Melihat Allah

tanpa foto
tanpa navbox
Dari wikishia

Melihat Allah (bahasa Arab: رؤیة الله) adalah termasuk pembahasan teologis, mengenai kemungkinan melihat Allah swt dengan mata, para teolog Imamiyah dan Mu'tazilah percaya bahwa Allah tidak dapat dilihat baik di dunia atau di akhirat, dengan mata lahiriah. Menurut pandangan mereka melihat Allah dengan mata lahiriah melazimkan bersifat fisiknya Allah. Sebaliknya sebagian besar mazhab teologi Ahlusunah seperti Asy'ariyah, Ahluhadis, Mujassimah, Karamiyah dan Salafiyah, mereka percaya adalah mungkin untuk melihat Allah. Sejarah melihat Allah berasal dari abad ke 2 H. Dari sudut pandang beberapa orang, persoalan ini masuk ke dalam kajian keIslaman melalui orang-orang Yahudi dan Nasrani yang berpura-pura menjadi Muslim.

Melihat Allah telah ditambahkan dan yang dikaji dalam teologi, [[Al-Qur'an, riwayat dan irfan. Dan ilmu yang terkait hal ini bahkan telah ditulis beberapa buku, diantaranya Ru'yatullah fi Dhau' al-Kitab wa al-Sunnah wa al-'Aql al-Sharih karya Ja'far Subhani.

Pengertian dan duduk pembahasan

Melihat Allah termasuk pembahasan teologis yang menjadi pertanyaan adalah apakah Allah swt dapat dilihat dengan mata telanjang ataukah tidak?[1] Dalam sumber-sumber rujukan hadis Syiah dan [[Sunni], banyak sekali riwayat yang menukilkan bisa atau tidaknya melihat Allah.[2]

Al-Qur'an pun menyebutkan tentang melihat Allah; seperti ayat 22 dan 23 Surah Al-Qiyamah, ayat 15 Surah Al-Muthaffifin, ayat 16 Surah Yunus, ayat 11 sampai 13 [[Surah An-Najm. Dalam beberapa ayat menyebutkan peniadaan melihat Allah; seperti ayat 103 Surah Al-An'am, ayat 143 Surah Al-A'raf, ayat 55 Surah Al-Baqarah, ayat 153 Surah An-Nisa dan ayat 21 Surah Al-Furqan.[3]

Para Mufasir yang tidak setuju dan yang setuju dengan kemungkinan melihat Allah telah membahas secara panjang lebar sekaitan dengan melihat Allah pada ayat-ayat yang telah disebutkan.[4]

Dikatakan bahwa karena para Sufi selalu mencari kontak dengan Allah tanpa perantara, melihat Allah dalam irfan dan Sufi telah menjadi masalah yang vital, bisa dikatakan bahwa hampir semua orang yang berada di tingkat pertama Sufi, seperti Ibrahim adham, memiliki pendapat terkait hal ini.[5]

Sejarah pembahasan

Dalam Islam, sejarah pembahasan teologis seputar melihat Allah sudah ada sejak abad ke-2 H.[6] Pada abad itu, 2 kelompok teologis Jahmiyah dan Mu'tazilah mengingkari kemungkinan dilihatnya Alllah dengan mata kepala. Pada awal abad ke-3 H, kemungkinan dilihatnya Allah termasuk dari keyakinan pokok Ahmad bin Hambal yang merupakan salah satu dari 4 Imam Ahlusunah dan pengikutnya. Kelompok teologis lainnya seperti Maturidiyah, Asya’irah, Mujassimah Karamiyah dan Salafiyah[7] menerima kemungkinan melihat Allah dengan mata kepala.[8]

Beberapa teolog, termasuk Ja'far Subhani seorang teolog Syiah abad ke-14, percaya bahwa gagasan melihat Allah masuk ke hadis dan kajian Islami melalui beberapa orang Yahudi dan Masihi yang berpura-pura menjadi Muslim, seperti Ka’b al-Akhbar.[9] Dari sudut pandang Ja’far Subhani, semua hadis yang berkaitan dengan melihat Allah oleh ummat Islam adalah susupan Yahudi dan Masihi kepada sumber-sumber riwayat kaum Muslimin.[10]

Melihat Allah dalam Agama lain

Sebelum Islam, persoalan melihat Allah juga disebutkan dalam Taurat dan Injil.[11] Dalam Taurat, kitab suci orang-orang Yahudi, Allah berfirman kepada Musa as Kamu sesekali tidak akan dapat melihat-Ku; sebab orang yang melihat-Ku dia akan tiada.[12]

Dalam firman yang lain yang ditujukan kepada Musa as, dikatakan: "Aku Akan memegang tanganmu hingga kamu dapat melihat tengkuk-Ku, namun Aku tidak dapat dilihat”.[13] Dalam sebuah firman dari AlKitab, disebutkan bahwa betis Allah akan dapat dilihat;[14] sementara dalam firman lain dikatakan bahwa Allah tidak dapat dilihat oleh siapapun.[15]

Pandangan mazhab-mazhab Islam terkait melihat Allah

Ada 3 pandangan utama terkait persoalan melihat Allah:

  • Mujassimah dan Karamiyah termasuk dari kelompok teologis Ahlusunah berpendapat akan kemungkinan untuk melihat Allah baik di dunia atau di akhirat; sebab mereka mensifati Allah sebagai yang berjisim dan bertempat.[16]
  • Klompok teologi Sunni lainnya, seperti Asya'irah,[17] dan Ahluhadis[18] berpendapat Allah hanya dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala; meskipun mereka tidak percaya tidak bersifat fisiknya Allah.[19]

Argumentasi dimungkinkannya melihat Allah

Para pendukung dimugkinkannya melihat Allah untuk membuktikannya, mereka bersandar pada argumentasi rasional dan tekstual[24] penjelasannya sebagai berikut:

Argumentasi Rasional

Beberapa argumentasi rasional bagi para pendukung kemungkinan melihat Allah adalah sebagi berikut:

  • Untuk seseorang yang melihat dirinya dan benda-benda disekitanya, ada kemungkinan orang lain dapat melihatnya juga. Dikarenakan Allah melihat diri-Nya dan benda-benda yang lain, mungkin saja Dia memberikan kita kemampuan untuk melihat diri-Nya.[25]
  • Makhluk yang bermacam-macam dapat dilihat dan keterlihatannya berkaitan dengan sifat dan keberadaannya. Dalam hal ini, Allah yang juga keberadaan haruslah bisa terlihat.[26]

Argumentasi Tekstual

Argumentasi tekstual meliputi ayat Al-Qur'an dan riwayat: Diantara Ayat-ayat Al-Qur'an itu adalah, ayat 143 Surah Al-A'raf, dimana nabi Musa as meminta kepada Allah untuk dapat melihat-Nya, tetapi Allah menjawab bahwa Musa as tidak dapat melihat-Nya. Argumennya adalah jika tidak mungkin untuk melihat Allah, nabi Musa as tidak akan meminta hal itu kepada Allah.[27]

Kemungkinan melihat Allah juga mengunakan argumentasi ayat-ayat lain seperti; ayat 44 Surah Al-Ahzab, ayat 22 dan 23 Surah Al-Qiyamah, ayat 15 Surah al-Muthaffifin[28] dan ayat 103 Surah al-Anam.[29]

Untuk membuktikan dapat melihat Allah di akhirat, mereka juga bersandar riwayat dari Nabi saw;[30] seperti hadis Nabi saw berikut:[31] "Kalian akan melihat Tuhan kalian, seperti kalian melihat bulan di malam ke-14".[32]

Argumentasi kemustahilan melihat Allah

Para penentang dimungkinkannya melihat Allah juga bersandar pada argumentasi rasional dan tekstual:

Argumentasi rasional

Menurut Ja’far Subhani, dasar dari argumentasi rasional adalah bahwa melihat Allah melazimkan fisik dan bersifat fisiknya Allah.[33] Beberapa bukti rasional adalah sebagai berikut:

  • Melihat allah dengan mata lahiriah melazimkan bahwa Allah swt memiliki dimensi, tempat dan waktu; sementara Allah Maha Suci dari sifat-sifat ini.[34] Menurut Allamah Hilli sudah sepatutnya wajib ada pada Allah, immaterialnya Allah dan peniadaan dimensi dan tempat dari-Nya. Dengan ternafikannya hal-hal ini, melihat Allah dengan mata lahiriah pun ternafikan pula.[35]
  • Allah sebagai keseluruhan dzat-Nya dapat dilihat atau sebagian dari dzat-Nya dapat dilihat. Gambaran pertama melazimkan keterbatasan Allah dan gambaran ke dua melazimkan ketersusunan, kebertempatan dan keberdimensian Allah, keduanya adalah mustahil dan tertolak. Jadi Allah tidak terlihat dan tidak dapat dilihat.[36]

Argumentasi Tekstual

Kitab Ru'yatullah karya Ayatullah Ja'far Subhani

Salah satu argumentasi tekstual para penentang, adalah ayat 143 Surah al-A'raf, yang juga dijadikan sebagai sandaran para pendukung, di mana Allah berfirman kepada Musa as «لَنْ تَرانِی» "Kamu tidak akan pernah bisa melihat-Ku" kata «لَنْ» bermakna penafian selamanya, «لَنْ تَرانِی» menyiratkan penafian terhadap melihat Allah dan tidak terealisasinya hal itu.[37] Ayat lainnya adalah لَّا تُدْرِ‌کهُ الْأَبْصَارُ‌ وَهُوَ یدْرِ‌ک الْأَبْصَارَ‌ "Dia tidak dapat dicapai dengan penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan".[38] Dari sudut pandang teolog Imamiyah dan Mu’tazilah, ayat tersebut menyiratkan bahwa Allah tidak dapat dilihat oleh mata.[39]

Riwayat-riwayat yang dinukil dari Imam-Imam Syiah juga menyiratkan bahwa Allah tidak dapat dilihat dengan mata lahiriah.[40] Dalam sebuah riwayat, seseorang bertanya kepada Imam Ali as "Apakah dia telah melihat Allah?" Imam as menjawab: "Aku tidak akan menyembah Allah yang tidak aku lihat; Dia hanya dapat dilihat dengan hakikat keimanan bukan dengan mata kepala".[41]

Dari sudut pandang para penentang, kemungkinan melihat Allah, riwayat Nabi saw merupakan sandaran para pendukung, apabila diasumsikan kebenaran riwayat tersebut, menyiratkan tentang ilmu Allah, tidak melihat dengan mata lahiriah; sebab jika yang dimaksudkan adalah melihat dengan mata lahiriah, riwayat melazimkan keberdimensian Allah dan itu mustahil.[42]

Monografi

Persoalan melihat Allah telah dibahas dalam banyak buku teologis, tafsir, beberapa kitab irfan dan riwayat. Selain itu, buku-buku khusus telah ditulis sekaitan melihat Allah, beberapa diantara adalah sebagai berikut:

  • Kalimah Haula al-Ruyah karya Abdul Husein Syarafudin Amili. Buku ini memuat sudut pandang Syiah, tentang kemustahilan melihat Allah.[43] buku ini diterbitkan dalam 4 jilid oleh Mausuah al-Imam Abd al-Husein Syaraf al-Din disusun oleh Markaz al-Ulum wa al-Tsaqafah al-Islamiyah, percetakan Dar al-Maurah al-Arabi dan juga dengan judul “Ru’yatullah va Falsafe al-Mitsaq va al-Wilayat” diriset oleh Mahdi Anshari Qommi dan diedarkan oleh percetakan Lauh Mahfudz.
  • "Ru'yatullah fi Dhau' al-kitab wa al-Sunnah wa al-Aql al-Sharih" karya Ja’far Subhani. Dalam buku ini, Ayatullah Subhani menganggap pandangan melihat Allah sebagai teori yang diimpor dari Yahudisme dan dia berusaha membantahnya guna mempertahankan pandangan Syiah terkait argument rasional, Al-Qur'an dan riwayat.
  • "Ru'yatullah Jalla wa Ala" karya Ali bin Umar DarQuthni. DarQuthni adalah ahli hadis dan muhadis abad ke-4. Dalam buku ini, ayat-ayat dan riwayat-riwayat mengenai melihat Allah dikumpulkan untuk membuktikan bisa melihat Allah.[44] Buku ini diterbitkan bersama 2 lampiran "Ruayatullah Tabaroka wa Taala" karya Ibnu Nuhas dan "Dhau' al-Sari ila Ma'rifat Ru'yat al-Bari" karya Abi Syamah Muqadasi diterbitkan oleh percetakan Dar al-Kutub al-Ilmiyah. Juga lampiran "Al-Misbah al-Munir fi Ru'yah al-Rab al-Khabir" dan "Al-Muhlaq al-Dhafi ila Ma fi Kitab al-Ru'yah al-Wafi" karya Abu Uwais al-Kurdi dan dipublikasikan oleh percetakan Dar Ibnu Taimiyah.
  • Karya-karya lainnya tentang melihat Allah adalah: "Ru'yatullah Baina al-Tanzih wa al-Tasybih" karya Abdul Karim Bahbahani, Majma’ Jahani Ahlulbait; "Ru'yat-e Moh dar Oseman: Barresi Tarikhi-e Masale-e Liqaullah dar Kalam va Tasawuf," karya Nasrullah PurJawadi oleh Markaz Nasyr Danesygahi; “Ruyat-e Khuda? Dar in Jahan va Jahan-e Digar, karya Abd al-Mahdi Tawaqul dibawah pengawasan Naser Makarem Shirazi, percetakan Imam Ali bin Abi Thalib.

Catatan Kaki

  1. Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 26 & 27; Subhani, al-Iāhiyyāt, jld. 2, hlm. 127; Bahbahani, Ru'yah Allāh Bain at-Tanzīh wa at-Tasybīh, hlm. 16.
  2. Lihat riwayat Syiah: Kulaini, al-Kāfī, bab: Ibthāl ar-Ru'yah, jld. 1, hlm. 95-110; Syekh Shaduq, at-Tauhīd, bab: Mā Jā'a fī ar-Ru'yah, hlm. 107-122; Nahj al-Balāghah, editor Shubhi Shalih, pidato 91, hlm. 124, pidato 185, hlm. 269, pidato 186, hlm. 273; Syarafuddin, Ru'yah Allāh wa Falsafah al-Mītsāq wa al-Wilāyah, hlm. 53-81; Lihat riwayat Ahlus Sunnah: Bukhari, Shahīh Bukhārī, jld. 1, hlm. 115, jld. 6, hlm. 139, jdl. 9, hlm. 127-129; Dar Qathni, Ru'yah Allāh Jallā wa 'Alā, hlm. 7-94.
  3. Zakiri & Tim, Ru'yat, hlm. 802-799.
  4. Lihat kitab-kitab tafsir yang menolak kemungkinan melihat Allah: Thusi, at-Tibyān, jld. 1, hlm. 249-253, jld. 10, hlm. 197-199; Thabathaba'i, al-Mīzān, jld. 8, hlm. 237-243; Zamakhsyari, al-Kassyāf, jld. 1, hlm. 141; jld. 2, hlm. 151-157; Lihat kitab-kitab yang menerima kemungkinan melihat Allah: Fakhrurrazi, Tafsīr Kabīr, jld. 3, hlm. 519-520, jld. 14, hlm. 354-358, jld. 30, hlm. 730-733.
  5. Zakiri & Tim, Ru'yat, hlm. 810.
  6. Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 24-25; Zakiri & Tim, Ru'yat, hlm. 804.
  7. Ibn Taimiyah, Minhāj as-Sunnah an-Nabawiyyah, jld. 2, hlm. 316, 329-349, jld. 3, hlm. 341, 344 & 347.
  8. Zakiri & Tim, Ru'yat, hlm. 804.
  9. Lihat, Subhani, al-Iāhiyyāt, jld. 2, hlm. 138 & 139; Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 15-24; Bahbahani, Ru'yah Allāh Bain at-Tanzīh wa at-Tasybīh, hlm. 99 & 100.
  10. Lihat Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 16.
  11. Zakiri & Tim, Ru'yat, Artikel Danesyname-e Eslami, jld. 20, hlm. 799.
  12. Taurat, Book Of Exodus, bab: 33, ayat 20.
  13. Taurat, Book Of Exodus, bab 33, ayat, 23.
  14. Bible, Injil Matius, bab 5, ayat 8.
  15. Bible, Injil Yohanes, bab 1, ayat 18.
  16. Subhani, al-Iāhiyyāt, jld. 2, hlm. 125; Fakhrurazi, al-Arba'īn fī Ushūl ad-Dīn, jld. 1, hlm. 266 & 267; Bahbahani, Ru'yah Allāh Bain at-Tanzīh wa at-Tasybīh, hlm. 15.
  17. 'Asy'ari, al-Ibānah 'an Ushūl ad-Diyānah, hlm. 25 & 51; Amadi, Ghāyah al-Murām, hlm. 142.
  18. Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 27.
  19. Subhani, al-Ilāhiyyāt, jld. 2, hlm. 125.
  20. Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 46; Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 27; Jawadi Amuli, Tauhid Dar Quran, hlm. 256 & 257.
  21. Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 27; Asy'ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn, jld. 1, hlm. 172.
  22. Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fī Ushūl ad-Dīn, hlm. 190; Syahrestani, al-Milal wa an-Nihal, jld. 1, hlm. 57 & 114.
  23. Asy'ari, Maqālāt al-Islāmiyyīn, jld. 1, hlm. 131 & 172; Amadi, Ghāyah al-Murām, hlm. 142; Syahrestani, al-Milal wa an-Nihal, jld. 1, hlm. 5; Subhani, al-Ilāhiyyāt, jld. 2, hlm. 125.
  24. Lihat 'Asy'ari, al-Ibānah 'an Ushūl ad-Diyānah, hlm. 35-55.
  25. 'Asy'ari, al-Ibānah 'an Ushūl ad-Diyānah, hlm. 53.
  26. Amadi, Ghāyah al-Murām, hlm. 142 & 143; Syahrestani, al-Milal wa an-Nihal, jld. 1, hlm. 113.
  27. Lihat 'Asy'ari, al-Ibānah 'an Ushūl ad-Diyānah, hlm. 41; Fakhrurazi, al-Arba'īn fī Ushūl ad-Dīn, jld. 1, hlm. 278.
  28. Lihat 'Asy'ari, al-Ibānah 'an Ushūl ad-Diyānah, hlm. 35; Fakhrurazi, al-Arba'īn fī Ushūl ad-Dīn, jld. 1, hlm. 292-295.
  29. Fakhrurazi, Tafsīr Kabīr, jld. 13, hlm. 97.
  30. Lihat Dar Qathni, Ru'yah Allāh Jallā wa 'Alā, hlm. 7-94.
  31. Bukhari, Shahīh Bukhārī, jld. 1, hlm. 139, jld. 9, hlm. 127-129.
  32. Lihat 'Asy'ari, al-Ibānah 'an Ushūl ad-Diyānah, hlm. 49; Ibn Taimiyah, Minhāj as-Sunnah an-Nabawiyyah, jld. 2, hlm. 332, jld. 3, hlm. 341.
  33. Subhani, al-Ilāhiyyāt, jld. 2, hlm. 128.
  34. Jawadi Amuli, Tauhid Dar Quran, hlm. 257.
  35. Allamah Hilli, Kasyf al-Murād, hlm. 46 & 47.
  36. Subhani, al-Ilāhiyyāt, jld. 2, hlm. 127.
  37. Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 64-66.
  38. QS. Al-An'am:103.
  39. Jawadi Amuli, Tauhid Dar Quran, hlm. 258; Subhani, Ru'yah Allāh fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ash-Sharīh, hlm. 55; Qadhi Abdul Jabbar, Syarh Ushūl al-Khamsah, hlm. 156.
  40. Lihat Kulaini, al-Kāfī, bab: Ibthāl ar-Ru'yah, jld. 1, hlm. 95-110; Syekh Shaduq, at-Tauhīd, bab: Mā Jā'a fī ar-Ru'yah, hlm. 107-122.
  41. Nahj al-Balāghah, jld. 1, hlm. 258, pidato 179.
  42. Qadhi Abdul Jabbar, al-Mukhtashar fī Ushūl ad-Dīn, hlm. 191 & 192.
  43. Amini Pur, Nim Negahi be Unwanha-e Mausū'ah al-Imām as-Sayyid Abd al-Husain Syaraf as-Dīn, Majalah Ketabha-e Eslami, vol: 22 & 23, hlm. 25 & 26.
  44. Lihat Dar Qathni, Ru'yah Allāh Jallā wa 'Alā, hlm. 7; Nafisi, Dār Qathni, Abu al-Hasan 'Alī bin 'Umar, Artikel Danesyname-e Eslami, jld. 16, hlm. 755.

Daftar Pustaka

  • Allamah Hilli. Kasyf al-Murād Fī Syarh Tajrīd al-I'tiqād Qism al-Ilāhiyyāt. Pengantar Ja'far Subhani. Qom: Muassese-e Emam-e Shadeq. Cet. 2, 1382 HS/2003.
  • Amadi, Saifuddin.Ghāyah al-Murām fī 'Ilm al-Kalā,. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1413 H.
  • Amini Pur, Abdullah. Nim Negahi be Unwanha-e Mausū'ah al-Imām as-Sayyid Abd al-Husain Syaraf as-Dīn. Majalah Ketabha-e Eslami. Vol: 22 & 23, 1384 HS/2005.
  • Asy'ari, Abul Hasan Ali bin Isma'il. al-Ibānah 'an Ushūl ad-Diyānah. Riset Fawakih Husain Mahmud. Kairo: Dar al-Anshar. Cet. 1, 1397 H.
  • Asy'ari, Abul Hasan Ali bin Isma'il. Maqālāt al-Islāmiyyīn wa Ikhtilāf al-Mushallīn. Riset Na'im Zurzur. Maktabah al-'Ashriyyah. Cet. 1, hlm. 1426 H.
  • Bahbahani, Abdul Karim. Fī Rihāb Ahl al-Bait (as): Ru'yah Allah Bain at-Tanzīh wa at-Tasybīh. Qom: Majma'-e Jahani-e Ahl-e Beit. Cet. 2, 1426 H.
  • Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahīh Bukhārī. Riset Muhammad Zuhair bin Nashir an-Nashir. Dar Thauq an-Najah. Cet. 1, 1422 H.
  • Dar Qathni, Ali bin Umar. Ru'yah Allāh Jallā wa 'Alā wa Yalīh Ru'yah Allah Tabāraka wa Ta'ālā wa Dhau' as-Sārī Ilā Ma'rifah Ru'yah al-Bārī. Riset Ahmad Farid Mazidi. Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah. Cet. 1, 1426 H.
  • Fakhrurrazi, Muhammad bin Umar. Al-Arba'īn Fī Ushūl ad-Dīn. Kairo: Maktabah al-Kulliyat al-Azhariyyah. Cet. 1, 1986.
  • Fakhrurrazi, Muhammad bin Umar. Tafsīr Kabīr. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi. Cet. 3, 1420 H.
  • Ibn Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim. Minhāj as-Sunnah an-Nabawiyyah fī Naqdh Kalām as-Syī'ah al-Qadariyah. Riset Muhammad Rasyad Salim. Jami'ah al-Imam Muhammad bin Su'ud al-Islamiyyah. Cet. 1, 1406 H.
  • Jawadi Amuli, Abdullah. Tauhid Dar Quran (Tafsir Maudhui-e Quran). Qom: Nasyr-e Esra'. Cet. 8, 1395 HS/2016.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfī. Riset & editor Ali Akbar Ghaffari & Muhammad Akhundi. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyyah. Cet. 4, 1407 H.
  • Muhammad, Ali. Syarh Kasyf al-Murīd. Qom: Dar al-Fikr. Cet. 4, 1378 HS/1999.
  • Nafisi, Syadi. Dar Qathni, Abū al-Hasan Alī bin 'Umar. Artikel Danesyname-e Jahan-e Eslam. Jld. 16. Tehran: Bundyad-e Dayere al-Ma'arif Eslami, 1393 HS/2014.
  • Nahj al-Balāghah. Editor Subhi Shalih. Qom: Hejrat. Cet. 1, 1414 H.
  • Qadhi Abdul Jabbar. Al-Mukhtashar Fī Ushūl ad-Dīn. Riset Muhammad Amarah. Beirut: Dar al-Hilal, 1971.
  • Qadhi Abdul Jabbar. Syarh Ushūl al-Khamsah. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-'Arabi. Cet. 1, 1422 H.
  • Subhani, Ja'far. Al-Ilāhiyyāt 'Alā Hudā al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql. Qom: al-Markaz al-Alami li ad-Dirasat al-Islamiyyah. Cet. 3, 1412 H.
  • Subhani, Ja'far. Ru'yah Allah Fī Dhau' al-Kitāb wa as-Sunnah wa al-'Aql ah-Sharīh.
  • Syahrestani, Muhammad Abdul Karim. Al-Milal wa an-Nihal. Riset Muhammad Badran. Qom: Syarif Radhi. Cet. 3, 1364 HS/1985.
  • Syarafuddin, Abdul Husain. Ru'yah Allah wa Falsafah al-Mītsāq wa al-Wilāyah. Riset Mahdi Anshari Qummi. Qom: Lauh-e Mahfuz, 1423 H.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali Babawaih. At-Tauhīd . Qom: Jame'e-e Mudarrisin. Cet. 1, 1398 H.
  • Thabathaba'i, Sayyid Muhammad Husain. Al-Mīzān Fī Tafsīr al-Qurān. Beirut: Muassasah al-'A'lami. Cet. 2, 1390 H.
  • Zakiri, Mushtafa, Muhammad Zera' Syirin Kendi & Babak Abbasi. Ru'yat. Artikel Danesyname-e Jahan-e Eslam. Jld. 20. Tehran: Bunyad-e Dayere al-Ma'aref Eslami, 1394 HS/2015.
  • Zamakhsyari, Mahmud bin Umar. Al-Kassyāf 'An Haqā'iq Ghawāmidh at-Tanzīl wa 'Uyūn al-Aqāqīl fī Wujūh at-Ta'wīl. Editor Mushtafa Husain Ahmad. Beirut: Dar al-Kutub al-'Arabi. Cet. 3, 1407 H.