Ushuluddin
Ma'rifatullah | |
---|---|
Tauhid | Tauhid Dzati • Tauhid Sifat • Tauhid Af'al • Tauhid Ibadah |
Furuk | Tawasul • Syafa'at • Tabarruk • |
Keadilan Ilahi | |
Kebaikan dan keburukan • Bada' • Amrun bainal Amrain • | |
Kenabian | |
Keterjagaan • Penutup Kenabian • Nabi Muhammad Saw • Ilmu Gaib • Mukjizat • Tiada penyimpangan Alquran | |
Imamah | |
Keyakinan-keyakinan | Kemestian Pelantikan Imam • Ismah Para Imam • Wilayah Takwini • Ilmu Gaib Para Imam • Kegaiban Imam Zaman as • Ghaibah Sughra • Ghaibah Kubra • Penantian Imam Mahdi • Kemunculan Imam Mahdi as • Raj'ah |
Para Imam | |
Ma'ad | |
Alam Barzah • Ma'ad Jasmani • Kebangkitan • Shirath • Tathayur al-Kutub • Mizan • Akhirat | |
Permasalahan Terkemuka | |
Ahlulbait • Empat Belas Manusia Suci • Taqiyyah • Marja' Taklid |
Ushuluddin (bahasa Arab:أصول الدين) adalah dasar-dasar keyakinan agama Islam, barang siapa yang meyakininya, hal itu menjadi syarat seseorang menjadi muslim. Ushuluddin bukan perkara taklid, namun perkara yang harus dicari sendiri kebenarannya. Artinya, seseorang harus meneliti dan mempelajari sendiri dengan mengerahkan pikiran untuk memahaminya, dan bukan dengan jalan mengikuti pemikiran orang lain secara taklid buta.
Makna Ushuluddin
Ushul adalah kata bahasa Arab, jamak dari kata ashl (اصل), yang berarti dasar-dasar, asas dan pondasi. Ashl yaitu sesuatu yang bangunan lain berdiri tegak di atasnya. Kata majemuk "Ushululddin" secara gramatikal adalah kata yang menunjukkan sekumpulan keyakinan dasar dan menjadi pondasi agama Islam, dimana setiap muslim harus memiliki keyakinan-keyakinan ini sehingga bisa disebut sebagai orang Islam, dan mengingkari salah satu saja dari keyakinan-keyakinan tersebut akan menyebabkan kekafiran. Ushuluddin berupa pemahaman dan keyakinan. Sedangkan furu'uddin (cabang agama) berupa perbuatan atau amal yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan manusia, seperti salat, haji dan jihad.
Di samping maknanya yang masyhur ini, istilah ushuluddin juga bermakna lain, misalnya bermakna ilmu kalam.[1] [2]
Cakupan Ushuluddin
Pemahaman-pemahaman yang dikategorikan ke dalam ushuluddin adalah:
Syiah menambahkan dua dasar keyakinan lain—Keadilan Ilahi dan Imamah—ke dalam ushuluddin sebagai ushul mazhab (Syiah Imamiyah), sementara mazhab lain tidak memasukkannya. Meskipun tidak meyakini keadilan dan imamah tidak akan menyebabkan seseorang keluar dari Islam, namun kedua ushul itu menjadi syarat seseorang disebut Syiah. Seseorang yang tidak meyakini keadilan Ilahi dan imamah tidak dapat disebut sebagai orang Syiah.
Sejarah Singkat
Istilah ushuluddin tidak ditemukan dalam Alquran dan hadis. Istilah ini sepertinya dibuat oleh para ulama dan ahli kalam Islam pada pertengahan abad kedua Hijriah. Pada masa itu dimulainya pembahasan-pembahasan teologi dan keyakinan sebagai pengaruh dari sebagian kehidupan politik dan sosial di tengah-tengah umat Islam, sehingga memunculkan kelompok-kelompok dan golongan-golongan mazhab. Mereka masing-masing menetapkan batasan Islam dan keyakinan-keyakinannya sendiri.
Dalam beberapa hadis diisyaratkan tentang Islam yang memiliki dasar-dasar dan rukun-rukun. Misalnya, disebutkan dalam sebuah hadis dari Imam Shadiq as yang menjawab pertanyaan tentang akidah-akidah Islam yang harus diyakini, "Kesaksian atas tauhid (keesaan Allah) dan kenabian Nabi Muhammad saw, percaya terhadap apa yang datang dari Allah, membayar zakat dan memberikan jiwanya pada wilayah Ahlulbait Nabi saw."[3]
Dalam hadis Imam Baqir as disebutkan, "Islam mempunyai lima dasar: Salat, zakat, puasa, haji dan wilayah, dimana berwilayah ini paling penting di antara yang lainnya."[4] Hadis-hadis dari para Imam Syiah ini menunjukkan bahwa sebagian perkara-perkara itu berkaitan dengan agama Islam yang jika tidak meyakininya akan menyebabkan pengingkaran atas agama.
Yakin dan Prasangka
Telah disepakati bahwa percaya kepada ushuluddin adalah sebuah kemestian dan tidak ada perbedaan pendapat mengenainya. Namun terdapat perbedaan pendapat tentang apakah percaya terhadap ushuluddin harus berdasarkan ilmu yang sudah yakin dan pasti ataukah cukup dengan sebuah zhan (prasangka). Jika harus berdasarkan ilmu yang pasti, apakah ilmu tersebut harus berdasarkan dalil ataukah cukup dengan taklid. Pendapat kebanyakan menyatakan bahwa percaya terhadap ushuluddin harus berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang pasti dan tidak cukup berdasarkan prasangka saja.
Dalil atas pendapat ini adalah Al-Quran dan hadis-hadis yang mecela prasangka. misalnya, "Sesungguhnya persangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk mencapai kebenaran." (Surah Yunus: 36), "Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka," (Surah Al-An'am:116) dan "mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja" (al-Jatsiyah: 24).[5]
Sebagian orang memiliki pendapat lain yang berbeda dengan pandangan ini, bahwa prasangka yang kuat dalam kepercayaan terhadap ushuluddin adalah cukup. Mereka mengatakan prasangka yang kuat bisa menenangkan jiwa dan ilmu yang dipercaya menurut pembuat syariat juga sebagai sumber ketenangan dan ketentraman jiwa.[6] Oleh karena itu, yang penting dalam mengimani ushuluddin adalah keyakinan, yang mereka sebut sebagai keyakinan umum. Dalam keyakinan umum tidak menutup kemungkinan adanya kesalahan, namun karena kemungkinannya bersifat lemah, maka tidak perlu diperhatikan. Berbeda dengan keyakinan secara mantik (logika) dalam pengertian khusus, dimana kemungkinan salahnya menjadi tidak ada.
Taklid dan Meneliti Ushuluddin
Banyak para ulama berpendapat bahwa tidak boleh taklid dalam perkara ushuluddin. Mengetahui ushuluddin harus diperoleh berdasarkan penelitian. Perkara ini sudah sepakat dan diakui secara ijma'.[7]
Salah satu dalil tidak bolehnya taklid dalam masalah ushuluddin adalah: Seorang mukallad (orang yang diikuti) bisa jadi mengetahui kebenarannya sendiri atau ia tidak mengetahuinya. Dalam kondisi ini ada kemungkinan ia keliru, dan berdasarkan hal ini taklid kepadanya adalah sebuah keburukan, karena ia tidak terjaga dari ketidaktahuan dan kekeliruan. Adapun jika ia mengetahui berada pada kebenaran, tidak akan keluar dari dua kemungkinan: pengetahuan baginya diperoleh tanpa dalil, atau pengetahuannya dihasilkan melalui dalil. Kemungkinan pertama menjadi batal. Pada kemungkinan kedua, apakah dalil yang dipakai bukan hasil taklid, ataukah dihasilkan dari taklid. Jika dihasilkan dari taklid, orang-orang yang wajib ditaklidi akan menjadi tidak ada batasnya (jumlahnya tak terhingga atau tasalsul). Maka, satu-satunya kemungkinan yang bisa diterima akal adalah seseorang harus melalui dalil-dalil atas kebenaran dirinya, dan hal ini bukanlah sebuah taklid. Kesimpulannya, dalam masalah ushuluddin tidak sah bertaklid.[8]
Ushuluddin Menurut Imamiyah
Keyakinan yang masyhur bahwa ushuluddin mencakup tiga hal: Tauhid, kenabian dan ma'ad (hari akhir). Namun, dua ushul lainnya —keadilan Ilahi dan imamah— harus ditambahkan sebagai ushul mazhab. Dengan kata lain, berdasarkan keyakinan ini, jika seseorang mengingkari salah satu dari ushuluddin maka ia menjadi kafir. Adapun jika seseorang menyatakan percaya pada tiga ushuluddin tersebut dan mengingkari keadilan Ilahi dan imamah, maka ia tidak menjadi kafir. Hanya saja ia tidak bisa disebut sebagai Syiah.[9]
Menurut pandangan mayoritas ulama kalam Syiah, lima ushul bisa dijelaskan sebagai berikut:
- Tauhid, makrifat kepada Allah dan membenarkan bahwa Allah adalah wujud azali dan abadi. Dia adalah wajibul wujud dengan Dzat-Nya sendiri. Membenarkan adanya sifat-sifat yang tetap bagi Allah, seperti kuasa, ilmu dan hidup. Mensucikan-Nya dari sifat-sifat mustahil, seperti bodoh dan lemah. Juga meyakini bahwa semua sifat-sifat Allah adalah Dzat Allah, dan tidak ada satu pun sifat yang menjadi tambahan bagi Dzat-Nya.
- Keadilan Ilahi, makrifat kepada Allah bahwa Dia Adil dan Bijaksana. Yaitu, Alllah tidak melakukan perbuatan buruk dan tidak pernah meninggalkan pekerjaan yang harus dilakukan-Nya. Allah tidak senang terhadap perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan manusia, dan pada dasarnya setiap manusia melakukan sendiri perbuatan-perbuatannya dengan kekuatan dan kehendak ikhtiar yang dianugerahkan oleh Allah. Oleh karena itu, manusia bertanggung jawab atas semua perbuatan baik dan buruknya sendiri.
- Kenabian, membenarkan kenabian Nabi Muhammad saw dan apa yang diturunkan kepadanya sebagai wahyu dari Allah. Akan tetapi, terdapat perbedaan pendapat mengenai apakah cukup membenarkan secara umum terhadap perkara-perkara yang dibawa oleh Nabi saw berupa wahyu, ataukah membenarkan semuanya harus secara detil. Perlu disebutkan, sebagian ulama Syiah Imamiyah berpendapat bahwa membenarkan kemaksuman Nabi saw dan meyakininya sebagai nabi terakhir adalah perkara yang wajib.
- Imamah, membenarkan imamah atau kepemimpinan para imam dua belas. Seluruh ulama teologi Syiah Imamiyah sepakat mengenai ushul ini. Ushul ini menjadi sebuah kemestian mazhab. Para imam semuanya maksum dan penjaga syariat. Mereka menunjukkan manusia kepada hakikat dan semua manusia wajib mengikuti para imam. Imam kedua belas, Imam Mahdi afs, saat ini masih hidup dan sedang dalam fase gaib, yang suatu saat pasti akan muncul dengan izin Allah.
- Ma'ad, berdasarkan ushul ini semua manusia akan kembali dihidupkan setelah kematiannya dan akan ditimbang seluruh amal baik dan buruknya. Umat Islam pada umumnya meyakini kebangkitan kelak berupa kebangkitan jasmani, yaitu tubuh ukhrawi manusia setelah kematian akan kembali menjadi tubuh jasmani.[10]
Catatan Kaki
- ↑ Qawaid al-Maram fi Ilm al-Kalam, hlm. 20; Majma' al-Bahrain, jld. 5. Hlm. 306.
- ↑ Untuk lebih jauh lihat: Talkhish al- Muhasshal, hlm. 1; Kasyf al-Zhunun, jld. 2, hlm. 1503.
- ↑ Lihat: Kulaini, jld. 2, hlm. 19-20.
- ↑ Lihat: Ibid, jld. 2, hlm. 18.
- ↑ Haqaiq al-Iman, hlm. 56
- ↑ Haqq al-Yaqin, hlm, 571, 575; Syarh al-Muwafiq, jld. 8, hlm. 331.
- ↑ Anis al-Muwahhidin, hlm. 22; Haqaiq al-Iman, hlm. 59.
- ↑ Sayyid Murtadha, 164-165.
- ↑ Mirza-ye Qommi, Ushul-e Din, 5.
- ↑ Syahid Tsani, Opcit.
Daftar Pustaka
- Amadi, Ali, al-Ahkam fi Ushul al-Ahkam, Riset oleh: Ibrahim Azuz, Beirut, 1405 H/1985 M.
- Ibnu Taimiyah, Ahmad, Muwafiqat Shahih al-Manqul li Sharih al-M'qul, Beirut, 1405 H/1985 M.
- Ibnu Maitsam Bahrani, Maitsam, Qawa'id al-Maram fi Ilm al-Kalam, Riset oleh: Ahmad Husaini dan Mahmud Mar'asyi, Tehran, 1406 H.
- Ibnu Nadim, Al-Fahrast