Radha'ah (bahasa Arab: الرضاع) adalah ibu menyusui anak atau anak mengisap air susu ibu. Hal ini dibahas dalam berbagai bab fikih seperti bersuci (thaharah), puasa, nikah dan hudud. Radha'ah memiliki akibat hukum mahramiah. Orang yang menjadi mahram karena sebab ini disebut "mahram sepersusuan".

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Kewajiban menyusui anak diyakini oleh sebagian ulama dan terdapat hukum-hukum tertentu untuk wanita yang sedang menyusui seperti penundaan pelaksanaan hudud dan tidak wajibnya puasa atasnya jika menyusui berbahaya. Dalam referensi hadis, fikih, dan hukum, menyusui memiliki adab, hukum dan aturan khusus.

Pengertian Radha'ah

Radha'ah adalah mengisap air susu dari payudara.[1]Menurut istilah fikih, Radha'ah berarti menyusui anak. Radha'ah adalah salah satu sebab terjadinya hubungan mahram.[2] Hubungan mahram karena Radha'ah disebut “mahram sepersusuan”.[3]

Radha'ah dalam Referensi

Masalah Radha'ah dan sebagian hukumnya terdapat dalam ayat Alquran.[4] Alquran mengharamkan pernikahan antar mahram sepersusuan, yang sebagian contohnya pun disebutkan.[5]Referensi-referensi hadis juga memuat riwayat tentang radha'ah yang terangkum dalam Bab al-Ridha'.[6] Para fukaha menyinggung masalah radha'ah pada berbagai bab fikih, di antaranya: Thaharah (bersuci),[7]puasa,[8] tijarah (jual-beli)[9], nikah (pernikahan),[10]syahadah (kesaksian),[11] hudud dan diyat.[12]

Dalam hukum perdata di Indonesia, peraturan mengenai pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif diatur dalam Pasal 128 dan 129 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).[13]

Hubungan Mahram Sepersusuan

Hubungan mahram sepersusuan adalah satu jenis hubungan kekeluargaan. Hubungan ini dapat terjalin antar dua orang atau lebih bila segala syaratnya terpenuhi. Dengan jalinan tersebut maka hukum pernikahan antar mereka menjadi haram.[14] Menurut kamus fikih, anak yang menyusu disebut "Murtadhi'", wanita penyusu/ibu susu disebut "Murdhi'ah", dan pemilik air susu (laki-laki yang menghamili wanita penyusu) disebut Fahl atau Shahibul Laban.[15]

Hukum Menyusui

Wajib atau Tidaknya Menyusui Anak

Menurut Shahibul Jawāhir (Muhammad Hasan al-Najafi), mayoritas fukaha Syiah berfatwa bahwa menyusui anak bukanlah kewajiban ibu. Hanya saja yang paling utama dalam penyusuan, hendaknya ibu yang menyusui anaknya.[16] Ia dapat mengambil biaya penyusuan dari ayah anak yang disusuinya.[17]Namun sebagian fukaha berpendapat, termasuk Shahibul Jawāhir , ASI (air susu ibu) pertama wajib diberikan ibu pada anak.[18] Sebagian fukaha seperti Ayatullah Musawi Ardabili dengan bersandar pada ayat 232 surah Al-Naqarah meyakini bahwa menyusui anak selama tidak berbahaya bagi ibu dan anak adalah wajib bagi ibu.[19]

Tidak Dilaksakannya Had dan Kisas atas Wanita yang Menyusui

Sebagian hukum-hukum syariat terkait wanita yang sedang menyusui memiliki corak khusus dan pelaksanaan sebagiannya dapat ditunda di waktu yang lain. Misal, pelaksanaan had atau qisas bagi ibu menyusui dapat ditunda sampai akhir masa penyusuan, itu jika tidak ada wanita yang menggantikannya untuk menyusui anaknya.[20]

Tidak Wajibnya Puasa atas Wanita yang Menyusui

Jika puasa dapat membahayakan diri sang ibu atau anak yang disusuinya, selama masa penyusuan ia tidak wajib berpuasa.[21][catatan 1]

Menurut Shahibul Jawāhir , mayoritas fukaha Syiah meyakini, sesuatu yang najis karena air kencing anak laki-laki yang sedang menyusu dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya sebanyak satu kali.[22]

Masa Menyusui

Berdasarkan ayat Alquran, masa sempurna menyusui adalah selama 2 tahun kalender hijriah Qamariah.[23] Para fukaha membolehkannya jika kurang atau lebih beberapa bulan dari 2 tahun.[24] Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as, jika masa penyusuan kurang dari 21 bulan berarti menzalimi anak.[25]

Nenek Menyusui Cucu Perempuanya

Jika sesorang nenek menyusui cucu perempuannya, apakah akad pernikahan ibu anak itu dengan bapaknya menjadi tidak sah ataukah tidak? Dalam hal ini terjadi perbedaan pendapat di kalangan fukaha. Sejumlah besar dari fukaha meyakini batalnya akad pernikahan tersebut dan menyebabkan keharaman yang abadi karena dengannya telah terjadi ikatan persaudaraan antara ibu dan anaknya.[26] Sebaliknya, Ayatullah Makarim Syirazi berpendapat, ihtiyat mustahab hendaknya nenek tidak menyusui secara sempurna cucu perempuannya.[27] Dan, sebagian fukaha lain seperti Ayatullah Yusuf Shani'i meyaikini bahwa penyusuan nenek kepada putri menantu lelakinnya tidak menyebabkan batalnya akad pernikahan, baik anak itu lahir dari putrinya sendiri atau dari istri menantunya yang lain. Demikian juga apabila seorang wanita menyusui anak putranya, maka istri putranya itu tidak haram bagi suaminya.[28]

Adab Menyusui

Banyak riwayat yang menjelaskan tentang adab menyusui. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ASI harus diutamakan[29] dibanding susu lainnya karena itu merupakan susu terbaik bagi anak.[30]Diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as, "Susui anak kalian dengan kedua payudara, sebab salah satu payudara itu mengandung makanan dan satunya mengandung air."[31]

Dalam banyak hadis disebutkan bahwa susu memiliki peran penting dalam pendidikan dan tabiat anak. Karenanya para maksumin banyak berpesan supaya kita teliti dalam memilih ibu susu. Mereka melarang kita memilih wanita dungu, cacat matanya,[32] dan yang susunya bersumber dari hubungan tidak halal sebagai ibu susu. [33]Riwayat dari Imam Ali as menyebutkan, "Pilihlah ibu susu untuk anakmu wanita yang indah paras dan ahlaknya, karena paras dan ahlak anak akan menyerupai ibu susunya." Sebagian fukaha juga menyebutkan, wanita yang berparas dan berahlak indah itu harus diutamakan sebagai ibu susu bagi anak.[34]Sebagian fukaha juga sangat menganjurkan, hendaknya ibu menyusui anaknya dalam keadaan berwudhu.

Hukum Menyusui di Indonesia

Di Indonesia peraturan mengenai pemberian ASI eksklusif diatur dalam Pasal 128 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan UU Kesehatan yang berbunyi:

  1. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
  2. Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
  3. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.

Menurut undang-undang, menyusui adalah hak bagi sang ibu sehingga sang ayah atau siapapun tidak dapat melarangnya untuk menyusui.[35]

Catatan

  1. Apabila puasa berbahaya bagi salah satunya maka tidak wajib. Namun wajib digandti (qadha), dan berdasarkan fatwa masyhur fukaha Syiah, apabila puasa berbahaya bagi anak yang menyusu, maka selain wajib meng-qadha puasa, setiap harinya juga harus membayar satu mud makanan, dan apabila puasa berbahaya bagi sang ibu maka menurut pendapat masyhur hanya wajib meng-qadha puasa.

Catatan Kaki

  1. Farahidi, al-'Ain, jld. 1, hlm. 217, pada item: الرضاع
  2. Lihat: Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jld. 2, hlm. 226
  3. Taudhih al-Masail Syanzdah Marja', jld. 2, hlm. 652
  4. QS. Al-Baqarah: 233
  5. QS. An-Nisa: 23
  6. Untuk contoh lihat: Kulaini, al-Kāfi, jld. 6, hlm. 40-41; Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 4, hlm. 375-380; Majlisi, Bihār al-Anwār, jld. 100, hlm. 321
  7. Untuk contoh lihat: Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 6, hlm. 167
  8. Thusi, al-Mabsuth, jld. 1, hlm. 285; Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 56-57
  9. Untuk contoh lihat: Ibnu Barraj, al-Muhadzzab, jld. 1, hlm. 481
  10. Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, al-Mabsuth, jld. 4, hlm. 205; Ibnu Barraj, al-Muhadzdzab, jld. 1, hlm. 481
  11. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 29, hlm. 344
  12. Untuk contoh lihat: Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 43, hlm. 313
  13. Hukum Online
  14. Untuk contoh liha: Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jld. 2, hlm. 226-228; Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 29, hlm. 264-309
  15. Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, al-Khilaf, jld. 5, hlm. 93
  16. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 31, hlm. 280
  17. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 31, hlm. 272
  18. Najafi, Jawāhir al-Kalām, jld. 31, hlm. 273
  19. Musawi Ardabili, Rasail Fiqhiyah, jld. 3, hlm. 51-54 dan 56
  20. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 31, hlm. 337
  21. Thusi, al-Mabsuth, jld. 1, hlm. 285; Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 56-57
  22. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 6, hlm. 167
  23. QS. Al-Baqarah: 233
  24. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 31, hlm. 277
  25. Al-Kulaini, al-Kāfi, jld. 6, hlm. 40
  26. Taudhih al-Masail Syanzdah Marja', jld. 2, hlm. 657
  27. Makarim Syirazi, Risaleh Taudhih al-Masail, dibawah hukum-hukum menyusui, masalah no. 2114
  28. Shani'i, Risalah Taudhih al-Masail, hukum menyusui, masalah no. 2495; berkenaan dengan cucu perempuan menyusu dari neneknya
  29. Al-Kulaini, al-Kāfi, jld. 6, hlm. 40
  30. Syaikh Thusi, Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 34
  31. Syaikh Shaduq, Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 34
  32. Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 4, hlm. 479
  33. Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 4, hlm. 479
  34. Sistani, Taudhih al-Masail, nmr. 2506
  35. Pasal 200 dan 201 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Daftar Pustaka

  • Bani Hasyim Khomaini, Sayid Muhammad. Taudhih al-Masail Syanzdah Marja'. Qom: Intisyarat Islamiyah, 1392 HS.
  • Farahidi, Khalil bin Ahmad. Al-'Ain. Qom: penerbit:Hijrat, 1409 H.
  • Ibnu Barraj, Abdul Azir. Al-Muhaddzab. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1406 H.
  • Katuzian, Nashir. Huquq Madani Khanewadeh. Teheran: Muassisah Nasyr Yalda, 1375 HS.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. al-Kāfi. Diedit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi. teheran: Darul Kubub al-Islamiah, 1407 H.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār. Beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1403 H.
  • Muhaqqiq al-Hilli, Ja'far bin Husain. Syara'i' al-Islam fi Masa'il al-Halal wa al-Haram. Diedit oleh Abdul Husain Muhamamd Ali Baqqal. Qom: Mussisah Isma'ilian, 1408 H.
  • Makarim Syirazi, Nasir. Risalah Taudhih al-Masail.
  • Musawi Ardabili, Abdul Karim. Rislah Fiqhiyah. Qom: Muassasah Tanzhim wa Nasyr Atsar Ayatillah Abdul Karim Musawi Ardabili, 1396 HS.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalam fi Syarh Syara'i' al-Islam. Diedit oleh Abbas Qucani dan Ali Akhundi. Beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1404 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Alī. Man la Yahdhuruh al-Faqih. Diedit oleh Ali Akbar Ghaffari. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1413 H.
  • Shaduq, Muhammad bin Alī. 'Uyūn Akhbār al-Ridhā.Diedit oleh Mahdi Lajewardi. Teheran: penerbit Jahan, 1378 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Khilaf. Diedit oleh Ali Khorasani. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1407 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Mabsuth fi Fiqh al-Imamiah. Diedit oleh Sayid Muhammad Taqi Kasyfi. Teheran: al-Maktabat al-Murtadhawiah li Ihya' al-Atsar al-Ja'fariah, 1387 H.
  • Yazdi Thabathaba'i, Sayid Muhammad Kazhim. Al-Urwah al-Wutsqa ma'a al-Ta'liqat. Qom: Intisyarat Madrisah Imam Ali bin Abi Thalib, 1428 H.