Imam Muhammad al-Jawad as

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Imam Muhammad Taqi as)
Muhammad bin Ali
Imam Kesembilan Syiah
al-Jawad
Makam Imam al-Jawad dan Imam Musa al-Kazhim di Kazimain, Irak
Makam Imam al-Jawad dan Imam Musa al-Kazhim di Kazimain, Irak
kunyahAbu Ja'far (al-Tsani)
Lahir10 Rajab 195 H/811
Tempat lahirMadinah
Imamah17 tahun 30 Shafar, 203 H
Waktu syahidAkhir Dzulkaidah 220 H/835 di Kazhimain, Irak
penyebab kesyahidanDiracun oleh Ummul Fadhl dan Ja'far bin Makmun
Tempat dimakamkanKazhimain
Imam sebelumnyaImam Ridha as
Imam setelahnyaImam Ali al-Hadi as
AyahAli bin Musa as
IbuSabikah al-Nubiyah
PasanganSamanah al-MaghribiyahUmmu al-Fadhl
PutraAli • Musa
Imam-Imam Syiah
Ali, al-Hasan, al-Husain, al-Sajjad, al-Baqir, al-Shadiq, al-Kazhim, al-Ridha, al-Jawad, al-Hadi, al-Askari, al-Mahdi
Dharih pusara suci Imam Jawad dan Imam Kazim as
Gambar lama dari Haram Imam Jawad dan Imam Kazhim as

Muhammad bin Ali bin Musa (as), (bahasa Arab: محمّد بن علی بن موسی علیه السلام) yang masyhur dengan Imam Jawad (الامام الجواد) dan Imam Muhammad Taqi (195-220 H) adalah Imam Kesembilan Syiah Itsna Asyariyah. Kunyahnya Abu Ja'far al-Tsani. Ia memegang tampuk keimamahan selama 17 tahun dan pada usia 25 tahun meneguk cawan syahadah. Diantara para Imam, ia adalah imam termuda saat syahid.

Usia muda yang dimiliki Imam Jawad as saat ayahandanya syahid, membuat sekelompok sahabat Imam Ridha as meragukan keimamahannya. Sebagian mereka menyebut saudaranya, Abdullah bin Musa sebagai imam, dan sebagian lainnya bergabung dengan kelompok Waqifiyah. Namun mayoritas mereka menerima keimamahan Muhammad bin Ali as.

Hubungan Imam Jawad as dengan Syiahnya lebih banyak melalui para wakilnya dan korespondensi. Pada periode keimamahan imam kesembilan Syiah, kelompok-kelompok ahli hadis, Zaidiyah, Waqifiyah dan Ghulat memiliki aktifitas. Imam memberitahukan akidah mereka kepada syiahnya dan melarang mereka salat berjamaah dibelakang kelompok-kelompok tersebut serta mengutuk orang-orang Ghulat.

Perdebatan ilmiah Imam Jawad as dengan para ulama kelompok-kelompok Islam dalam masalah teologi seperti kedudukan Syekhain dan masalah-masalah fikih misalnya pemotongan tangan pencuri dan hukum-hukum haji adalah termasuk dari forum ilmiah tersohor para Imam Maksum.

Nasab, Julukan dan Gelar

Muhammad bin Ali bin Musa bin Ja'far bin Muhammad, adalah imam kesembilan Syiah Itsna Asyariyah, yang masyhur dengan Jawad al-Aimmah. Keturunan ke-6 yang nasabnya bersambung kepada Imam Ali as, imam pertama mazhab Syiah. Ayah beliau adalah Imam Ridha as, Imam kedelapan mazhab Syiah.[1] Ibunda beliau seorang budak bernama Sabikah al-Nubiyah.[2][catatan 1]

Julukan beliau adalah Abu Ja'far dan Abu Ali.[3] Dalam sumber-sumbser hadis, ia disebut sebagai Abu Ja'far Tsani (kedua)[4] supaya tidak keliru dengan Abu Ja'far Awal (pertama) (Imam Baqir as).[5]

Di antara gelar terpopuler imam kesembilan adalah Jawad dan Ibnu al-Ridha. [6] Taqi, Murtadha, Zaki, Qani', Radhi, Mukhtar, Mutawakkil[7] Murtadha dan Muntajab[8], termasuk diantara lakab-lakab yang juga disematkan kepadanya.

Biografi

Menurut penuturan para sejarawan, Imam Jawad as lahir di kota Madinah, pada tahun 195 H/811.[9] Namun terdapat perbedaan terkait hari dan bulan kelahirannya.[10] Kebanyakan referensi meyakini hari kelahiran Imam terjadi pada bulan Ramadhan.[11] Sebagian referensi tersebut menyebut 15 Ramadhan[12] dan sebagian lagi menyebut 19 Ramadhan.[13][14] Syekh Thusi dalam kitab Mishbah al-Mutahajjid menyebut 10 Rajab sebagai tanggal lahirnya.[15]

Dari beberapa riwayat dapat dipahami bahwa sebelum kelahiran Jawad al-Aimmah sebagian kelompok Waqifi mengatakan, bagaimana Ali bin Musa as bisa menjadi seorang imam padahal ia tidak memiliki keturunan.[16] Oleh karena itu, tatkala Jawad al-Aimmah terlahir ke dunia, Imam Ridha as menyifati kelahirannya dengan kelahiran yang penuh berkah.[17]. Dengan semua itu bahkan setelah kelahirannya, sebagian kelompok Waqifi tetap mengingkari penisbatan dia kepada Imam Ridha as. Mereka mengatakan, 'Jawad al-Aimmah tidak memiliki kemiripan wajah dengan ayahnya', hingga didatangkan para ahli dan mereka menyatakan bahwa Imam Jawad as putra Imam Ridha as.[18][catatan 2]

Mengenai kehidupan Imam Jawad as tidak banyak informasi yang dimuat dalam sumber-sumber historis. Hal itu dikarenakan keterbatasan-keterbatasan politik dari pihak pemerintahan Abbasiyah, taqiyah dan usianya yang pendek.[19]Ia hidup di Madinah. Menurut laporan Ibnu Baihaqi, ia melakukan safar sekali ke Khurasan untuk bertemu dengan sang ayah.[20] Dan setelah menjadi imam pun, ia beberapa kali didatangkan ke Baghdad oleh para penguasa Abbasiyah.

Pernikahan

Ma'mun Abbasi pada tahun 202 H/817 M[21] atau 215 H/830 M[22] mengawinkan putrinya, Ummu al-Fadhl dengan Imam Jawad as. Sebagian mengatakan bahwa ada kemungkinan pada pertemuan Imam Jawad dengan sang ayah di Thus,[23] Ma'mun mengakadkan Ummul Fadhl dengannya.[24]. Menurut pernyataan Ibnu Katsir (701-774 H), khutbah akad Imam Jawad as dengan putri Ma'mun dibacakan di masa hidupnya Imam Ridha as, namun resepsi pernikahannya dilangsungkan pada tahun 215 H/830 M di Tikrit.[25]

Menurut catatan sumber-sumber sejarah, pernikahan Imam Jawad as dengan Ummu al-Fadhl dilangsungkan atas permintaan Ma'mun.[26] Tujuan Ma'mun adalah hendak menjadi kakek dari seorang anak dari keturunan Nabi saw dan Imam Ali as.[27] Menurut Syekh al-Mufid dalam kitab al-Irsyad, Ma'mun mengawinkan Ummu al-Fadhl dengan Muhammad bin Ali dikarenakan kepribadian ilmiahnya dan kecintaan kepadanya,[28] namun beberapa peneliti meyakini bahwa perkawinan ini berlangsung dengan motivasi dan kepentingan-kepentingan politik, diantaranya Ma'mun dengan cara ini ingin mengontrol Imam Jawad as dan juga mengontrol hubungannya dengan para Syiahnya[29] atau hendak menampakkan kecenderungannya kepada kelompok Alawi (Syiah) dan mencegah mereka melakukan pemberontak kepada Ma'mun.[30] Pernikahan ini menuai protes dari sebagian pendukung Ma'mun, sebab mereka khawatir tampuk kekhalifahan akan berpindah dari kelompok Abbasi ke kelompok Alawi.[31] Imam Jawad as menentukan mahar Ummu al-Fadhl setara dengan maharnya Sayidah Fatimah sa, yakni 500 Dirham.[32] Imam tidak memiliki keturunan dari Ummu al-Fadhl[33]

Istri lain Imam Jawad as bernama Samanah al-Maghribiyah[34], seorang budak wanita yang dibeli atas keinginananya sendiri. [35]Seluruh keturunan Imam Jawad as berasal dari Samanah al-Maghribiyah.[36]

Keturunan

Menurut penuturan Syekh al-Mufid, Imam Jawad memiliki empat anak, yaitu Ali, Musa, Fatimah dan Umamah.[37] Namun, sebagian ahli sejarah mengatakan bahwa putri Imam ada tiga orang, yaitu Hakimah, Khadijah dan Ummu Kultsum.[38] Pada sebagian sumber kontemporer dimuat bahwa Ummu Muhammad dan Zainab juga dianggap sebagai putri-putri beliau.[39]

Syahadah

Pemerintahan Abbasiah dua kali mengundang Imam Jawad as dari Madinah menuju Baghdad. Perjalanan pertama pada masa Ma'mun tidak menghabiskan waktu begitu lama. [40] Perjalanan kedua, atas perintah Mu'tashim, Imam masuk kota Baghdad pada hari 28 Muharram tahun 220 H/835 M, dan beliau meninggal pada bulan Dzulkaidah,[41] atau Dzulhijjah[42] di Baghdad pada tahun yang sama. Dalam kebanyakan referensi, hari syahadahnya adalah akhir Dzulhijjah, [43] namun dalam sebagian referensi, tanggal 5[44] atau 6[45] Dzulkaidah juga disebutkan. Tubuh suci beliau dimakamkan di sisi kakeknya, imam Musa bin Ja'far as di pekuburan Quraisy di Kazhimain.[46] Beliau berusia 25 tahun saat meneguk cawan syahadah.[47] Atas dasar ini, beliau adalah imam Syiah yang berusia paling muda saat syahid.

Sebagian ahli sejarah meyakini bahwa penyebab kesyahidan Imam Jawad as adalah gunjingan Ibnu Abi Dawud (hakim Baghdad) di sisi Mu'tashim khalifah Abbasiah. Dan dalilnya adalah karena diterimanya pendapat imam tentang dipotongnya tangan pencuri, yang mana hal ini membuat Ibnu Abi Dawud dan sebagian besar para fakih dan para anggota istana menjadi malu.[48]

Terkait bagaimana kesyahidan imam ke-9 Syiah, terdapat perbedaan pendapat. Dalam sebagian sumber dimuat bahwa Mu'tashim melalui salah seorang menterinya meracuni Imam dan ia pun syahid.[49] Namun, sebagian orang meyakini bahwa Mu'tashim melalui Ummu al-Fadhl meracuni Imam.[50] Mas'udi, sejarawan abad ke-3 H (W. 346 H/958 M) mengatakan, Mu'tashim dan Ja'far bin Ma'mun (saudara Ummu al-Fadhl, istri Imam Jawad) senantiasa berfikir untuk membunuh Imam Jawad as. Karena Imam Jawad tidak memiliki keturunan dari Ummu al-Fadhl, maka Ja'far pun memprovokasi saudarinya, Ummu al-Fadhl supaya meracunnya. Dengan cara inilah mereka bedua menuang racun ke dalam anggur dan Imam pun meminumnya. Ummu al-Fadhl setelah itu menyesal dan menangis, namun Imam memberitahukan kepadanya bahwa ia akan tertimpa bencana yang tak akan ada penyembuhnya.[51]

Terdapat catatan-catatan lain terkait bagaimana kesyahidan Imam Jawad di tangan Ummu al-Fadhl.[52]

Periode Keimamahan

Muhammad bin Ali as menerima kedudukan imamah setelah kesyahidan Imam Ridha as tahun 203 H/818 M. Periode keimamahan beliau sezaman dengan kekhalifahan dua khalifah Abbasiah. Sekitar 15 tahun dari keimamahannya berlangsung pada masa kekhalifahan Ma'mun (193-218 H) dan 2 tahun pada masa kekhalifahan Mu'tashim (218-227 H).[53][catatan 3] Masa keimamahan Imam Jawad as selama 17 tahun[54], dan dengan kesyahidannya pada tahun 220 H/835 M, maka keimamahan itu berpindah kepada putranya, Imam Hadi as.[55]

Nas Keimamahan

Menurut pandangan Syiah, imam hanya ditentukan dengan nas (penegasan) imam sebelumnya;[56]artinya setiap imam harus dengan ungkapan tegas menentukan imam berikutnya. Imam Ridha as dalam banyak kesempatan telah mengumumkan keimamahan Muhammad bin Ali as kepada para sahabatnya. Dalam masing-masing kitab al-Kafi,[57] al-Irsyad,[58] I'lam al-Wara[59] dan Bihar al-Anwar[60] terdapat satu bab tentang nas-nas keimamahan Muhammad bin Ali as, yang dengan tertib telah dinukil 14, 11, 9 dan 26 riwayat berkenaan dengan masalah ini. Diantaranya: salah seorang sahabat Imam Ridha as bertanya tentang penggantinya, Imam Ridha as dengan tangannya mengisyaratkan kepada putranya, Muhammad Taqi as.[61] Atau dalam riwayat lain Imam Ridha as berkata, "Ini adalah Abu Ja'far yang aku dudukkan di tempat dudukku dan aku serahkan kedudukanku kepadanya.[62]

Keimamahan di Masa Kecil dan Kebingungan Syiah

Imam Jawad mencapai keimamahannya di usia belia, yakni pada umur delapan tahun,[63] dan masalah ini menyebabkan munculnya perbedaan pendapat dikalangan Syiah mengenai imam setelah Imam Ridha as. Sebagian mereka mengikuti Abdullah bin Musa, saudara Imam Ridha as, namun tidak lama kemudian mereka memandangnya tidak layak menjadi imam dan meninggalkannya.[64] Sebagian lagi mengikuti Ahmad bin Musa, saudara lain dari Imam Ridha as, dan sejumlah dari mereka juga bergabung dengan Waqifiyah.[65] Dengan semua ini, mayoritas sahabat Ali bin Musa al-Ridha as meyakini keimamahan putranya, Imam Jawad as.[66] Sumber-sumber menyebutkan usia kecil Imam Jawad as sebagai penyebab dari perbedaan pendapat. Menurut pernyataan Nubakhti, penyebab munculnya perbedaan ini adalah mereka menjadikan usia balig sebagai syarat keimamahan.[67] Tentu, masalah ini juga pernah dilontarkan pada masa Imam Ridha as. Imam Ridha as dalam merespon mereka yang melontarkan kekanakan Imam Jawad as, berdalil dengan kenabiannya nabi Isa as di masa usia kecil seraya berkata: "Usia Isa tatkala kenabian diberikan kepadanya kurang dari usia putraku".[68]

Salah satu jawaban ini adalah pengisyaratan tentang kenabian Yahya, dimana Allah swt berfirman dalam Alquran,"Dan kami berikan kepadanya hikmah (kenabian) selagi ia masih kanak-kanak". [69] Jawaban lain adalah ucapan Nabi Isa as pada hari pertama kelahirannnya [70], surah Maryam ayat 30-32 dari lisan Al-Masih mengisyaratkan akan masalah ini, "Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al-Kitab (Injil) dan Dia menjadikan aku seorang nabi, dan Dia menjadikan aku seorang yang diberkati di mana saja aku berada, dan Dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) salat dan (menunaikan) zakat selama aku hidup; dan berbakti kepada ibuku, dan Dia tidak menjadikan aku seorang yang sombong lagi celaka.”

Beliau sendiri dalam menjawab orang-orang yang melontarkan masalah umurnya, mengisyaratkan pengangkatan nabi Sulaiman as yang menjadi pengganti nabi Daud as di usia belia, dan mengatakan: "Nabi Sulaiman saat masih anak-anak dan masih mengembala kambing, Nabi Daud as mengangkatnya sebagai penggantinya, namun para ulama bani Israel mengingkarinya.[71]

Dalam riwayat lain, Abul Hasan bin Muhammad (sahabat Imam Ridha as) mengatakan, aku mendengar bahwa beliau berkata, "Abu Ja'far adalah penggantiku di antara keluargaku."[72]

Komunikasi dengan Kaum Syiah

Imam Jawad melakukan komunikasi dengan para Syiahnya, dengan mengangkat para wakil di berbagai kawasan dunia Islam. Di sini ada beberapa dalil kenapa beliau tidak berkomunikasi secara langsung dengan para Syiahnya dan malah menggunakan wakil, pertama adalah karena beliau berada di bawah pengawasan dan penjagaan penguasa, dan dalil yang lainnya adalah imam hendak mempersiapkan situasi dan kondisi masalah kegaiban.[73]

Imam memiliki wakil atau para wakil secara terpisah di kawasan-kawasan Islam, seperti di Baghdad, Kufah, Ahwaz, Bashrah, Hamedan, Qom, Rey, Sistan.[74] Demikian pula, komunikasi Syiah dengan imam juga melalui surat menyurat. Banyak sekali pengetahuan dan permasalahan-permasalahan yang tersimpan dari beliau, dalam sebuah surat yang ditulis kepada para Syiahnya.[75] Orang-orang Syiah mengutarakan banyak pertanyaan-pertanyaan seputar fikih dan imam menjawabnya. Dalam banyak tempat, nama dan tanda-tanda orang yang menulis surat kepada imam diketahui [76] dan dalam beberapa hal juga nama penulis surat tidaklah diketahui. [77] Dalam buku Mausu'ah al-Imam al-Jawad, selain ayah dan anak imam, dikumpulkan nama 63 orang yang mana imam melakukan korespondensi dengan mereka. [78] Tentu saja, sebagian dari surat-surat itu ditulis dalam menjawab sekelompok orang-orang Syiah.[79]

Imam Jawad beberapa kali menulis surat kepada para perantaranya di berbagai kota, seperti Hamedan serta sebagian orang-orang Syiah Iran juga mengunjungi imam, dengan pergi ke Madinah, ini semua adalah pertemuan-pertemuan antara imam dan para Syiahnya, selain pertemuan-pertemuan yang berlangsung pada hari-hari haji.[80]

Menghadapi Sekte

Ahli Hadis

Di masa Imam Jawad as juga ada banyak sekte seperti pada masa-masa para imam lainnya, dan aktif dalam berbagai ranah dan mereka berupaya untuk menyebarkan pemikiran dan ideologi mereka ke dalam tubuh masyarakat dan menjauhkan Syiah dari ideologi aslinya. Di antara sekte ini adalah Ahli Hadis, yaitu mazhab Mujassamah dan mengasumsikan Allah swt dengan benda (jism). Guna menjaga ideologi-ideologi otentik Syiah, Imam Jawad melarang kaum Syiah berkomunikasi dengan mereka dan berkata, orang-orang Syiah tidak boleh melakukan salat di belakang mereka dan memberikan zakat kepada mereka.[81]

Waqifiyyah

Waqifiyyah termasuk sekte yang aktif pada masa Imam Jawad, mereka adalah kelompok yang berhenti dengan keimamahan Imam Musa bin Ja'far as dan tidak menerima keimamahan Imam Ridha as. Sewaktu Imam Jawad ditanya tentang salat di belakang sekte Waqifiyyah, beliau menjawab, laranglah orang-orang Syiah jangan sampai mereka melakukannya.[82]

Zaidiyah

Zaidiyah adalah sekte lain yang ada pada era imam, yang tersempal dari Syiah 12 Imam. Permusuhan Zaidiyah[catatan 4] dengan Imamiyah dan cercaan mereka terhadap para imam menyebabkan sikap keras imam, khususnya Imam Jawad as terhadap mereka. Semisalnya imam menyebut manifestasi ayat Wujuhun yaumaidzin khasyi'ah Amilahtun Nashibah adalah Zaidiyah dan mensejajarkan mereka dengan kaum Nashibi.[83]

Riwayat dan Dialog

Dialog di Majlis Makmun

Salah satu dialog penting imam yang terjadi pada masa Makmun Abbasiyah di Baghdad adalah dialog dengan fakih kerajaan, yakni Yahya bin Aktsam. Sebab terjadinya dialog ini adalah saran pernikahan imam dengan Ummul Fadhl dari pihak Makmun. Setelah para pembesar Abbasiyah mengetahui masalah ini, maka mereka menentang keras saran Makmun tersebut; dengan demikian Makmun untuk membuktikan ucapannya kepada para penentangnya mengatakan, kalian dapat mengujinya (Imam Jawad as). Mereka menerimanya dan mereka menguji imam dalam bentuk sebuah dialog antara orang terpandai dari mereka.

Tibalah hari yang sudah dijanjikan. Pertama-tama Yahya bertanya tentang seseorang yang berburu hewan pada saat dia melakukan ihram. imam dalam menjawab dengan melontarkan beberapa asumsi masalah, meminta manakah yang dimaksudkan oleh Yahya bin Aktsam. Yahya bin Aktsam pun tidak berkutik dan para hadirin pun kebingunan dan takjub. Lantas imam memberikan jawaban satu persatu kepada mereka. Orang-orang istana dan para ulama Abbasiyah setelah mendengar jawaban lengkap imam mengakui akan keilmuan dan pengetahuannya yang melimpah dan Makmun merasa sangat gembira karena benar pilihannya, lalu ia mengatakan, Alhamdulillah sesuai dengan apa yang saya pikirkan.[84]

Dialog tentang Khalifah

Imam Jawad berdialog dengan Yahya bin Aktsam tentang keutamaan-keutamaan para khalifah (Abu Bakar dan Umar) dalam sebuah masjid yang diselenggarakan di hadapan Ma'mun dan sejumlah para fakih istana kerajaan. Yahya berkata kepada imam, Jibril as dari sisi Allah swt telah berkata kepada Rasul-Nya: Tanyalah kepada Abu Bakar, apakah dia sudah ridha kepadaKu? Aku sudah meridhainya. imam menjawab: Aku tidak memungkiri keutamaan-keutamaan Abu Bakar, namun orang yang menukilkan riwayat ini harus memperhatikan hadis-hadis lain yang telah disampaikan oleh Rasulullah saw dan itu adalah ketika Rasulullah saw bersabda, "Jika ada hadis yang sampai ke kalian, maka sandingkanlah dengan Alquran dan sunahku. Terimalah jika hal itu sesuai dengannya dan jika tidak, maka janganlah kalian terima karena akan banyak para pendusta dan para pembuat hadis." Kemudian, imam melanjutkan, hadis ini tidak sesuai dengan Alquran, karena Allah berfirman, "Kami lebih dekat dari urat nadi kalian", apakah Allah tidak mengetahui tentang keridhaan ataupun tidak ridhanya Abu Bakar, sehingga harus menanyakan hal itu kepadanya? dengan demikian, masalah kalian tidaklah tepat.[85] Setelah itu, Yahya bertanya tentang riwayat ini, "Perumpamaan Abu bakar dan Umar di bumi laksana Jibril dan Mikail di langit", imam menjawab: Kandungan riwayat sangatlah tidak benar, karena Jibril dan Mikail senantiasa menghamba kepada Allah dan tidak pernah melakukan maksiat sesaatpun, sementara Abu Bakar dan Umar, bertahun-tahun melakukan kemusyrikan sebelum masuk Islam.[86]

Pemotongan Tangan Pencuri

Pada masa imam tinggal di Baghdad, terjadi beberapa peristiwa yang menyebabkan kedudukan imamahnya tersebar di kalangan masyarakat, contoh yang dapat diisyaratkan adalah fatwa imam tentang seorang pencuri. Terdapat perselisihan di kalangan para fakih istana mengenai batas pemotongan tangan seorang pencuri, dari batasan tangan mana yang harus dipotong; sebagian mengatakan dipotong dari pergelangan tangan dan sebagian lagi mengatakan dipotong dari siku. Mu'tashim Abbasiah meminta imam supaya menjelaskan pendapatnya. Setelah paksaan dari khalifah, imam berkata, hanya jari-jari pencuri saja yang dipotong dan seluruh anggota tangan lainnya masih tetap utuh. Beliau menuturkan dalilnya dengan ayat,

﴾ وَ أَنَّ الْمَساجِدَ لِلَّهِ فَلا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً﴿
"Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah hanya milik Allah, maka janganlah kamu beribadah (menyembah) seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah". [87].

Mu'tashim sangat memuji jawaban imam dan memerintahkan supaya memotong jari-jari sang pencuri.[88]

Hadis-hadis Imam

Dengan memperhatikan bahwa Imam Jawad as syahid di usia 25 tahun dan dari satu sisi beliau berada di bawah pengawasan dan tekanan pihak penguasa, dengan demikian beliau tidak memiliki banyak kesempatan untuk menjelaskan hukum dan ideologi-ideologi Syiah. Namun, dalam beberapa kesempatan singkat dan dalam kondisi yang diciptakan oleh pihak penguasa ini, beliau banyak upaya dalam mendidik para murid dan menjelaskan hadis-hadis dalam masalah-masalah fikih, tafsir, akidah, doa dan munajat. Adapun hal-hal yang telah sampai ke tangan kita sekarang ini, kurang lebih 250 hadis dalam berbagai ranah Islam.[89]

Keutamaan dan Manaqib

Akidah Syiah
‌Ma'rifatullah
TauhidTauhid DzatiTauhid SifatTauhid Af'alTauhid Ibadah
FurukTawasulSyafa'atTabarruk
Keadilan Ilahi
Kebaikan dan keburukanBada'Amrun bainal Amrain
Kenabian
KeterjagaanPenutup KenabianNabi Muhammad SawIlmu GaibMukjizatTiada penyimpangan Alquran
Imamah
Keyakinan-keyakinanKemestian Pelantikan ImamIsmah Para ImamWilayah TakwiniIlmu Gaib Para ImamKegaiban Imam Zaman asGhaibah SughraGhaibah KubraPenantian Imam MahdiKemunculan Imam Mahdi asRaj'ah
Para Imam
  1. Imam Ali
  2. Imam Hasan
  3. Imam Husain
  4. Imam Sajjad
  5. Imam Baqir
  6. Imam al-Shadiq
  7. Imam al-Kazhim
  8. Imam al-Ridha
  9. Imam al-Jawad
  10. Imam al-Hadi
  11. Imam al-Askari
  12. Imam al-Mahdi
Ma'ad
Alam BarzahMa'ad JasmaniKebangkitanShirathTathayur al-KutubMizanAkhirat
Permasalahan Terkemuka
AhlulbaitEmpat Belas Manusia SuciTaqiyyahMarja' Taklid


Terijabahnya Doa Imam as

Daud bin Qasim mengatakan, suatu hari kami pergi ke kebun bersama Imam Jawad as. Aku berkata kepadanya; "Aku menjadi tebusanmu! Aku sangat gemar memakan tanah. Tolong doakan untukku! (supaya menjauhkan kebiasaan buruk ini)". imam tidak memberikan jawaban dan setelah beberapa hari, dengan tanpa pendahuluan beliau berkata: "Wahai Abu Hasyim! Allah telah menjauhkanmu dari memakan tanah". Abu Hasyim berkata: "Setelah itu tidak ada sesuatu yang lebih buruk dan lebih aku benci daripada tanah".[90]

Berbuahnya Pohon

Imam dalam perjalanan pulangnya dari Baghdad menuju Madinah, sekelompok masyarakat menemani imam sampai ke luar kota untuk berpamitan, saat salat Maghrib mereka sampai ke sebuah tempat yang memiliki masjid kuno, imam pergi ke masjid tersebut guna menunaikan salat, di halaman masjid terdapat pohon bidara, yang mana sampai pada waktu itu belum pernah berbuah. imam meminta air dan berwudhu di samping pohon tersebut dan melakukan salat berjamaah dan setelah salat, beliau melakukan sujud syukur. Setelah itu beliau berpamitan dengan masyarakat dan beliaupun pergi. Keesokan malamnya, pohon tersebut berbuah dan banyak memberikan buah, masyarakat sangat merasa takjub dengan masalah ini. Syekh Mufid mengutip bahwa di tahun-tahun setelahnya imam sendiri melihat pohon itu dan memakan buah pohon tersebut.[91]

Para Sahabat

Syekh Thusi mencatat ada sekitar 115 orang sahabat Imam Jawad as.[92] Qarasyi dalam kitabyna Hayat al-Imam al-Jawad menyebut 123 orang,[93] sementara Syabastari dalam kitab Subul al-Rasyad ila Ashab al-Imam al-Jawad menyebutkan sebanyak 193 orang sebagai sahabat imam kesembilan ini.[94] 'Atharidhi dalam Musnad al-Imam al-Jawad mencatat sebanyak 121 orang sebagai perawi hadis Imam Jawad as.[95]

Sebagian para sahabat Imam, juga termasuk sahabat-sahabat ayah dan putranya (Imam Hadi) dan juga merupakan perawi dari keduanya.[96] Di antara para perawi dan sahabat populer beliau adalah, Ahmad bin Abu Nasr Bazanti dan Safwan bin Yahya yang keduanya merupakan Anggota Ijma'.Kemudian, Abdul Adzim Hasani, Hasan bin Sa'id Ahwazi, Zakaria bin Adam, Ahmad bin Muhammad bin Isa Asy'ari, Ahmad bin Muhammad Barqi, dan Abu Hasyim Jafari.

Para perawi dan sahabat Imam Jawad tidak hanya terbatas pada orang-orang Syiah saja, bahkan ada juga dari sekte-sekte lain, seperti Ahlusunah.[97]Jumlah perawi Imam Jawad as dari mazhab lain mencapai 10 orang.[98]

Kedudukan Imam Jawad as di Sisi Ahlusunah

Pembicaraan dan dialog ilmiah Imam Jawad pada masa pemerintahan Makmun dan Mu'tashim yang menyelesaikan problem dan masalah-masalah ilmiah dan fikih menyebabkan kekaguman dan pujian para cendekiawan dan para peneliti Islam, baik itu dari kalangan Syiah maupun Ahlusunah, sampai-sampai banyak sekali dari mereka yang menganggap kepribadian ilmiah imam adalah hal yang istimewa dan mereka menyanjungnya, dimana akan kami isyaratkan beberapa hal disini:

Sibth Ibn Jauzi mengatakan, "Dia dalam ilmu, takwa, zuhud dan kedermawanan berdasarkan metode ayahnya."[99]

Ibn Hajar Haitsami menulis, "Makmun memilih dia sebagai menantunya karena meskipun umurnya masih belia, namun dari sisi keilmuan, pengetahuan dan santun memiliki prioritas di atas semua para ilmuan."[100]

Fattal Nisyaburi menjelaskan bahwa, Makmun sangat tertarik denganya (Imam Jawad), karena meskipun dia masih belia namun dia sering melihat bahwa dari sisi keilmuan, hikmah, adab dan kesempurnaan akal, dia berada pada tingkatan tinggi yang mana tidak ada seorangpun dari para pemuka ilmiah pada waktu itu yang sampai pada landasan tersebut.[101]

Jahid Utsman Mu'tazili, dimana termasuk tokoh penentang keluarga Ali bin Abi Thalib as menuturkan imam Jawad termasuk dalam bilangan kesepuluh orang dari Talibani (keluarga Abu Thalib), dimana tentang mereka dikatakan sebagai berikut, setiap dari mereka adalah alim, zahid, rajin beribadah, pemberani, dermawan, suci dan tersucikan.[102]

Tawassul kepada Imam Jawad as

Sebagian orang-orang Syiah dengan memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan sebagian para ulama Syiah hendaknya bertawasul kepada Imam Jawad as guna meminta kelapangan rezeki dan kelapangan dalam urusan materi dan dalam masalah ini mereka menyebutnya dengan Bab al-Hawaij (pintu hajat). Contoh dari pesan ini adalah penukilan Majlisi Tsani (kedua) dari Abu al-Wafa Syirazi, yang mengklaim bahwa dalam mimpinya Rasulullah saw menganjurkannya supaya bertawassul kepada Imam Jawad as dalam urusan materi.[103]

Telaah lebih lanjut

  • Musnad Imam Jawad as, dikumpulkan dan disusun oleh Azizullah al-'Atharidi, al-Mu'tamar al-Alami lil Imam al-Ridha as, Qom, Amir, 1420 Q.
  • Zendegi Siyasi Imam Jawad as, Ja'far Murtadha Amili, al-Markas al-Islami lil Dirasat.
  • Pisywayane Hidayat, Guruhe Muallifan, Intisyarat Majma' Jahani Ahlulbait.
Didahului oleh:
Imam Ridha as
Imam ke-9 Syiah Imamiyah
203 H-220 H
Diteruskan oleh:
Imam Ali al-Hadi as

catatan

  1. Dalam sebagian sumber, ibu imam Jawad berasal dari keluarga Maria al-Qibthiyah, istri Rasulullah saw.(Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 492) dan nama-nama: Khaizuran (Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 492), Raihanah, Sakinah (Thabari, Dalail al-Imamah, hlm. 396), Nubiyah (Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 273), Darrah dan Murisiyah disematkan untuknya.(Qurasyi, Hayat al-Imam Muhammad al-Jawad, hlm. 21)
  2. Meskipun perkataan ahli tersebut dalam syariat tidak dianggap dalil yang mu'tabar, namun karena orang-orang tersebut mempercayainya, maka itu membuat mereka yakin
  3. Ibnu Syahrasyub mengatakan bahwa beliau semasa dengan tiga orang dari khalifah Abbasiah dan syahid pada periode pemerintahan Watsiq. (Lihat: Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 380)
  4. Yang dimaksud dengan Zaidiyah disini adalah sebagian kelompok Zaidiyah di zaman Imam Jawad as yang mana mereka memusuhi Ahlulbait as

Catatan Kaki

  1. Thabari, Dalail al-Imamah, hlm. 396
  2. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 492; Masudi, Itsbat al-Washiyah, hlm. 216
  3. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 379
  4. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 82
  5. Arbili, Kasyf al-Ghummah, jld. 2, hlm. 857
  6. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 281
  7. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 379; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 50, hlm. 12-13.
  8. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 295
  9. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 273; Thabrisi, I'lām al-Wara, jld. 2, hlm. 91
  10. Lihat: Thabrisi, I'lām al-Wara, jld. 2, hlm. 91; Ibnu Syahrasyub, Manāqib Āl Abi Thalib, jld. 4, hlm. 379
  11. Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 273; Thabrisi, I'lām al-Wara, jld. 2, hlm. 91
  12. sebagain contoh, silakan lihat: Asy'ari, al-Maqālāt wa al-Firaq, hlm. 99
  13. Arbili, Kasyf al-Gummah, jld. 2, hlm. 867; Masudi, Itsbāt al-Washiyah, hlm. 216; Ibnu Syahrasyub, Manāqib Āl Abi Thalib, jld. 4, hlm. 379
  14. Ibnu Fattal, Raudhah al-Wā'izhin, jld. 1, hlm.243
  15. Thusi, Misbah al-Mutahajjid, hlm. 805
  16. Kulaini, al-Kāfi, jld. 1, hlm. 320
  17. Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 50, hlm. 20, 23, 35
  18. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm.323
  19. Jakfariyan, Hayat Fikri wa Siyasi Imamani Syiah, hlm.476-477
  20. Baihaqi, Tarikh Baihaqi, hlm. 46
  21. Thabari, Tarikh al-Umam wa al-Muluk, jld. 8, hlm. 566
  22. Mas'udi, Itsbāt al-Washiyah, hlm.223
  23. Baihaqi, Tarikh Baihaqi, hlm. 46
  24. Jakfariyan, Hayat Fikri wa Siyasi Imamani Syiah, hlm. 478
  25. Ibn Katsir, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 10, hlm. 295
  26. Sebagi contoh lihatlah: Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 281
  27. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, jld. 2, hlm. 455
  28. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 281-282
  29. Jakfariyan, Hayat Fikri wa Siyasi Imamani Syiah, hlm. 478
  30. Pisywai, Sire-e Pisywayan, hlm. 558
  31. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 281; Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 380-381
  32. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 285
  33. Ibnu Syahr Asyub, jld. 4, hlm. 380.
  34. Qummi, Muntaha al-Amal, jld. 2, hlm. 497
  35. Hassun, A'lam al-Nisa al-Mu'minat, hlm. 517
  36. Qummi, Muntahal Amāl, jld. 2, hlm. 497.
  37. Syekh Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 295.
  38. Ibn Syahr Asyub, Manāqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 380; Thabari, Dalail al-Imamah, hlm. 387
  39. Mahallati, Riyahin al-Syari'ah, jld. 4, hlm. 316; Syekh Abbas Qummi, Muntaha al-Amal, jld. 2, hlm. 422
  40. Lihat: Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 380
  41. Mufid, al-Irsyad, jld.2, hlm. 295
  42. Ibnu Abi al-Tsalj, Tarikh al-Aimmah, hlm. 12
  43. Asy'ari, al-Maqalat wa al-Firaq, hlm. 99; Thabrisi, I'lam al-Wara, jld.2, hlm. 106
  44. Ibnu Abi al-Tsalj, Tarikh al-Aimmah, hlm. 13
  45. Ibnu Fattal, Raudhah al-Wa'izhin, jld. 1, hlm. 242
  46. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 295
  47. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm.273, 295
  48. Ayyasi, Tafsir, jld. 1, hlm. 320
  49. Ayasyi, Tafsir, jld. 1, hlm. 320.
  50. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 50, 13, 17
  51. Mas'udi, Itsbat al-Washiyyah lil Imam Ali bin Abi Thalib as, hlm. 227.
  52. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 391
  53. Pisywai, Sire-e Pisywayan, hlm. 520
  54. Mufid, al-Irsyad, hlm.273
  55. Mufid, al-Irsyad, hlm.295
  56. Lihat: Jakfariyan, Hayate Fikri va Siyasisi-e Imamane Syieh, hlm. 476
  57. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 320-323
  58. Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 274-280
  59. Thabrisi, I'lam al-Wara, jld. 2, hlm. 92-96
  60. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 50, hlm. 18-37
  61. Syekh Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 265.
  62. Syekh Mufid, al-Irsyād, jld. 2, hlm. 266.
  63. Nubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 88
  64. Ibnu Syahrasyub, Manaqib Al Abi Thalib, jld. 4, hlm. 383
  65. Nubakhti, Firaq al-Syiah, hlm. 77-78
  66. Jasim, Tarikh Siyasi-e Ghaibate Imam Dawozdahum, hlm. 78
  67. Nubakhti, Fira al-Syiah, hlm. 88
  68. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm.322
  69. Q.S. Maryam: 12.
  70. Kulaini, Ushul al-Kāfi, jld. 1, hlm. 382.
  71. Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 383
  72. Syekh Shaduq, 'Uyun Akhbār al-Ridhā, jld. 2, hlm. 586.
  73. Dashti, Naqsy-e Siyasi Sazeman Wekalat dar Asr-e Huzur-e Aimmah, hlm. 103.
  74. Jasim, Husein, Tarikh Siyasi Ghaibat Imame Dawozdahum, hlm. 79.
  75. Rujuklah: Ja'fariyan, hlm. 489.
  76. Lihat: Kulaini, jld. 3, hlm. 399, jld. 4, hlm. 275, 534, jld. 5, hlm. 347; Kasysyi, hlm. 610-611.
  77. Mausu'ah al-Imam al-Jawad, jld. 2, hlm. 515-521.
  78. Khaz Ali, Mausu'ah al-Imam al-Jawad, Jld. 2, hlm. 416-508.
  79. Sebagai contoh, rujuklah: Kulaini, al-Kafi, jld. 3, hlm. 331, 398, jld. 5, hlm. 394, jld. 7, hlm. 163; Kasysyi, Ikhtiyar Ma'rifat al-Rijal, hlm. 783, 869; Miyanji, Makatib al-Aimmah,jld. 5
  80. Ja'fariyan, Rasul, Hayate Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 492 dan 493.
  81. Syekh Shaduq, Al-Tauhid, hlm. 101.
  82. Syekh Shaduq, Man La Yahdhur al-Faqih, jld. 1, hlm. 379 dinukil dari Hayate Fikri wa Siyasi Imamane Syiah, hlm. 490.
  83. Ibid., Ikhtiyar Ma'rifah al-Rijal, hlm. 229.
  84. Thabarsi, al-Ihtijaj, hlm. 443 dan 444; Al-Mas'udi, Itsbat al-Washiyyah lil Imam Ali bin Abi Thalib as, hlm. 189-191.
  85. Thabarsi, al-Ihtijaj, jld. 2, hlm. 478.
  86. Ibid.,
  87. QS. Al-Jin: 18
  88. 'Ayasyi, Kitab al-Tafsir, jld. 1, hlm. 319 dan 320; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 50, hlm. 5 dan 6.
  89. 'Atharidi, hlm. 249.
  90. Syekh Mufid, Al-Irsyad, jld. 2, hlm. 586.
  91. Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Ali bin Abi Thalib, jld. 4, hlm. 390; Syekh Mufid, al-Irsyad, jld. 2, hlm. 278; Fattal Nisyaburi, hlm. 241 dan 242.
  92. Thusi, Rijal al-Thusi, 1373 S, hlm. 373-383.
  93. Qarasyi, Hayat al-Imam Muhammad al-Jawad, 1418 H, hlm. 128-178.
  94. Syabastari, Subul al-Rasyad, 1421 H, hlm. 19-289.
  95. 'Atharidi, Musnad al-Imam al-Jawad, 1410 H, hlm. 249.
  96. Ja'fariyan, Hayate Fikri wa Siyasi Imamane Syi'ah, 1381 S, hlm. 491.
  97. 'Atharidi, Musnad al-Imam al-Jawad, hlm. 314, 315, 262, 283, 319 dan 271.
  98. Waridi, Guneh Syenasi Rawiyane Imam Jawad,hlm.30-31.
  99. Sibth ibn Jauzi, Tazkira al-Khawash, hlm. 359.
  100. Haitsami, Ibn Hajar, al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 206.
  101. Fattal Nisyaburi, Raudhah al-Wā'idzin, hlm. 237.
  102. Amili, Murtadha, Zendegāni Siyāsi Imām Jawad, hlm. 106.
  103. Ucapan Abu Lufa yang dinukil oleh Allamah Majlisi adalah sebagai berikut: "Saat (putra Ilyas) penguasa kawasan Kerman tertawan, tidak lama kemudian, dibawa dengan tali dan rantai ke penjara. Dengan berlalunya masa, aku memahami bahwa mereka telah melakukan rencana konspirasi pembunuhanku, aku sangat gelisah, apa yang harus aku perbuat supaya dapat selamat dan lolos dari konspirasi ini? Suatu malam aku menangis di keharibaan Allah swt, aku bertawasul kepada Imam Ali Zainal Abidin as dan aku meminta keselamatanku, pada saat itu juga mataku terpejam dan aku melihat Rasulullah saw di alam mimpi, dimana beliau bersabda, janganlah bertawassul kepadaku dan putriku Fatimah serta Hasan as dan Husein as, namun bertawasullah kepada Imam Jawad, putraku untuk meminta rezeki dan penghasilan serta penyelesaian muskilah, dimana Allah karenanya akan mengijabahkan hajat-hajatmu. Da'wat Rawandi, 191, hadis, 530; Bihar al-Anwar, jld. 91, hlm. 35 dan jld. 99, hlm. 249.

Daftar Pustaka

  • Al-Mas'udi, Abul Hasan Ali bin al-Husein bin Ali. Itsbat al-Washiyyah lil Imam Ali bin Abi Thalib Alaihi as-Salam. Qom: Mansyurat al-Radhi, 1404 H.
  • Amili, Ja'far Murtadha, Zendegani Siyasi Imam Jawad.
  • 'Atharidi, Azizullah. Musnad al-Imam al-Jawad. Qom: al-Mu'tamar lil Imam al-Ridha, 1410 H.
  • 'Ayashi, Abi Nasr Muhammad bin Mas'ud. Al-Tafsir al-'Ayasyi, editor: Hasyim Rasuli Mahallati. Teheran: Al-Maktabah al-Ilmiyyah al-Islamiyyah.
  • Baihaqi, Abul Hasan Ali bin Zaid. Tarikh Baihaqi, hasyiyah Ahmad Bahmaniar, dengan pendahuluan Muhammad bin Abdul Wahhab Qazwini. Teheran: Kitabfurusyi Furughi,
  • Dimasyqi, Ismail bin Katsir. Al-Bidayah wa al-Nihayah. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1413/1993.
  • Ibn Abi al-Tsalj. Tarikh al-Aimmah , Dar Majmu'ah Nafisah fi Tarikh al-Aimmah. Qom: cet Mahmud Mar'asyi, perpustakaan Ayatullah Mar'asyi, 1406 H.
  • Ibn Syahr Asyub, Abi ja'far Muhammad bin Ali. Manaqib Ali bin Abi Thalib. Beirut: Dar al-Adhwa'.
  • Jasim, Husein.Tarikh Siyasi Ghaibat Imame Dawozdahum, terjemahan: Muhamamd Taqi Ayatullahi. Teheran: Muasasah Intisyarat Amir Kabir, 1386 S.
  • Khatib Baghdadi. Tarikh Baghdad. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Dar Ihya al-Turats Al-Arabi, 1403 H/ 1983.
  • Mausuah al-Imam al-Jawad as. Qom: Muassasah Wali al-'Ashr as Lid Dirasat al-Islamiyyah, 1419 H.
  • Muhammad bin Hasan Thusi. Mishbah al-Mutahajjid. Beirut: 1411 H/1991.
  • Muhammad bin Jarir Thabari Amuli. Dalail al-Imamah. Qom: Muassasah al-Bi'tsah, 1413 H.
  • Naubakhti, Hasan bin Musa. Firaq al-Syiah. Beirut.
  • Sa'ad bin Abdullah Asy'ari. Al-Maqalat wa al-Firaq. Teheran: cet. Muhammad Jawad Masykur 1341 S.
  • Shaduq, Muhammad bin Ali. 'Uyun Akhbar al-Ridha, pen. Ali Akbar Ghaffari. Teheran: Nasyre Shaduq, 1373 S.
  • Sibth bin Jauzi. Tadzkirah al-Khawash. Teheran: Nashir Khusru Marwi, Maktabah Nainawa al-Haditsah.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Irsyad fi Ma'rifah Hujajillah ala al'Ibad, ter. Hasyim Rasuli Mahallati. Intisyarat Ilmiah Islamiyyah.
  • Syekh Shaduq, Ibn Babawaih. Al-Tauhid, editor Hasyim al-Tehrani. Qom: Intisyarat al-Nasyr al-Islami.
  • Syekh Thusi, Abi Ja'far Muhammad bin al-Hasan. Ikhtiyar Ma'rifat al-Rijal, editor dan hasyiyah Hasan Mustafawi. Masyhad: Universitas Masyhad, 1348 S.
  • Syekh Thusi. Tahdzib al-AhKam, peneliti: Sayid Hasan al-Khurasan:. Beirut: Dar al-Adhwa', cet. 3, 1406 H/ 1985
  • Thabari, Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Thabari. Beirut, Muassasah al-A'lami li al-Mathbuat.
  • Thabarsi, Abi Mansur Ahmad bin Ali bin Abi Thalib. Ihtijaj. Masyhad: Universitas Masyhad, 1348 S.
  • Thabarsi, Fadh bin Hasan. I'lam al-Wara fi A'lam al-Huda. Qom: 1417 H.
  • Thabarsi. Al-Ihtijaj, editor Ibrahim al-Baharudi dan Muhammad Hadi Bih. Qom: Intisyarat Uswah, cet. 1, 1413 H.