Burhan Tamanu'
Burhan Tamanu' (bahasa Arab: برهان التمانع) adalah salah satu argumen penting teologis yang digunakan untuk membuktikan ke-Esaan Allah. Berdasarkan argumen ini, pernyataan bahwa Tuhan sebagai pengatur (mudabbir) itu ada dua tidak pernah bisa diterapkan dalam sebuah sistem yang dipenuhi dengan keteraturan. Oleh itu satu di antara kedua tuhan itu tentunya tidak berdaya karena asumsi kepemimpinan atas alam dan ciptaannya apabila lebih dari seorang pengatur maka akan meniscayakan adanya kerusakan. Oleh itu, hanya ada satu Tuhan sebagai pengatur dan pengelolah alam. Burhan teologis ini juga disebut dengan burhan taghalib. [1]Prinsip-prinsip burhan ini terinspirasi dari ayat-ayat Alquran.
Kandungan Burhan
Penjelasan secara sederhana dan umum adalah: Bila diasumsikan apabila salah satu dari dua pencipta ingin menciptakan dan yang lainnya tidak maka akan ada tiga kondisi yang akan terjadi:
- Keduanya akan mencipta dan hal ini meniscayakan adanya ijtima' naqidhain (prinsip non kontradiksi) yaitu berhimpunnya dua hal yang saling bertentangan.
- Keduanya tidak mencipta yang akan meniscayakan ketidakmampuan kedua pencipta dan tidak adanya pencipta.
- Salah satu dari keduanya akan mencipta dan ia adalah Tuhan yang mampu secara mutlak dan memiliki kemampuan secara mutlak dan hanya ia yang bisa diyakini sebagai Tuhan dan hal ini tidak sesuai dengan asumsi awal
Oleh itu, asumsi bahwa terdapat dua pencipta adalah absurd dan mustahil. [2]
Prinsip-prinsip Burhan Tamanu'
Para mufasir, menjadikan ayat-ayat berikut ini sebagai dasar dari burhan tamanu': [3] [4]
Pandangan-pandangan
Teolog
Sebagian teolog memandang bahwa burhan tamanu' adalah argumen yang paling kuat dan paling jelas untuk menolak keragaman Tuhan. [5] Sayyid Murtadha Alamul Huda, [6] seorang teolog Syiah menulis burhan tamanu' dengan baik. Demikian juga Syaikh Thusi dalam kitab Tamhid al-Ushul juga menerangkan tentang burhan ini. [7] Sebagian teolog Syiah pada abad ke-7 dan setelahnya, pada umumnya mengkritik burhan ini. Khajah Nashiruddin al-Thusi tidak menuliskan burhan ini dalam sebagian karya-karyanya, demikian juga ia bahkan mengkritik burhan ini dalam salah satu karyanya. [8] Ulama-ulama yang sezaman dengannya, Maitsam bin Ali Bahrani [9] dan Abdul Razaq Lahiji [10] tidak menyertakan burhan tamanu' dalam membuktikan ke-Esaaan Allah swt. Fadhil Miqdad Suri dalam kitab Al-Lawami' Ilahiyyah [11] dan Ibnu Makhdum Husaini dalam kitab Miftah al-Bab [12] juga mengkritik burhan tamanu'.
Ahli Hadis
Muhammad Baqir Majlisi dalam syarah beberapa hadis mengisyaratkan tentang beberapa hadis yang menjelaskan burhan tamanu', seperti riwayat Hisyam bin Hakam dari Imam Shadiq as bahwa dalil atas ke-Esa-an Allah swt adalah ketunggalan pengaturan dan kesempurnaan penciptaan. Hal itu dapat disandarkan pada Surah Al-Anbiya ayat 22. [13]
Burhan Tamanu' dalam Irfan Ibnu Arabi
Ibnu Arabi [14] dengan mendasarkan kepada ayat 22 Surah Al-Anbiya berkata bahwa alam ada dan tetap (tidak rusak) maka tidak mungkin Tuhan berjumlah lebih dari satu. Kemudian ia menjelaskan dengan bukti teologis bahwa burhan tamanu' dan perumpamaan bahwa ada dua Tuhan adalah hal yang muhal (tidak mungkin). Ia menilai bahwa argumen ini adalah argumen yang dikemukakan Nabi Ibrahim as di hadapan orang-orang yang mempercayai adanya sifat ketuhanan pada bintang-bintang dan bulan. [15] Di samping bahwa ia mengkritik orang-orang yang terpengaruh burhan ini menjelaskan bahwa argumen ini adalah argumen terkuat atas dalil akli atas adanya ke-Esaan Tuhan yang ada dalam Alquran, dan apabila ada dalil yang lebih kuat, pasti Alquran akan membawakannya.
Filosof Terdahulu
Penjelasan para teolog tentang burhan tamanu' menuai kritik dari para filosof. Ibnu Sina [16] menilai bahwa argumen ini tidak menjelaskan secara benar dan tidak proporsional. Suhrawardi menilai burhan ini sebagai dalil yang memuaskan sementara waktu dan sifatnya lebih retoris (khitabi). Menurut kebanyakan filosof terdahulu, mukadimah-mukadimah burhan tamanu' terdiri dari konsepsi-konsepsi dan keyakinan-keyakinan umum dan tidak sesuai dengan dasar-dasar filsafat. Mulla Sadra menuliskan argumentasi ini dalam kitabnya Al-Mabda wa al-Ma'ad dan Al-Asfar al-Arba'ah. Dalam menjelaskan burhan ini ia menuliskan: Apabila wajib al-wujud banyak maka akan terjadi kerancuan bahwa karya yang satu adalah karya yang lain juga karena keduanya dalam kemestian wujud yang merupakan satu hakikat. Nah, apabila karya yang satu merupakan karya yang lain juga, maka penyandaran kepada salah satu hanya akan menyebabkan keduanya lebih mulia tanpa ada yang lebih dimuliakan atas salah satunya dan hal ini adalah tidak mungkin karena mengacu pada prinsip tarjih bila murajjih (memilih sesuatu tanpa alasan pembenar) yang tertolak secara filosofis. Oleh karena itu wajibul wujub tidak boleh berjumlah lebih dari satu. [17]
Filosof Kontemporer
Sebagian filosof kontemporer melemparkan kritikan yang tidak berdasar terhadap burhan tamanu'. Tentu saja, sebagian ulama menilai bahwa beberapa kritikan ini merupakan kritikan yang sehat. Beberapa ulama hanya mengkritik dengan berdasaran teologi Mu'tazilah dan Asy'airah dan dengan menulis tentang burhan tamanu' dengan cara yang baru dan menjawab kritikan yang ada. [18] Allamah Thabathabai dalam kitab Nihayah al-Hikmah [19] juga memandang bahwa burhan tamanu' seperti dalam tauhid rububiyyah dan berkata bahwa keniscayaan adanya beberapa pengatur untuk satu alam akan menyebabkan kerusakan pada sistem alam. Dengan kata lain asumsi adanya beberapa Tuhan adalah tidak mungkin. Ia dalam menafsirkan ayat 22 surah al-Anbiya [20] di samping menjelaskan tentang tema yang menjadi perbedaan antara orang-orang yang beriman dan musyrik biasanya pada masalah pengaturan dan rububiyyah juga mengkritik orang-orang yang memiliki pandangan bahwa ayat ini digunakan sebagai dalil burhan tamanu' atas pemahaman yang akan menghasilkan kesimpulan bahwa ayat ini merupakan ayat untuk membuktikan adanya pencipta padahal ayat ini dimaksudkan untuk membuktikan ketidakmungkinan pengaturan yang banyak dan meliputi burhan yang terdiri dari mukadimah-mukadimah (premis-premis) yang telah diyakini kebenarannya. [21]
Catatan Kaki
- ↑ Risālah Istihsān al-Khaudh fi Ilmi Kalām, hlm. 4.
- ↑ Allama' fi Radd ala Ahli Zaigh wa al-Bada', hlm. 20-21; Al-Tamhid, hlm. 46.
- ↑ Silahkan lihat: Al-Tibyān, jld. 7, hlm. 238; Majma al-Bayan fi Tafsir Alquran, jld. 7, hlm. 70; Rauh al-Jinān wa Ruh al-Jinān, jld. 8, hlm. 11; Tafsir al-Kabir, jld. 22, hlm. 150-154; Al-Mizān fi Tafsir Alquran , hlm. 266.
- ↑ Dah Makālah Pirāmun Mabda wa Ma'ad, hlm. 145.
- ↑ Al-Mathālib al-Aliyah min Ilm Ilāhi, jld. 2, hlm. 135; Kasyf al-Fawāid fi Syarah Qawāid al-Aqāid, hlm. 51.
- ↑ Syarah Jamal al-Ilm wa al-Amal, hlm. 79-80.
- ↑ Tamhid al-Ushul dar Ilmi Kalām Islāmi, hlm. 188-194.
- ↑ Tamid al-Ushul dar Ilmu Kalam Islāmi, hlm. 188-194.
- ↑ Qawāid al-Muram fi Ilmu al-Kalām, hlm. 100.
- ↑ Guhar Murād, hlm. 119-157.
- ↑ Hlm. 75.
- ↑ Hlm. 145-146.
- ↑ Bihār al-Anwār, jld. 3, hlm. 229.
- ↑ Al-Futuhat al-Makiyyah, jld. 2, hlm. 288-289.
- ↑ Silahkan lihat: Surah Al-An'am ayat 74-83.
- ↑ Al-Ta'liqāt, hlm. 37.
- ↑ Al-Mabda wa al-Ma'ad, jld. 1, hlm. 87.
- ↑ Majmu'ah Atsār, jld. 6, hlm. 1060; Jawadi Amuli, hlm. 152.
- ↑ 281-282.
- ↑ Al-Mizān, jld. 14, hlm. 266-268.
- ↑ Silahkan lihat: Al-Mizān, jld. 15, hlm. 62-63.
Daftar Pustaka
- Alamul Huda, Ali bin Husain, Syarah Jumal al Ilm wa al-‘Amal, cet. Ya'qub Ja'fari Muraghi, Tehran, 1414.
- Asy'ari, Ali bin Ismail, Kitab al-Lama' fi Radd ala Ahli Zayagh wa Bada', cet. Hamudah Gharabah, Mesir, 1955.
- Asy'ari, Ali bin Ismail, Risalah Istihsān al-Khaudh fi Ilm Kalām, cet. Syarafuddin Ahmad, Haidar Abad Dakan, 1400 H.
- Bahrani, Maitsam bin Ali, Qawāid al-Murm fi Ilmu Kalām, Cet. Ahmad Husaini, Qum, 1406.
- Dekhuda, Ali Akbar, Amtsāl wa Hukm, 1357 S.
- Fadhil Miqdad, Miqdad bin Abdullah, Al-Lawāmi' al-Ilahiyyah fi Mabāhits al-Kalāmiyyah, cet. Muhammad Ali Qadhi Thabathabai, Tabriz, 1396.
- Hilli, Hasan bin Yusuf, Kasyf al-Fawāid fi Syarah Qawāid al-‘Aqāid, cet. Sanggi, Tehran, 1305.
- Husain bin Ali Abul Futuh Razi, Tafsir Rauh Jinān wa Ruh Jinān, cet. Abul Hasan Sa'rani wa Ali Akbar Ghifari, Tehran, 1382-1387 S.
- Ibnu Arabi, Al-Futuhāt al-Makiyyah, Beirut, tanpa tahun.
- Ibnu Makhdum Husaini, Miftāh al-Bāb, dengan lampiran Nafi' Yaum Hasyr fi Syarh Bab al-Hadi Asyara, Fadhil Miqdad, cet. Mahdi, Tehran, 1365 S.
- Ibnu Sina, Al-Ta'liqāt, cet. Abdurahman Badawi, Qum, 1404 H.
- Jawadi Amuli, Abdullah, Dah Makālah Pirāmune Mabda wa Ma'ad, Tehran, 1363 S.
- Lahiji, Abdul Razaq bin Ali, Guhar Murād, cet. Muwahid, Tehran, 1364 S.
- Majlisi, Muhammad Baqir bin Muhammad Taqi, Bihār al-Anwār, Beirut, 1403 H.
- Masykuh Dini, Abdul Muhsin, Tamhid al-Ushul dar Ilm Kalam Islami, karya Sayid Murtadha, Syarah oleh Muhammad bin Hasan Thusi, Tehran: Anjuman Hikmat wa Falsafah, 1385 S.
- Muhammad Hasan Thusi, Al-Tibyān fi Tafsir al-Qurān, cet. Ahmad Habib Qusair Amili, Beirut, tanpa tahun.
- Muhammad Taib Baqalani, Al-Tamhid, cet. Mahmud Muhammad Khudhairi wa Muhammad Hadi Abu Raidah, Qahirah, 1366/1947.
- Muhammad Umar Fahr Razi, Al-Mathālib al-Aliyah min Ilmu Ilahi, cet. Ahmad Hijazi Saqa, Beirut, 1407 H.
- Muhammad Umar Fahr Razi, Tafsir al-Kabir, Beirut, 1411/1990.
- Muthahhari, Majmu'ah Atsar Syahid Muthahhari, Tehran, 1371-1374 S.
- Syirazi, Sadrauddin Muhammad (Mulla Shadra), Al-Mabda wa al-Ma'ad fi Hikmah al-Muta'aliyah, Tahkik: Muhammad Dzabihi dan Ja'far Syah Nadzari, Tehran: Bunyad Hikmat Islami Sadra, 1381 S.
- Thabarsi, Fadhl bin Hasan, Majma' al-Bayān fi Tafsir al-Qurān, cet. Hasyim Rasuli Mahalati wa Fadhlullah Yazdi Thabathabai, Beirut, 1408/1988.
- Thabathabai, Muhammad Husain, Al-Mizān fi Tafsir al-Qurān, Beirut, 1390-1394 H.
- Thabathabai, Muhammad Husain, Nihāyah al-Hikmah, cet. Abdullah Nurani, Qum, 1362 S.