Tabarri

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia

Tabarri (bahasa Arab: التبري) atau disebut juga baraat (برائت ) adalah sebuah istilah teologis dan salah satu ajaran serta praktik beragama, khususnya dalam ajaran Syiah dan sebagian mazhab yang ada dalam Islam.

Tabarri bermakna menjauh dan berlepas diri dari musuh Tuhan dan musuh para wali atau pemimpin agama. Terma ini memiliki akar dalam Al-Qur'an yang secara keseluruhan disebutkan dalam 20 surah Al-Qur'an. Berbagai mazhab dengan bersandar pada kebenaran mazhabnya menjadikan dirinya sebagai personifikasi wali Allah dan musuh-musuhnya sebagai orang-orang yang keluar dari agama, ahli kebatilan dan musuh Allah. Mereka menilai tabarri (berlepas diri dan menjauh dari mereka) merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Dalam hal ini, orang-orang Syiah meyakini bahwa Imamah merupakan sebuah hal yang telah ditetapkan oleh nash (manshush), kelanjutan dari risalah (kenabian), dan penjamin kelestarian Islam. Rasulullah saw memperkenalkan mereka dan setiap imam juga memperkenalkan imam setelahnya. Karena itu, orang-orang yang menjadi penghalang terealisasinya imamah, bentuk orisinil dan hakiki Islam atau memusuhi Ahlulbait Rasulullah saw adalah musuh-musuh Allah dan berlepas diri (tabarri) dari mereka wajib hukumnya.

Demikian juga Muslim Syiah, dengan berdalilkan Alquran –di antaranya ayat-ayat 18 dan 19 surah Hud, ayat 25 surah al-Anfal dan ayat 22 surah al-Mujadilah– di samping bersandar pada sebagian riwayat muktabar dalam himpunan hadis Syiah dan Sunni, yang berkaitan dengan kedudukan Imam Ali as, menilai bahwa musuh Imam Ali as adalah musuh Allah dan Rasul-Nya dan berlepas diri dari mereka merupakan sebuah kewajiban.

Arti Tabarri

Tabarri adalah masdar tsulatsi berwazan tafa'ul, asalnya adalah ta-ba-rruw dan berasal dari akar kata "ba-ra-a". Dalam Bahasa Persia, sebagian besar tabarri dinyatakan dalam bentuk tabarra. Tabarri secara leksikal berarti menjauhi sesuatu karena berdekatan dengannya adalah tindakan yang tidak terpuji dan manifestasi dari keburukan. Tabarri juga dapat bermakna berlepas diri dan semacamnya. Dalam bahasa Persia, tabarri juga berarti menghindari dan menjauhi.[1]

Tabarri dalam Alquran

Istilah dan ajaran tabarri mempunyai akar dalam Alquran. Di samping terdapat satu surah yang dimulai dengan tabarri Tuhan dan Nabi-Nya dari kaum musyrikin, sehingga dinamakan baraah, juga ada dalam 20 surah (secara keseluruhan 27 ayat), klausul baraah dan derivatnya disebutkan sebanyak 30 kali[2] misalnya: berlepas diri dari syirik[3] baraah Nabi Muhammad saw terhadap penentangnya dan juga berlepasnya penentangnya dari Nabi saw sendiri.[4] Al-Qur'an menggunakan istilah baraah dan tabarri sebagai makna leksikal dan sisi kesamaannya adalah menjauhi musuh Tuhan dan keluarnya dari janji setia kepada kaum musyrik dan kafir, pemutusan dan berhenti untuk mengikuti kebatilan.[5]

Hadis-hadis tentang Tabarri

Hadis-hadis Nabi Muhammad saw menegaskan pentingnya tabarri. Rasulullah saw menyebutkan bahwa bara'ah (berlepas diri) merupakan salah satu hal yang dianggap penting dari akar keimanan.[6] Imam Shadiq as juga menegaskan tentang perlunya melakukan bara'ah dari musuh agama Allah dan sekutu-sekutu musuh Tuhan dan musuh-musuh sekutu Tuhan.[7] Dalam riwayat juga ditegaskan tentang kebersamaan tabarri dan tawalli (berwilayah). Artinya ketika ada tabarri maka dengan serta merta juga tawalli menyertainya.

Tabarri menurut Mazhab-mazhab Islam

Mayoritas firkah dan mazhab Islam, berdasarkan penegasan yang disampaikan Alquran dan hadis Nabi Muhammad saw secara umum percaya adanya tabarri, tidak ada perbedaan dalam pengertiannya, signifikansi dan latar belakangnya. Perbedaan yang ada hanya terdapat pada penentuan subyek musuh Tuhan dan tolok ukur keluarnya dari agama. Sebagian dari kelompok itu dengan berdasar pada kebenaran yang ada pada mazhabnya, menganggap dirinya merupakan kekasih Tuhan dan orang-orang yang menentangnya dianggap telah keluar dari agama dan dinilai sebagai orang yang mengikuti kebatilan dan dianggap sebagai musuh Tuhan, sehingga wajib untuk berlepas diri dari mereka.[8] Menurut Baghdadi[9] beberapa para pembesar kaum Muslimin percaya bahwa Rafidhi (yang mencakup: Zaidiyah, Imamiyah, Kaisaniyah, Ghulat dan beberapa firkah yang lain) adalah kafir dan sesat, walaupun mereka tetap menyandarkan diri kepada Islam sehingga berlepas diri dari mereka wajib adanya. Meskipun tidak semua teolog dan ulama Islam mendukung pendapat ini[10]

Tabarri dalam Pandangan Syiah

Kaum Syiah meyakini bahwa tabarri (berlepas diri) dan kebalikannya yaitu tawalli (berwilayah), sebagai furu'uddin (cabang-cabang agama) dan salah satu dari kewajiban agama yang harus ditunaikan. Makna tabarri ini adalah memusuhi dan membenci musuh Ahlulbait as. [11] Sepanjang sejarah Islam, tabarri entah mempunyai akar pembahasan dalam teologi dan akidah, misalnya pada persoalan imamah, pengganti Nabi Muhammad saw, atau memiliki motif-motif, persengketaan politik dan terkadang disebabkan oleh alasan pribadi.[12] Karenanya, tabarri di samping tawalli memiliki kedudukan penting dalam mazhab Syiah dan termasuk salah satu ajaran dasar bagi penganut mazhab ini.

Kaum Syiah percaya bahwa imamah yang ditentukan dan ditunjuk merupakan bagian dari ushuluddin. Syiah percaya bahwa imamah dengan syarat ini (ditentukan dan ditunjuk oleh Allah swt), merupakan penyambung risalah dan penjamin kelestarian Islam dan 12 imam setelah Rasulullah saw (maksum dan ditunjuk oleh Allah swt), Rasululullah saw telah mengenalkan mereka kepada umat dan setiap imam juga mengenalkan imam setelahnya.

Para Imam as adalah penjaga agama dari segala penyelewengan, pengurangan dan perubahan dalam akidah dan amalan.[13] Berdasarkan keyakinan ini, musuh para Imam adalah orang-orang yang mencegah terealisasinya imamah dan segala sesuatu yang menghambat terealisasinya khilafah bagi imam dan terlaksananya Islam hakiki atau memusuhi Ahlulbait as. Mereka ini adalah musuh Tuhan sehingga berlepas diri dari mereka adalah wajib. [14]

Selain itu, sejumlah ulama dan mufasir Syiah memandang bahwa sebagian ayat-ayat seperti ayat-ayat: 18 dan 19 surah Hud , ayat 25 surah Al-Anfal dan ayat 23 surah Al-Mujadalah, dengan bersandarkan pada beberapa riwayat sahih dari hadis Syiah dan Sunni, merupakan ayat-ayat yang berkenaan dengan Imam Ali as, sehingga musuhnya adalah musuh Tuhan dan Rasulullah dan wajib untuk berlepas diri dari musuhnya. [15]

Dari Siapa Saja Harus Berlepas Diri

Pada Alquran, dalam berbagai surah telah ditentukan bahwa berlepas diri dari syirik, berhala, pemimpin syirik dan sesat, sesembahan mereka merupakan contoh-contoh dari tabarri, misalnya pada surah Al-Mumtahanah berbicara tentang tabarri yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim as dan kelompoknya "Sesungguhnya terdapat suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengannya, ketika mereka berkata kepada kaum mereka, 'Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja.'" (QS Al-Mumtahanah [60]: 4)

Walaupun pada permulaan surah ini sangat melarang untuk berteman dengan musuh Allah swt, namun pada ayat itu dikenalkan tauladan yang sangat dihormati yaitu Nabi Ibrahim as ketika ia berkata kepada kaumnya sendiri yang musyrik, "Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja."

Pada surah ini juga, pada kali keduanya Allah swt menyuruh supaya kaum Muslimin dan pengikutnya untuk menyandarkan dan meneladankan diri kepada Nabi Ibrahim dan berfirman, "Sesungguhnya pada diri mereka itu terdapat teladan yang baik bagimu; (yaitu) bagi orang yang mengharap Allah dan hari kemudian. Dan barang siapa yang berpaling, maka sesungguhnya Allah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji." (QS Al-Mumtahanah [60]:6)

Perlu diperhatikan bahwa menurut Muslim Syiah, tidaklah demikian bahwa setiap kaum Muslimin selain Syiah merupakan subyek (mishdaq) tabarri, menurut riwayat dan sumber-sumber fikih hanya pribadi-pribadi dan orang-orang yang mengambil sikap permusuhan, mengibarkan bendera permusuhan atau juga seperti ghulat yang percaya kepada uluhiyah Imam Ali as, atau manusia lain atau seperti kelompok Mufawwidhah, yang percaya kepada perintah, pemberian rezeki dan kehidupan dan kematian telah dilimpahkan kepada Nabi saw dan Imam Ali as.[16]

Hadis-hadis Nabi Muhammad saw dan para Imam as meriwayatkan tentang makna tabarri . Sebagai contoh, Nabi Muhammad saw bersabda kepada Ali as, "Aku berdamai dengan siapa saja yang engkau damai dengannya dan memerangi siapa saja yang memerangimu." Atau "Para imam setelahku adalah 12 orang, mengingkari salah satunya sama dengan mengingkariku." Demikian juga sabda Nabi saw tentang Ali as, Fatimah sa, Hasan as, Husain as, "Aku memusuhi musuh mereka dan berdamai dengan orang yang berdamai dengan mereka."[17]

Para Imam as dalam berbagai kesempatan, menjelaskan bahwa tabarri merupakan kelengkapan iman dan mewajibkan pengikutnya untuk ber-tabarri . Mereka menentukan siapa saja yang menjadi objek tabarri itu, di antaranya: Orang-orang yang menzalimi itrah Nabi saw dan merusak kesakralannya, telah mengubah Sunnah Rasul, menyingkirkan pilihan Nabi saw, membagi harta kaum fakir di antara orang kaya, Nakitsin (orang-orang yang melanggar perjanjian pada perang Jamal), Qasithin (Muawiyah dan kelompoknya), Mariqin (Khawarij), semua pemimpin sesat dan zalim, pembunuh Imam Ali as dan semua pembunuh para Imam as. [18]

Metode Mengamalkan Tabarri

Terkait dengan bagaimana cara untuk mengekspresikan tabarri menurut Syiah dan Ahlussunnah, terdapat banyak kelompok, khususnya pemerintahan Syiah dan Ahlusunah berpengaruh dalam menambah atau mengurangi dalam mengungkapkan tabarri. Perlu diperhatikan bahwa kebiasaan ditempuh oleh ulama Syiah untuk meminimalkan tabarri dari musuh, khususnya dengan meneladani Imam Ali as dalam rangka memelihara dasar dan memperkuat hubungan persatuan serta mengokohkan hubungan antara kaum Muslimin dan lainnya. Di samping itu, usaha untuk mempererat hubungan antara madzab-madzab Islam.

Pada kisah kehidupan ulama masa lalu seperti Syaikh Mufid, Syaikh Thusi, Sayid Murtadha dan ulama-ulama kontemporer seperti Mirza Hasan Syirazi dan Mirza Husain Naini, Ayatullah Haj Agha Husain Burujerdi, Imam Khomeini mempunyai bukti yang banyak tentang hal ini.

Adanya riwayat-riwayat yang menyarankan untuk menghindari segala bentuk provokasi emosi dan memunculkan suasana kontra produktif, dalam menerapkan tradisi ini tentu saja akan berlaku efektif dan akan berpengaruh dalam berinteraksi sosial dengan mazhab-mazhab lainnya.[19] Walaupun begitu, terdapat beberapa contoh dari tabarri ini yang terjadi pada masa pemerintahan Syiah seperti Ali Babawaih, Fathimiya, Shafawiya, Nizamsyahi, Adilshai, Baridsyahi, Qutbsyahi yang kesemuanya dikenal sebagai kesultanan Dekkan.[20] Namun dari sisi lain, pengikut mazhab Salafi dan Wahabi, didasari oleh keinginan berlepas diri (tabarri), mereka melakukan penyerangan terhadap kota-kota suci Najaf, Karbala, menghancurkan makam sahabat dan para Imam Syiah as dan tempat kelahiran Nabi Muhammad saw di Mekah.[21]

Filosofi Tabarri

Semua hukum-hukum Allah swt dibuat sesuai dengan fitrah manusia. Manusia adalah makhluk yang di samping mempunyai fakultas untuk mengenal juga mempunyai perasaan positif dan negatif seperti marah, sedih, menangis dan lain sebagainya, yang keseluruhan itu mengandung hikmah dan manfaat bagi manusia. Jika tidak, potensi negatif yang ada pada manusia akan sia-sia.

Dalam wujud manusia terdapat titik kebalikan kecintaan yang bernama kebencian dan permusuhan. Sebagaimana bahwa dalam fitrah manusia ia akan menyukai siapa saja yang memberi bantuan kepadanya, maka fitrahnya juga akan memusuhi orang-orang yang membahayakannya. Tentu saja bahaya materi dan duniawi bagi seorang Mukmin tidak penting, namun bahaya yang penting adalah musuh yang akan mengambil agama dari manusia. Musuh yang akan mengambil kebahagiaan dari Anda maka Anda harus memusuhinya. Alquran mengisyaratkan, "Setan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia sebagai musuh(mu)." (QS Al-Fathir [35]: 6).

Apabila dengan para wali Tuhan kita harus menjalin persahabatan, maka dengan musuh Tuhan kita juga harus memusuhinya. Hal ini adalah fitrah manusia dan merupakan perkara yang akan menyebabkan kesempurnaan dan kebahagiaan manusia. Apabila tidak memusuhi musuh Tuhan, maka secara perlahan perilaku manusia akan senang dan setuju dengan perilaku musuh dan disebabkan karena adanya jalinan persahabatan dengan musuh, maka akan menerima perilaku musuh dan menerima ucapan-ucapan mereka kemudian sedikit demi sedikit manusia akan menjadi setan yang lain seperti mereka.

Bermusuhan dengan para musuh membuat sistem pertahanan dalam menghadapi marabahaya dan ancaman-ancaman musuh. Tubuh manusia sebagaimana memerlukan elemen-elemen yang menyehatkan juga mempunyai sistem kekebalan yang akan memusnahkan racun dan mikroba-mikroba penganggu. Apabila sistem pertahanan badan lemah, maka mikroba yang akan berkembang. Segala sesuatu yang hidup mempunyai fakultas penolak. Dalam ruh manusia, harus ada kemampuan seperti ini sehingga kita akan senang dengan orang-orang yang bermanfaat bagi kita dan akan mencintainya, mendekati mereka, mengambil ilmu, kesempurnaan, tata krama, makrifat dan akhlak dari mereka, sebaliknya kita harus memusuhi orang-orang yang membahayakan nasib kehidupan masyarakat.

Catatan Kaki

  1. Raghib Isfahani, Ibnu Manzhur, Shafi Puri, klausul ba-ra-a; Nafisi, Dā'i al-Islam, klausul ta-ba-rra.
  2. Musthafawi, 'Abdul Baqi, klausul ba-ra-a.
  3. QS Al-An'am [6]: 19, 78.
  4. QS Yunus: 41; QS Al-Syu'ara [26]: 216.
  5. Thabarsi, jld. 5, hlm. 3-4; jld. 66, hlm. 242.
  6. Muttaqi, jld. 1, hlm. 257; Majlisi, jld. 66, hlm. 242.
  7. Ibnu Babawaih, 1412, hlm. 86.
  8. Bandingkan dengan Islam Encyclopaedia, Cet. 2, klausul tabarru; juga silahkan lihat: Iranika, klausul bara.
  9. Baghdadi, hlm. 16, 278, 281.
  10. Sebagai contoh silahkan lihat: Adhuddin Aiji, hlm. 394-395.
  11. Ibnu Babawaih, 1412, hlm. 78-81; Lahiji, hlm. 154-155.
  12. Ibnu Abil Hadid, jld. 4, hlm. 54, 56, 58.
  13. Sebagai contoh lihat penjelasan Kedudukan dan Kewajiban Imam dalam berbagai Hadis: Kulaini, jld. 1, hlm. 198-203 dalam hadis yang berasal dari Imam Ridha as.
  14. Lahiji, ibid; Ibnu Babawaih, 1412, hlm. 81.
  15. Ibnu Babawaih, 1412, hlm. 77-78; Haskani, jld. 2, hlm. 329.
  16. Silahkan lihat: Ibnu Babawaih, 1412, hlm. 71-76.
  17. Ibnu Babawaih, 1412, hlm. 78-81; Ibid, 1410, hlm. 125; Akhtab Kharazam, hlm. 61; Hur Amili, jld. 16, hlm. 177-183.
  18. Ibnu Babawaih, 1362, jld. 2, hlm. 606-608; Majlisi, jld. 10, hlm. 358, jld. 65, hlm. 263.
  19. Sebagai contoh silahkan lihat: Ibnu Babawaih, 1412, hlm. 82.
  20. Silahkan lihat: Hamadani, jld. 1, hlm. 183, 187; Ibnu Jauzi, jld. 14, hlm. 150-151; Ibnu Atsir, jld. 8, hlm. 542-543; Ibnu Khallakan, jld, 1, hlm. 407; Dzahabi, Hawādits wa Wafayāt, jld. 351-380, 8, 248; Maqrizi, 1387, jld. 1, hlm. 142, 145-146; Maqrizi, 1270, jld. 2, hlm. 341-343; Feresyteh, jld. 2, hlm. 11, 109-113; 'Azzawi, jld. 3, hlm. 341-343; Falsafi, jld. 3, hlm. 889, 894, 895.
  21. Silahkan lihat: Ali Mahbubah, jld. 1, hlm. 324-326; Amin, hlm. 13-14, 22-23, Karkuli, hlm. 212.

Daftar Pustaka

  • Al-Qur'an al-Karim
  • Abdurahman bin Hasan Ali Syaikh, Fath al-Majid, Syarah Kitāb Tauhid, Cet. Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz, Beirut, 1405/1985.
  • Ja'far Bagir Ali Mahbubah, Mādhi al-Najaf wa Hādhiruha, Beirut, 1406/1986; Mahmud Syukri Alusi, Tārikh Najd, Cet. Muhammad Bahjah al-Atari, Qahirah.
  • Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahj al-Balāghah, Cet, Muhammad Abul Fadzl Ibrahim, Qahirah, 1385-1387/1965-1967, Cet. Offset Beirut, Tanpa Tahun.
  • Ibnu Abil 'Izz, Syarah al-Thahāwiyah fi al-Aqidah al-Salafiyah, Cet. Ahmad Muhammad Syakir, Kairo, Dar al-Turats.
  • Ibnu Atsir
  • Ibnu Babawaih, Al-I'tiqād fi Din al-Imāmiyah, Cet. Ghulam Ridha Mazandarani, Qum, 1412.
  • Ibnu Babawaih, Fadhāil al-Syi'ah, Sifāt al-Syi'ah wa Mashādiqa al-Ikhwān, Qum, 1410.
  • Ibnu Babawaih, Kitāb al-Khisāl, Cet. Ali Akbar Ghifari, Qum, 1362.
  • Ibnu Jauzi, Al-Muntazham fi Tārikh al-Muluk wa al-Umam, Cet. Muhammad al-Qadir 'Atha dan Musthafa Abdul Qadir 'Atha, Beirut, 1412/1992.
  • Ibn Khallakan.
  • Ibnu Sa'ad, Terjemah al-Husain wa Maqtalahu as, min Qism Ghairul Mathbu' min Kitāb al-Thabaqāt al-Kabir libni Sa'ad, Cet. Abdul Aziz Thabathabai, Taratsana, Tahun ke-3, No. 1 (Muharram-Rabi'ul Awal 1408).
  • Ibnu Manzhur.
  • Muwaffaq bin Ahmad Akhthab Khawarizmi, Al-Manāqib, Qum, 1417.
  • Ali bin Ismail asy'ari, Kitāb Maqālāt al-Islamiyin wa Ikhtilāf al-Mushallin, Cet. Halmut Ritar, Wisbadan, 1400/1980.
  • Muhsin Amin, Kasyf al-Irtiyāb, Tehran, 1347.
  • Abdul Qahir bin Thahir Baghdadi, Al-Farq baina al-Firaq, Cet. Muhammad Muhyidin Abdul Majid, Beirut, Dar al-Kitab al-'Ilmiyah, Tanpa Tahun.
  • Muhsin bin Tanukhi, Nisywāru al-Muhādharah wa Akhbār al-Mudzākirah, Cet. Ubud Syalji, Beirut, 1391-1393/1971-1973
  • Hurr Amili.
  • Abdullah bin Abdullah Huskani, Syawāhid al-Tanzil li Qawā'id al-Tafdhil, Cet. Muhammad Baqir Mahmudi, Tehran, 1411/1990.
  • Muhammad Ali Da'i al-Islami, Farhang Nizhām, Cet. Sanggi Hyderabad Dekkan 1305-1318 S, Cet. Offset Tehran, 1362-1364 S.
  • Ahmad bin Dawud al-Dinawari, al-Akhbār al-Thiwāl, Cet. Abdul Mun'am 'Amir, Qahirah, 1960, Cet. Offset Qum, 1368 S.
  • Muhammad Ahmad Dzahabi, Tārikh al-Islām wa Wafayāt al-Masyāhir wa al-A'lām, Cet, Abdul Salam Tadmari, Khawadits wa Wafiyāt, 351-380, Beirut, 1409-1989.
  • Husain bin Muhammad Raghib Isfahani, al-Mufradāt fi Gharib Al-Qur'an, Cet. Muhammad Sayd Kilani, Tehran, 1332 S.
  • Muhammad Abdul Karim Syahristani, Kitāb al-Milal wa al-Nihal, Cet. Muhammad bin Fathullah Badram, Qahirah, 1375/1956, Cet. Offset Qum, 1367. Abdurahim bin Abdul Karim Shafi Puri, Muntaha al-Arab fi Lughah al-'Arab, Cet. Sanggi Tehran, 1297-1298, Cet. Offset, 1377.
  • Muhammad Yahya Shauli, Akhbār al-Rādhi billah wa al-Mutaqi billah, Cet. Hiyuratsdan, Beirut, 1399/1979.
  • Muhammad Kazhim bin Abdul Adzim Thabathabai Yazdi, Al-Urwah al-Wutsqā, Beirut, 1414/1984.
  • Thabarsi
  • Thabari, Tārikh (Beirut)
  • Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras lil Alfādz Al-Qur'an al-Karim, Qahirahm 1364.
  • Abbas 'Azawi, Tārikh al-'Irāq baina Ihtilālain, Baghdad 1353-1371/1935-1956, Cet. Offset Qum, 1369 S.
  • Abdurahman bin Ahmad Adhudin Aiji, Al-Muwāfaq fi Ilm al-Kalām, Beirut, Alam al-Kitab, Tanpa Tahun.
  • Muhammad Qasim bin Ghulam Ali Feresyteh, Tārikh Feresyteh, atau Gulsyan Ibrahimi, Lakahnum 1281.
  • Nashrullah Falsafi, Zendegi Syāh Abbās Awwal, Tehran, 1364.
  • Rasul Karkukuli, Duhah al-Wizāra fi al-Tārikh wa Qāi' al-Zuwar, sesuai nukilan dari Turkiyah Musa Kadzim Nuras, Qum, 1372 S.
  • Kulaini.
  • Abdul Razaq bin Ali Lahiji, Kanz al-'Ummāl fi Sunan al-Aqwāl wa al-Af'al, Hyderabad Dekkan, 1364-1384/1945-1975.
  • Mas'udi, Muruj al-Dzahab (Beirut), Miskawaih; Hasan Musthafawi, Al-Tahqiqi fi Kalimāt Al-Qur'an al-Karim, Tehran, 1360-1371 S.
  • Ahmad bin Ali Maqrizi, It'āzh Al-Hunafā, jld. 1, Cet. Jamaludin Syiyal, Qahirah, 1387/1967.
  • Ahmad bin Maqrizi, Kitāb al-Mawā'idh wa al-I'tibār bidzikr al-Khithāth wa al-Atsār, terkenal dengan al-Khithath al-Maqriziyahm, Bulaq, 1270, Cet, Offset Qahirah, Tanpa Tahun.
  • Ahmad bin Muhammad Mahdi Naraqi, Mustanad al-Syi'ah fi Ahkām al-Syari'ah, jld. 1, Masyhad, 1415.
  • Ali Akbar Nafisi, Farhang Nafisi, Tehran, 1976.
  • Muhammad bin Abdul Malik Hamadani, Takmilah Tārikh al-Thabari, jld. 1, Cet. Albart Yusuf Kan'an. Beirut, Tanpa Tahun.
  • Yaqut Hamawi, Mu'jam al-Udabā, Mesir, 1355-1357/1936-1938, Cet. Offset Beirut, Tanpa Tahun.
  • Encyclopaedia Iranica , s.v. "Baraya" (by E. Kohlberg); EI 2 , s.v. "'Tabarru " by J. Calmard.