Tawalli

Prioritas: aa, Kualitas: b
tanpa referensi
Dari wikishia

Tawalli (bahasa Arab: التولی) adalah sebuah terminologi teolog dan antonimnya adalah Tabarri. Tawalli dalam terminologi Syiah berartikan kecintaan dan loyalitas kepada para imam dan para pemimpin agama serta tunduk dan menerima wilayah kepemimpinan mereka. Tawalli yang berbarengan dengan tabarri (konsep yang saling kontradiksi dan bertentangan – dalam riwayat-riwayat disifati seperti wajib taklifi, [1] bahkan merupakan kewajiban-kewajiban terpenting, [2] perealisasian iman dan rukun terpenting iman [3] [4] dan termasuk hal yang ditalkinkan atau yang diajarkan berulang-ulang kepada orang yang sedang sakaratul maut atau kepada mayit. [5] Dalam literatur Syiah, tawalli dan tabarri merupakan syarat utama diterimanya amal baik di keharibaan Allah swt dan tidak ada suatu amalpun yang diterima tanpanya; banyak sekali riwayat dalam teks-teks Islam yang dipaparkan dalam masalah ini. Dalam buku-buku ziarah, seperti ziarah Asyura dipaparkan sebuah manifesto kecintaan dengan para pecinta Allah dan memusuhi dengan musuh-musuh Allah swt.

Analisis Makna

Tawalli berwazankan Taraqqi, masdar dari bab Tafa'ul yang diambil dari kata "Waliya", dan berartikan penerimaan wilayah atau wewenang dan menjadikan seseorang sebagai wali bagi dirinya. "Waliya" dalam bahasa Arab berartikan teman, penolong dan pengawas. Dengan demikian, tawalli juga berartikan penerimaan kecintaan dan penerimaan pengawasan. Berdasarkan ajaran-ajaran Syiah, tawalli berartikan kecintaan, pembenaran dan mengikuti, penerimaan dan tunduk dengan kepemimpinan Allah swt, Rasululllah saw dan para imam as dan sejatinya adalah kecintaan di jalan Allah swt dan biasanya kata ini dipakai disamping istilah Tabarri, yang berartikan memusuhi atau berlepas diri dari para musuh-musuh Allah. Tawalli dan tabarri merupakan furu' atau cabang agama dan secara fikih adalah wajib.

Tawalli dalam Alquran dan Hadis

Dalam Alquran

Mencintai Rasulullah saw, Ahlulbait as dan kecintaan kaum mukminin dengan selainnya adalah sebuah konsep yang diafirmasi dalam Alquran Al-Karim, seperti ayat-ayat yang dapat diisyaratkan adalah sebagai berikut:

  • Diperkenalkannya kecintaan terhadap Ahlulbait as sebagai upah risalah Rasulullah saw

"قُل لَّا أَسْأَلُکمْ عَلَیهِ أَجْرًا إِلَّا الْمَوَدَّةَ فِی الْقُرْبَیٰ "

Katakanlah, "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kecintaan kepada keluargaku." (QS. Asy-Syura: 23)


  • Menerima kepemimpinan Allah, Rasulullah dan Ulil Amri

"إِنَّمَا وَلِیکمُ اللَّـهُ وَرَسُولُهُ وَالَّذِینَ آمَنُوا الَّذِینَ یقِیمُونَ الصَّلَاةَ وَیؤْتُونَ الزَّکاةَ وَهُمْ رَاکعُونَ"

“Sesungguhnya pemimpin kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan salat dan menunaikan zakat, seraya mereka ruku’.” (QS. Al-Maidah: 55)


  • Demikian juga dalam ayat-ayat Al-Quran lainnya melarang kecintaan para mukmin kepada non mukmin

"یا أَیهَا الَّذِینَ آمَنُوا لَا تَتَوَلَّوْا قَوْمًا غَضِبَ اللَّـهُ عَلَیهِمْ قَدْ یئِسُوا مِنَ الْآخِرَةِ کمَا یئِسَ الْکفَّارُ مِنْ أَصْحَابِ الْقُبُورِ"

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mewalikan kaum yang dimurkai Allah. Sesungguhnya mereka telah putus asa terhadap negeri akhirat sebagaimana orang-orang kafir yang telah berada dalam kubur berputus asa.” (QS. Al-Mumtahanah: 13)


  • Wilayah semata-mata milik Allah, Rasulullah dan para hamba khusus (Ahlulbait as)

"وَمِنَ النَّاسِ مَن یتَّخِذُ مِن دُونِ اللَّـه‌اندادًا یحِبُّونَهُمْ کحُبِّ اللَّـهِ وَالَّذِینَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِّلَّـهِ"

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)

"یا أَیهَا الَّذِینَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَکمْ وَإِخْوَانَکمْ أَوْلِیاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْکفْرَ عَلَی الْإِیمَانِ وَمَن یتَوَلَّهُم مِّنکمْ فَأُولَـٰئِک هُمُ الظَّالِمُونَ"

“Hai orang-orang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi wali(mu), jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka wali, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. At-Taubah: 23)

Dalam Hadis

Dalam banyak riwayat, mencintai Ahlulbait as, khususnya Amirul Mukmin Ali bin Abi Thalib as merupakan hal yang wajib. Sayid Hasyim Bahrani telah meriwayatkan 95 hadis dari jalur Ahlusunnah[6] dan 52 hadis dari jalur Syiah[7] dalam bab kecintaan dan kewilayahan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib as dan para imam-imam lainnya. [8] Menurut ungkapan Fadhl bin Ruzbahan Ahlusunnah juga menegaskan bahwa kewilayahan Rasulullah dan keluarganya dan berlepas diri dari para musuh-musuhnya wajib bagi setiap mukmin dan barang siapa yang tidak menganggap mereka sebagai wali dan pengatur perkaranya atau tidak berlepas diri dari para musuh-musuh mereka, maka dia bukanlah termasuk seorang mukmin. [9]

Imam Ridha as juga berkata: “Kesempurnaan agama adalah kewilayahan kepada kami dan berlepas diri dari para musuh kami.” [10] Banyak sekali dituturkan dalam hadis mengenai pelbagai dampak dan hasil-hasil untuk kecintaan dan tawalli kepada para imam, seperti kebahagiaan dan kebaikan dunia dan akhirat. [11] Demikian juga, dalam hadis telah dituturkan dampak duniawi dan ukhrawi kecintaan terhadap para imam, di antara dampak dan gejala-gejalanya di dunia adalah zuhud, semangat melakukan kebaikan, wara’ dalam agama, semangat beribadah, taubat sebelum meninggal, rajin beribadah malam, dermawan dan menjaga perintah dan larangan Ilahi[12] dan di akhirat kecintaan Ahlulbait as juga menyelamatkan dari api jahannam, memutihkan wajah, raportnya diberikan dengan tangan kanan dan masuk surga tanpa dihisab. [13]

Filosofis Tawalli

Manusia yang dalam kehidupannya memiliki maksud dan ideologi jelas serta memilih rute tertentu untuk dirinya, mau tidak mau memiliki arah dalam kehidupannya; yakni tidak bisa acuh tak acuh dan netral. Sudah pasti manusia semacam ini tidak akan bisa searah dan sehaluan dengan semua orang, baik yang pro maupun yang kontra. Dengan dalil inilah dalam Al-Quran Al-Karim dilarang kecintaan kepada selain mukmin dan mencintai mereka. Syahid Mutahhari dalam hal ini mengatakan:

"Seorang mukmin harus memiliki daya tarik dan daya tolak serta memiliki batasan, yang menspesifikasikan kedudukannya terhadap ahli iman dan ahli nifak, kufur dan syirik. Dia harus memiliki daya tarik terhadap kaum mukmin dan non mukmin yang tidak menentang kebenaran dan tidak tahu terhadap hal itu dan harus memiliki daya tolak terhadap selain mereka.
Filosofis tawalli dan tabarri adalah menspesifikasikan sikap dan arahnya terkait kaum mukmin dan non mukmin dan mengumumkan sikap dalam deretan ini. tawalli dan tabarri berartikan ketidak acuhan dihadapan kebenaran dan kebatilan dan tidak menyamakan dua hal ini untuk manusia yang beriman, yang bertujuan, hidup dan dinamis.
Seorang mukmin yang meyakini Tuhan dan komitmen dengan pokok-pokok Ilahi, tidak akan bisa tidak memiliki sikap dan arah dan tidak mengumumkan sikap dan kedudukan ideologinya kepada orang lain dan bersikap dan berperilaku secara sama dan serupa kepada semua orang.
Filosofis lain tawalli dan tabarri adalah meluruskan arah ideologi dan perangainya dengan kriteria dan tolok ukur kebenaran sepanjang masa dan menjaga dari ketergelinciran dari tebing kebenaran dan hakikat.
Seorang mukmin dan pencari Tuhan dengan tawalli dan tabarrinya senantiasa menjaga agar berada di tengah jalan kebenaran dan jalan lurus (Sirat al-Mustaqim) dan terjaga dari ketergelinciran dalam genangan lumpur dan penyelewengan. Tawalli dan tabarri pengingat kedudukan ideologi, keyakinan, dan tanggung jawab manusia mukmin dan tanda-tanda keteguhan iman dan kedalaman serta kokohnya.” [14]

Tawalli dan Tabarri Senantiasa Bersama

Dengan memperhatikan filosofis dan tujuan tawalli, maka konsep ini senantiasa selalu bersama dengan tabarri dan tanpanya tidak akan memiliki pengaruh yang semestinya. Dengan ibarat lain, pelepasan dalam setiap jalan dan metode berartikan penolakan terhadap putaran dan kelokan; dengan demikian tidak bisa berdamai secara keseluruhan dan memiliki kecintaan dengan kesemuanya. Makna ini dalam riwayat-riwayat juga diafirmasi, bahwa untuk keselamatan, tidak hanya sekedar menerima kewilayahan para Imam dan mencintai mereka, namun juga menjauhkan diri dari para musuh mereka adalah hal yang lazim.

Kedudukan Tawalli dalam Ideologi Syiah

Buku Risalah dar Tawalli dan Tabarri

Tawalli merupakan salah satu hasil dan cabang mahabbah dan kecintaan kepada Ahlulbait as dan ini merupakan konsep utama dan fundamental dalam literatur Syiah. Tawalli dalam fikih Syiah, teolog, dan akhlak juga dikaji. Dalam literatur Syiah, Tawalli dan Tabarri merupakan sarat utama diterimanya amal-amal shaleh dan tidak ada suatu amal apalun yang diterima tanpa keduanya ini, laksana orang yang tidak melakukan kebaikan sama sekali. Banyak sekali dipaparkan riwayat-riwayat dalam teks-teks Islam dalam masalah ini. Dalam fikih Syiah, tawalli bersama tabarri dianggap sebagai furu' agama dan merupakan kewajiban-kewajiban fikih. [15] Dan juga ditalkinkan kepada mayit di saat meninggal, [16] yang mana menunjukkan akan pentingnya konsep agama ini.

Masalah tawalli dan tabarri serta tata caranya juga dikaji dalam ilmu akhlak. Khaja Nasiruddin Thusi dalam Akhlak Muhtasyami mengkhususkan bab kecintaan dan kebencian, tawalli dan tabarri dan di situ dituturkan ayat-ayat dan hadis serta ucapan-ucapan para filosof. Disamping itu, tulisan singkat dan independen dengan nama Risālah dar Tawalli wa Tabarri, yang dinisbatkan kepadanya (yang dicetak bersama dengan Akhlak Muhtasyami) di situ diulas dengan pandangan filosofis dan kesimpulannya, peraihan iman terkait dengan tawalli dan tabarri.

Khwaja Nasiruddin dalam buku tawalli wa tabarri ini menganalisis demikian bahwa, ketika nafs hewan (bestial soul) berada di bawah kendali nafs natiq ((rational soul), dua potensi syahwat dan marah akan semakin lebih lembut, yang kemudian akan berubah menjadi antusiasme dan penolakan dan dikarenakan nafs natiq adalah pengikut akal, maka antusiasme dan penolakan juga semakin lebih lembut, yang akan berubah menjadi keingingan dan ketidaksukaan dan akhirnya ketika akal pasrah kepada perintah pemimpin hakikat, maka keinginan dan ketidaksukaan akan berubah menjadi tawalli dan tabarri. [17]

Dia menganggap kesempurnaan tawalli dan tabarri dalam perealisasian empat unsurnya, yakni makrifat, mahabbah, hijrah dan jihad. [18] Namun dia meyakini bahwa kesempurnaan penganut agama memiliki tingkatan yang lebih tinggi, yaitu tingkatan ridha dan pasrah diri (ketundukan) dan hal itu terwujud ketika tawalli dan tabarri bergabung menjadi satu, yakni tabarri terlebur dalam tawalli. [19] Dan akhirnya, menurut pandangan Khwaja Nasiruddin Thusi, iman akan terwujud ketika kumpulan tawalli dan tabarri, ridha dan pasrah diri terkumpul dan terealisasikan dalam satu wadah pada diri seseorang dan jika demikian, maka nama seorang mukmin dapat disematkan dalam diri orang tersebut. [20]

Manifestasi Tawalli

Mencintai para pecinta Allah memiliki pelbagai tingkatan dan sudah jelas bahwa kecintaan sempurna nan lengkap disertai dengan ketaatan dan mengikuti.

Syaikh Yusuf Bahrani dalam bab tawalli mengatakan bahwa banyaknya penegasan hadis-hadis Syiah akan masalah ini, maka dapat diambil kesimpulan bahwa kecintaan kepada Ahlulbait as berartikan penerimaan keimamahan mereka dan memposisikan mereka dalam kedudukan yang terkait dengan mereka. Dengan demikian, pemrioritasan selain mereka atas mereka dalam ranah ini, sejatinya adalah dikategorikan telah keluar dari lingkup kecintaan. [21]

Pada dasarnya, kelaziman kecintaan secara menyeluruh nan benar kepada seseorang adalah sependirian dengannya, mempercayai dan mengikutinya. [22] Dengan demikian, kecintaan yang mengakibatkan tawalli, yakni menerima kewilayahan para Imam, ketundukan dan kepatauhan kepada mereka, dan tidak adanya tabarri baik secara teoritis dan praktis dari para penentang mereka sama sekali tidak dikategorikan sebagai kecintaan, sebagaimana sesuai dengan hadis, kesempurnaan wilayah dan kecintaan murni terhadap keluarga Muhammad as tidak dapat diraih kecuali hanya dengan tabarri terhadap para musuh – jauh maupun dekat – mereka. [23]

Dengan demikian, kecintaan dan kebencian, wilayah dan bara'ah yang diafirmasikan berkali-kali dalam riwayat, harus diartikan sebagai tawalli dan penerimaan wilayah, kepemimpinan para Imam dan marja’ mereka dalam semua perkara dan urusan.

Berdasarkan ini, akreditasi keimamahan para Imam duabelas as – dimana kelazimannya adalah meyakini akan kemaksuman dan nash kedudukan mereka dari Allah dan Rasulullah saw dan kealiman mereka terhadap kemaslahatan urusan dunia dan akhirat dan hasilnya adalah kewajiban mentaati perintah dan larangan-larangan mereka – termasuk pokok-pokok perealisasi iman, dan bahkan dikategorikan sebagai urgensitas mazhab Imamiah. [24]

Dengan demikian, wilayah dan pastinya penerimaannya dikategorikan sebagai rukun-rukun Islam, disamping salat, zakat, haji dan puasa, dan bahkan merupakan rukun terpenting dari kesemuanya. [25] Dan demikian juga, tawalli disamping tabarri merupakan hal yang diafirmasi, yang diungkapkan dan ditegaskan dari para Imam sebagai penguat dalam semua rumus untuk mengungkapkan agama dan iman yang benar. [26]

Ringkasnya, konsep tawalli memiliki tingkatan dan manifestasi, di antaranya adalah:

  1. Menerima wilayah Allah, Rasulullah saw dan para Imam Ahlulbait as
  2. Mencintai Allah, semua nabi, para Imam, Sayyidah Fatimah Zahra as
  3. Mencintai orang-orang mukmin dan para pecinta Allah

Dituturkan dalam riwayat dari Imam Baqir as berkata: “Jika hendak mengetahui apakah engkau termasuk orang yang baik ataukah tidak, maka tengoklah ke dalam hatimu, jika engkau mencintai orang yang ahli taat kepada Allah dan memusuhi ahli maksiat-Nya, maka ketahuilah engkau termasuk manusia yang baik dan Allah mencintaimu dan jika engkau memusuhi orang yang ahli taat kepada-Nya dan mencintai hamba maksiat-Nya, maka engkau tidak memiliki apa-apa dan Allah memusuhimu dan manusia senantiasa bersama orang yang dicintainya.” [27]

Tawalli dan Tabarri dalam Ziarah Asyura

Ziarah Asyura bisa dianggap sebagai contoh riil yang menjelaskan tentang tawalli dan tabarri dalam ideologi Syiah. Dalam ziarah ini dituturkan akan frase penerimaan wilayah dan kecintaan dengan Ahlulbait as dan juga frase penolakan kecintaan dan mahabbah terhadap para musuh mereka. Sebagian frase terkait tawalli dalam ziarah Asyura adalah sebagai berikut:

"یا اَباعَبْدِاللهِ اِنّی سِلْمٌ لِمَنْ سالَمَکمْ وَحَرْبٌ لِمَنْ حارَبَکمْ اِلی یوْمِ الْقِیامَة"

Wahai Abu Abdillah! Sesungguhnya aku berdamai dengan orang berdamai dengan kalian dan berperang dengan orang yang memerangi kalian, sampai hari kiamat.

"یا اَبا عَبْدِاللهِ اِنّی اَتَقَرَّبُ اِلی اللهِ وَ اِلیٰ رَسُولِهِ، وَاِلیٰ امیرِالْمُؤْمِنینَ وَ اِلیٰ فاطِمَةَ، وَاِلَی الْحَسَنِ وَ اِلَیک بِمُوالاتِک، وَبِالْبَرائَةِ مِمَّنْ قاتَلَک وَ نَصَبَ لَک الْحَرْبَ"

Wahai Abu Abdillah! Sesungguhnya aku mendekatkan diri kepada Allah, kepada Rasul-Nya, kepada Amirul Mukminin, kepada Fatimah, kepada Al-Hasan dan kepada engkau, dengan kecintaan kepadamu, dan berlepas diri dari orang-orang yang memusuhimu dan melakukan perang terhadapmu.

Link terkait

  • Tawalli dan tabarri dalam referensi agama
  • Tawalli dan tabarri dalam Islam
  • Tawalli

Catatan Kaki

  1. Nuri, Wasāil al-Syiah, jild. 16, hlm. 176.
  2. Paling utamanya amal adalah kecintaan karena Allah dan kebencian karena-Nya. Misykāt al-Anwār fi Ghurar al-Akhbār, hlm 125.
  3. Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya paling kokohnya tali imam adalah kecintaan karena Allah dan kebencian karena-Nya, bertawalli kepada wali Allah dan memusuhi musuh-Nya." Mahāsin Barqi, jild. 1, hlm. 165.
  4. Al-Hadāiq' al-Nādhirah, jild. 18, hlm. 423.
  5. kasyif al-Ghitha, Kasyf al-Ghithā', jild. 2, hlm. 251.
  6. Bahrani, Ghāyat al-Marām, jild. 6, hlm. 46-71.
  7. Ibid., hlm. 72-91.
  8. Kumail bin Ziyad berkata, Aku bertanya kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib tentang kaidah-kaidah Islam? Dia menjawab: “Kaidah-kaidah Islam ada tujuh: Pertama, akal di mana ia sebagai pondasi kesabaran. Kedua, menjaga harga diri dan kejujuran. Ketiga, membaca Al-Quran pada tempatnya. Keempat, cinta karena Allah dan benci karena Allah. Kelima, menjaga hak-hak keluarga Muhammad saw. dan mengenal wilayah (kepemimpinan mereka). Keenam, menjaga hak-hak saudara-saudara dan melindungi mereka. Ketujuh, bersikap baik kepada orang lain." (Tuhaf al-Uqul, hlm. 196).
  9. Fadhlullah bin Ruzbahan, Wasilah al-Khadim ila al-Makhdum, hlm. 300.
  10. Majlisi, Bihār al-Anwār, jidl. 27, hlm. 58.
  11. Ibid, hlm. 74, 75, 78.
  12. Ibid., hlm. 78.
  13. Rujuk, Majlisi, jild. 27, hlm 78-79, dan juga jild. 26, hlm. 158.
  14. Muthahhari, Jādzebeh wa Dāfe'eh Ali as, hlm. 145.
  15. Wasāil al-Syiah, jld. 16, hlm. 176.
  16. Kasyif al-Ghitha', Kasyfu al-Ghithā', jild. 2, hlm. 251.
  17. Khwaja Nasir, Akhlāk Muhtasyami, hlm. 566.
  18. Ibid, hlm. 565.
  19. Ibid., hlm. 566.
  20. Ibid, hlm. 567.
  21. Al-Syahab al-Tsaqib fi Bayan Ma'na al-Nashib, hlm. 144.
  22. Bahbahani, Mishbāh al-Hidāyah fi Itsbāt al-Wilāyah, hlm. 298-299.
  23. Majlisi, Bihār al-Anwār, jild. 27, hlm. 58-59.
  24. Syahid al-Tsani, hlm. 404-405.
  25. Barqi, Kitāb al-Mahāsin, jild. 1, hlm. 286.
  26. Semisalnya lihat, Majlisi, Bihār al-Anwār, jild. 66, hlm. 2, 4-5, 14.
  27. Kulaini, Al-Kāfi, jild. 2, hlm. 127.

Daftar Pustaka

  • Ahmad bin Baihaqi, Tāj al-Mashādir, cet. Hadi Alim Zadeh, Tehran, 1366-1375 S.
  • Ahmad bin Husein Baihaqi, Sya'bu al-Imān, cet. Muhammad Said Basyuni Zaghlul, Bairut, 1421/2000.
  • Ahmad bin Muhammad Barqi, Kitab al-Mahāsin, cet. Jalaluddin Muhdits Armawi, Qom, 1331 S.
  • Ali Bahbahani, Mishbāh al-Hidāyah fi Itsbāt al-Wilāyah, Ahwaz, 1418.
  • Al-Quran Al-Karim.
  • Fadhlullah bin Ruzbahan, Wasilah al-Khadim ila al-Makhdum, dar Syarh Shalawāt Chardah Ma'sum as, cet. Rasul Ja'farian, Qom, 1375 S.
  • Hasyim bin Sulaiman Bahrani, Ghāyat al-Marām wa Hujjat al-Khishām fi Ta'yin al-Imam min Thariq al-Khāsh wa al-'Ām, cet. Ali Asyur, Beirut, 1422/2001.
  • Husein bin Ahmad Zuzani, Kitab al-Mashādir, cet. Taqi Binesh, Tehran, 1374 S.
  • Husein bin Muhammad Raghib Ishfahani, Al-Mufradāt fi Gharib al-Qurān, cet. Muhammad Sayid Kilani, Tehran, 1332 S.
  • Ibn Mandzur.
  • Kulaini, Al-Kāfi.
  • Majlisi, Bihār al-Anwār.
  • Muhammad bin Husein Thusi, Talkhish al-Syāfi, cet. Husein Bahrul Ulum, Qom, 1394/1974.
  • Muhammad bin Nasiruddin Thusi, Akhlak Muhtasyami, dengan tiga risalah yang dinisbatkan kepadanya, cet. Muhammad Taqi Danes Pazuh, Tehran, 1361 S.
  • Muhammad Fuad Abdul Baqi, Al-Mu'jam al-Mufahras li Alfādz al-Qurān al-karim, Qom, 1380 S.
  • Yusuf bin Ahmad Bahrani, Al-Syaāab al-Tsāqib fi Bayāni Makna al-Nāshib, cet. Mahdi Rajai, Qom, 1377 S.
  • Zainuddin bin Ali Syahid Tsani, Al-Mushannifāt al-Arba'ah, Risalah 4, Hakikat al-Iman, Qom, 1380 S.