Anak Halal

Prioritas: c, Kualitas: b
tanpa referensi
Dari wikishia

Kelahiran Halal (bahasa Arab:طهارة المولد) adalah kelahiran melalui cara yang sah dan halal. Anak halal adalah seseorang yang dilahirkan melalui pernikahan yang sah atau cara yang setara dengan pernikahan. Dalam fikih, istilah "thaharah maulid" digunakan untuk menyebut kelahiran halal dan dalam beberapa hal agama, dijadikan sebagai syarat. Misalnya, kelahiran halal dan tidak berasal dari zina adalah syarat bagi seorang mujtahid yang bisa diikuti (taklid), serta syarat bagi imam salat, imam jum'at, hakim, dan saksi.

Dalam riwayat-riwayat dalam sumber-sumber Syiah dan Sunni, cinta kepada Ahlulbait as dan Imam Ali as disebut sebagai salah satu ciri anak halal, sementara kebencian dan permusuhan terhadap mereka adalah ciri anak haram.

Defenisi Anak Halal dan Kedudukannya dalam Fikih

Anak halal adalah seseorang yang dilahirkan melalui pernikahan yang sah dan bukan dari zina.[1] Pentingnya anak halal dalam fikih terletak pada keistimewaan seperti hak atas warisan [2] dan kemungkinan untuk menduduki jabatan seperti hakim [3] dan menjadi imam salat,[4] yang tidak dimiliki oleh anak haram.[5]

Kelahiran halal dibahas dengan istilah "thaharah maulid” [6] dalam berbagai bab fikih seperti ijtihad dan taklid, salat berjamaah, nikah, peradilan, dan kesaksian.[7]

Contoh Anak Halal

Menurut ajaran fikih Syiah, selain individu yang lahir melalui pernikahan syar'i, orang-orang berikut juga dianggap anak halal:

  • Seseorang yang lahir melalui Wath'u al-Syubhah, dengan syarat bahwa kedua pihak, yaitu ayah dan ibu, sama-sama tidak sadar hubungan mereka tidak sah.[8] Oleh karena itu, jika salah satu dari pria atau wanita menyadari hubungan yang tidak sah, maka anak tersebut dianggap sebagai anak zina.[9]
  • Seseorang yang pembuahannya terjadi pada waktu di mana [Jimak|hubungan antara suami dan istri]] diharamkan; [10]seperti hubungan saat wanita sedang haid atau saat berpuasa wajib tertentu atau dalam keadaan ihram.[11]
  • Anak yang lahir menurut pernikahan yang umum di antara agama lain, bahkan orang-orang musyrik.[12] Sebagai contoh, para ulama menganggap anak yang lahir dari pernikahan dengan kerabat dekat yang dianggap sah dalam budaya beberapa agama sebagai anak halal.[13] Alasan para ulama dalam hal ini adalah hadis yang mengakui praktik pernikahan dari agama dan mazhab lain, bahkan orang musyrik. [14] Beberapa juga berpendapat berdasarkan kaidah al-Jabb bahwa meskipun pernikahan antara orang non-Muslim dengan ibunya dalam syariat Islam adalah haram, tetapi setelah menjadi Muslim, tindakan sebelumnya diabaikan.[15]
  • Seseorang yang statusnya sebagai anak halal diragukan, tetapi memiliki ayah dan ibu yang jelas. Selain itu, sebagian besar ulama menganggap orang yang tidak memiliki ayah dan ibu yang jelas, seperti anak yang ditemukan, sebagai anak halal.[16]

Kelahiran yang Sah, Syarat Bagi Beberapa Kedudukan dan Amalan

Berdasarkan fatwa para ulama, kelahiran yang sah adalah syarat bagi beberapa hal sebagai berikut:

  • Marjaiat: Kelahiran yang sah dianggap sebagai salah satu syarat seorang mujtahid yang dapat diikuti (marja' taklid).[17] Syahid Tsani menganggap syarat kelahiran yang sah sebagai ijma'. [18]
  • Imam salat berjamaah dan Jumat: Berdasarkan ijma’ para ulama Imamiyah,[19] kelahiran yang sah dianggap sebagai salah satu syarat imam salat, dan imamnya seseorang yang lahir dari zina tidak diperbolehkan. [20] Tentu saja, menjadi imamnya seseorang yang kelahiran sahnya diragukan dan kelahiran dari zina-nya belum terbukti, menurut kesepakatan para ulama, sah dan diperbolehkan.[21] Kelahiran yang sah juga dianggap sebagai syarat menjadi imam Jumat. [22]
  • Peradilan: Kelahiran yang sah dianggap sebagai syarat bagi hakim dan peradilan.[23] Berdasarkan syarat ini, seseorang yang lahir dari zina tidak sah untuk menjadi hakim. [24]
  • Saksi: Berdasarkan fatwa para ulama, salah satu syarat saksi dalam memberikan kesaksian di pengadilan adalah bahwa ia harus lahir dari pernikahan yang sah. Oleh karena itu, kesaksian anak hasil zina tidak diterima. [25]

Alasan Keharaman Anak haram Menjadi Hakim dan Saksi

Beberapa ulama Syiah dan sekelompok peneliti telah menyebutkan faktor-faktor yang menyebabkan larangan anak haram dari peradilan dan kesaksian. Misalnya, Sayid Murtadha (355-436 H) dari kalangan ulama Syiah mengatakan bahwa alasannya adalah bahwa Allah swt mengetahui bahwa individu yang lahir dari zina tidak akan memilih kebaikan dan perdamaian. Oleh karena itu, ia terhalang dari menjalankan tugas-tugas seperti kesaksian di pengadilan. [26] Beberapa peneliti menyebutkan "kurangnya penerimaan sosial" sebagai salah satu faktor tersebut.[27] Ada juga yang berpendapat bahwa sebagaimana ciri-ciri fisik individu diwariskan melalui gen, maka karekteristik batiniah juga diwariskan, dan pada anak-anak tidak sah, sering kali terdapat kecenderungan untuk melakukan kejahatan yang lebih besar.[28]

Apakah kecintaan pada Imam Ali as tanda kelahiran yang sah?

Dalam sejumlah riwayat yang terdapat baik dalam sumber-sumber Syiah [29] maupun dalam sumber-sumber hadis Ahlusunah,[30] cinta kepada Ahlulbait as terutama Imam Ali as dianggap sebagai tanda kelahiran sah, sementara kebencian dan permusuhan terhadap mereka dianggap sebagai tanda kelahiran haram. Sebagai contoh, dalam sumber-sumber Ahlusunah, terdapat riwayat dari 'Ubadah bin Shamit dan Abu Sa'id al-Khudri, keduanya adalah sahabat Nabi Muhammad saw, yang mengatakan bahwa kami menguji anak-anak kami dengan cinta kepada Ali bin Abi Thalib; jika mereka tidak mencintainya, kami tahu bahwa mereka bukan dari kami dan mereka adalah anak haram.[31] Ibnu Jazari (751-833 H), seorang muhaddis dan faqih dari mazhab Syafi'i, mengatakan bahwa sejak dahulu hingga zamannya, terkenal bahwa tidak ada orang selain anak haram yang memusuhi Ali as [32] Allamah Majlisi dalam kitab Bihar al-Anwar mengumpulkan 31 hadis dalam satu bagian [33] dan dalam Mir'at al-Uqul, ia menganggap hadis-hadis tersebut sebagai mutawatir.[34]

Berbeda dengan pendapat Allamah Majlisi yang menyatakan bahwa hadis-hadis tentang keturunan yang halal dari pecinta Imam dan keturunan yang haram dari musuh mereka adalah mutawatir, beberapa peneliti agama menganggap sanad sejumlah riwayat ini cacat dan berpendapat bahwa para perawinya tidak dikenal atau termasuk dalam kelompok ghulat.[35]

Selain itu, mengenai riwayat-riwayat ini, dikatakan bahwa status anak haram tidak menghilangkan ikhtiar manusia. Oleh karena itu, penyebab utama dari perbuatan dosa dan menjauh dari cinta Ahlulbait as bukanlah status tersebut; yaitu, mungkin saja seorang anak haram melalui ikhtiarnya, sebagaimana yang lain, menjadi pecinta para Imam as. Begitu juga, tidak ada alasan bahwa setiap anak halal pasti menjadi pecinta para Imam as Dengan demikian, riwayat tentang permusuhan anak haram dengan Ahlulbait as tidaklah menyatakan suatu hukum umum dan berlaku selamanya, melainkan hanya menyatakan bahwa anak-anak haram lebih banyak terpapar permusuhan dengan para Imam as dibandingkan orang-orang yang melalui kelahiran sah.[36]

Catatan Kaki

Daftar Pustaka