Dalil al-Huduts
Dalil al-huduts atau argumen kebaruan (bahasa Arab:دليل الحدوث) merupakan salah satu dalil yang disuguhkan oleh kaum teolog untuk menetapkan keberadaan Allah swt. Kandungan asli argumen ini berpijak pada tipologi kebaruan alam dan segala entitas yang ada di dalamnya. Tipologi ini menjelaskan sebuah kondisi bahwa sesuatu itu, sebelum diadakan oleh pengadanya (sebab), tadinya tidak ada dan kemudian ada dan mengada. Penalaran ini diajukan oleh kaum teolog dan mendapatkan kritikan dan objeksi dari kalangan filosof. Argumen kebaruan ini juga dijelaskan dalam dalil-dalil naqli (referensial) dan riwayat-riwayat.
Arti Huduts
Huduts artinya bahwa sebuah fenomena sebelum ia mengada tadinya tidak ada dan kemudian mengada dengan perantara pengadanya atau sebab yang mendahuluinya. Pengertian ini diperkenalkan oleh kaum teolog kemudian dijelaskan oleh filosof. Huduts terbagi menjadi huduts dzati dan huduts zamani. Dalam terminologi yang umum digunakan oleh kaum teolog, satu-satunya huduts adalah huduts zamani. Karena itu, alam semesta itu hadits (diadakan) dan suatu waktu ia tidak ada kemudian dalam satu level waktu ia kemudian mengada.[1]
Bentuk Umum Dalil al-Huduts
Bentuk umum dan galib dari argumen-argumen yang diajukan oleh kaum teolog dalam menetapkan keberadaan Tuhan bergantung pada penerimaan terhadap dua prinsip:
- Prinsip pertama: Keberadaan sesuatu yang bermula dari suatu waktu dan tidak tetap (berubah). Permulaan dan perubahan disebut sebagai hudust zamani.
- Prinsip kedua: Kebutuhan segala sesuatu yang hadits (tadinya tiada kemudian mengada) terhadap sebuah faktor, yang juga tidak memiliki sifat huduts, yang memberikan keberadaan dan entifikasi kepadanya.
Dalil al-Huduts dalam Riwayat
Dalam sebagian riwayat terdapat beberapa hal yang menyinggung tentang penalaran dan argumen huduts ini. Imam Ali as dalam beberapa penjelasan menyinggung tentang argumen ini:
- Allah swt menjadikan hudutsnya segala sesuatu sebagai bukti keazaliannya. [2]
- Segala puji bagi Allah swt yang menjadikan makhluk-makhluk-Nya sebagai panduan bagi keberadaan-Nya dan kebaruan mereka atas keazalian-Nya.” [3]
Penetapan Prinsip Pertama (Huduts Alam)
Penalaran Awal-al-Bahili:
Sebuah penalaran yang disandarkan oleh Syahrastani kepada Abu al-Hasan Bahili. [4] Jenis penyerupaan dan perbandingan antara kondisi entitas-entitas dan seluruh alam semesta. Sesuai dengan penalaran ini, entitas seperti manusia tidak dapat ada dengan sendirinya, semenjak tingkatan awal kemunculannya hingga level perkembangan hingga mencapai kesempurnaan, manusia sebelumnya tiada kemudian mengada; sebagaimana sebuah bangunan yang tidak tercipta dari tanah dengan sendirinya. Setelah perpindahan entitas-entitas ini dari satu kondisi menuju kondisi lain, bergantung pada aksi dan reaksi pelaku yang cerdas dan manajerial. Oleh karena itu, adanya perjalanan menuju kesempurnaan dalam tahapan-tahapan kehidupan sebuah entitas menunjukkan adanya pelaku dan sebab yang cerdas dan manajerial. [5] Penalaran sederhana ini disimpulkan dari sebagian ayat Alquran. Ayat-ayat yang mengingatkan para hamba tentang penciptaan Ilahi. [6]
Penalaran Kedua: Asy'ari
Penalaran kedua ini disandarkan kepada Asy'ari, yang bersandar pada teori atom. Berdasarkan pada pendapat ini yang merupakan pandangan umum teolog terdahulu (qadim), alam semesta berasal dari atom yang tidak terurai dan seluruh fenomena materi muncul dengan perantara bergabungnya atom-atom itu satu sama lain dan kemudian terurai. Atom-atom ini meski telah ada pada masa awal kemunculan alam atau secara terminologis disebut sebagai azali, namun sepanjang tidak berhubungan satu sama lain dan tidak bertalian maka hal itu tidak mencukupi untuk kemunculan alam. Karena itu, berdasarkan pandangan ini, Sang Pencipta alam semesta, dengan menggabungkan dan memisahkan atom-atom ini, menciptakan alam semesta. Lantaran tipologi rangkapan dan penggabungan inilah sehingga alam dapat disebut sebagai hadits. Gabungan dan pemisahan ini tidak ada semenjak azal dan muncul dengan perantara Sang Pencipta. [7]
Penetapan Prinsip Kedua (Kebutuhan Hadits pada Pencipta)
Berdasarkan prinsip kedua yang digunakan pada premis kedua penalaran ini, alam semesta yang hadits memerlukan seorang pencipta yang dia sendiri tidak memiliki sifat hadits. Kaum teolog Asy'ari menetapkan prinsip ini dengan menggunakan beberapa metode:
Penalaran Pertama: Baqalani
Baqalani (lahir 403 H/1013) untuk menetapkan masalah ini menulis: Sebagaimana sebuah tulisan tidak dapat ada tanpa adanya sosok penulis dan sebuah bangunan tidak akan ada tanpa tukang bangunan, alam semesta meniscayakan adanya pelaku dan pencipta yang mengadakannya. [8]
Penalaran Kedua: Juwaini
Juwaini (lahir 479 H/ 1086) untuk menetapkan masalah ini menulis: Yang pertama bahwa alam dan segala yang ada di dalamnya, dapat mewujud dalam bentuk yang lain. Kedua, apa yang mungkin dapat mewujud alam bentuk yang lain itu hadits dan memerlukan pelaku yang menciptakan salah satu bentuk dan jenis di antara ragam kemungkinan yang ada. [9]
Pandangan Filosof
Pemikiran teologis terkait dengan huduts tidak begitu diterima oleh kebanyakan filosof. Hal itu disebabkan oleh banyakanya kritikan atas penalaran huduts kaum teolog. Filosof kemudian mengajukan burhan imkan wa wujub sebagai ganti argumen huduts. Akan tetapi di kalangan filosof ternama, Kindi (lahir 252 H/866) menerima huduts zamani seluruh makhluk alam berseberangan dengan pendapat Aristotelian dan Neo-Platonis. Dalam penetapan keberadaan Tuhan. Kindi menerima argumen huduts ini untuk menetapkan keberadaan Tuhan. [10]
Kritikan-kritikan Filosof atas Dalil al-Huduts
Kritikan Pertama: Kontradiksi Internal
Salah satu kritikan utama argumen ini adalah: Premis 1: Apabila seluruh entitas di alam, sebelum mengada, dulunya tidak ada, artinya masing-masing entitas di alam semesta, tadinya tidak ada kemudian mengada. Karena itu, Premis 2: Entitas pertama alam materi juga harus memiliki karakter yang sama dan tadinya dia tidak ada sebelum mengada. Premis 3: Karena ia huduts (tadinya tidak ada kemudian ada), maka ada suatu masa ia tidak ada dan kemudian pada masa berikutnya ia mengada. Premis 4: Waktu sendiri juga merupakan salah satu fenomena alam yang sifatnya hadits. Karena itu, pada masa pertama alam, ada makhluk pertama yang diciptakan. Premis 5: Sebelum masa pertama alam ini, tidak ada masa lainnya (karena asumsinya adalah bahwa pada masa ini, merupakan masa pertama alam) karena itu entitas pertama alam tidak boleh bersifat hadits karena apabila ia hadits, maka ia pada masa pertama alam harus ada dan pada masa sebelumnya ia tidak ada sementara asumsinya sebelum masa pertama ini, tidak ada masa sehingga ia harus ada pada waktu itu. Karena itu, apabila kita ingin menilai bahwa seluruh entitas di alam semesta itu hadits, maka waktu itu sendiri juga hadits; artinya ia harus ada pada waktu lain dimana pada masa itu ia tidak ada kemudian mengada sementara kita hanya memiliki satu waktu. [11]
Kritik Kedua: Tidak Mampu Menetapkan Tuhan Agama-agama
Kritikan lainnya yang dilontarkan filosof terkait dengan argumen ini adalah bahwa argumen ini, dengan asumsi bahwa premis-premisnya benar dan kita lupakan kritikan sebelumnya, pada ujungnya akan menetapkan bahwa satu entitas non materi dan tidak berubah merupakan sebab kemunculan alam semesta padahal entitas ini tidak serta merta menjadi Tuhan bagi seluruh agama dan boleh jadi ia merupakan sebuah entitas yang diciptakan oleh Tuhan. [12]
Kemestian dan Kesimpulan Argumen:
Kesimpulan Pertama:
Kebutuhan Yang Senantiasa kepada Sang Pencipta Huduts dalam pengertian kaum teolog yang menalar argumen ini merupakan pertana bahwa harus ada Sang Pencipta pada seluruh detik dan episode kehidupan entitas yang hadits. Berdasarkan pandangan ini, tidak hanya penciptaan pertama entitas-entitas alam memerlukan Sang Pencipta, bahkan pada seluruh konisi dan tipologinya juga membutuhkan keberadaan Sang Pencipta. Kaum teolog Asy'ariyah secara tegas berpandangan bahwa entitas hadits dengan segala sifat dan tipologinya bergantung pada pelaku pengadanya dan Tuhan menciptakan segala sesuatu beserta esensi dan kondisinya yang berubah-ubah dalam satu waktu, artinya entitas-entitas itu pada setiap detik, sebagaimana adanya ia, adalah ciptaan Tuhan. [13]
Kesimpulan Kedua:
Tiadanya Kebutuhan Entitas Qadim pada Pencipta dan Sebab Berdasarkan penalaran ini, seluruh entitas alam membutuhkan pada sebab karena mereka semuanya adalah hadits. Artinya dulunya mereka tidak ada dan Tuhan alam semesta yang mengadakannya. Karena itu, apabila ia bukan merupakan entitas hadits, artinya pada seluruh waktu ia ada maka ia tidak memerlukan sebab dan pencipta.
Catatan Kaki
- ↑ Mankudim, hlm. 94; Ibnu Faurak, hlm. 28.
- ↑ Ibnu Babawaih, hlm. 28.
- ↑ Radhi, hlm. 211.
- ↑ Syahrastani, Nihayah, hlm. 12.
- ↑ Al-Lama', hlm. 6-8.
- ↑ Sebagai contoh lihat, al-Mukminun (23):12-14
- ↑ Syahrastani, ibid, hlm. 11.
- ↑ Baqalani, hlm. 23.
- ↑ Ibnu Rusyd, al-Kasyf, hlm. 54-55, 60; Juwaini, Lam', hlm. 80-81; al-Irsyad, hlm. 18-19; Syahrastani, Nihayah, hlm. 15-16, 39-40; Nasafi, jld. 1, hlm. 78; Sehubungan dengan penggunaan istilah ini dalam mazhab Muktazilah, silahkan lihat Mulla Hami, hlm. 168 dan seterusnya.
- ↑ Kindi, hlm. 113-122, 206-207.
- ↑ Thabathabai, hlm. 66.
- ↑ Jawadi Amuli, hlm. 176.
- ↑ Silahkan lihat, Ibnu Faurak, hlm. 38, 253-254; Baghdadi, hlm. 70-71.
Daftar Pustaka
- Asy'ari, Ali, al-Lama', Beirut 1952 M.
- Baghdadi, Abdul Qahir, Ushul al-Din, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyah.
- Baqalani, Muhammad, al-Tamhid, Beirut 1957 M.
- Ibnu Babawaih, Muhammad bin Ali, al-Tauhid, Riset oleh Muhammad Husaini, Qum, Nasyr Islami, 1398 H.
- Ibnu Fauruk, Muhammad, Mujarrad Maqalat al-Syaikh Abi al-Hasan al-Asy'ari, Beirut, 1978 M.
- Ibnu Rusyd, al-Kasyf 'an Manahij al-Adillah, Falsafah Ibnu Rusyd, Damaskus, 1353 H/1935 M.
- Jawadi, Amuli, Abdullah, Tabyin Barahin Itsbat Khuda, Qum, Isra, 1375 M.
- Juwaini, Abdul Malik, al-Irsyad, Baghdad, 1369 H/1950 M.
- Kindi, Ya'qub, al-Rasail al-Falsafiyah, Kairo, 1369 H/1950 M.
- Malahami Khawarazmi, Mahmdud, al-Mu'tamid fi Ushul al-Din, London, 1991 M.
- Munkadim, Ahmad, Syarh al-Ushul al-Khamsah, Kairo, 1384 H/1965 M.
- Nahj al-Balaghah (Subhi Shaleh), Syarif Radhi, Qum, Hijrat, 1414 H.
- Nasafi, Maimun, Tabshirah al-Adillah, Damaskus, 1990 M.
- Syahrastani, Nihayat al-Iqdam, London, 1934 M.
- Thabathabai, Muhammad Husain, Bidayah al-Hikmah, Qum, Muassasah Nasyr Islami, 1428 H.