Perubahan Kiblat
Perubahan Kiblat (bahasa Arab: تغییر القبله) adalah peristiwa perubahan kiblat kaum muslimin dari Masjidil Aqsha ke arah Kakbah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab tahun ke-2 H dan setelah turunnya Surah Al-Baqarah ayat 144.
Berdasarkan perkataan sebagian besar penulis sejarah, perubahan kiblat terjadi di Masjid Dzul Qiblatain di kota Madinah ketika (Nabi dan para sahabat) sedang melaksanakan salat Dhuhur. Bagaimana perubahan lebih dari 160 derajat arah kiblat dalam salat jamaah merupakan permasalahan yang menarik perhatian dalam peristiwa ini.
Kiblat pertama dan Perubahannya
Berdasarkan perkataan sebagian besar penulis sejarah, perubahan kiblat terjadi di Masjid Dzul Qiblatain di kota Madinah ketika (Nabi dan para sahabat) sedang melaksanakan salat Dhuhur. Bagaimana perubahan lebih dari 160 derajat arah kiblat dalam salat jamaah merupakan permasalahan yang menarik perhatian dalam peristiwa ini. [1]
Ayat Kiblat
“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.”[2]
Ayat ini menerangkan tentang hukum perubahan kiblat dan disebut dengan ayat kiblat. [3]. Dari ayat-ayat 142 [4], 143 [5] dan 150 [6] surah Al-Baqarah juga disebut sebagai ayat kiblat. Sebagian mufasir menilai bahwa ayat 142-144 surah Al-Baqarah disebut dengan ayat-ayat perubahan kiblat. [7]
Sejarah
Terkait dengan sejarah perubahan kiblat, terdapat beberapa riwayat:
- Berdasarkan sebagian riwayat, Kakbah telah menjadi kiblat semenjak zaman Nabi Adam as. [8] Nabi Ibrahim as membangun Kakbah kembali. [9] Nabi Musa atas perintah Allah demi untuk menyelamatkan Masjid al-Aqsha dari syirik dan penyimpangan akidah, menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblatnya. [10]
- Dalam sebagian riwayat dinyatakan bahwa Baitul Maqdis telah menjadi kiblat secara resmi bagi kaum Muslimin sampai dua tahun setelah Hijrah. [11] Pada waktu itu Kakbah masih berupa tempat untuk menyembah patung dan salat ke arah sana menimbulkan pertanyaan bahwa perbuatan tersebut seolah-olah mengagungkan berhala. [12]
- Sebagian mengatakan bahwa Nabi Muhammad saw sebelum hijrah, jika memungkinkan akan menggabungkan dua kiblat, sebab dengan mengingat letak geografi Mekah dan Baitul Maqdis maka Nabi masih bisa menghadap ke Baitul Maqdis sedemikian rupa sehingga Kakbah ada diantara beliau dan Baitul Maqdis, dan jika tidak mungkin, maka beliau akan salat ke arah Masjidil Haram. [13] Setelah hijrah, penyatuan dua kiblat tersebut karena letak geografi tidak mungkin lagi dan dengan demikian kiblat kaum muslimin hanya Baitul Maqdis saja. [14]
- Berdasarkan sebagian riwayat yang lain, kaum muslimin diberikan kebebasan untuk memilih ke arah mana salatnya, namun Nabi Muhammad saw salat menghadap ke Baitul Maqdis. [15]
- Terdapat pula riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa sebelum hijrah, Kakbah adalah kiblat pertama bagi kaum muslimin. [16] Riwayat ini meniscayakan adanya dua kali periode perubahan kiblat yaitu dari Kakbah ke Baitul Maqdis dan dari Baitul Maqdis ke Kakbah.
- Sebagian referensi tafsir dengan memperhatikan surah al-Baqarah ayat 115
Menunjukkan kebebasan Nabi dan kaum Muslimin untuk memilih diantara dua kiblat. [17] Mereka dalam membela pendapatnya bersandar pada sikap Rasulullah saw yang tidak memprotes secara terang-terangan terhadap perbuatan Bara bin Ma'rur dalam perjalanan ke Mekah sebelum Hijrah dimana ia salat menghadap ke arah Kakbah.[18]Sebaliknya, sebagian orang berpendapat bahwa ayat-ayat yang telah disebutkan berkaitan dengan salat-salat sunah yang dikerjakan dalam perjalanan (safar). [19] Namun berdasarkan sebagian riwayat-riwayat historis, Bara' bin Ma'rur setelah hijrah tetap salat menghadap ke arah kiblat padahal Nabi salat ke arah Baitul Maqdis. Ketika kabar tersebut sampai kepada Nabi Muhammad saw, maka Bara' dilarang lagi untuk salat menghadap Kakbah dan ia pun menerima. [20]
Proses Perubahan Kiblat
Menurut riwayat-riwayat yang ada, Nabi Muhammad saw sedang salat dhuhur ke arah Baitul Maqdis dan seperti biasa ada orang-orang yang makmun kepada beliau. Setelah menyelesaikan dua rakaat, malaikat Jibril turun dan menyampaikan surah Al-Baqarah ayat 144 supaya melakukan salat ke arah Kakbah. [21]
Terdapat perbedaan laporan tentang detik-detik perubahan kiblat atau tempat Nabi melakukan salat pertama ke arah Kakbah setelah terjadi perubahan kiblat. [22] Sebagian laporan menyebutkan perintah untuk mengubah arah kiblat terjadi ketika salat Ashar atau Subuh. [23] Terkait dengan zaman perubahan kiblat juga terjadi perbedaan, namun Allamah Thabathabai percaya bahwa perkataan yang paling benar tentang zaman perubahan kiblat adalah bulan Rajab tahun ke-2 H, yaitu bulan ke-17 Hijrah. [24]
Tempat terjadinya perubahan kiblat
Terkait dengan tempat terjadinya perubahan kiblat, terdapat perbedaan penukilan dari para sejarawan. Sumber-sumber historis menyebutkan tiga tempat dibawah ini:
- Masjid Bani Salimah di sebelah Barat Laut Madinah [25] yang terkenal dengan nama Masjid Dzu Qiblatain. [26] Sebagian besar sejarawan menilai bahwa masjid ini adalah tempat terjadinya perubahan arah kiblat. [27]
- Masjid kabilah Bani Salim bin Auf yang dipakai oleh Nabi untuk melaksanakan salat Jumat pertama kali. [28]
- Masjid Nabawi. [29]
Permasalahan Perubahan Kiblat dalam keadaan salat Jamaah
Baitul Maqdis berada di sisi utara kota Madinah dan Masjidil Haram berada di arah selatan. Oleh karena itu, Nabi saw memutar dan berbalik dari arah itu. Hal ini menimbulkan pertanyaan bahwa Nabi memutar membelakangi Baitul Maqdis. [30] Jika memang demikian maka akan ada pertanyaan bahwa para makmum berada di depan Imam dan juga para makmum perempuan berada di depan para makmum laki-laki. [31] Namun sebagian sumber referensi mengatakan bahwa setelah Nabi berputar ke arah Kakbah maka beliau bergerak dari tempatnya sendiri ke arah belakang masjid itu. [32] Dan para makmun juga dengan mengikuti gerakan imam, menghadap ke arah kiblat. [33] Berdasarkan laporan ini imam jamaah tidak hanya memutar hingga 180 atau 160 derajat [34] tapi juga bergerak karena di belakang masjid tidak tersedia tempat yang cukup hingga terbentuk saf bagi laki-laki dan perempuan. [35]
Sebab Perubahan Arah Kiblat
Para mufasir Alquran menjelaskan hal-hal berikut sebagai sebab-sebab digantikannya arah kiblat:
- Pada tahun-tahun kehadiran Nabi Muhammad saw di Mekah, Kakbah adalah tempat untuk menampung berhala-berhala kaum musyrikin. Oleh karena itu, Nabi Muhammad saw atas perintah Allah swt memerintahkan untuk pindah kiblat ke arah Baitul Maqdis untuk sementara waktu. Dengan demikian, shaf-shaf kaum muslimin akan berbeda dengan kaum Musyrikin. [36]
- Dengan terbentuknya pemerintahan Nabi di Madinah, masyarakat muslim cukup kuat dan shaf-shaf mereka menjadi jelas. Oleh karena itu, tidak penting lagi arah kiblat kaum muslimin adalah Baitul Maqdis dan Nabi juga telah lama menginginkan hal tersebut. Nabi juga selalu menunggu-nunggu datangnya wahyu mengenai perpindahan arah kiblat ke Kakbah disamping bahwa Kakbah adalah rumah tauhid yang paling tua dan rukun paling asli para Nabi. Demikian juga dengan keluarnya hukum perubahan kiblat, akan menjadi jelas orang-orang muslim dari orang Yahudi yang menghadap ke Baitul Maqdis. [37]
- Setelah Nabi hijrah ke Madinah, para kaum Yahudi mempermasalahkan perubahan arah kiblat kaum muslimin dan mereka mengatakan bahwa hal itu adalah bukti kekurangan Islam dan menunjukkan kebenaran agama Yahudi (QS. Al-Baqarah [2]: 146 dan (QS. Al-An'am [6]: 20) [38] Sebagian riwayat menjelaskan bahwa kaum Yahudi mengklaim bahwa kaum Muslimin tidak memiliki kiblat dan mereka mengarahkan kaum muslimin untuk salat menghadap Baitul Maqdis. [39]
- Salah satu hikmah dari perubahan kiblat adalah ujian [40] bagi kaum muslimin karena mereka yang beriman akan langsung menerima perubahan ini tanpa pemrotesan sedikit pun, namun mereka yang tidak memiliki keimanan yang benar dan belum sampai pada tingkatan menerima ajaran Islam, maka mereka sependapat dengan apa yang disampaikan oleh kaum Yahudi, mencari-cari alasan dan sangat susah untuk mengikuti peraturan-peraturan ini. [41]
Reaksi dan Pesan-pesan Perubahan Kiblat
Perubahan kiblat mengundang reaksi-reaksi dan memiliki pesan-pesan seperti:
- Sebagian kaum muslimin khawatir akan sia-sianya ibadahnya yang terdahulu dan ibadahnya orang-orang yang telah meninggal. [42]
Nabi saw membaca surah Al-Baqarah ayat 143 untuk menjawab pertanyaan mereka:
Nabi Muhammad saw dengan membaca surah Al-Baqarah ayat 143 menjawab kekhawatiran mereka: [43]
- Orang-orang musyrik yang fanatik menyalahkan dan mengecam orang-orang Islam karena telah ada perubahan kiblat. Sangat banyak orang-orang Hijaz yang memiliki kecintaan khusus kepada Kakbah dengan adanya perubahan kiblat kaum muslimin ke Kakbah maka mereka menjadi lebih dekat kepada agama Islam dan salah satu halangan mereka untuk masuk Islam telah hilang. Alquran mengisyaratkan hal ini: "Dan dari mana saja kamu (keluar), maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu." [44].
- Orang-orang Yahudi Hijaz tidak suka atas kejadian ini dan mulai membuat propaganda anti kaum muslimin.[45] [46]
Catatan Kaki
- ↑ Silahkan lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1986, jld. 3, hlm. 283; Thabari, Tarikh Thabari, 1996, jld. 2, hlm. 415-417; Thabathabai, Al-Mizān, 1417, jld. 1, hlm. 325.
- ↑ QS. Al-Baqarah [2]: 144
- ↑ Thabathabai, Al-Mizān, 1417 H, jld. 1, hlm. 325.
- ↑ Syaikh Thusi, Al-Tibyān, Beirut, jld. 3-4; Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 1, hlm. 414.
- ↑ Fahr Razi, Tafsir al-Kabir, jld. 4, hlm. 104.
- ↑ Thabathabai, Al-Mizān, 1417 H, jld. 1, hlm. 329.
- ↑ Thanthawi, Al-Wasith, 1412 H, jld. 1, hlm. 294.
- ↑ Kulaini, Al-Kafi, 1375 H, jld. 4, hlm. 199; Nahj al-Balaghah, Riset Subhi Salihi, Khutbah 192.
- ↑ Qumi, Tafsir Qumi, jld. 1, 1404 H, hlm. 62.
- ↑ Ibnu Khaldun, Tārikh Ibnu Khaldun, jld. 1, 1391, hlm. 483.
- ↑ Arzaqi, Akhbār Makkah, 1415 H, jld. 1, hlm. 31.
- ↑ Silahkan lihat: Zamakhsyari, Al-Kasyaf, 1415 H, jld. 1, hlm. 200.
- ↑ Silahkan lihat: Ibnu Katsir, Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1986, jld. 3, hlm. 253.
- ↑ Silahkan lihat: Al-Bidāyah wa al-Nihāyah, 1986, jld. 3, hlm. 253; Ibnu Sayidunnisa, Uyun al-Atsar, 1414 H, jld. 1, hlm. 268.
- ↑ Syaikh Thusi, Al-Tibyān, Beirut, jld. 1, hlm. 424; Thabarsi, Majma' al-Bayān, jld. 2, hlm. 6.
- ↑ Zamakhsyari, Al-Kasyaf, 1415 H, jld. 1, hlm. 200; Qurthubi, Tafsir Qurthubi, 1405 H, jld. 2, hlm. 150.
- ↑ Abul Futuh Razi, Raudh al-Jinan, 1375 H, jld. 2, hlm. 202.
- ↑ Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut, jld. 1, hlm. 439-440.
- ↑ Thabarsi, Majma' al-Bayān, jld. 1, hlm. 421.
- ↑ Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut, jld. 1, 439-440.
- ↑ Ibnu Sa'd, Al-Thabaqāt al-Kubrā, 1418, jld. 1, hlm. 186
- ↑ Asqalani, Fathul Bari, Beirut, jld. 1, hlm. 98; Al-Halabi, Al-Sirah al-Halabiyah, 1400 H, jld. 2, hlm. 352-353.
- ↑ Ibnu Sa'ad, Al-Thabaqāt al-Kubra, 1418 H, hlm. 186-187; Ibnu Sayidunnas, Uyun al-Atsar, 1414 H, jld. 1, 2699.
- ↑ Thathabai, Terjemah Tafsir al-Mizān, 1374 S, jld. 1, hlm. 497.
- ↑ Qaidan, Tārikh wa Atsār Islāmi, 1386 S, hlm. 268.
- ↑ Ibnu Najar, Al-Dar al-Tsamaniyah, Dar al-Arqam, hlm. 115; Ibnu Sayidunnas, Uyun al-Atsar, 1414 H, jld. 1, hlm. 308.
- ↑ Ibnu Sa'ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, 1418 H, jld. 1, hlm. 186; Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, 1415 H, jld. 2, hlm. 42; Zamakhsyari, al-Kasyaf, 1415 H, jld. 1, hlm. 202.
- ↑ Qumi, Tafsir Qumi, jld. 1, hlm. 63.
- ↑ Ibnu Sa'ad, Al-Thabaqat al-Kubrā, 1418 H, jld. 1, hlm. 186; Al-Samhudi, Wafā al-Wafā, 2006, jld. 1, hlm. 278.
- ↑ Ibnu Najar, Al-Darah al-Tsamaniyyah, Dar al-Arqam, hlm. 126.
- ↑ Silahkan lihat: al-Salihi, Subul al-Huda, 1414 H, jld. 3, hlm. 370.
- ↑ Ibnu Najar, Al-Darah al-Tsamaniyah, Dar al-Arqam, hlm. 126; Al-Salihi, Subul al-Huda, 1414 H, jld. 3, hlm. 372.
- ↑ Ibnu Sa'ad, Al-Thabaqāt al-Kubrā, 1418 H, jld. 1, hlm. 186; Ibnu Sayidunas, Uyun al-Atsar, 1414 H, jld. 1, hlm. 269; Al-Samhudi, Wafā al-Wafā, 2006, jld. 1, hlm. 278.
- ↑ Qaidan, Tārikh wa Atsār Islāmi, 1386, hlm. 306.
- ↑ Al-Samhudi, Wafā al-Wafā, 2006, jld. 3, hlm. 372.
- ↑ Zamakhsyari, Al-Kasyaf, 1415 H, jld. 1, hlm. 200.
- ↑ Syaikh Thusi, Al-Tibyān, Beirut, jld. 2, hlm. 5, Abul Futuh Razi, Raudh al-Jinān, 1375 HS, jld. 2, hlm. 203; Thabrisi, Majma' al-Bayān, jld. 11, hlm. 412-414.
- ↑ Thabarsi, Majma' al-Bayān, jld. 1, hlm. 420; Zamakhsyari, Al-Kasyaf, 1415 H, jld. 1, hlm. 203.
- ↑ Thabari, Jami al-Bayān, 1415 H, jld. 1, hlm. 400.
- ↑ Zamakhsyari, Al-Kasyaf, 1415 H, jld. 1, hlm. 200.
- ↑ Thabari, Jami' al-Bayān, 1415 H, jld. 1, hlm. 146.
- ↑ Maqatil, Tafsir Maqātil, 1423 H, jld. 1, hlm. 146.
- ↑ Baihaqi, Dalāil al-Nubuwah, 1405 H, jld. 1, hlm. 575; Thabrisi, Majma' al-Bayān, jld. 1, hlm. 4177.
- ↑ (QS. Al-Baqarah [2]: 150)
- ↑ (QS. Al-Baqarah [2]: 142)
- ↑ Ibnu Hisyam, Al-Sirah al-Nabawiyyah, Beirut, jld. 1, hlm. 550; Al-Salihi, Subu al-Huda, 1414 H, jld. 3, hlm. 541.
Daftar Pustaka
- Al-Qur'an al-Karim.
- Abu al-Futuh Razi, Husain bin Ali. Raudhu al-Jinān wa Rauhu al-Janān fī Tafsīr al-Qur'an. Riset: Muhammad Jakfar Yahaqqi dan Muhammad Mahdi Nashih. Masyhad: Astan-e Quds-e Razawi, 1375 HS (1996).
- Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bāri Syarh Shahīh Bukhāri. Beirut: Daru al-Ma'rifah, 1379 H.
- Azraqi, Muhammad bin Abdullah bin Ahmad, Akhbāru Makkah. Riset: Rusydi al-Shalih. Makkah: Maktabah al-Tsaqafah, 1415 H.
- Baihaqi, Ahmad bin Husain. Dalāil an-Nubuwwah. Riset: Abdul Mu'thi Qal'aji. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyah, 1405 H.
- Fakhru al-Razi. Tafsīr al-Kabīr (Mafātih al-Ghaib). Qom: Daftare Tablighat, 1413 H.
- Halabi, Ali bin Ibrahim bin Ahmad. As-Sīrah al-Halabiyyah. Beirut: Daru al-Ma'rifah, 1400 H.
- Ibnu Hisyam, As-Sīrah an-Nabawiyyah. Riset: Musthafa as-Saqqa'. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1971.
- Ibnu Katsir. Al-Bidāyah wa an-Nihāyah. Beirut: Dar al-Fikr, 1986.
- Ibnu Khaldun. Tarikh Ibnu Khaldun. Beirut: Daru Ihya' at-Turats al-'Arabi, 1391 H.
- Ibnu Najjar, Muhammad bin Mahmud. Ad-Durrah ats-Tsamīnah fī Akhbār al-Madīnah. Riset: Muhammad Ali Syukri. Beirut: Dar al-Arqam, 2002.
- Ibnu Sa'ad. At-Thabaqāt al-Kubrā. Riset: Muhammad Abdul Qodir. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1418 H.
- Ibnu Sayidunnas. 'Uyūn al-Atsār fī Funūn al-Maghazi wa Syamāil wa as-Sīr. Riset: Ibrahim Muhammad Ramadhan. Beirut: Dar al-Qalam, 1414 H.
- Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfi. Riset Ghaffari. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1375 HS (1996).
- Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār. Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, 1403 H.
- Maqatil bin Sulaiman. Tafsīr Maqātil bin Sulaiman. Riset: Abdullah Mahmud Syhhatah. Beirut: al-Tarikh al-'Arabi, 1423 H.
- Qaidan, Asghar. Tārikh wa Atsār-e Islāmi Makke-ye Mukarramah wa Madine-ye Munawwarah (sejarah peninggalan Islam di Mekkah dan Madinah). Tehran: Masy'ar, 1386 HS (2007).
- Qommi, Ali bin Ibrahim. Tafsīr al-Qommi. Riset: al-Jazairi. Qom: Dar al-Kitab, 1404 H.
- Qurthubi. Tafsīr al-Qurthubi (al-Jāmi' li Ahkām al-Qurān). Beirut: Daru Ihya' al-Turāts al-'Arabi, 1405 H.
- Samhudi, Ali bin Abdullah. Wafā al-Wafā bi Akhbāri Daru al-Musthafā. Riset: Muhammad Abdul Hamid. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 2006.
- Shalihi, Muhammad bin Yusuf. Subul al-Huda wa ar-Rasyād. Riset: Adil Ahmad dan Ali Muhammad. Beirut: Daru al-Kutub al-'Ilmiyah, 1414 H.
- Syarif al-Radhi, Muhammad bin Husain. Nahj al-Balāghah. Diedit oleh Shubhi Shalih. Teheran: Dar al-Uswah, 1415 H.
- Shaduq, Muhammad bin Ali bin Babawaih. Man lā Yahdhuruhu al-Faqīh. Riset: Ghaffāri. Qom: Nasyr-e Islami, 1404 H.
- Thabari, Muhammad bin Jarir. Jami' al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān. Diedit oleh Shidqi Jamil. Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H.
- Thabari, Muhammad bin Jarir. Tārikh al-Umam wa al-Muluk. Riset Muhammad Abul Fadhl Ibrahim. Beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1387 H.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Al-Mizān fī Tafsīr al-Qur'ān. Qom: Intisyarat-e Islami, 1417 H.
- Thabathabai, Sayid Muhammad Husain. Tafsīr al-Mizān. Diterjemahkan oleh Sayid Muhammad Baqir Hamedani. Qom: Intisyarat-e Islami, 1374 H.
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān. Teheran: Nashir Khosru, 1372 HS (1993).
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān fī Tafsīr al-Qur'ān. Beirut: al-A'lami, 1415 H.
- Thanthawi, Muhammad Sayid. Tafsīr al-Wasīth lil Qur'ān al-Karīm. Kairo: Dar al-Ma'arif, 1412 H.
- Thusi, Muhammad bin Hasan. At-Tibyān. Riset: al-'Amili. Beirut: Daru Ihya' al-Turats al-'Arabi.
- Ya'qubi, Ahmad bin Ya'qub. Tārikh al-Ya'qubi. Beirut: Dar Shadir, 1415 H.
- Zamakhsyari, Jarullah. Al-Kasysyāf. Qom: Balaghat, 1415 H.