Muhkam dan Mutasyabih

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Mutasyabih)
Ilmu Tafsir
Tafsir-tafsir Penting
Syi'ahTafsir Qummi — 307 H • Tafsir Ayyasyi - 320 H • Tafsir Tibyan - 460 H • Tafsir Majma' al-Bayan - 548 H • Tafsir al-Shafi - 1091 H • Tafsir al-Mizan - 1402 H
SunniTafsir Thabari - 310 H • Tafsir Ibnu Athiyyah - 541 H • Tafsir Qurthubi - 671 H • Tafsir Ibnu Katsir - 774 H • Tafsir Jalalain - 864/911 H
Genre-genre Tafsir
Tafsir KomparatifTafsir IlmiahTafsir KontemporerTafsir HistorisTafsir FilosofisTafsir TeologisTafsir GnostisTafsir SastrawiTafsir Fikih
Metode-metode Tafsir
Tafsir al-Qur'an bil Qur'anTafsir RiwayatTafsir RasionalTafsir Ijtihad
Klasifikasi Tafsir
Tafsir TartibiTafsir Tematis
Terma-terma Ilmu Tafsir
Asbab al-NuzulNasikh MansukhMuhkam dan MutasyabihTahaddiKemukjizatan al-Qur'anJaryi


Muhkam dan Mutasyabih (bahasa Arab:المُحْکَم و المُتَشابه ) adalah istilah yang sering digunakan dalam bidang Ulumul Qur'an. Pembagian ini didasarkan pada penjelasan Al-Qur'an di Surah Ali Imran ayat 7. Muhkam merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an yang maknanya jelas dan tidak memiliki kemungkinan makna yang lain. Disisi lain ayat mutasyabih adalah ayat yang mengandung kemungkinan arti lahiriah yang beragam. Sebagian ulama Ahlusunah berkeyakinan bahwa hanya Allah swt yang mengetahui makna ayat-ayat Mutasyabih namun, sebagian besar ulama Syiah meyakini bahwa kita dapat memahami makna ayat Mutasyabih dengan merujuk pada ayat-ayat muhkam. Untuk mengetahui sebab diturunkannya ayat Mustasyabihat, Al-Qur'an memberikan dalil-dalil yang beragam.

Makna Dua Istilah

Sebagian besar ulama Ulumul Qur'an meyakini bahwa ayat muhkam merupakan ayat-ayat yang maknanya demikian jelas sehingga tidak memiliki kemungkinan mengandung makna yang lain. Sedangkan ayat mutasyabih adalah ayat yang memiliki kemungkinan makna lahiriah yang beragam, kemungkinan ini bisa terjadi baik dalam bentuk kata atau kalimat.[1]

Adapun secara Istilah, terdapat pendapat lain tentang makna ayat Muhkam[2]:

  • Ayat muhkam adalah ayat yang mengandung penjelasan tentang halal-haram atau perintah-larangan.
  • Ayat muhkam adalah ayat yang tidak bisa di nasakh-kan, dan ayat mutasyabih adalah ayat yang di mansukh-kan.
  • Muhkam adalah perkara yang dijanjikan pahala dan hukuman atasnya.
  • Ayat muhkam adalah ayat yang lafadz-lafadz nya tidak mengalami pengulangan.

Secara istilah, ayat mutasyabih juga memiliki beberapa definisi:[3]

  • Ayat mutasyabih yakni ayat-ayat yang telah di mansukh-kan, dimana kita dilarang untuk mengamalkannya.
  • Ayat mutasyabih berbentuk cerita dan semisalnya.
  • Ayat mutasyabih hanya Allah yang mengetahui hakikatnya, dan kita hanya meyakini makna lahiriahnya saja.
  • Ayat mutasyabih adalah pembuka surah-surah (Al-Qur'an) dan huruf-huruf Muqattha'ah (terputus).
  • Ayat mutasyabih hanya dapat dipahami dengan Takwil, dan tidak bisa hanya dipahami dari makna lahiriahnya saja.
  • Ayat mutasyabih adalah ayat yang terkait dengan hal-hal gaib, dan hanya Allah yang tahu makna sebenarnya. Misalnya, ayat tentang kapan terjadinya Kiamat, kapan turunnya hujan, kapan terjadinya ajal/kematian, dll.
  • Ayat mutasyabih adalah ayat yang hanya bisa dipahami dengan menghubungkannya dengan ayat lain, tanpa melakukannya maka, ayat ini tidak bisa dipahami.

Hikmah Adanya Ayat-ayat Mutasyabih dalam Al-Qur'an

Adanya ayat-ayat mutasyabih dapat digunakan untuk menyesatkan pemahaman tentang Al-Qur'an. Sehingga muncul pertanyaan, mengapa ayat mutasyabih ada dalam Al-Qur'an? Untuk menjawab pertanyaan ini beragam jawaban telah diutarakan para ulama, diantaranya sebagai berikut:

  • Sebagian mutakallim meyakini bahwa adanya ayat mutasyabih merupakan tahapan menuju pemahaman yang lebih dalam dan perhatian lebih detil pada makna Al-Qur'an, sehingga hal ini menyebabkan pentingnya memfungsikan akal serta merujuk pada para ahli Al-Qur'an yang memiliki kemiripan dalam penjelasan ayat-ayat mutasyabih tersebut.[4]
  • Sebagian ‘Arif juga berkeyakinan bahwa derajat dan kondisi manusia dalam beribadah itu bertingkat-tingkat, sebagian sudah melewati tahap penyucian diri dari hawa nafsu, sebagian lain masuk dalam tahap penyucian akal dan semisalnya. Sehingga, ayat-ayat Qur'an diturunkan sesuai dengan derajat pemahaman serta tingkatan jiwa hamba-hamba-Nya.[5]
  • Para filosof menyatakan: karena diantara pengguna Al-Qur'an terdapat orang-orang yang tidak mampu mengetahui hakikat alam-alam non materi, maka pertama ada ayat-ayat yang menisbahkan sifat dan karakter jasmaniah pada Allah swt dengan menggunakan kata-kata yang sesuai dengan alam khayal. Namun, disamping ayat-ayat mutasyabih ini juga terdapat ayat-ayat muhkam yang menjelaskan hakikat yang sebenarnya. Dalam konteks ini, masyarakat umum secara bertahap akan berpindah dari memahami wujud dengan karakter yang pertama (wujud materi) kepada wujud sederhana yang sempurna (Tuhan) yang terlepas dari segala sifat wujud mumkin. [6]

Langkah-langkah Menafsirkan Ayat Mutasyabih

Para mufassir Al-Qur'an memiliki metode beragam ketika berhadapan dengan ayat Mutasyabih. Mulla Shadra dalam kitab Risalah Mutasyabihat Al-Qur'an, mengemukakan empat jalan dalam manafsirkan ayat-ayat mutasyabih.[7]

  • Metode ahli bahasa, perawi hadist dan Hanbali menyatakan bahwa ayat-ayat mutasyabih harus dimaknai sesuai makna lahiriahnya. Jika ayat-ayat ini dimaknai bertentangan dengan makna lahiriah, hal ini sangatlah dilarang, meskipun maknanya bertentangan dengan kaidah akal. Sesuai pandangan ini, setiap jenis takwil dianggap salah dan terlarang.
  • Metode peneliti dan mayoritas mutakallim Mu'tazilah memperbolehkan takwil pada ayat mutasyabih, ketika sesuai dengan kaidah-kaidah logis. Dalilnya adalah bahwa Allah swt terbebas dari berbagi sifat kekurangan.
  • Metode mayoritas kelompok Asy'ariyah dan sebagian dari Mu'tazilah: kelompok ini meyakini 'tafshil' (menggunakan beberapa metode) dalam memahami ayat dan riwayat. Pada sebagian ayat dan riwayat menggunakan cara 'Tanzih' (mensucikan Tuhan dari sifat-sifat materi) dan pada sebagian ayat dan riwayat menggunakan cara 'Tasybih' (menyerupakan dengan alam materi) dan 'Tanzil' (disesuaikan dengan apa yang diturunkan). Ayat-ayat yang berkaitan dengan hari kiamat, mereka biarkan pada makna lahiriahnya dan meyakini Tasybih.
  • Metode para arif: Mulla Shadra dalam masalah ini menjelaskan bahwa para arif memahami hakikat dari ayat-ayat Mutasyabih melalui jalan penyaksian (syuhud) batin, dan menjauhi metode Tanzih semata, Tasybih semata dan kombinasi keduanya. Penyingkapan makna ayat-ayat Mutasyabih bisa dilakukan melalui penjernihan batin dan pencerahan dari sumber kenabian. Proses ini tidak mendorong manusia kepada Tasybih (menyerupakan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya) dan 'Ta'thil' (mengistirahatkan akal, artinya meyakini bahwa akal tidak mampu mengetahui sifat-sifat Allah) juga tidak mengantarkan mereka pada 'Takwil (memaknai suatu nash/matan berlawanan dengan lahiriyahnya)

Metode Ahlulbait dalam Menafsirkan Ayat Mutasyabih

Dalam kitab 'Uyun Akhbar al-Ridha disebutkan Imam Ridha as berkata, "Barangsiapa mengembalikan ayat Mutasyabih Al-quran kepada ayat muhkam maka ia benar-benar ditunjukkan pada jalan yang lurus." [8] Ia berkata, "Dalam riwayat-riwayat kami juga banyak terdapat riwayat-riwayat Mutasyabih seperti ayat-ayat Mutasyabih Al-Qur'an yang harus dirujukkan (pemaknaanya) pada riwayat-riwayat kami yang muhkam."[9] Satu hal penting harus menjadi acuan adalah semua ayat-ayat Al-Qur'an baik mutasyabih, dapat diketahui maknanya. Ayat-ayat Mutasyabih dapat diketahui maknanya dengan merujuk pada ayat muhkam. Keyakinan ini berseberangan dengan sebagian kelompok yang menganggap bahwa ayat Mutasyabih hanya diketahui oleh Allah swt. Dalam keyakinan Ahlulbait tidak boleh 'Tawaqquf' (berhenti dalam memahami) dalam ayat-ayat Mutasyabih. Artinya, harus dirujukkan pada ayat-ayat muhkam.[10]

Defenisi Rasikhun Ilmi

Salah satu pembahasan penting diantara para peneliti terkait dengan ayat-ayat muhkam dan Mutasyabih adalah mengenai Surah Ali Imran ayat 7 yang berbunyi, "Padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah swt. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya (mereka) berkata, Kami beriman kepada semua [ayat-ayat yang mutasyaabihaat dan ayat muhkam], semuanya itu dari sisi Tuhan kami".

Jika di ayat ini kalimat وَ الرَّاسِخُونَ فِی الْعِلْمِ dirujuk ('athaf) pada وَ ما یعْلَمُ تَأْوِیلَهُ إِلاَّ اللَّهُ, maka "Rasikhūn" –Ahli Ilmu- mampu memahami kandungan dari ayat mutasyabih, namun jika kalimat itu dianggap kalimat baru dan tidak kembali pada kalimat sebelumnya, maka kata "Rasikhuun" bermakna orang yang tidak mampu memahami makna ayat Mutasyabih, dan mereka sekedar berkata "kami beriman pada semua yang telah diturunkan dari sisi Tuhan kami".

Sebagian besar ulama Ahlusunah meyakini bahwa hanya Allah swt lah yang mengetahui makna sebenarnya ayat mutasyabih, dan ketika berhadapan dengan ayat ini maka mereka mengharuskan kita untuk berhenti, dan mereka yang termasuk golongan ahli ilmu (Rasikhūn) terkait takwil al-Quran hanya bisa mengatakan bahwa kami meyakininya. [11]

Sebagian besar ulama Syiah dan sebagian kecil ulama Ahlusunah [12] meyakini kalimat “الراسخون فی العلم” dikembalikan (diathafkan) pada lafadz “Allah”, sehingga mereka “Rasikhun” diberi kemampuan memahami ayat mutasyabih. Dalil akan hal ini adalah, jika ilmu “Rasikhun” disamakan dengan orang biasa dan tidak mengetahui takwil, lalu mengapa Alquranmemuliakan/mengagungkan para “Rasikhun” (Ahli Ilmu)?. Berdasarkan sebagian riwayat, ulama Syiah meyakini bahwa yang dimaksud “Rasikhun” dalam ilmu disini adalah para Imam Ahlulbait as. [13]

Catatan Kaki

  1. Qur'an dar Ayeneh Pezuhesy, Maqalah Muhkam wa mutasyabih.
  2. Zarkasyi, al-Burhan fi Ulumil Qur'an, riset: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Beirut, Dar al-Ma'rifah, jld. 2, hlm. 79.
  3. Zarkasyii, al-Burhan fi Ulumil Qur'an, riset: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Beirut, Dar al-Ma'rifah, jld. 2, hlm. 80.
  4. Qadhi Abdul Jabbar, al-Mughni fi Abwāb al-Tawhid wa al-'Adl, al-Jumhuriyah al-'Arabiyah al-Muttahidah, Wizarah al-Tsaqafah, jld. 16, hlm. 371 dan 372.
  5. Menurut penukilan Sayid Jalaluddin Asytiyani, Mutasyabihāt Al-Qur'an, Universitas Ferdawsi, tanpa tahun, hlm, 160-161.
  6. Menurut penukilan Sayid Jalaluddin Asytiyani, Mutasyabihat Al-Qur'an, Universitas Ferdawsi, tanpa tahun, hlm, 145.
  7. Mulla Shadra, Mutasyabihat Al-Qur'an, riset: Asytiyani, Masyhad, Universitas Ferdawsi, hlm. 76, 77, 79, 90 dan 91.
  8. 'Uyun Akhbār al-Ridha, Nashr Jahan, jld. 1, hlm. 290.
  9. Nawādiru al-Akhbār fi Ma Yata'allaqu bi Ushuli al-Din, Faidh Kashani, Muassasah Muthali'at wa Tahqiq Farhanggi, Tehran, 1371 S, hlm. 51.
  10. Qur'an dar Ayeneh Pezuhesy, makalah Muhkam wa Mutasyabih.
  11. Subhi Shalih, Mabāhits fi Ulumil Qur'an, hlm. 282.
  12. Seperti Mujahid (w. 103 H) (Qatthan, Manna', Mabahits fi 'Ulumil Qur'an, hlm. 217), Abu al-Hasan Asy'ari (w. 360 H), Abu Ishaq Syirazi (w. 476 H) dan Imam al-Haramain Juwaini (w. 478). Pada kurun terakhir banyak dari ulama kontemporer Ahlusunah menerima pendapat ini (Subhi Shalih, Mabahits fi Ulumil Qur'an, hlm. 282).
  13. Lih: Bahrani, al-Burhan, jld. 1, hlm. 597-599.

Daftar Pustaka

  • Zarkasyi, al-Burhān fi Ulumil Qur'an, riset: Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Beirut, Dar al-Ma'rifah.
  • Qadhi Abdul Jabbar, al-Mughni fi Abwab al-Tawhid wa al-'Adl, al-Jumhuriyah al-'Arabiyah al-Muttahidah, Wizarat al-Tsaqafah.
  • Sayid Jalaluddin Asytiyani, Mutasyabihat Al-Qur'an, Universitas Ferdawsi, tanpa tahun.
  • Mulla Shadra, Mutasyabih Al-Qur'an, riset: Asytiyani, Masyhad, Universitas Ferdawsi.
  • 'Uyun Akhbār al-Ridha, Nashr Jahan.
  • Nawādiru al-Akhbār fi Ma Yata'allaqu bi Ushuli al-Din, Faidh Kashani, Muassasah Muthali'at wa Tahqiq Farhanggi, Tehran, 1413 H.
  • Subhi Shalih, Mabāhits fi Ulumil Qur'an, Intisyarat al-Syarif al-Radhi, Qom, 1414 H.
  • Bahrani, Shalih, Mabāhits fi Ulumil Qur'an, Intisyarat Bi'tsat, Qom.
  • Qatthan, Manna', Mabāhits fi Ulumil Qur'an, Muassasah al-Risalah, Beirut, 1421 H.
  • Sayid Muhammad Ali Ayyazi, Qur'an Atsari Jawidan, Muassasah Pezuhesyhai Qur'ani, 1423 H.