengaturan serta kepengurusan sebuah masyarakat. Sebagai contoh; dalam pandangan Mu'tazilah terlaksananya hukum-hukum agama seperti menegakkan hukum-hukum pidana, menjaga keberadaan umat Islam, mempersiapkan dan menertibkan kekuatan tentara pejuang untuk berjuang melawan musuh dan kepengurusan yang serupa, ini semua telah membentuk tujuan-tujuan terbentuknya imamah. [36]

Namun Syiah Imamiyah menjelaskan, ada dua macam tujuan untuk alasan keberadaan imam.

Pertama: Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ahlusunah, yaitu memiliki tujuan-tujuan dan pemanfaatan-pemanfaatan praktis. Dengan dasar ini, menjaga sistem sosial masyarakat muslim, tegaknya keadilan sosial, terlaksananya hukum-hukum Islam terutama hukum-hukum yang memiliki aspek sosial, penerapan sanksi-sanksi Tuhan adalah termasuk salah satu bentuk dari tujuan-tujuan imamah. [37]

Tujuan kedua yang merupakan tujuan terpenting dari terbentuknya imamah adalah: Penukilan, penjagaan dan penjelasan syariat.

Penukilan Syariat

Dalam pandangan Imamiyah, Allah telah mewahyukan agama secara sempurna kepada Nabi saw dan diapun telah menyampaikannya secara sempurna juga kepada para Imam sehingga mereka secara bertahap menjelaskannya kepada masyarakat. Dengan dasar ini, hukum-hukum parsial yang berkaitan dengan peribadatan, transaksi, kontrak; baik yang sepihak atau dua belah pihak, warisan, hukum-hukum pidana, dan diat (denda) belum dijelaskan dalam Alquran dan sunnah Nabi saw. Namun yang ada dalam Alquran dan sunnah Nabi adalah hukum-hukum yang sifatnya global dan universal. Hukum-hukum yang sampai kepada kita dari jalan hadis-hadis Nabi saw adalah terbatas dan belum tentu seluruh hadis inipun dari sisi sanadnya valid.

Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan ini Ahlusunah terpaksa menggunakan sumber-sumber lain seperti Qiyas, Istihsan dan cara-cara lainnya yang tidak menghasilkan sebuah keyakinan, yang menurut pandangan Syiah tidak memiliki validitas dan kita tidak memiliki dalil akal atau syariat yang dengan bersandar kepada hal-hal tersebut mampu digunakan dalam proses pengambilan kesimpulan sebuah hukum darinya. Contohnya, puasa di hari akhir bulan Ramadhan adalah wajib dan puasa di hari pertama bulan Syawal adalah haram dan di hari keduanya dihukumi sunnah, padahal kalau secara zahir tidak ada perbedaan antara keduanya. Oleh karena itu, hanya sekedar keserupaan antara dua hal ini, maka hukum satunya tidak bisa berlaku pada yang lainnya.

Dalam pandangan Syiah, Nabi saw, telah menyampaikan ajaran agama secara sempurna dan dalam hal ini tidak ada kekurangan sama sekali sehingga untuk menutupi kekurangan itu dibutuhkan Qiyas atau Istihsan. Namun karena ketidaksiapan masyarakat dan tidak adanya perkara, kebanyakan dari hukum-hukum tersebut untuk masyarakat biasa dari dasar belum terlontarkan. Nabi saw mengajarkan hukum-hukum semacam ini kepada para imam setelahnya sehingga mereka yang akan menjelaskan kepada masyarakat secara bertahap.

Penjagaan Syariat

Satu lagi dari perkara dan urusan yang melazimkan keberadaan seorang imam dan termasuk dari falsafah-falsafah imamah adalah penjagaan syariat. Berdasarkan hal ini, wujud atau keberadaan imam akan menyebabkan agama terjaga dari perubahan dan penyimpangan (tahrif); karena selain Alquran secara terperinci tidak menjelaskan hukum-hukum parsial syariat, di sisi lain Alquran pula tidak menjelaskan atau berbicara dengan sendirinya, akan tetapi perlu penafsiran. Namun dikarenakan pemahaman orang lain tentang Alquran, setidaknya masih dimungkinkan adanya kesalahan dan kekeliruan, oleh karena itu, perlu ada orang-orang yang pemahaman mereka tentang Alquran terjaga dari kesalahan dan pengkhianatan. Keberadaan mereka adalah tolok ukur dan ukuran untuk menentukan kesalahan pemahaman orang lain. Tolok ukur dan timbangan tersebut apapun dia, pada hakikatnya adalah akan menjadi penyebab terjaganya syariat tersebut.

Selain itu, hukum-hukum dan pengetahuan-pengetahuan yang telah dikutip dan dinukil secara mutawatir atau sosial itu terbatas dan tidak mencakup semua hukum syariat. Ijma' yang tanpa disandarkan pada pandangan dan perkataan Maksumin as juga dengan sendirinya tidak memiliki validitas. Dengan demikian, jalan satu-satunya yang tersisa adalah syariat hanya akan terjaga dengan keberadaan imam yang maksum; karena pandangannya maksum maka terjaga dari segala kesalahan, dan dengan itu segala pendapat dan interpretasi tentang tafsir Alquran dan penjelasan syariat dapat dinilai.

Penjelasan Pengetahuan-pengetahuan Agama

Faktor lain yang mengharuskan adanya Imam adalah penjelasan bagian dari pengetahuan-pengetahuan dan hukum-hukum syariat yang belum sempat dijelaskan oleh Nabi saw, karena keadaan tidak memungkinkannya untuk menjelaskan hal itu atau tidak mempunyai kesempatan yang cukup, sehingga penjelasan hal-hal tersebut diberikan kepada para imam.

Kriteria-kriteria dan keharusan-keharusan Imamah

Ismah (keterjagaan dari dosa)

Salah satu syarat dan keharusan imamah adalah keterjagaan Imam dari dosa dan kesalahan dalam menjalankan tugas-tugas dan tanggung jawabnya. Alasan dari perkara ini adalah bahwa Imam adalah pengganti Nabi saw dan tempat rujukan keilmuan dalam hukum-hukum syariat, pengetahun-pengetahuan agama, tafsir Alquran dan sunnah nabi. Oleh karena itu, sudah merupakan sebuah keharusan bahwa ia harus terjaga dari dosa dan kesalahan sehingga masyarakat bisa mempercayainya dan mendengar perkataan-perkataannya. Jika tidak demikian, maka kepercayaan masyarakat akan hilang dan tujuan Allah swt atas penentuan para imam sebagai petunjuk bagi manusia akan gagal dan sirna.

Ilmu Tuhan

Para Imam selain mendengar apa yang pernah disampaikan oleh Nabi saw baik secara langsung atupun melalui perantara, mereka juga memiliki ilmu-ilmu yang lain. Pengetahuan ini adalah dari jenis ilmu-ilmu yang berada di luar kebiasaan yang diberikan dalam berbentuk ilham dan tahdist (semacam wahyu) kepada mereka. Sebagaimana pula ilham yang pernah diwahyukan kepada Nabi Khidir, Dzulqarnain, Sayidah Maryam dan ibunda Nabi Musa as. Dengan ilmu semacam inilah sebagian para imam di usia belia dan kecil, sampai pada kedudukan Imamah. Dengan perantara ilmu ini, mereka tahu segala hal yang diperlukan mereka dalam memberikan petunjuk kepada hamba-hamba Allah dan menjalankan tugas dan misi imamah sehingga tidak perlu untuk belajar dari orang lain. [38]

Wilayah

Wilayah dalam Islam, Alquran dan pemikiran Syiah berarti perwalian dan kepemilikan dalam mengatur [39]

Wilayah (otoritas) ini terbagi menjadi dua bagian; takwini dan tasyri'i. Wilayah takwini atau wilayah terhadap alam adalah perwalian imam atas makhluk-makhluk di alam nyata dan di luar alam dan intervensinya pada mereka. Bagian lainnya dari wilayah adalah wilayah tasyri'i, dan yang dimaksud di sini adalah wilayah yang mencakupi perwalian imam untuk menafsirkan dan menjelaskan Alquran Al-Karim dan sunnah-sunnah Nabi dan juga membimbing dan memimpin umat dan masyarakat. [40]

Kehujahan Kata Imam dan keharusan Taat kepadanya

Kriteria ini memiliki arti demikian bahwa perkataan dan pembicaraan Imam dan tafsirannya adalah dari perkataan dan kalam Ilahi, valid dan wajib ditaati. kriteria ini disebabkan karena imam memiliki Ilmu laduni dan pengetahuan akan maksud Allah dalam ayat-ayat dari kitab-kitab langit.[41]

Imam-imam Syiah

Imam-imam Syiah berjumlah duabelas orang dari keluarga Nabi saw. Imam Ali as adalah Imam pertama dan imam-imam setelahnya adalah anak dan cucu-cucu Imam Ali as dan Sayidah Zahra sa. Para imam memiliki ilmu Ilahi dan kedudukan Ismah dan berhak memberi syafa'at dan dengan bertawasul kepada mereka seseorang dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. Mereka selain merupakan sumber rujukan keilmuan tentang ajaran-ajaran agama, tanggung jawab sebagai pemimpin politik sosial masyarakat juga diemban oleh duabelas orang ini.

Tidak sedikit hadis-hadis yang dinukil dari Nabi saw yang menggambarkan kriteria-kriteria para imam, dan menjelaskan jumlah dan penyebutan nama-nama mereka dan menunjukkan bahwa keseluruhan mereka adalah dari Quraisy dan Ahlulbait Nabi saw dan Mahdi yang dijanjikan juga dari mereka dan dia adalah imam yang terakhir dari mereka.

Terdapat riwayat-riwayat yang jelas dari Nabi saw mengenai keimamahan Ali as sebagai Imam pertama dan terdapat pula nas-nas "qath'i" (pasti) dari Nabi saw dan Ali as mengenai keimamahan imam yang kedua dan begitu seterusnya, dimana imam-imam sebelumnya menegaskan akan keimamahan imam-imam berikutnya. Berdasarkan teks-teks ini, imam-imam Islam adalah 12 orang dan nama mereka adalah sebagai berikut: [42]

Kritikan Ketidaksesuaian Imamah dengan Khatamiyah

Di antara kritikan-kritikan yang dilontarkan terkait masalah imamah itu sendiri adalah bahwa imamah dengan arti yang sudah dikatakan dan diyakini oleh para pengikut Syiah, tidak sesuai dengan khatamiyah (penutup kenabian); karena seseorang yang memiliki kriteria-kriteria imamah menurut pandangan para pengikut Syiah adalah tidak beda dengan Nabi. [43]

Ja'far Subhani menjawab kritikan tersebut sebagai berikut:

Perbedaaan antara kenabian dan pengembangan ilmu-ilmu Nabi yang mulia sudah jelas dan tidak perlu penjelasan. Karena esensi kenabian adalah bahwa nabi menjadi audien wahyu yang mendengar perkataan Allah swt, melihat utusan-Nya dan memiliki syariat yang mandiri atau orang yang menyiarkan syariat sebelumnya. Adapun Imam adalah gudang ilmu-ilmu Nabi dalam setiap perkara yang dibutuhkan umat, tanpa ia harus menjadi audien wahyu atau mendengar kalam Allah Yang Maha Suci atau melihat malaikat pembawa wahyu.[44]

Selain itu, sebagian orang meyakini bahwa imamah dengan arti yang telah dijelaskan merupakan buatan dan tindakan orang-orang Ghulat dari para pengikut Syiah yang mana dalam literatur-literatur asli awal Islam dan keyakinan-keyakinan para pengikut Syiah pada abad-abad pertama, tidak ada hal semacam itu.

Lihat Juga

Catatan Kaki

  1. Ibnu Faris, Mu'jam al-maqāyis fi al-Lughah, hlm. 48; Fayyumi, al-Mishbah al-Munir, jld. 1 hlm. 31-32; Ibnu Manzhur, lisan al-Arab, jld. 1, hlm.157; Raghib Isfahani, al-Mufradat fi Gharib Alquran, hlm. 24; Syartuni, Aqrab al-Mawarid, jld.1, hlm.19
  2. Mir Sayid Syarif, Al-Ta'rifat, hlm. 28; Bahrani, Qawaid al-Maram fi Ilmi al-Kalam, hlm. 174; Fadhil Miqdad, Irsyad al-Thalibin, hlm.325; Taftazani, Syarh al-Maqashid, jld.5, hlm. 234; Mir Sayid syarif, Syarh al-Mawaqif, jld. 8, hlm. 345.
  3. Hilli, Al-Bab al-Hadi Asyar,hlm. 66; Fadhil Miqdad, Irsyad al-Thalibin, hlm. 325-326; Fadhil Miqdad,al-Lawami' al-Ilahiyah, hlm. 319-320; Mir Sayid Syarif, Syarh al-Mawaqif, jld. 8, hlm. 345; Amidi, Abkar al-Afkar, jld. 3, hlm. 416; Taftazani, Syarh al-Maqasid, jld.5, hlm. 234.
  4. Fayyadh Lahiji, Gauhar Murad, hlm. 461-462; Fayyadh Lahiji, Sarmoyeh Iman, hlm. 107.
  5. QS. Surah Yasin, 12.
  6. QS. Surah Al-Hijr, 79.
  7. QS. Surah Hud, 17.
  8. QS. Al-Baqarah,124; QS. Surah Al-Anbiya, 73; QS. As-Sajdah, 24.
  9. QS. Al-Furqan, 74.
  10. QS. Al-Qashash, 5.
  11. QS. Al-Isra', 71.
  12. Subhani, Al-milal wa al-Nihal, jld.1, hlm. 22.
  13. Muqaddimah Ibnu Khaldun, hlm. 191.
  14. Kulaini, Ushul al-Kafi, jld.1, hlm. 155
  15. QS. Al-Baqarah: 126
  16. Kualini, Usul Kafi, jld.1, hlm. 133-134, 149-151, 154; Amidi, Ghayat al-Maram, jld. 3, hlm. 127-129; Bahrani, Al-Burhan Fi Tafsir al-Quran, jld.1, hlm. 149-151.
  17. QS. Al-Maidah, ayat 3
  18. Amini, Al-Ghadir, jld.1, hlm. 230-236; Amidi, Ghayat al-Maram, jld. 3, hlm. 328-340.
  19. QS. Al-Maidah, ayat 67
  20. Amini, Al-Ghadir, jld.1, hlm. 214-223; Amidi, Ghayat al-Maram, jld. 3, hlm. 320-327.
  21. QS. Surah Al-Isra' , 71.
  22. Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 3, hlm. 43.
  23. Nahjul Balaghah, Khutbah 252
  24. Kulaini, Ushul Kafi, jld. 2, hlm. 16, hadis 5 dan 8.
  25. Thusi, Talkhish al-Muhasshal, hlm. 407.
  26. Mir Sayid Syarif, Syarh al-Mawāqif, jld.8, hlm. 345.
  27. Thusi, Qawāid al-Aqāid, hlm.110; Taftazani, Syarh al-Maqāshid, jld.5, hlm. 235; Thusi, Talkhis al-Muhassal, hlm. 406; Hilli, Kasyfu al-Murād, hlm. 290; Mir Sayid Syarif, Syarh al-Mawāqif, jld.8, hlm. 345.
  28. Thusi, Talkhis al-Muhassal, hlm. 407.
  29. Taftazani, Syarh al-Maqāshid, jld.5, hlm. 239.
  30. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld.23, hlm. 76-95; Mas'udi, Isbat al-Washiyah, jld.1, hlm. 112-115; Naisyaburi, Al-Mustadrak ala al-Shahihain, jld. 1, hlm. 150 dan 204, hadis no. 259 dan 403; Ahmad bin Hanbal, Musnad, hld. 12, hlm. 188, hadis no. 15636 dan 16819; Syarh Nahjul Balaghah, jld. 9, hlm. 125
  31. Taftazani, Syarh al-Maqāsid, jld.5, hlm. 239; Abu Hanifah, Syarh al-Figh al-Akbar, hlm. 179; Al-Nabrās, hlm. 514; Thusi,Talkhish al-Muhasshal, hlm. 407.
  32. Mir Sayid Syarif,Syarh al-Mawāqif, jld.8, hlm. 346; Taftazani, Syarh al-'Aqāid al-Nafsiyah, hlm. 110; Syahristani, Nihāyah al-Aqdām, hlm.479; Amidi, Ghāyat al-Marām, hlm. 364.
  33. Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughni Fi Abwaābi al-Tauhid wa al-'Adl, Al-Imāmah, jld.1, hlm.47.
  34. Syarif Murtadha, al-Dzakhirah fi Ilm al-Kalam, hlm.409-410
  35. Bahrani, Qawāid al-Maram, hlm. 175, Halabi, Taqrib al-Ma'ārif, hlm. 95; Hamshi, Al-Manfadz min al-Taqlid, jld. 2, hlm.240; Hilli, Kasfu al-Murad, hlm. 290; Fadhil Miqdad,Irsyad al-Thalibin, hlm. 327.
  36. Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughni fi Abwābi al-Tauhid wa al-Adl, Al-Imāmah, jld.1, hlm.39-41; Qadhi Abdul Jabbar,Syarh al-Ushul al-Khamsah, hlm. 509.
  37. Al-Alfain, hlm. 7-8.
  38. Misbah Yazdi, Āmozeshe Aqāid, hlm. 321-322.
  39. Thabathabai, Tarjumah Tafsir al-Mizān, jld.18, hlm. 26-27.
  40. Jawadi Amoli, Wilāyate Faqih, hlm. 124-125.
  41. Thabathabai, Syieh dar Islām, hlm. 31-32.
  42. ThabaThabai, Syieh dar Islām, hlm. 198-199
  43. lihat: Nasir bin Abdillah Ali al-Ghiffari, Ushul Mazhab al-Syiah al-Imāmiyah al-Itsnā Asyariyah, jld.2, hlm.655; Ceramah Dr. Surush, 3 Murdad 84, universitas Surabin-Paris: lembaga media Dr. Abdul Karim Surush.
  44. Subhani, Ilāhiyāt Ala Huda al-Kitāb wa al-Sunnah wa al-‘Aql, jld.4, hlm.39

Daftar Pustaka

  • Alquran Al-Karim. terjemahan Fuladvan.
  • Abu Hanifah. Syarh al-Fiqh al-Akbar. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, cet. II, 1428 H.
  • Al-Nibrās.
  • Amidi, Saifuddin. Abkār al-Afkār. Kairo: Dar al-Kutub. 1423 H.
  • Amidi, Saifuddin. Ghāyatu al-Marām fi Ilmi al-Kalām. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1413 H.
  • Amini, Abdul Husain. Al-Ghadir. Qom: Markaz al-Ghadir. 1416 H.
  • Bahrani, Ibnu Maitsam. Qawāid al-Marām fi Ilmi al-Kalām. Qom: Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, cet. II, 1406 H.
  • Bahrani, Sayid Hasyim. Al-Burhan fi Tafsir al-Qurān. Qom: Nasyr Bi'sah. 1416 H.
  • Fadil Miqdad. Al-Lawāmi' al-Ilāhiyah. Qom: Daftar Tablighat Islami, cet. II.
  • Fadil Miqdad. Irsyād al-Thālibin. Qom: Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi. 1405 H.
  • Fayadh Lahiji. Gauhar Murād. Teheran: Sayeh. 1383 HS.
  • Fayadh Lahiji. Sarmāyeh Imān Dar Ushul I'tiqādāt. Editor: Shadiq Larijani. Teheran: Nasyr al-Zahra, cet. III, 1414 H.
  • Fayyumi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mishbāh al-Munir fi Gharib al-Syarh al-Kabir. Dar al-Hijrah. 1414 H.
  • Hakim Neisyaburi. Al-Mustadrak Ala al-Shahihain.
  • Halabi, Abu Al-Shalah. Taqrib al-Ma'ārif. Qom: al-Hadi. 1404 H.
  • Hemeshi, Mahmud. Al-Munqidz min al-Taqlid.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Al-Alfain. Qom: Muassasah Islamiyah. 1423 H.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Al-Bāb al-Hādi Asyar. Tehran: Muassasah Muthala'ah Islamiyah. 1423 H.
  • Hilli, Hasan bin Yusuf. Kasf al-Murād, Qom: Nasyr Islami. 1413 H.
  • Ibnu Abil Hadid, Abdul Hamid. Syarh Nahjul Balāghah. Editor: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Ibnu Abi al-Hadid. Qom: Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi.
  • Ibnu Faris, Ahmad. Mu'jam al-Maqāyis fi al-Lughah. Editor: Abdus Salam Muhammad Harun. Qom. 1404 H.
  • Ibnu Hambal. Musnad Ahmad bin Hambal.
  • Ibnu Manzur, Muhammad bin Mukrim. Lisān al-Arab. Editor: Jamaluddin Mirdamadi. Beirut: Dar al-Fikr dan Dar Shadir. 1414 H.
  • Jawadi Amuli. Wilāyate Faqih.
  • Kulaini, Muhammad bin Yakub. Ushul al-Kāfi. Editor: Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, cet. IV, 1407 H.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār. Beirut: Dar Ihya al-Thurast al-Arabi, cet. II, 1403 H.
  • Masudi, Abul Hasan. Itsbāt al-Washiah lil-Imām Ali bin Abi Thalib. Qom: Anshariyan, cet. III, 1423 H.
  • Mir Sayid Syarif. Al-Ta'rifāt. Teheran: Nasir Khusru, cet. IV, 1412 H.
  • Mir Sayid Syarif. Syarh al-Mawāqif. Qom: Syarif Radhi, cet. Offset. 1325 H.
  • Mishbah Yazdi, Muhammad Taqi. Amozesy Aqāid. Teheran: Nasyre Bainal Milal. 1377.
  • Muqaddimah Ibnu Khaldun.
  • Nahjul Balāghah. terjemahan Syahidi.
  • Qhadi Abdul Jabbar. Al-Mughni fi Abwāb al-Tauhid wa al-Adl, al-Imamah. Kairo: Al-dar al-Misriyah, 1962-1965.
  • Qhadi Abdul Jabbar. syarh al-Ushul al-Khamsah. Beirut: Dar Ihya al-Thurast al-Arabi. 1422 H.
  • Raghib Isfahani, Husain bin Muhammad. Al-Murfadāt fi Gharib al-Qurān. Beirut: Dar al-Qalam. 1412 H.
  • Subhani, Ja'far. Al-Milal wa al-Nihal.
  • Subhani, Ja'far. Ilāhiyāt ala Huda al-Kitāb wa al-Sunnah wa al-Aqliyah. Tulisan: Syaikh Hasan Amili. Qom: Muassasah Imam Shadiq, cet. IV, 1417 H.
  • Syahristani. Nihāyah al-Aqdām. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah. 1425 H.
  • Syarif Murtadha. Al-Dzakhirah fi ilm al-Kalām. Qom: Nasyr Islami. 1411 H.
  • Syertuni, Said. Aqrab al-Mawārid. Qom: perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi. 1402 H.
  • Taftazani, Sa'aduddin. Syarh al-Aqāid Al-Nafsiyah. Kairo: Perpustakaan al-Kulliyat al-Azhariyah. 1407 H.
  • Taftazani, Sa'aduddin. Syarh al-Maqāsid. Offset Qom: Sayrif Radhi. 1409 H.
  • Thabarsi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān. tanpa nama, tanpa tehun.
  • Thabathabai, Muhammad Husain. Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān. Terjemahan Hamedani. Qom: Nasyr Intisyarat Islami, 1374 HS.
  • Thusi, Nasiruddin. Qawāid al-Aqāid. Lebanon: Dar al-Gharbah. 1413 H.
  • Thusi, Nasiruddin. Talkhis al-Muhassal. Beirut: Dar al-Adwa, cet.II, 1405 H.

ِِّّّّ