Ayat Tabligh

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
Tenunan kaligrafi Syajarah Thayyibah dengan hiasan Ayat Tabligh
Informasi Ayat
NamaAyat Tabligh
SurahSurah Al-Maidah
Ayat67
Juz6
Informasi Konten
Sebab
Turun
Imam Ali as sebagi washi Nabi saw
Tempat
Turun
Makkah
TentangAkidah
DeskripsiPeristiwa Ghadir
Ayat-ayat terkaitAyat Ikmal dan Ayat Wilayah

Ayat Tabligh (bahasa Arab: آیة التبلیغ) adalah ayat ke 67 dari surah al-Maidah [1] yang merupakan di antara ayat-ayat yang terakhir turun untuk Nabi Muhammad saw. Isi ayat ini berkenaan dengan perintah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw untuk menyampaikan pesan penting kepada kaum Muslimin, yang karena sedemikian pentingnya pesan tersebut, sehingga jika Nabi saw tidak menyampaikannya maka sama halnya ia tidak menyampaikan risalah sama sekali. Pendapat ulama Syiah dan sebagian dari ulama Ahlusunah mengenai turunnya ayat ini adalah sesaat sebelum hari 18 Dzulhijjah tahun 10 H/632.

Pandangan Syiah menyebutkan bahwa pesan penting tersebut adalah perintah untuk menyampaikan kepada umat Islam bahwa khalifah sepeninggal Nabi saw adalah Imam Ali as. Dengan turunnya ayat tersebut, Nabi saw pun kemudian mengumumkan di Ghadir Khum bahwa Ali as akan menjadi khalifah dan imam bagi kaum Muslimin sepeninggalnya.

Matan Ayat

Maksud dari Ayat Tabligh [2] adalah surah al-Maidah ayat ke 67, yang berbunyi:

﴾يَا أَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنزِلَ إِلَيْكَ مِن رَّبِّكَ ۖ وَإِن لَّمْ تَفْعَلْ فَمَا بَلَّغْتَ رِسَالَتَهُ ۚ وَاللَّـهُ يَعْصِمُكَ مِنَ النَّاسِ ۗ إِنَّ اللَّـهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ﴿

"Hai rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhan-mu. Dan jika kamu tidak mengerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan risalah-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir."

Sya'n Nuzul Ayat

Mufasir dan kalangan ahli hadis Syiah sepakat bahwa ayat ini turun 18 Dzulhijjah setelah pelaksanaan Haji Wada', dalam perjalanan kembalinya Nabi saw menuju Madinah di sebuah tempat yang bernama Ghadir Khum. Ayat ini turun untuk memerintahkan kepada Nabi saw agar menyampaikan Wilayah Imam Ali as kepada kaum Muslimin. [3] Sebagian dari ulama Ahlusunah juga sepakat dengan pendapat ini, dan memberikan kesaksian akan kebenarannya. [4]

Penyebab Turunnya Ayat

Disebabkan karena kekhawatiran akan konspirasi kaum munafik dalam upayanya menghancurkan Islam, Nabi Muhammad saw menunda-nunda penyampaian akan wilāyah Imam Ali as. Malaikat Jibril as pun diutus untuk menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad saw yang berisi pentingnya hal tersebut untuk disampaikan dan juga berisi jaminan dari Allah swt bahwa kaum munafik tidak memiliki kemampuan untuk memberikan gangguan kepada Nabi saw. [5] Oleh karena itu, arti dari "Balligh maa unzila ilaika" tidak lain dan tidak bukan adalah pengumuman akan wilayah Imam Ali as yang harus segera dilaksanakan Nabi saw. Sebelumnya hal ini telah diperintahkan, namun ketika hal tersebut disampaikan Nabi saw khawatir akan munculnya konspirasi kaum munafik, maka Nabi saw menundanya. [6]

Kemungkinan Lainnya

Turunnya Ayat di Makkah

Pendapat lain menyebutkan, Ayat Tabligh turun di kota Makkah sebelum hijrah. Penyebab turunnya adalah permintaan kepada Nabi saw untuk menyampaikan hakikat agama Islam kepada orang-orang kafir dan kaum musyrik. Sebagian riwayat menyebutkan, pada awalnya Nabi Muhammad saw merasa aman dari gangguan musuh karena pembelaan dan adanya dukungan dari pamannya Abu Thalib, sehingga Nabi pun mengandalkan keberadaan pamannya tersebut. Namun dengan turunnya Ayat Tabligh yang memberikan jaminan penjagaan Allah swt akan keselamatan Nabi saw dari gangguan dan makar-makar musuh, maka Nabipun tidak lagi mengandalkan pembelaan dan dukungan siapapun kecuali dari Allah swt, sehingga dengan itu Nabi pun secara terbuka dan terang-terangan menyampaikan dakwah Islam kepada orang-orang kafir dan kaum musyrik tanpa ada rasa khawatir sedikitpun. [7]

Bantahan

Untuk membantah pandangan di atas maka dapat dikatakan, bahwa semua mufasir secara ijma' berpendapat bahwa Surah Al-Maidah turun di Madinah dan bukan di Makkah. [8][9] Sebuah riwayatpun menyebutkan, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Umar bahwa Surah Al-Maidah adalah surah yang terakhir turun. [10] Oleh karena itu pendapat yang menyebutkan bahwa Ayat Tabligh turun di kota Makkah dan selama bertahun-tahun kemudian hanya berupa ayat dan tidak termuat dalam salah satu surahpun dan sekedar dibaca saja dalam bentuk satu ayat tersebut adalah pendapat yang tidak bisa dibenarkan. [11]

Selain itu, sebagian dari ahli hadis berpendapat riwayat yang menyebutkan Ayat Tabligh turun di Makkah untuk menenangkan hati dan menghilangkan kekhawatiran Nabi saw adalah hadis gharib dan munkar. [12]

Dakwah kepada Ahli Kitab

Pendapat lain menyebutkan, Ayat Tabligh turun di Madinah, dan tujuan dari turunnya ayat ini adalah pemberian tugas kepada Nabi Muhammad saw untuk mendakwahkan kebenaran Islam dan hakikat wahyu kepada Ahli Kitab.[13]

Menurut Abu Hayan, "Mā Unzila ilaika" adalah "Apa yang kami turunkan kepadamu (Muhammad) mengenai hukum rajam dan qisas dan selainnya (juga tertulis) untuk kaum Yahudi yang ada pada Taurat mereka dan kaum Nasrani yang ada pada Injil mereka." [14]

Dalil mereka yang mendukung pendapat ini, bahwa ayat sebelum dan sesudah Ayat Tabligh berbicara mengenai Ahlulkitab, karenanya sudah semestinya Ayat Tabligh juga dikaitkan dengan dakwah Nabi saw kepada Ahlulkitab bukan menghubungkannya dengan tema lain yang tidak memiliki keterkaitan sama sekali dengan ayat sebelum dan sesudahnya.

Bantahan

Dalam semua catatan sejarah menyebutkan bahwa setelah terjadi perang antara kaum Muslimin dengan kaum Yahudi, diantaranya perang Bani Quraidzah dan Perang Khaibar, menyebabkan kaum Yahudi menjadi lemah dan tidak berdaya karena menderita kekalahan. Oleh karena itu, kaum Muslimin tidak lagi mengkhawatirkan ancaman dari kaum Yahudi[15]

Demikian pula dengan kelompok Nasrani di tanah Arab khususnya di Madinah, mereka tidak memiliki kekuatan sama sekali untuk menghadapi kaum muslimin. Dan satu-satunya peristiwa mereka mencoba menghadapi Nabi saw adalah saat Mubahalah, itupun mereka mengundurkan diri dan mengakui kelemahan. [16]

Karenanya, dengan memperhatikan kekuatan kaum Muslimin yang disegani musuh-musuhnya, terutama di bagian-bagian akhir usia Nabi saw, maka dalil yang menyebutkan bahwa Nabi saw khawatir dan cemas atas konspirasi Yahudi dan Nasrani sehingga menunda penyampaian hakikat agama ini adalah argumentasi dan dalil yang lemah dan tidak berdasar.

Selain itu Ayat Tabligh dari sisi tema, tetap memiliki keterkaitan dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Karena ayat sebelum dan sesudahnya membicarakan tentang kaum Yahudi dan Nasrani, yang dalam pikiran mereka, dengan wafatnya Nabi saw, kekuatan kaum Muslimin akan melemah, dan mereka akan mampu memberikan pengaruh. Namun dengan turunnya Ayat Tabligh yang berisi perintah kepada Nabi saw untuk menyampaikan pemimpin ummat pasca ia meninggal, membuat khayalan dan prasangkaan mereka itu menjadi sia-sia. Karena itu pulalah, setelah penyampaian Wilayah Ali as maka turunlah Ayat Ikmal yang menetapkan kesempurnaan agama ini. Dan inilah pendapat yang lebih bisa diterima dan lebih sesuai. [17][18][19]

Poin Penting dalam Ayat Tabligh

Pentingnya Misi dalam Ayat Tabligh

Dalam ayat ini, Nabi Muhammad saw disebut dilanda kekhawatiran untuk menyampaikan pesan yang diperintahkan, namun jika tidak menyampaikannya, maka dikatakan Ia sama halnya tidak menyampaikan risalah. Maka dapat dikatakan pesan penting yang hendak disampaikan Nabi saw tersebut kedudukan dan derajatnya sama nilainya dengan pentingnya kenabian dan risalah. Kita akan sulit menerima pendapat bahwa pesan penting yang diperintahkan untuk disampaikan itu adalah masalah Tauhid, Nubuwah, Ma'ad atau bahkan masalah fikih seperti seputar hukum salat, puasa dan haji, karena kesemua hal tersebut telah disampaikan Nabi saw sebelum ayat ini turun. Oleh karena itu, dipenghujung usia Nabi saw, setelah menyampaikan risalah yang telah diperintahkan kepada umat, maka giliran suatu hal penting lagi yang harus disampaikan Nabi saw yang kedudukannya sama nilainya dengan keseluruhan risalah yang telah disampaikan. Hal yang penting ini tentu adalah sesuatu hal yang baru dan jika tidak disampaikan, maka penyampaian risalah sebelumnya menjadi sia-sia. Hal penting itu, tidak lain dan tidak bukan adalah seputar kepemimpinan umat Islam sepeninggal Nabi Muhammad saw.

Kekhawatiran Nabi saw

Mengingat sedemikian penting dan krusialnya isi pesan yang harus disampaikan, Nabi saw sempat dilanda kekhawatiran untuk menyampaikannya. Namun Allah swt dalam firman-Nya pada ayat ini menjanjikan, akan menjaga Nabi dari gangguan para musuh. Dengan memperhatikan penjelasan sebelumnya, bahwa ayat ini bukan berbicara mengenai kaum musyrikin Quraisy ataupun mengenai Ahlulkitab, maka jelas yang dimaksud Nash pada ayat ini adalah orang-orang munafik yang berada di dalam tubuh kaum muslimin. Sehingga Nabi saw untuk menyampaikan bahwa penggantinya kelak adalah Imam Ali as menjadi khawatir akan adanya konspirasi dan upaya orang-orang munafik itu untuk merusak Islam dari dalam. Alasannya kekhawatiran itu antara lain:

  • Imam Ali as tidak dikenali sebagai sosok yang memiliki kelayakan untuk menjadi pemimpin umat. [20]
  • Banyak dari kalangan yang baru masuk Islam menyimpan dendam kepada Imam Ali as yang dalam sejumlah peperangan telah membunuh anggota keluarga mereka.
  • Sewaktu Nabi saw hendak mengangkat Imam Ali as sebagai washi dan khalifah penggantinya, ia masih berusia 33 tahun, yang dalam tradisi masyarakat Arab masih terhitung muda sementara usia menjadi kriteria yang sangat penting dalam tradisi mereka dalam penentuan siapa yang akan menjadi pemimpin umat.

Dalam Perang Tabuk misalnya, ketika Nabi saw menetapkan Imam Ali as sebagai wakilnya di Madinah atau perang terakhir menjelang wafatnya Nabi yang memerintahkan agar Usamah bin Zaid yang menjadi panglima laskar, itu saja telah mendapat penentangan dari sejumlah kaum muslimin. Terlebih lagi, jika yang diangkat itu adalah untuk memimpin umat sementara masih banyak yang usianya lebih tua darinya. Tentu untuk menyampaikan hal tersebut, menimbulkan rasa kekhawatiran pada diri Nabi saw. [21]

Oleh karena itu, kekhawatiran yang timbul pada diri Nabi saw untuk menyampaikan bahwa Imam Ali as lah yang akan menggantikan kedudukannya sebagai pemimpin umat sebagaimana perintah Allah swt adalah kekhawatiran yang alami. Namun Allah swt kemudian dengan turunnya ayat tabligh memberikan jaminan bahwa tidak ada yang perlu dikhawatirkan Nabi saw karena Allah swt akan menjaganya dari berbagai gangguan.

Catatan Kaki

  1. Al-Radhi, hlm. 54; Makarim Shirazi, jld. 5, hlm. 4.
  2. Al-Radhi, Tatimmah al-Murāja'āt, hlm. 54; Nemuneh, jld. 5, hlm. 4.
  3. Qomi, jld. 1, hlm. 179; Ayyasyi, jld. 1, hlm. 331-332; Faidh Kasyani, jld. 2, hlm. 51; Kulaini, jld. 1, hlm. 290, hadis 6; Huwaizi, jld. 1, hlm. 653-655; Bahrani, jld.1, hlm. 490, hadis 11; Allamah Thabathabai, jld. 6, hlm. 48.
  4. Suyuti, jld. 2, hlm. 298; Alusi, jld. 6, hlm. 194; Naisyaburi, jld. 1, hlm. 250.
  5. Ayyasyi, jld. 1, hlm. 331, hadis 152.
  6. Ayyasyi, jld. 1, hlm. 360; Fadhl Thabarsi, jld. 2, hlm. 344.
  7. Thabari, Jāmi', jld. 4, juz 6, hlm. 198-199; Tsa'ālabi, jld. 1, hlm. 442; Suyuti, jld. 2, hlm. 298.
  8. Ibnu ‘Atiyah, jld. 5, hlm. 5.
  9. Qurthubi, jld. 3, juz 6, hlm. 30.
  10. Tirmidzi, jld. 5, hlm. 261, yang menukil dari Abdullah bin Umar; Thusi, jld. 3, hlm. 413.
  11. Ibnu ‘Asyur, jld. 6, hlm. 256.
  12. Ibnu Katsir, jld. 2, hlm. 132.
  13. Thabari, Jāmi', jld. 4, juz 6, hlm. 198; Fakhrurazi, jld. 12, hlm. 50; Abu Hayyan, jld. 3, hlm. 529.
  14. Abu Hayyan, jld. 3, hlm. 529.
  15. Qs. Ahzab: 26-27; Hasyr: 2-4.
  16. Qs. Ali Imran: 61.
  17. Thusi, jld. 3, hlm. 435.
  18. Fadhl Thabrisi, jld. 3, hlm. 246.
  19. Huwaizi, jld. 1, hlm. 587-590.
  20. Abu al-Fatwahrazi, jld. 4, hlm. 276.
  21. Thabari, Tārikh, jld. 3, hlm. 186; Ibnu Abi al-Hadih, jld. 1, hlm. 159.

Daftar Pustaka

  • Alusi, Mahmud bin Abdullah, Ruh al-Ma'āni, Beirut, Dar Ahya al-Turat al-‘Arabi, tanpa tahun.
  • Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balāghah, cet. Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Kairo, 1385-1387/1965-1967.
  • Ibnu Asyur, Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, Tunisia, 1984.
  • Ibnu ‘Atiyah, al-Muhrir al-Wajiz fi Tafsir al-Kitāb al-‘Aziz, jld. 5, 1399/1979.
  • Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-‘Adzhim, cet. Khalil Mays, Beirut, Dar al-Qalam, tanpa tahun.
  • Abu Hayyan, Muhammad bin Yusuf, Tafsir al-Bahr al-Muhit, Beirut, 1403/1983.
  • Amini, Abdul Husain, al-Ghadir fi al-Kitāb wa al-Sunnah wa al-Adab, jld. 1, Beirut, 1403/1983.
  • Bahrani, Sayyid Hasyim, al-Burhān fi Tafsir al-Qur'an, Qom, Muassasah al-Bi'tsat, 1415 H.
  • Tirmidzi, Muhammad ‘Isa, al-Jāmi' al-Shahih wa huwa Sunan al-Tirmidzi, jld. 5, cet. Ibrahim Atwah ‘Audh, Beirut, Dar Ahya al-Turats al-‘Arabi, tanpa tahun.
  • Tsa'labi, Aburrahman bin Ahmad, al-Jawāhir al-Hasān fi Tafsir al-Qur'an, cet. Abu Muhammad Ghamari Idris Hasani, Beirut, 1416/1996.
  • Huwaizi, Abd Ali bin Jum'ah, Kitāb Tafsir Nur al-Tsaqalain, cet. Hasyim Rasuli Muhlati, Qom, 1383-1385.
  • Razi, Abu al-Futuh, Tafsir Ruh al-Jinān wa Ruh al-Jinān, cet. Abu al-Hasan Sya'rani dan Ali Akbar Ghafari, Tehran, 1382-1387.
  • Al-Radhi, Husain, Sabil al-Najāt fi Tatammat al-Murāja'at, Beirut, tanpa tahun.
  • Suyuti, Jalaluddin, al-Dar al-Mantsur fi al-Tafsir bi al-Matsur, Dar al-Fikr, Beirut, 1414 H.
  • Syaikh Shaduq, Ma'āni al-Akhbār, pent: Abd al-‘Ali Muhammadi, Dar al-Kitab al-Islamiyah, Tehran, 1372 S.
  • Thabathabai, Muhammad Husain, al-Mizān, Jami'ah Mudarrisin, Qom, 1417 H.
  • Thabarsi, Fadhl bin Hasan, I'lām al-Warā bi A'lām al-Hudā, Qom, 1417.
  • Thabarsi, Majma' al-Bayān fi Tafsir al-Qur'an, cet. Hasyim Rasuli, Muhlati dan Fadhlullah Yazdi Thabathabai, Beirut, 1408/1988.
  • Thabari, Tārikh, Beirut.
  • Thabari, Jāmi'.
  • Ayyasyi, Muhammad bin Mas'ud, Tafsir al-Ayyasyi, Riset oleh Rasuli Muhlati, al-Maktabah al-‘Ilmiyah al-Islamiyah, Tehran, tanpa tahun.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, al-Kāfi, Riset oleh Ali Akbar Ghaffari, Dar al-Ta'āruf, 1401 H.
  • Fakhrurazi, Muhammad bin Umar, al-Tafsir al-Kabir, Kairo, tanpa tahun.
  • Faidh Kasyani, Muhammad bin Syah Murtadha, Tafsir al-Shāfi, Beirut, 1402/1982.
  • Qurthubi, Muhammad bin Ahmad, al-Jāmi' li Ahkām al-Qur'an, jld. 3, juz. 6, Beirut, 1965; cet. Offset Tehran, 1364 S.
  • Qomi, Ali bin Ibrahim, Tafsir al-Qomi, Beirut, 1412/1991.
  • Makarim Syirazi, Nashir dll, Tafsir Nemuneh, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1375 S.
  • Naisyaburi, Hakim, Syawāhid al-Tanzil, riset: Muhammad Baqir Mahmudi, Kementrian Kebudayaan dan Arsyadi Islami, Tehran, 1411 H.
  • Wahidi, Ali bin Ahmad, Asbāb al-Nuzul, Riset oleh Iman Shalih Sya'ban, Dar al-Hadits, Kairo, tanpa tahun.