Ahlulbait as

Prioritas: aa, Kualitas: b
Dari wikishia
Akidah Syiah
‌Ma'rifatullah
TauhidTauhid DzatiTauhid SifatTauhid Af'alTauhid Ibadah
FurukTawasulSyafa'atTabarruk
Keadilan Ilahi
Kebaikan dan keburukanBada'Amrun bainal Amrain
Kenabian
KeterjagaanPenutup KenabianNabi Muhammad SawIlmu GaibMukjizatTiada penyimpangan Alquran
Imamah
Keyakinan-keyakinanKemestian Pelantikan ImamIsmah Para ImamWilayah TakwiniIlmu Gaib Para ImamKegaiban Imam Zaman asGhaibah SughraGhaibah KubraPenantian Imam MahdiKemunculan Imam Mahdi asRaj'ah
Para Imam
  1. Imam Ali
  2. Imam Hasan
  3. Imam Husain
  4. Imam Sajjad
  5. Imam Baqir
  6. Imam al-Shadiq
  7. Imam al-Kazhim
  8. Imam al-Ridha
  9. Imam al-Jawad
  10. Imam al-Hadi
  11. Imam al-Askari
  12. Imam al-Mahdi
Ma'ad
Alam BarzahMa'ad JasmaniKebangkitanShirathTathayur al-KutubMizanAkhirat
Permasalahan Terkemuka
AhlulbaitEmpat Belas Manusia SuciTaqiyyahMarja' Taklid

Ahlulbait as (bahasa Arab:أهل البيت) berarti keluarga nabi yang mulia. Ahlulbait ini merupakan gelar khusus untuk beberapa orang dari keluarga dan sanak famili Nabi Muhammad saw yang termaktub dan diisyaratkan dalam Ayat at-Tathir dan Ayat Mawaddah. Mereka yang dimaksud Ahlulbait pada kedua ayat ini adalah Imam Ali as, Sayidah Fatimah az-Zahra sa, Imam Hasan as, dan Imam Husain as serta sembilan Imam Maksum lainnya dari anak keturunan Imam Husain as.

Dalam pandangan Syiah, Ahlulbait memiliki kedudukan yang maksum yaitu terjaga dari dosa. Mereka memiliki keunggulan yang lebih tinggi dari para sahabat dari sisi ketakwaan dan anugrah ilahi. Kecintaan kepada mereka merupakan hal yang wajib bagi setiap muslim. Menurut ajaran Syiah, otoritas dan kepemimpinan kaum muslimin berada di tangan Ahlulbait. Kaum Muslimin harus bertumpu kepada Ahlulbait dalam permasalahan-permasalahan agama dan menjadikan mereka sebagai tempat rujukan.

Definisi Ahlulbait dalam Bahasa

Dalam sumber-sumber bahasa Arab, kata "Ahl" menunjukkan suatu hubungan dan ikatan antara manusia dengan manusia atau dengan yang lainnya; sebagai contoh, di kalangan Arab, istri terhitung sebagai ahl untuk suaminya, suatu umat bagi setiap nabi adalah keluarganya (ahl) dan penduduk rumah atau kota adalah "ahl" atau keluarga rumah itu atau kota itu. Begitu juga, para pengikut setiap agama atau mazhab mereka terhitung sebagai ahlu agama atau mazhab tersebut. Ahlulbait dalam bahasa Arab diartikan untuk orang-orang yang menetap di rumah Nabi saw dan kerabatnya; namun istilah ini dalam ritual kaum muslimin memiliki makna tersendiri. [1]

Dan kata "Āl" (bahasa Arab:آل) juga berasal dari kata "ahl" yang mana huruf "ha" berubah menjadi huruf hamzah dan kemudian menjadi "alif". [2] Penggunaan kata "Āl" dari kata "ahl" lebih terbatas; karena "Āl" tidak disandarkan pada tempat dan waktu dan hanya dikhususkan untuk manusia dan berkaitan dengan manusia juga hanya disandarkan kepada manusia-manusia yang memiliki kedudukan tersendiri; seperti Āl Ibrahim, Āl Imran, Āl Fir'aun. [3]

Ahlulbait dalam Al-Qur'an

Kata Ahlulbait telah digunakan dalam Al-Qur'an sebanyak tiga kali:

  1. Dalam surah Hud ayat 73 berkenaan dengan Nabi Ibrahim as dan istrinya, Allah swt berfirman:
    قالُوا أَ تَعْجَبینَ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ رَحْمَتُ اللَّهِ وَ بَرَكاتُهُ عَلَیكُمْ أَهْلَ الْبَیتِ إِنَّهُ حَمیدٌ مَجیدٌ
    Para malaikat itu berkata: "Apakah kamu merasa heran tentang ketetapan Allah? (Itu adalah) rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlulbait! Sesungguhnya Allah Maha Terpuji lagi Maha Pemurah."
  2. Dalam surah Qashash ayat 12 berkaitan dengan keluarga Musa as, Allah swt berfirman:
    فَقالَتْ هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلی‏ أَهْلِ بَیتٍ یكْفُلُونَهُ لَكُمْ وَ هُمْ لَهُ ناصِحُونَ
    "Maukah kamu aku tunjukkan kepadamu ahlulbait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?".
  3. Dalam surah al-Ahzab ayat 33 yang dikenal dengan ayat al-Tathir, Allah swt menyapa kepada Nabi dan keluarganya dengan firmanNya:
    إِنَّما یریدُ اللَّهُ لِیذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَیتِ وَ یطَهِّرَكُمْ تَطْهیراً
    "Hanya saja Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya."

Mengenai apa yang dimaksud dalam ayat dari Ahlulbait dan siapa mereka banyak perbedaan pendapat yang dipaparkan. Dan pendapat yang diterima oleh kalangan Syiah dan juga sebagian besar dari para ulama Ahlusunah bahwa yang dimaksud dari mereka adalah Ashab al-Kisa, yaitu Nabi saw, Ali, Fatimah, Hasan dan Husain (semoga solawat dan salam tercurah kepada mereka).

Silsilah keluarga Nabi saw
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Qushay
wafat: 400 M
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Abdul Uzza
 
 
 
 
 
 
 
 
Abdu Manaf
wafat: 430 M
 
 
 
 
 
 
 
Abd al-Dar
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Asad
 
 
 
Muththalib
 
 
Hasyim
wafat: 464 M
 
 
 
Nawfal
 
'Abd Shams
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Khuwaylid
 
 
 
 
 
 
 
 
Abdul Muththalib
wafat: 497 M
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Al-'Awwam
 
Khadijah Sa
 
Hamzah
 
 
Abdullah
lahir: 545 M
 
 
 
Abu Thalib
 
Abbas
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Zubair
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Nabi Muhammad saw
lahir: 571 M
 
Ali as
llahir: 599 M
 
'Aqil
 
Ja'far
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Fatimah binti Muhammad sa
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Muslim
 
Abdullah
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
Hasan as
lahir: 625 M
 
 
 
 
 
 
Husain as
lahir: 626 M
 
 
Zainab sa
lahir: 627 M
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Ahlulbait dalam Riwayat

Ahlulbait dalam Penjelasan Amirul Mukminin as
"Mereka adalah kehidupan bagi pengetahuan dan kematian bagi kejahilan. Kesabaran mereka mengatakan kepada Anda tentang pengetahuan mereka, dan diamnya mereka (menceritakan kepada Anda) tentang kebijaksanaan pembicaraan mereka. Mereka tidak melawan kebenaran dan tidak pula berselisih (di antara sesamanya) tentang hal itu. Mereka adalah tiang-tiang Islam dan tempat perlindungannya. Bersama mereka kebenaran telah kembali kepada kedudukannya dan kebatilan telah meninggalkan tempatnya dan lidahnya terputus dari akarnya. Mereka memahami agama secara cermat dan teliti, bukan hanya melalui hujatan atau para periwayat, karena periwayat pengetahuan ada banyak tetapi yang memahaminya sedikit."
Nahjul Balaghah, terjemahan Syahidi, Khutbah 239, hlm. 268

Dalam Hadis-hadis Nabi

Kata Ahlulbait dalam hadis-hadis nabi memiliki empat penggunaan yang beragam yang dapat dikatagorikan sebagai berikut: Penggunaan lebih umum, penggunaan umum, penggunaan khusus dan penggunaan lebih khusus.

  1. Penggunaan lebih umum ("a'am"), adalah mencakup orang-orang yang sama sekali tidak memiliki hubungan keluarga dengan nabi baik secara nasab atau karena sebab. Mereka adalah kaum muslimin yang mentaati Nabi secara jujur dan kokoh. Sebagaimana Nabi menjadikan Salman al-Farisi [4] dan Abu Dzar al-Ghifari [5] dianggap sebagai dari keluarganya, dalam sebagian riwayat Ahlulbait juga telah didefinisikan atas beberapa person yang mana Usamah bin Zaid [6] dan Watsilah bin Asqa' [7] termasuk salah satunya.
  2. Penggunaan umum ("am"), Ahlulbait mencakup seluruh keluarga Nabi karena sebab tertentu. Yaitu orang-orang yang haram menerima sedekah wajib (zakat). [8] dalam hadis yang lain, perubahan Ahlulbait yang digunakan khusus untuk Abbas, paman nabi dan anak keturunannya. [9]
  3. Penggunaan khusus ("khas"), Ahlulbait berhubungan dengan istri-istri Nabi saw. Tanpa diragukan lagi, Istri-Istri Nabi saw sesuai dengan arti bahasa dan tradisinya, mereka adalah Ahlulbait Nabi saw, bait yang dimaksud di sini adalah bait yang berartikan tempat tinggal, tapi bukan bait yang berbentuk nasab atau kenabian.
  4. Penggunaan lebih khusus ("akhash"), Ahlulbait dikhususkan kepada sekelompok dari keluarga Nabi saw yang memiliki ishmah (keterjagaan mereka dari dosa). Dan bentuk kongkritnya adalah yang telah tercantum dalam riwayat yang berkaitan dengan ayat al-Tathir dan ayat Mubahalah, yaitu Ashab al-Kisa (Ali, Fatimah, Hasan dan Husain) Salam atas mereka. [10] Dan dalam beberapa hadis seperti hadis Tsaqalain, hadis Safinah dan semacamnya yang menunjukkan keberadaan Ahlulbait di setiap saat, selain Ashab al-Kisa, para Imam Maksum berasal dari anak keturunan Imam Husain as.

Dalam Hadis-hadis Para Imam

Ahlulbait dalam hadis-hadis para Imam as juga memiliki tiga pengertian:

  • Penggunaan umum yang mencakup orang-orang mukmin yang sejati sebagaimana Imam Shadiq as bersabda: "Siapa saja yang bertaqwa dan beramal shaleh dia adalah dari kami." [11] Dalam membuktikan arti ini, Imam as membawakan dua ayat Al-Qur'an al-Karim:
  1. وَ مَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
    "Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka." [12]
  2. فَمَنْ تَبِعَني‏ فَإِنَّهُ مِنِّي
    "Maka barang siapa yang mengikutiku, maka sesungguhnya orang itu termasuk golonganku," [13]
  • Penggunaan khusus, hanya dikhususkan untuk keluarga Nabi saw. Sebagaimana Imam Ali as bersabda: "Setiap kali keadaan menjadi sulit dalam peperangan dengan musuh-musuh Islam dan masyarakat sudah mulai enggan untuk menghadapi musuh,Nabi saw mengirim Ahlulbaitnya untuk ditampilkan, Ubaidah bin Harits mati syahid di perang Badar, Hamzah mati syahid di perang Uhud dan Ja'far ath-Thayyar mati syahid di perang Mutah.
  • Penggunaan lebih khusus, dikhususkan untuk segolongan dari keluarga Nabi saw yang memiliki kedudukan dan keistimewaan tertentu yang mana ucapan dan prilaku mereka adalah contoh suri teladan tolok ukur kebenaran dan petunjuk hakikat. Sebagaimana Imam Ali as bersabda: "Tengoklah Ahlulbait Nabi kalian dan berpegangteguhlah pada gerak gerik mereka dan ikutilah mereka, karena mereka sama sekali tidak akan menyimpang dari jalan hidayah dan kalian tidak akan terjerumus dalam kesesatan, jangan kalian mendahului mereka yang mana kalian akan tersesat, dan jangan kalian memisahkan diri dari mereka yang mana kalian akan hancur." [14] Imam Hasan as menyapa kepada penduduk Irak ia bersabda: "Kami adalah Ahlulbait yang Allah swt telah menurunkan ayat al-Tathir [15] berkenaan dengan mereka." [16] Riwayat-riwayat yang berhubungan dengan hal ini sangatlah banyak.

Dari dua makna yang terakhir, dalam literatur Syiah, makna yang kedua lebih marak dipakai dan setiap kali ungkapan Ahlulbait digunakan tanpa adanya isyarat khusus, maka yang dipakai adalah makna yang terakhir yaitu kegunaan yang lebih khusus.

Keterjagaan Ahlulbait dari Dosa

Keistimewaan yang menonjol dari Ahlulbait dengan makna yang lebih khususnya adalah keterjagaan mereka dari dosa atau biasa yang disebut dengan ismah. Keistimewaan ini bersumber dari ayat al-Tathir yang dengan jelas dapat dirasakan, karena di dalam ayat ini Ahlulbait adalah manifestasi dari orang-orang yang Allah berkehendak menjauhkan segala kekejian dari mereka. Kata "innama" dalam ayat, dan riwayat sebab-sebab diturunkannya ayat ini menjelaskan bahwa permasalahan ini adalah sebuah keistimewaan dan hanya dikhususkan untuk Ahlulbait saja.

Hadis Tsaqalain juga tergolong dari hadis-hadis yang mutawatir, yang dalam sisi sanadnya sudah tidak diragukan lagi[17] dan telah menunjukkan keismahan Ahlulbait Nabi saw (dengan makna yang lebih khusus), karena dalam hadis ini, Ahlulbait sebagai bagian kecil ("Tsiql Asghar") berada di sisi Al-Qur'an yang merupakan bagian besar ("Tsiql Akbar") dan terhitung dua pusaka warisan yang berharga yang ditinggalkan oleh Nabi saw yang mana kedua-duanya tidak akan terpisah satu sama lainnya dan jika kaum muslimin berpegang teguh pada kedua-duanya tidak akan tersesat selama-lamanya. Tidak diragukan lagi, Al-Qur'an al-Karim adalah "kalamullah" yang tidak akan masuk padanya kekeliruan dan penyimpangan:

لا یأْتیهِ الْباطِلُ مِنْ بَینِ یدَیهِ وَ لا مِنْ خَلْفِهِ
"Tidak akan datang padanya (Al-Qur'an) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, " [18]

dengan demikian, Ahlulbait Nabi saw juga yang berada di sisi Al-Qur'an, berpegang teguh kepada mereka juga mencegah manusia dari kesesatan dan tidak akan ada kekeliruan dan penyimpangan sama sekali.

Menurut keyakinan sebagian ulama Ahlusunah mereka tidak meragukan kemaksuman moral dan prilaku Ahlulbait yakni Sayidah Zahra sa dan para imam duabelas Syiah dan semua tidak meragukan hal itu kecuali orang-orang bodoh yang ingkar terhadap Islam, yang menjadi perselisiahan adalah ismah secara keilmuan mereka [19], namun dengan memperhatikan bahwa hadis Tsaqalain yaitu berpegang pada Ahlulbait dalam batasan-batasan agama yang diyakini dapat menghalangi manusia untuk terjerumus dalam kesesatan, ismah mereka dari sisi keilmuan juga secara gamblang dan jelas dapat diambil.

Keunggulan Ahlulbait

Dalam Hadis Tsaqalain

Dari hadis Tsaqalain keunggulan dan keutamaan Ahlulbait Nabi saw atas yang lainnya juga dapat dilihat dengan jelas, karena Nabi saw meletakkan posisi mereka di sisi Al-Qur'an, maka Al-Qur'an dinamakan bagian yang lebih besar dan Ahlulbait dinamakan bagian yang lebih kecil dan adapun orang lain tidak disandingkan dan diletakkan dalam urutan Al-Qur'an. Dengan demikian, sebagaimana Al-Qur'an al-Karim memiliki keunggulan dan keutamaan di atas kaum muslimin, maka Ahlulbait juga, memiliki keunggulan dan keutamaan dibanding yang lain.

Sa'aduddin Taftazani dalam hal ini mengatakan, "Kandungan ayat al-Tathir dan hadis Tsaqalain menunjukkan keunggulan Ahlulbait atas yang lainnya dan tolok ukur keunggulan mereka, tidak hanya terbatas pada hubungan nasab mereka yang sampai kepada Rasulullah saja, karena berdasarkan Al-Qur'an, sunnah dan ijma' tolok ukur keunggulan adalah ilmu dan taqwa, dan tolok ukur ini ada pada diri Ahlulbait, dan hal ini dihasilkan dari keberadaan mereka di sisi Al-Qur'an dan kewajiban berpegang teguh kepada mereka, karena berpegang teguh pada Al-Qur'an bukan termasuk dari perbuatan berpegang teguh kepada ilmu dan petunjuk Al-Qur'an sebagaiamana juga berpegang teguh pada Itrah (Ahlulbait). [20]

Dalam Ayat Mubahalah

Ayat Mubahalah juga menunjukkan keunggulan Ahlu Kisa atas para sahabat, karena berdasarkan ayat ini, Nabi saw mendapatkan perintah untuk menyertakan beberapa orang dari anak-anak, para pemuda dan perempuan-perempuan muslim untuk diajak bermubahalah dengan orang-orang Nasrani dari Najran. Dan Nabi saw dari para pemuda memilih Ali as dan dari para perempuan Sayidah Zahra sa dan dari anak-anak, Hasan as dan Husain as.

Tanpa ragu lagi untuk mengadakan mubahalah ciri-ciri orang yang dipilih dari sudut pandang iman dan kedekatannya kepada Tuhan mereka harus memiliki kedududkan yang tinggi, dan dalam sebuah mubahalah yang salah satunya adalah Rasulullah, orang yang bersamanya haruslah setara dengan martabatnya atau paling tidak mereka dari sisi makam dan kedudukan lebih tinggi dari yang lain, selain itu jika bukan orang-orang yang disebut di atas, adalah dari seorang muslim yang memiliki kedudukan tinggi dari sisi keimanan dan spriritual yang Nabi saw sendiri memilihnya, karena mengenai perangai yang bersumber dari Nabi saw tidak ada kemungkinan sekecil apapun dari kekeliruan yang menentang keadilan atau hikmah. [21]

Abu Rayyah, pelayan Ummu Salamah meriwayatkan dari Nabi saw bahwa jika di atas bumi ini ada seseorang yang kedudukannya lebih tinggi dari Ali, Fatimah, Hasan dan Husain Allah akan memerintahkanku supaya aku bermubahalah dengan perantara mereka, akan tetapi Allah memerintahkanku supaya bermubahalah dengan pertolongan mereka(Ahlulbait), mereka adalah orang-orang teragung. [22]

Dalam Ayat-ayat dan Riwayat-riwayat

Terdapat keunggulan Ahlulbait dari ayat-ayat dan riwayat-riwayat lainnya seperti ayat Mawaddah [23] hadis Safinah, hadis Babul Hithah, hadis Nujum dan sebagainya juga dapat ditemukan.

Otoritas Keilmuan Ahlulbait

Dalam Hadis Tsaqalain

Hadis Tsaqalain adalah sebuah penjelas otoritas keilmuan Ahlulbait, karena Nabi saw berharap dari kaum muslimin untuk berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan al-Itrah supaya mereka tidak tersesat.

Al-Qur'an al-Karim adalah sumber pertama dan paling urgennya rujukan bagi kaum muslimin. Dan sunnah Nabi saw adalah sumber kedua setelahnya dan peran Ahlulbait dalam hal ini ialah penerjemah dan penafsir Al-Qur'an, penjaga serta penukil sunnah Nabi saw, tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw telah menjelaskan sebagaian besar dari kebenaran-kebenaran dan ajaran-ajaran Al-Qur'an kepada masyarakat, namun sebagiannya lagi Beliau tidak mememukan situasi dan kondisi yang tepat untuk menjelaskannya, atau sebaiknya penjelasnya ditaruh di lain kesempatan dan diserahkan penjelasannya kepada Itrah atau keluarganya yang maksum sehingga mereka yang akan menjelaskannya nanti. [24] Kesimpulannya: Menjaga secara sempurna apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah saw dan menjelaskan apa yang belum jelas, diserahkan kepada Ahlulbait Nabi.

Jalan yang baik untuk mengenal Al-Qur'an dan sunnah Nabi saw adalah berpegang teguh kepada Ahlulbait Nabi saw. Dengan demikian, mereka adalah marja atau otoritas ilmu kaum muslimin untuk mengetahui lebih jauh tentang pengetahuan-pengetahuan dan hukum-hukum agama.

Mulla Ali Qari salah seorang ulama Ahlusunah mengatakan, "Kebanyakan Ahlulbait lebih mengetahui keadaan penghuni rumah dan apa yang terjadi di dalamnya dibandingkan orang lain, dengan demikian, yang dimaksud dengan Ahlulbait adalah para cendekiawan mereka dan para ahli yang lebih mengenal sirah perjalanan Rasulullah saw dan orang yang tahu terhadap jalan dan caranya, dan orang-orang pintar kepada hukum dan hikmahnya, karena inilah mereka memiliki kelayakan untuk berada di sisi kitab Allah Yang Maha Suci. [25]

Ibnu Hajar juga mengatakan, "Nabi saw sengaja menamakan kitab suci Al-Qur'an dan Itrah dengan "Tsiql", karena biasanya penamaan "Tsiql" dikhususkan untuk sesuatu yang bernilai dan berharga dan memiliki kepentingan, dan Al-Qur'an serta Sunnah juga demikian, karena keduanya adalah tambang ilmu-ilmu ladunni dan rahasia-rahasia serta hikmah-hikamh yang tinggi dan merupakan hukum Syariat, dengan demikian, berpegang teguh pada keduanya dan mengambil pelajaran dan pengetahuan dari keduanya sangatlah ditekankan. Imbauan dan tekanan tentang Itrah dikhususkan bagi orang-orang yang mengenal kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, dan merekalah yang sampai hari kiamat tidak akan terpisah dari Al-Qur'an. [26]

Dalam Ayat Tathir

Al-Qur'an al-Karim mengenalkan Ahlulbait Nabi Saw dalam surah al-Ahzab ayat 33 yang terkenal dengan Ayat al-Tathir sebagai orang-orang yang telah Allah bersihkan dari dosa dan kekejian dan dari sisi yang lain kita diperingatkan bahwa hakikat-hakikat yang tinggi dalam Al-Qur'an dan pengetahuan-pengetahuan yang terpendam di dalamnya tidak akan mampu dicerna kecuali dengan orang-orang yang disucikan dari kekejian. [27] Sebagaimana kesucian yang didapat dengan berwudhu (secara Syar'i), adalah syarat supaya anggota badan kita dapat menyentuh Al-Qur'an, kesucian ruh dan jiwa dari keburukan juga adalah syarat untuk memahami hakikat-hakikat Al-Qur'an dan pengetahuan-pengetahuannya dan semakin lunak dan dalam pengetahuan-pengetahuan dan hakikat-hakikat tersebut maka pemahaman tersebut semakin butuh pada kesucian ruh yang lebih tinggi dan lebih dalam, dan paling tingginya marabat tersebut adalah ketika berbarengan dengan kemaksuman. [28] Dengan demikian, tidak akan ada seorangpun yang dapat menggapai pengetahuan-pengetahuan dan hakikat-hakikat Al-Qur'an secara sempurna dan dalam, kecuali Nabi saw dan Ahlulbaitnya yang maksum. Dan untuk menggapai dan mencernanya maka harus merujuk kepada mereka.

Imam Shadiq as bersabda: Hakikat-hakikat yang berkaitan dengan yang sudah berlalu dan yang akan datang dan hukum-hukum yang memisahkan antara yang haq dan yang batil, semua itu terdapat dalam Al-Qur'an. Dan kami mengetahuinya. [29] Begitu pula ia bersabda: "Kami adalah orang-orang yang mendalam ilmunya dan kami mengetahui takwil Al-Qur'an" [30] Dan masih banyak hadis-hadis lain mengenai hal ini yang riwayatkan oleh Ahlulbait as.

Kewajiban Mengikuti Ahlulbait

Dalam Hadis Tsaqalain

Dari hadis Tsaqalain, kewajiban taat dan mengikuti Ahlulbait juga dapat dipahami secara jelas dan gamblang, karena dalam hadis ini, keselamatan ummat dari kesesatan bergantung dengan berpegangteguh kepada kitabullah Al-Qur'an dan Ahlulbait Nabi saw, berpegangteguh dalam artian berbaur dengan Al-Qur'an, menyerap dan mengenal perintah-perintahnya serta mengikutinya, sebagaimana berbaur dengan Ahlulbait yaitu pertama mengenal perintah-perintah mereka kemudian diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam Ayat Ulil Amr

Allah swt di dalam ayat Ulil Amr mewajibkan kita untuk mentaatiNya, Rasul dan Ulil AmriNya. Allah berfirman:

«أَطیعُوا اللَّهَ وَ أَطیعُوا الرَّسُولَ وَ أُولِی الْأَمْرِ مِنْكُمْ»

"Dan taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu." [31]

Dengan memperhatikan bahwa Ulil Amri telah disandarkan kepada Rasul, tanpa harus mengulang kata kerja Ati'u, bisa dimaklumi bahwa tolok ukur kewajiban mentaati Ulil Amri adalah tolok ukur kewajiban mentaati Rasulullah saw dan taat kepada Rasulullah, karena ia adalah pemimpin Ilahi yang memiliki makam dan kedudukan ismah dan hal ini merupakan sebuah kewajiban dan jika ia tidak maksum, maka tanpa syarat apapun kita tidak wajib mentaatinya, dan hal inipun berlaku terhadap Ulil Amri dan merekapun karena memiliki makam dan kedudukan ismah yang disifati dalam ayat tersebut. Oleh karena itu, secara absolut kita wajib mentaati mereka.

Dengan demikian, ayat Ulil Amri selain menunjukkan kemaksuman pada orang-orang yang menjadi pengganti setelah Rasulullah saw dalam kepemimpinan umat Islam, juga menunjukkan wajib taat kepada mereka.

Di sisi lain ayat al-Tathir dan riwayat yang berkaitan dengannya adalah mengenalkan manifestasi-manifestasi Ulil Amri yang maksum, mereka adalah Ashab al-Kisa. Oleh karena itu, ketaatan terhadap Ahlulbait Nabi saw yang maksum sebagai para pengemban urusan hidayah dan petunjuk serta kepemimpinan umat Islam setelah Rasulullah saw adalah hal yang wajib.

Ahlulbait as Bahtera Penyelamat

Dalam Hadis Safinah

Artikel Utama: Hadis Safinah

Hadis Safinah Nuh (bahtera Nabi Nuh) juga menunjukkan kewajiban untuk mengikuti Ahlulbait, karena dalam hadis Nabi saw ini, Ahlulbaitnya diumpamakan sebagai bahtera Nabi Nuh yang siapa saja yang masuk ke dalamnya dia akan terjaga dari kehancuran.

Ibnu Hajar Makki berkata: "Sisi keserupaan mereka (Ahlulbait) dengan bahtera Nuh adalah siapa saja yang karena syukurnya terhadap seseorang yang telah memberikan kemuliaan ini kepada mereka, mencintai mereka, menganggap mereka agung, dan menghidayahi para cendekiawan bagaimana harus mengambil sikap dan menggunakannya dan menyelamatkan mereka dari gelapnya pertentangan dan siapa saja yang menetang mereka akan hancur ke dalam lautan para pengkufur nikmat dan jurang penyelewengan" [32].

Dia mengenai sanad hadis Safinah berkata: "Hadis ini telah diriwayatkan dari berbagai sumber yang satu dengan yang lainnya saling menguatkan" [33]

Cinta dan Kasih Sayang Ahlulbait

Dalam esensi kecintaan Ahlulbait Nabi saw tidak dapat diragukan lagi.

Allah swt berfirman dalam ayat Mawaddah:

قُلْ لا أَسْئَلُكُمْ عَلَیهِ أَجْراً إِلاَّ الْمَوَدَّةَ فِی الْقُرْبی [34]
"Katakanlah:" Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upah pun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan"

mencintai keluarga Nabi saw dihitung sebagai upah dari misi risalahnya. Yang dimaksud dengan al-Qurba (keluarga) dalam ayat ini adalah orang-orang yang dikarenakan mereka ayat al-Tathir diturunkan.

Ibnu Hajar Makki setelah menukil riwayat yang berkaitan dengan kecintaan Ahlulbait berkata: "Kewajiban mencintai Ahlulbait dan larangan keras membenci mereka telah diketahui dari hadis-hadis sebelumnya. Baihaqi dan Baghawi dan yang lainnya menerangkan tentang kewajiban mencintai mereka dan Syafi'i dalam bait-bait syair yang dinukil darinya juga menerangkan hal tersebut, sebagaimana yang ia katakan: [35]

«یا أهلَ بیتِ رسولِ اللّهِ حُبُّکُم فَرضٌ مِنَ اللّهِ فِی القرآنِ أنزَلَهُ»
"Wahai Ahlulbait Rasulullah! Cinta kepada kalian adalah kewajiban yang diturunkan Allah dalam Al-Qur'an."

Dalil Fakhruddin Razi dalam kewajiban mencintai Ahlulbait, adalah: "Tidak diragukan lagi bahwa Nabi saw mencintai Ali, Fatimah, Hasan dan Husain, dengan dasar ini, hal tersebut adalah sebuah kewajiaban atas seluruh umat karena Allah swt berfirman:

وَ اتَّبِعُوهُ لَعَلَّكُمْ تَهْتَدُونَ
"Dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk".

Dan dalam surah Ali Imran ayat 31, Dia berfirman:

قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُوني‏ يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ
Katakanlah:" Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi kalian.

Begitu juga Allah swt berfirman dalam surah al-Ahzab ayat 21:

لَقَدْ كانَ لَكُمْ في‏ رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ
"Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu." [36]

Dari sekian ayat yang berkaitan dengan upah risalah Nabi saw dapat dipetik sebuah kesimpulan bahwa Beliau sama sekali tidak menginginkan upah dari kaum muslimin jika hal itu kembali kepadanya, baik yang bersifat materi ataupun non materi dan jika kecintaan kepada Ahlulbait dinyatakan sebagai upah risalahnya, karena sebenarnya hal itu kembali kepada diri kaum muslimin. Allah swt berfirman:

قُلْ ما سَأَلْتُكُمْ مِنْ أَجْرٍ فَهُوَ لَكُمْ إِنْ أَجْرِيَ إِلاَّ عَلَى اللَّهِ
Katakanlah:"Upah apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah," [37]

upah yang diinginkan Nabi saw dari umatnya sebenarnya kembali kepada mereka.

Wilayah dan Kepemimpinan Ahlulbait

Artikel Utama: Wilayah
Nama-nama Ahlu al-Kisa As

Dalil-dalil akal da naql wilayah dan kepemimpinan Ahlulbait sangatlah banyak.

Dalam pandangan akal dan dengan memperhatikan pada falsafah imamah, kemaksuman adalah satu kondisi terpenting seorang imam. Ayat-ayat Al-Qur'an juga menunjukkan hal tersebut (lihat: Ayat Ulil Amri dan Ayat Shadiqin).

Di sisi lain, Ahlulbait memiliki keistimewaan dalam dimensi kemaksuman, dengan demikian imamah dan kepemimpinan umat Islam setelah Nabi saw dikhususkan kepada mereka.

Selain itu, ketaatan kepada Ahlulbait telah diwajibkan sebagaimana yang sudah dijelaskan. Dan dalil-dalil yang digunakan untuk kewajiban mengikuti Ahlulbait adalah hal yang absolut dan mencakup seluruh hal yang berkaitan dengan kehidupan kaum muslimin dari hal-hal yang patut dan tidak patut dilakukan dan dalam hal ini tidak ada perbedaan baik dalam masalah peribadatan, perekonomian, politik maupun budaya. Sebagai contoh dalam ayat Ulil Amri, ketaatan kepada Ulil Amri memiliki kedudukan yang sama dan pengertian yang luas dengan ketaatan kepada Nabi saw. Ulil Amri juga sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, memiliki keistimewaan dari sisi kemaksuman dan keistimwaan ini hanya khusus dimiliki oleh Ahlulbait Nabi saw.

Dari pembahasan yang berkaitan dengan kecintaan Ahlulbait dapat dijelaskan bahwa kecintaan memiliki aspek perantara (pendahuluan-pendahuluan) dan tujuan aslinya adalah supaya masyarakat mengenal jalan kebenaran dan dengan melangkahkan kaki mereka di atasnya langkah kaki mereka akan sampai pada kebahagiaan, dan mengenal jalan kebenaran dan melangkahkan kaki di atasnya mencakup seluruh aspek kehidupan pribadi dan sosial, ibadah dan politik.

Titik yang perlu diperhatikan berkaitan dengan permasalahan ini adalah kebanyakan dari penukilan hadis Tsaqalain selain juga dijelaskannya kepatuhan untuk berpegang teguh kepada Ahlulbait, juga dijelaskan tentang kepemimpinan Amirul Mukminin as. Dengan kata lain dalam peristiwa Ghadir Khum, Nabi yang mulia saw selain berbicara tentang Itrah dan Ahlulbaitnya, ia juga memesan kepada kaum muslimin untuk mengikuti mereka dan juga mengenalkan Amirul Mukminin as sebagai pemimpin umat Islam setelahnya. [38] Nabi saw dengan apa yang Beliau lakukan telah menunjukkan bahwa wilayah dan kepemimpinan Amirul Mukminin as adalah langkah awal untuk merealisasikan isi dan kandungan hadis Tsaqalain.

Titik lainnya dalam sebagian dari penukilan hadis Tsaqalain adalah bahwa telah dipakai sebuah ungkapan untuk Al-Qur'an dan Ahlulbait sebagai dua khalifah:

Nabi saw bersabda:

إنّی ترکت فیکم خلیفتین: کتاب اللّه وأهل بیتی
"Sesungguhnya aku telah meninggalkan dua khalifah: Kitabullah dan Ahlulbaitku", [39]

sesuai dengan hadis ini, Ahlulbait adalah para pengganti Nabi saw, dan pergantian mereka sifatnya adalah dari segala aspek kehidupan.

Di hadis lain, setelah dijelaskan bahwa Nabi saw telah memperkenalkan Al-Qur'an dan Itrah sebagai dua pusakanya yang sangat berharga untuk umat Islam hal ini juga dijelaskan bahwa "Bumi tidak akan pernah kosong dari Ahlulbait, karena jika demikian, bumi akan murka dengan penduduknya" kemudian Beliau bersabda: Ya Allah, Engkau tidak akan pernah sama sekali membiarkan bumi ini kosong dari hujjahMu, mereka dari sisi jumlah bilangan sedikit dan dari sisi martabat di sisiMu mereka memiliki kedudukan yang paling besar". [40] Dengan demikian, Ahlulbait adalah para hujjah Allah yang berada di atas muka bumi, dan imamah dan kepemimpinan adalah milik hujjah-hujjahNya.

Kesaksian lain yang menunjukkan bahwa hadis Tsaqalain adalah pembuktian akan kepemimpinan Ahlulbait as adalah bahwa Amirul Mukminin as pada hal-hal tertentu berhujjah dengan hadis tersebut yang salah satunya adalah pada hari pemilihan syura. [41]

Hal lainnya lagi adalah ketika ia berhujjah dengan Thalhah, Abdurrahman bin Auf dan Sa'ad bin Abi Waqqas, [42] dan juga ketika ia berhujjah pada zaman khalifah Utsman dan di Masjid Nabi, di hadapan sekelompok dari sahabat Nabi. [43]

Ahmad bin Hambal meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah bahwa Nabi saw ketika memandang kepada Ali, Hasan, Husain dan Fatimah, berkata:

انا حرب لمن حاربکم و سلم لمن سالمکم
"Aku berperang dengan orang yang memerangi kalian dan aku berdamai dengan orang yang berdamai dengan kalian." [44]

Dari riwayat ini juga dapat disimpulkan dan digunakan bahwa taat kepada orang-orang ini adalah sebuah kewajiban.

Catatan Kaki

  1. Al-Mufradāt fῑ gharῑb al-Qurān, hlm. 29
  2. lisān al-Arab, jld. 1, hlm, 186
  3. Al-Mufradāt , hlm. 30
  4. Manāqib Ibnu Syahr Āsyūb,jld. 1 hlm. 85; Al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 281
  5. Makārim al-Akhlāq, hlm. 459
  6. Al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 281
  7. Tafsir al-Thabari, jld. 22, hlm. 12
  8. Shahih Muslim, jld. 4, hlm. 1873, bab Fadhail Ali bin Abi Thalib, hadis 7
  9. Al-Shawāiq , hlm. 281
  10. Musykil al-Ātsār, jil. 1, hlm. 332-339; Al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 281
  11. Da'āim al-Islām, jld. 1, hlm. 62
  12. QS al-Maidah, 51
  13. QS Ibrahim, 36
  14. Nahj al-Balāghah, surat 9
  15. QS al-Ahzab, 33
  16. Tafsir Ibnu Katsir, jld. 5, hlm. 458
  17. Nafahāt al-Azhār fi Khulāshati Abaqāt al-Anwār, jld 1
  18. Q.S. Fusshilat, 42
  19. An-Nabrās, hlm. 532, Hāsyiah Bahrul Ulum
  20. Syarh al-Maqāsid, jld. 5, hlm, 301-303
  21. Nahj al-Haq wa Kasfu aL-Shidq, hlm. 179 dan 215, 216; Al-Lawāmi' al-Ilāhiyah, hlm. 515; Dalāil al-Shidq, jld. 2, hlm. 132-133
  22. Yanābiu al-Mawaddah, hlm. 287
  23. QS As-Syura 23
  24. Aslu as-Syiah wa Ushulihā, hlm, 162
  25. Al-Mirqāt, jld. 5, hlm. 600
  26. Al-Shawāiq al-Muhriqah, hlm. 189
  27. QS, Al-Waqiah, 77-79
  28. Al-Mizān Fi tafsir Al-Qurān, jld. 19, hlm. 137
  29. Ushul al-Kāfi, jld. 1, bāb ar-Rād ila kitāb wa as-Sunah, hadis 9
  30. Ushul al-Kāfi, jld. 1, bāb ar-Rasikhin fil ilm, hadis 1
  31. Q.S. an-Nisa, 59
  32. AsShawāiq al-Muhriqah, hlm. 191.
  33. AsShawāiq al-Muhriqah, hlm. 191.
  34. Q.S, as-Syura, 23
  35. AsShawāiq al-Muhriqah, hlm. 217
  36. At-Tafsir al-Kabir, jld. 27, hlm. 166.
  37. Q.S. Saba, 48
  38. Yanabiu Al-Mawaddah, hlm. 36-40
  39. Al-Musnad, jld. 5, hlm. 181; Majma' az-Zawāid, jld. 9, hlm. 163; Faidh al-Qadir, jld. 3, hlm. 14; Kanzul Ummāl, jld. 1, hlm. 166; Nafahat al-Azhār, jld. 2, hlm. 284-285
  40. Yanabiu Al-Mawaddah, hlm. 34
  41. Manaqib Ibnu Maghazili, hlm. 112
  42. Yanabiu Al-Mawaddah, hlm. 43
  43. Ibid, hlm. 137
  44. Ahmad bin Hambal, Fadhailu al-Shahabah, jld. 2, peneliti: Washiullah bin Muhammad Abbas, Mekah: Jamiah Ummul Qura, 1403 H/1987 M, hlm. 767

Daftar Pustaka

  • Syahidi, Sayid Ja'far, Tarjumah Nahj al-Balāghah, Tehran, Ilmi wa Farhanggi, 1377 S.
  • Subhi Shaleh, Nahj al-Balāghah, Beirut, 1387 S.
  • Kasyiful Ghita, Muhammad Husain, Aslu as-Syiah wa Usuliha, al-Matba'ah al-Arabiah, Kairo, 1377 S.
  • Al-Kulaini, Abu Ja'far Muhammad bin Yakub, Ushul al-Kāfi, al-Maktabah al-Islamiyah, Tehran, 1388 S.
  • Syartuni, Said al-Khuri, Aqrab al-Mawarid, Maktabah al-Mar'asyi, Qom, 1403 H.
  • Ibnu Katsir Dimasyqi, Ismail, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Andalus, Beirut, 1416 H.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir, Tafsir Thabari, Pencatatan dan Suspensi Muhammad Syakir, Daru Ihya at-Turāts al-Arabi, Beirut, 1421 H.
  • Abu Hanifah Magribi, Nukman bin Muhammad, Da'āimul Islam, Kairo, Dārul Ma'ārif, tanpa tahun.
  • Al-Mudzaffar, Muhammad Hasan, dalāil Al-Sidq, Maktabah an-Najjāh, Tehran, Tanpa Tahun.
  • Taftazani, Sa'aduddin, Masud bin Umar, Syarhu al-Maqāsid, Darul Ma'arif al-Utsmaniyah, Pakistan. Tanpa Tahun.
  • Hakim Haskani, Abdullah bin Abdullah, Syawāhid at-Tanzil, penelitiMuhammad Baqir Mahmudi, Muassasah al-A'lami, Beirut, 1421 H.
  • Neisyāburi, Muslim bin Hajjāj, Sahih al-Muslim, peneliti Muhammad Fuad Abdul Baqi, Dār Ihyā at-Turāts al-Islāmi, Beirut, Tanpa Tahun.
  • Haitsami Makki, Ibnu Hajar, Al-Shawā'iq al-Muhriqah, al-Maktabah al-'Asriyah, Beirut, 1425 H.
  • Manawi, Muhammad Abdur Rauf, Faidh al-Qadir Fi Syarhi al-Jami' as-Shagir, Dār al-Fikr, Beirut, 1416 H.
  • Ganji Syafi'i, Muhammad bin Yusuf, Kifayatu al-Thālib, Tehran, Dār ihyā Turāts Ahlul Bait As, Tanpa Tahun.
  • Muttaqi Hindi, Kanzul Ummāl, Muassasah ar-Risalah, Beirut, 1405 H.
  • Ibnu Mandzur, Muhammad bin Mukrim, Lisānu al-Arab, Dār Shādir, Beirut, 2000 M.
  • Fadhil Miqdad, Jamaluddin Miqdad bin Abdullah, Maktabah al-Mar'asyi, Qom, 1405 H.
  • Hakim Nisyāburi, Muhammad bin Abdillah, al-Mustadrak ala al-Shahihain, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, 1978 M.
  • Haitsami, Ali bin Abi Bakr, Majmau al-Zawāid, Beirut, Dār al-Kutub al-Arabi, Tanpa Tahun.
  • Ibnu Hambal, Ahmad bin Muhammad, al-Musnad, Darul Hadist, Kairo, 1416 H.
  • Feiwali, Ahmad bin Muhammad, al-Mishbāh al-Munir, Kairo, Tanpa Tahun.
  • Ibrahim Musthafa dan lain-lain, al-Mu'jam al-Wasit, al-Maktabah al-Islāmiyah, Istanbul, Tanpa Tahun.
  • Ibnu Faris, Abul Husain Ahmad, Mu'jam Maqāis al-Lughah, Dār al-Fikr, Beirut, 1418 H.
  • Raghib, Husain bin Muhammad, al-Mufradāt Fi Gharib Al-Qurān, al-Maktabah al-Murtadhawiyah, Tehran, Tanpa Tahun.
  • Thabarsi, Hasan bin Fadhl, Makārim al-Akhlāq, Muassasah al-'Alami, Beirut, 1392 H.
  • Fahruddin Razi, Muhammad bin Umar, Mafātih al-Ghaib Tafsir al-Kabir, Beirut, Dār Ihyā at-Turāts al-Arabi, Tanpa Tahun.
  • Ibnu Maghazili, Ali bin Muhammad, Manāqib, Dār al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Tanpa Tahun.
  • Allāmah Thabāthbāi, Muhammad Husain, Al-Mizān fi Tafsir Al-Qurān, Muassasah al-'Alami, Beirut, 1393 H.
  • Al-Hafidz Muhammad, Abdul Aziz, an-Nabrās, Maktabah Haqqaniyah.
  • Milani, Sayid Ali, Nafahāt al-Azhār Fi Khulāshati Abaqāti al-Anwār, pusat penjelasan, terjemah dan penerbitan Ārā, Qom, 1423 H.
  • Hilli, Abu Manshur Jamaluddin Hasan bin Yusuf, Nahj al-Haq wa Kasyfu al-Sidq, Dār al-Hijrah, Qom, 1414 H.
  • Qunduzi Hanafi, Syekh Sulaiman, Yanābiu al-Mawaddah, Muassasah al-'Alami, Beirut, 1418 H.

Lihat Juga