Konsep:Kaidah Firasy
Kaidah Firasy (bahasa Arab: قاعدة الفراش) adalah sebuah kaidah fikih yang diambil dari hadis Nabi saw «ٱلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ ٱلْحَجَرُ» (Anak itu milik pemilik ranjang [suami] dan bagi pezina adalah batu [kerugian]), yang digunakan dalam bab nasab. Kaidah ini menyatakan bahwa jika terdapat keraguan mengenai nasab seorang anak, seperti adanya kemungkinan Zina atau tersisanya sperma dari suami sebelumnya, maka anak tersebut dinasabkan kepada suami yang sah. Para fukaha menganggap landasan (madrak) Kaidah Firasy didasarkan pada riwayat yang muktabar, sirah amaliyah kaum muslimin, dan ijmak para fukaha.
Kaidah Firasy dalam fikih Islam dikemukakan dengan tiga syarat utama untuk menghubungkan anak kepada suami: batas minimal dan maksimal masa kehamilan serta adanya hubungan suami istri. Para fukaha biasanya menetapkan batas minimal masa kehamilan selama enam bulan kamariah, dan kelahiran anak sebelum masa ini tidak dinasabkan kepada pemilik firasy (suami); meskipun terdapat perbedaan pendapat mengenai kebolehan atau kewajiban menafikan nasab di antara mereka. Mengenai batas maksimal masa kehamilan juga tidak ada kesepakatan di antara para fukaha; pendapat yang masyhur menerima masa sembilan bulan, namun sebagian menganggap sah hingga sepuluh bulan atau bahkan satu tahun. Pasal 1158 Undang-Undang Hukum Perdata Iran juga mengonfirmasi pandangan terakhir ini. Mengenai syarat adanya hubungan suami istri, para fukaha meyakini bahwa harus ada kemungkinan terjadinya hubungan intim (wathi) antara suami istri; sebagian juga mensyaratkan terjadinya penetrasi (dukhul) yang nyata.
Dalam fikih Syiah, jika syarat-syarat Kaidah Firasy tidak terpenuhi, anak tidak dinasabkan kepada suami sah ibu dan tidak diperlukan Li'an. Sebagian peneliti juga berpendapat bahwa dengan tercapainya pengetahuan yang pasti (ilm qath'i) mengenai nasab, Kaidah Firasy dan Li'an tidak lagi berlaku.
Para fukaha menegaskan bahwa bukti-bukti medis seperti tes genetik (DNA) pada dasarnya tidak memiliki hujjah syar'i (validitas hukum) dalam fikih Islam; namun jika bukti-bukti tersebut menghasilkan keyakinan (yakin), maka dapat menjadi dasar tindakan seseorang atau putusan hakim. Dalam pertentangan antara bukti-bukti ini dan Kaidah Firasy, para fukaha mendahulukan Kaidah Firasy dan lebih mengutamakan penjagaan kemaslahatan dan kehormatan keluarga daripada pembuktian ilmiah nasab.
Konseptualisasi dan Peran Kaidah Firasy dalam Menghilangkan Keraguan Nasab
Kaidah Firasy termasuk kaidah fikih yang berkaitan dengan bab nasab dan penisbatan anak.[1] Berdasarkan kaidah ini, kapan pun terjalin hubungan pernikahan yang sah antara laki-laki dan perempuan dan dari ikatan ini lahir seorang anak, jika muncul keraguan mengenai nasab anak tersebut kepada ayahnya[2] karena alasan-alasan seperti kemungkinan zina atau tersisanya sperma suami sebelumnya di rahim, maka Kaidah Firasy digunakan untuk menghilangkan keraguan ini[3] dan syariat menghubungkan anak tersebut kepada suami perempuan itu (shahib al-firasy).[4] Kaidah ini diambil dari hadis Nabi saw: «ٱلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ ٱلْحَجَرُ»,[5] yang bermakna bahwa anak itu milik suami (pemilik ranjang) dan pezina tidak memiliki hak atas nasab tersebut.[6] Hadis ini terdapat dalam sumber hadis Syiah[7] dan Ahlusunah[8] serta disepakati oleh seluruh fukaha muslim[9] dan dikatakan bahwa tidak ada perselisihan di antara sekte-sekte Islam mengenai kebenaran sanadnya.[10][11]
Para fukaha menegaskan bahwa jika telah diperoleh keyakinan (yakin) mengenai nasab, maka kaidah fikih ini tidak lagi dapat dijadikan pegangan.[12] Menurut Sayid Abul Qasim al-Khu'i (wafat: 1371 HS), kaidah ini tidak bermaksud menjelaskan hukum nasab yang nyata dan hakiki, melainkan hanya menjelaskan hukum lahiriah (zhahir) dalam kasus-kasus keraguan.[13] Menurut pasal 1158 dan 1159 Undang-Undang Hukum Perdata Iran, anak yang lahir pada masa pernikahan atau hingga sepuluh bulan setelah perpisahan, jika ibunya belum menikah lagi, dianggap sebagai anak suami.[14]
Konsep Hadis Firasy
Muhammad Muhsin Faidh Kasyani, Muhaddits dan fakih Syiah abad ke-11 Hijriah, dalam syarah hadis "Al-Walad Li-l-Firasy" menulis: Yang dimaksud dengan "Shahib al-Firasy" adalah suami perempuan atau pemilik budak wanita, dan kata "Firasy" (ranjang) merupakan kiasan (kinayah) bagi istri karena hubungan seksual. Kalimat "Wa li-l-'ahir al-hajar" juga bermakna ketidakberuntungan pezina dari anak tersebut;[15] juga dikatakan bahwa kalimat ini bermakna keputusasaan dan ketiadaan bagian[16] dan klaim semacam itu tertolak.[17] Sebagian, seperti Syarif Murtadha, fakih Imami, mengartikan "batu" dalam makna hakiki dan merujuk pada hukum rajam,[18] namun kebanyakan ahli bahasa[19] dan muhaddits[20] tidak menerima tafsir ini.
Menurut Sayid Hasan Musavi Bojnourdi, fakih abad ke-14 Hijriah, hadis Firasy tidak terbatas pada pezina muhshan, melainkan mencakup setiap orang yang tidak memiliki firasy (ikatan pernikahan sah) yang mengklaim sebagai ayah dari anak tersebut.[21] Dikatakan pula bahwa hadis ini menjelaskan sebuah hukum syar'i,[22] bukan laporan tentang realitas, karena Nabi saw berada dalam posisi menetapkan hukum (tasyri') undang-undang nasab.[23]
Landasan (Madrak) Kaidah Firasy
Para fukaha, untuk validitas dan penyandaran pada Kaidah Firasy, selain merujuk pada riwayat masyhur — yang sebagian meyakini tidak mustahil telah mencapai derajat Tawatur[24] — juga merujuk pada dalil-dalil berikut:
- **Bina' Mutasyarri'ah:** Menurut para fukaha, perilaku dan sirah kaum mukmin yang taat beragama adalah demikian bahwa setiap kali muncul keraguan dalam penisbatan anak kepada suami sah seorang wanita, mereka tidak mempedulikan keraguan ini dan mengonfirmasi penisbatan kepada suami yang sah.[25]
- **Ijmak:** Dikatakan bahwa terdapat kesepakatan di antara para fukaha mengenai kandungan Kaidah Firasy,[26] namun penyandaran pada ijmak dikritik dan disebut sebagai Ijmak Madraki, karena dengan adanya hadis muktabar «ٱلْوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَ لِلْعَاهِرِ ٱلْحَجَرُ», ijmak tidak dianggap sebagai dalil independen.[27]
Syarat-syarat Terwujudnya Kaidah Firasy
Dalam berbagai kitab fikih, untuk terwujudnya Kaidah Firasy dan penisbatan anak kepada suami, tiga syarat dianggap perlu[28] dan dikatakan bahwa ketiga syarat ini bersifat ijmak:[29]
Batas Minimal Masa Kehamilan
Salah satu syarat pelaksanaan Kaidah Firasy adalah berlalunya setidaknya enam bulan kamariah dari waktu hubungan intim.[30] Jika seorang wanita menikah dengan pria lain setelah perceraian dan melahirkan anak setelah enam bulan dari pernikahan kedua, maka anak tersebut milik suami kedua.[31] Namun jika lahir sebelum enam bulan, mantan suami dianggap sebagai ayah anak tersebut.[32] Berdasarkan hal ini, sebagian fukaha mewajibkan penafian nasab dalam asumsi ini[33] dan meyakini bahwa tidak menafikannya pada hakikatnya adalah pengakuan terhadap nasab yang merupakan perbuatan Haram.[34] Sebagian lain tidak menganggap penafian nasab sebagai kewajiban, melainkan menganggapnya sebagai hal yang boleh (jaiz) dan memberikan pilihan kepada suami untuk mengakui nasab atau menafikannya.[35] Tentu saja, pendapat tentang takhyir (pilihan) dan kebolehan ini jarang terjadi (nadir).[36] Meskipun demikian, jika anak lahir sebelum masa ini dalam keadaan mati atau cacat dan para ahli menganggap kelahiran seperti itu mungkin terjadi, maka penggabungannya kepada pemilik firasy dimungkinkan; yang berpengaruh dalam hukum-hukum finansial seperti biaya pengurusan jenazah atau Diyat.[37]
Batas Maksimal Masa Kehamilan
Para fukaha sepakat[38] bahwa untuk terwujudnya Kaidah Firasy, kelahiran anak harus kurang dari masa maksimal kehamilan setelah hubungan suami istri, dan jika lahir setelah masa ini, anak tidak dinasabkan kepada pemilik firasy.[39] Namun, terdapat perbedaan pendapat mengenai batas maksimal masa kehamilan: sebagian besar riwayat menyebutkan masa ini 9 bulan[40] dan banyak fukaha menganggap ini sebagai pendapat masyhur;[41] sebagian fukaha mengajukan masa 10 bulan,[42] namun pendapat ini dikritik karena kurangnya dalil yang pasti;[43] kelompok lain[44] dengan bersandar pada beberapa riwayat, menganggap masa maksimal kehamilan adalah satu tahun[45] dan sebagian fukaha juga menganggap pandangan ini dapat diterima.[46] Undang-Undang Hukum Perdata Iran (pasal 1158) juga menerima pandangan satu tahun ini.[47]
Hubungan Suami Istri
Menurut para fukaha, untuk menasabkan anak kepada suami berdasarkan hubungan pernikahan, dua syarat harus terpenuhi: kemungkinan logis (termasuk suami tidak mandul)[48] dan kemungkinan syar'i penisbatan.[49] Mengenai apakah akad nikah saja sudah cukup untuk mewujudkan Kaidah Firasy atau memerlukan hubungan seksual yang nyata, terdapat perbedaan pendapat. Kebanyakan fukaha mensyaratkan hubungan seksual dan tidak menganggap akad saja cukup.[50] Ibnu Hamzah berpendapat bahwa firasy juga terwujud dengan Wathi Syubhat.[51] Menurut fukaha, meskipun wanita dalam nikah mut'ah (sementara) dalam arti yang ketat dan terminologis tidak dianggap sebagai "firasy", namun ia dihukumi sebagai firasy dan hukum-hukum fikih firasy juga berlaku baginya.[52]
Hubungan antara Amarah Firasy dan Li'an dalam Pembuktian atau Penafian Nasab
Para fukaha menegaskan bahwa jika syarat-syarat pelaksanaan Kaidah Firasy tidak ada, anak tersebut tertolak dari suami sah ibu tanpa perlu Li'an.[53] Namun jika anak lahir pada masa pernikahan dan dengan terpenuhinya syarat-syarat penisbatan, penafian anak tersebut dari suami sah hanya mungkin dilakukan dengan Li'an[54] dan kemiripan fisik anak dengan pezina tidak berpengaruh pada hukum ini.[55] Muhaqqiq Hilli, fukaha Syiah abad ke-7, dalam kitab Syarai' al-Islam menegaskan bahwa "anak tidak tertolak dari ayahnya kecuali dengan Li'an",[56] dan A'raji, salah satu fukaha dan ulama abad ke-8, juga dalam kitab Kanz al-Fawaid, dengan menjelaskan ucapan Allamah Hilli dalam Qawa'id al-Ahkam,[57] mengingatkan kaidah yang sama.[58]
Bukti Medis dan Perannya dalam Pembuktian dan Penafian Nasab dari Sudut Pandang Fikih
Para fukaha mengenai validitas syar'i bukti-bukti medis untuk pembuktian keturunan Para peneliti ilmiah meyakini bahwa metode seperti tes darah, HLA, dan terutama DNA dapat memeriksa hubungan genetik antara ayah dan anak dengan akurasi tinggi. (Khawari, Tawarots-e Omumi Asas va Chegunegi-ye Tawarots, 1363 HS, jld. 1, hlm. 199 dan 1350). Dalam tes darah, ketidakcocokan golongan darah anak dengan golongan darah pria, menurut hukum pewarisan sifat, secara pasti menolak penisbatan ayah. (Khawari, Tawarots-e Omumi Asas va Chegunegi-ye Tawarots, 1363 HS, jld. 1, hlm. 199 dan 1350). Di antara metode-metode ini, tes DNA dikenal paling akurat, karena jika pola genetik anak tidak sesuai dengan individu yang dimaksud, nasab dianggap tertolak. Selain itu, pemeriksaan HLA dan polimorfisme protein dan enzim juga berperan dalam mengonfirmasi atau menolak hubungan genetik. (Asyrafian Bonab, Zharuriyat-e Pezeshki-ye Qanuni, 1380 HS, hlm. 51). memiliki dua pandangan berbeda: Pandangan pertama meyakini bahwa jika tes tersebut menghasilkan keyakinan pribadi, individu atau hakim dapat bertindak berdasarkan pengetahuannya, meskipun tes itu sendiri tidak dianggap sebagai dalil syar'i yang independen.[59] Sebagai contoh, Luthfullah Shafi Gulpaigani (wafat: 1400 HS) menegaskan bahwa "nasab tidak terbukti secara syar'i berdasarkan tes-tes tersebut, tetapi jika seseorang secara pribadi memperoleh pengetahuan (ilm) tentang nasab, ia sendiri wajib mengatur dampak-dampaknya".[60] Sebaliknya, pandangan kedua karena kemungkinan kesalahan dalam hasil ilmiah, menganggap tes-tes ini tidak memiliki hujjah syar'i dan hanya menganggap pengetahuan hakim valid jika diperoleh melalui indra atau prinsip-prinsip yang dekat dengan indra.[61] Berdasarkan hal ini, Pusat Penelitian Fikih Kehakiman juga dengan merujuk pada fatwa-fatwa dari para marja taklid melaporkan bahwa sebagian besar Marja Taklid tidak menganggap tes ilmiah yang akurat sebagai bukti valid pembuktian nasab, kecuali jika menghasilkan pengetahuan (ilm).[62]
Pertentangan Bukti Medis dengan Kaidah Firasy
Berdasarkan penelitian para peneliti fikih, bukti-bukti seperti fisiognomi (qiyafah) atau tes genetik, meskipun mungkin menimbulkan dugaan (zhann) terhadap penisbatan atau ketidaknisbatan anak kepada ayah, tidak memiliki validitas syar'i di hadapan Kaidah Firasy.[63] Kaidah Firasy ditetapkan dengan tujuan menjaga kesucian, kehormatan, dan keutuhan keluarga, dan penerimaan metode ilmiah baru dapat melemahkan kemaslahatan sosial dan moral ini.[64]
Dalam asumsi pertentangan Kaidah Firasy dengan hasil tes genetik, terdapat perbedaan pendapat di antara para fukaha: Fukaha seperti Luthfullah Shafi Gulpaigani dan Nashir Makarim Syirazi (lahir: 1305 HS), meyakini bahwa tes genetik bukan alasan untuk mengesampingkan kaidah syar'i. Sebaliknya, fukaha seperti Jawad Tabrizi (wafat: 1385 HS) meyakini jika melalui tes-tes ini diperoleh pengetahuan yang meyakinkan (ilm yaqini) bagi mujtahid, maka boleh mengamalkannya.[65]
Kasus-kasus Penggunaan Kaidah Firasy oleh Fukaha
Beberapa hukum yang dinyatakan oleh para fukaha berdasarkan hadis Kaidah Firasy dapat disebutkan dalam kasus-kasus berikut:
- Berdasarkan hadis Kaidah Firasy, para fukaha meyakini bahwa anak hasil zina tidak mewarisi dari orang tua pezina, karena mereka bukan ayah dan ibu syar'inya.[66]
- Jika terjadi perselisihan mengenai nasab seorang anak antara dua orang dan penuntut mengklaim wathi syubhat sedangkan suami wanita tersebut mengingkarinya, maka ucapan suami didahulukan; sebagaimana jika tidak ada perselisihan pun, anak menjadi milik pemilik firasy dan pengingkaran nasab olehnya tidak diterima.[67]
- Menurut para fukaha, anak hasil pernikahan sementara (mut'ah) menjadi milik pemilik firasy, bahkan jika saat berhubungan pria tersebut melakukan 'azl (mengeluarkan sperma di luar rahim).[68]
- Menurut keyakinan para fukaha, jika seorang pria berzina dengan istri orang lain, anak tersebut milik suami dan pezina tidak memiliki hak atas anak itu. Juga suami tidak berhak menafikan anak dari dirinya karena dugaan zina, sebab berdasarkan Kaidah Firasy, anak secara syar'i dihubungkan kepada suami, bahkan jika secara fisik dan kemiripan anak lebih mirip dengan pezina. Dan jika suami ingin menafikan anak dari dirinya, hanya mungkin melalui Li'an dengan ibu, dan jika tidak melakukan Li'an, ia akan dihukum karena tuduhan palsu (qadzaf).[69]
- Para peneliti fikih dalam mengkaji masalah inseminasi buatan dengan sperma dan sel telur orang asing, dengan merujuk pada Kaidah Firasy meyakini bahwa jika janin ini ditanam di rahim seorang wanita, wanita tersebut secara syar'i dianggap sebagai ibu anak; karena berdasarkan ayat Al-Qur'an, kriteria ibu adalah melahirkan anak. Namun, anak tidak dihubungkan kepada suami wanita tersebut, karena Kaidah Firasy tidak berlaku di sini dan kita yakin bahwa sperma bukan darinya. Sebaliknya, pendonor sperma tidak dianggap sebagai pezina, namun nasab anak kembali kepadanya.[70]
Catatan Kaki
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 23-25; Musthafavi, Miah Qa'idah Fiqhiyyah, 1421 HQ, hlm. 184.
- ↑ Khu'i, Ahkam al-Radha', 1417 HQ, hlm. 78.
- ↑ Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1413 HQ, cet. 8, hlm. 381; Isfahani, Wasilah al-Najah, 1424 HQ, hlm. 757.
- ↑ Isfahani, Wasilah al-Najah, 1424 HQ, hlm. 757.
- ↑ Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, 1416 HQ, jld. 21, hlm. 173.
- ↑ Irawani, Durus Tamhidiyyah fi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1432 HQ, jld. 2, hlm. 185.
- ↑ Kulaini, Al-Kafi, 1407 HQ, jld. 7, hlm. 163, hadis 8; Syaikh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, 1413 HQ, jld. 4, hlm. 380, hadis 11; Syaikh Thusi, Al-Istibshar, 1390 HS, jld. 4, hlm. 183, hadis 61; Syaikh Thusi, Tahdzib al-Ahkam, 1407 HQ, jld. 9, hlm. 344, hadis 91.
- ↑ Bukhari, Shahih al-Bukhari, 1410 HQ, jld. 2, hlm. 199, hadis 1345; Qusyairi Naisyaburi, Shahih Muslim, 1398 HQ, jld. 1, hlm. 471, hadis 142; Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah, jld. 1, hlm. 150, hadis 150; Nasa'i, Sunan al-Nasa'i, 1420 HQ, jld. 2, hlm. 110, hadis 1911; Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Dar al-Ma'rifah, jld. 7, hlm. 402 dan 412, hadis 101 dan 910.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 HQ, jld. 31, hlm. 232; Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 23-25; Musthafavi, Miah Qa'idah Fiqhiyyah, 1421 HQ, hlm. 184.
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 23.
- ↑ Musthafavi, Miah Qa'idah Fiqhiyyah, 1421 HQ, hlm. 184; Irawani, Durus Tamhidiyyah fi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1432 HQ, jld. 2, hlm. 185-190.
- ↑ Irawani, Durus Tamhidiyyah fi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1432 HQ, jld. 2, hlm. 187.
- ↑ Khu'i, Ahkam al-Radha', 1417 HQ, hlm. 78.
- ↑ Katouzian, Huquq-e Madani-ye Khanevadeh (Hukum Perdata Keluarga), 1385 HS, jld. 2, di bawah pembahasan "Aulad, Ravabet-e Pedar va Madar va Farzandan-e Nasab".
- ↑ Faidh Kasyani, Al-Syafi, 1383 HS, jld. 2, hlm. 1564.
- ↑ Irawani, Durus Tamhidiyyah fi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1432 HQ, jld. 2, hlm. 190.
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 31.
- ↑ Sayid Murtadha, Rasail al-Syarif al-Murtadha, 1405 HQ, jld. 3, hlm. 125.
- ↑ Ibnu Manzhur, Lisan al-Arab, 1414 HQ, jld. 4, hlm. 166; Murtadha Zubaidi, Taj al-Arus, 1414 HQ, jld. 6, hlm. 250.
- ↑ Majlisi, Mir'at al-Uqul, 1404 HQ, jld. 20, hlm. 298; Majlisi, Maladz al-Akhyar, 1406 HQ, jld. 13, hlm. 326.
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 31.
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 27-28; Irawani, Durus Tamhidiyyah fi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1432 HQ, jld. 2, hlm. 190.
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 27-28.
- ↑ Musthafavi, Miah Qa'idah Fiqhiyyah, 1421 HQ, hlm. 184.
- ↑ Musthafavi, Miah Qa'idah Fiqhiyyah, 1421 HQ, hlm. 185.
- ↑ Musthafavi, Miah Qa'idah Fiqhiyyah, 1421 HQ, hlm. 185.
- ↑ Irawani, Durus Tamhidiyyah fi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1432 HQ, jld. 2, hlm. 190.
- ↑ Sebagai contoh lihat: Allamah Hilli, Qawa'id al-Ahkam, 1413 HQ, jld. 3, hlm. 98; Allamah Hilli, Tahrir al-Ahkam, 1420 HQ, jld. 4, hlm. 18; Fadhil Hindi, Kasyf al-Litsam, 1416 HQ, jld. 7, hlm. 532; Khwansari, Jami' al-Madarik, 1405 HQ, jld. 4, hlm. 443.
- ↑ Sabzawari, Muhadzdzab al-Ahkam, 1413 HQ, jld. 25, hlm. 237.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 HQ, jld. 31, hlm. 224.
- ↑ Allamah Hilli, Tabshirah al-Muta'allimin, 1411 HQ, hlm. 142-143.
- ↑ Sistani, Minhaj al-Shalihin, 1416 HQ, jld. 3, hlm. 112; Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 34.
- ↑ Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, 1392 HS, jld. 2, hlm. 308.
- ↑ Subhani Tabrizi, Nizam al-Nikah, 1416 HQ, jld. 2, hlm. 314.
- ↑ Syaikh Mufid, Al-Muqni'ah, 1413 HQ, hlm. 537; Syaikh Thusi, Al-Nihayah, 1400 HQ, hlm. 505.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 HQ, jld. 31, hlm. 222; Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1419 HQ, jld. 8, hlm. 378.
- ↑ Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1419 HQ, jld. 8, hlm. 337.
- ↑ Sabzawari, Kifayah al-Ahkam, 1381 HS, jld. 2, hlm. 275.
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 35.
- ↑ Sebagai contoh lihat: Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, 1416 HQ, jld. 15, hlm. 479, hadis 3.
- ↑ Mufid, Al-Muqni'ah, 1413 HQ, hlm. 539; Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 HQ, jld. 31, hlm. 224; Thabathaba'i Hairi, Riyadh al-Masail, 1412 HQ, jld. 12, hlm. 104; Sallar Dailami, Al-Marasim al-Alawiyyah, 1414 HQ, hlm. 156; Khwansari, Jami' al-Madarik, 1405 HQ, jld. 4, hlm. 444.
- ↑ Husaini, Al-Ta'liqat 'ala Syarai' al-Islam Syirazi, 1425 HQ, jld. 1, hlm. 578; Muhaqqiq Hilli, Al-Mukhtashar al-Nafi, 1418 HQ, jld. 1, hlm. 192; Yusufi, Kasyf al-Rumuz, 1408 HQ, jld. 2, hlm. 195; Hilli, Ma'alim al-Din, 1424 HQ, jld. 2, hlm. 45; Fadhil Miqdad, Al-Tanqih al-Rai, 1404 HQ, jld. 3, hlm. 261; Shaimari, Ghayah al-Maram, 1420 HQ, jld. 3, hlm. 243.
- ↑ Husaini, Al-Ta'liqat 'ala Syarai' al-Islam Syirazi, 1425 HQ, jld. 1, hlm. 578; Sabzawari, Muhadzdzab al-Ahkam, 1413 HQ, jld. 25, hlm. 239.
- ↑ Ibnu Zuhrah, Ghunyah al-Nuzu, 1417 HQ, hlm. 387; Alu Ushfur, Al-Anwar al-Lawami, 1372 HS, jld. 10, hlm. 307; Imam Khomeini, Tahrir al-Wasilah, 1392 HS, jld. 2, hlm. 292; Khu'i, Minhaj al-Shalihin, 1410 HQ, jld. 2, hlm. 288; Sistani, Minhaj al-Shalihin, 1416 HQ, jld. 3, hlm. 112; Subhani Tabrizi, Nizam al-Nikah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah al-Gharra, 1416 HQ, jld. 2, hlm. 315.
- ↑ Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, 1416 HQ, jld. 15, hlm. 442, hadis 3.
- ↑ Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, 1408 HQ, jld. 2, hlm. 340; Fadhil Miqdad, Al-Tanqih al-Rai' li Mukhtashar al-Syarai', 1404 HQ, jld. 3, hlm. 263; Fadhil Abi, Kasyf al-Rumuz, 1408 HQ, jld. 2, hlm. 96.
- ↑ Thaheri, Huquq-e Madani (Hukum Perdata), 1418 HQ, jld. 3, hlm. 305.
- ↑ Musavi Bojnourdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah, 1377 HS, jld. 4, hlm. 32.
- ↑ Mughniyah, Fiqh al-Imam al-Shadiq (as), 1421 HQ, jld. 5, hlm. 290.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 HQ, jld. 31, hlm. 223.
- ↑ Ibnu Hamzah, Al-Wasilah, 1408 HQ, hlm. 317.
- ↑ Allamah Hilli, Qawa'id al-Ahkam, 1413 HQ, jld. 3, hlm. 187; Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1419 HQ, jld. 10, hlm. 227.
- ↑ Syaikh Thusi, Al-Mabsuth, 1387 HQ, jld. 5, hlm. 185; Baihaqi Naisyaburi Kaidari, Ishbah al-Syi'ah bi Mishbah al-Syari'ah, 1374 HS, hlm. 461; Syahid Tsani, Masalik al-Afham, 1419 HQ, jld. 10, hlm. 189.
- ↑ Muhsini, Al-Fiqh wa Masail Thibbiyyah, 1426 HQ, jld. 2, hlm. 233.
- ↑ Sebagai contoh lihat: Thabathaba'i Hairi, Riyadh al-Masail, 1418 HQ, jld. 12, hlm. 109.
- ↑ Muhaqqiq Hilli, Syarai' al-Islam, 1408 HQ, jld. 3, hlm. 71.
- ↑ Allamah Hilli, Qawa'id al-Ahkam, 1413 HQ, jld. 3, hlm. 184.
- ↑ A'raji, Kanz al-Fawaid, 1416 HQ, jld. 2, hlm. 672.
- ↑ Pusat Penelitian Fikih Kehakiman, Majmu'eh Nazariyat-e Masyverati-ye Feqhi dar Omur-e Huquqi, 1388 HS, jld. 3, hlm. 80.
- ↑ Pusat Penelitian Fikih Kehakiman, Majmu'eh Nazariyat-e Masyverati-ye Feqhi dar Omur-e Huquqi, 1388 HS, jld. 3, hlm. 80.
- ↑ Pusat Penelitian Fikih Kehakiman, Majmu'eh Nazariyat-e Masyverati-ye Feqhi dar Omur-e Huquqi, 1388 HS, jld. 3, hlm. 80.
- ↑ Pusat Penelitian Fikih Kehakiman, Majmu'eh Nazariyat-e Masyverati-ye Feqhi dar Omur-e Huquqi, 1388 HS, jld. 3, hlm. 80-81.
- ↑ Luthfi, "Qa'ideh-ye Firasy", hlm. 259.
- ↑ Baqeri, "Bazpajuhi-ye Qa'ideh-ye Firasy ba Ruikardi Enteqadi be Ravesh-haye Novin-e Esbat-e Nasab", hlm. 92.
- ↑ Pusat Penelitian Fikih Kehakiman, Majmu'eh Nazariyat-e Masyverati-ye Feqhi dar Omur-e Huquqi, 1388 HS, hlm. 80–81.
- ↑ Ibnu Idris Hilli, Al-Sarair, 1410 HQ, jld. 3, hlm. 276.
- ↑ Thabathaba'i Yazdi, Takmilah al-Urwah al-Wutsqa, 1378 HS, jld. 2, hlm. 197.
- ↑ Bahrani, Al-Hadaiq al-Nadhirah, 1363 HS, jld. 24, hlm. 171.
- ↑ Syahid Tsani, Al-Raudhah al-Bahiyyah, 1412 HQ, jld. 2, hlm. 135.
- ↑ Haram Panahi, Talqih-e Masnu'i, 1376 HS, jld. 10, hlm. 166.
Daftar Pustaka
- A'raji, Abdul Muthalib bin Muhammad. Kanz al-Fawaid fi Hall Musykilat al-Qawa'id. Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, 1416 HQ.
- Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Qawa'id al-Ahkam fi Ma'rifah al-Halal wa al-Haram. Qom, Jama'ah al-Mudarrisin fi al-Hauzah al-Ilmiyyah bi Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, 1413 HQ.
- Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Tabshirah al-Muta'allimin fi Ahkam al-Din. Peneliti: Muhammad Hadi Yusufi Gharawi. Teheran, Muassasah Chap va Nasyr vabasteh be Vezarat-e Farhang va Ershad-e Eslami, 1411 HQ.
- Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Tahrir al-Ahkam al-Syar'iyyah 'ala Madzhab al-Imamiyyah. Peneliti: Ja'far Subhani Tabrizi. Qom, Muassasah Al-Imam Al-Shadiq (as), 1420 HQ.
- Alu Ushfur, Husain bin Muhammad. Al-Anwar al-Lawami' fi Syarh Mafatih al-Syarai'. Qom, Penerbit Majma' al-Buhuts al-Ilmiyyah, 1372 HS.
- Asyrafian Bonab, Maziyar, dkk. Zharuriyat-e Pezeshki-ye Qanuni (Kebutuhan Kedokteran Forensik). Teheran, Penerbit Teimourzadeh, 1380 HS.
- Bahrani, Yusuf bin Ahmad. Al-Hadaiq al-Nadhirah fi Ahkam al-Itrah al-Thahirah. Peneliti: Muhammad Taqi Irawani. Qom, Jama'ah al-Mudarrisin fi al-Hauzah al-Ilmiyyah bi Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, 1363 HS.
- Baihaqi Naisyaburi Kaidari, Muhammad bin Husain. Ishbah al-Syi'ah bi Mishbah al-Syari'ah. Peneliti: Ibrahim Bahadori. Qom, Muassasah Al-Imam Al-Shadiq (as), 1374 HS.
- Baihaqi, Abu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali. Sunan al-Baihaqi (Sunan al-Kubra). Beirut, Dar al-Ma'rifah, Tanpa Tahun.
- Baqeri, Ahmad dan Raihaneh Ayatullah Syirazi. "Bazpajuhi-ye Qa'ideh-ye Firasy ba Ruikardi Enteqadi be Ravesh-haye Novin-e Esbat-e Nasab" (Kajian Ulang Kaidah Firasy dengan Pendekatan Kritis terhadap Metode Baru Pembuktian Nasab). Fashlnameh-ye Qazavat. No. 82, Tahun ke-15, Musim Panas 1394 HS.
- Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Kairo, Republik Arab Mesir, Kementerian Wakaf, Dewan Tinggi Urusan Islam, Komite Ihya Kutub al-Sunnah, 1410 HQ.
- Fadhil Abi, Hasan bin Abi Thalib Yusufi. Kasyf al-Rumuz fi Syarh Mukhtashar al-Nafi'. Qom, Daftar-e Entesharat-e Eslami vabasteh be Jame'eh Modarresin-e Howzeh-ye Elmiyeh-ye Qom, Cetakan ketiga, 1417 HQ.
- Fadhil Hindi, Muhammad bin Hasan. Kasyf al-Litsam 'an Qawa'id al-Ahkam. Qom, Muassasah Nasyr-e Eslami, 1416 HQ.
- Fadhil Miqdad, Miqdad bin Abdullah. Al-Tanqih al-Rai' li Mukhtashar al-Syarai'. Peneliti: Abdullathif Husaini Kuh Kamari. Qom, Maktabah Ayatullah Al-Mar'asyl Al-Najafi, 1404 HQ.
- Faidh Kasyani, Muhammad Muhsin. Al-Syafi fi al-Aqaid wa al-Akhlaq wa al-Ahkam. Teheran, Penerbit Lauh-e Mahfuzh, 1383 HS.
- Haram Panahi, Muhsin. Talqih-e Masnu'i (Inseminasi Buatan). Ditulis dalam Fashlnameh Fiqh Ahlulbait (as). Qom, Muassasah Dairat al-Ma'arif Fiqh Eslami bar Madzhab Ahlulbait (as), No. 10, Musim Panas 1376 HS.
- Hilli, Syamsuddin Muhammad. Ma'alim al-Din fi Fiqh Al Yasin. Qom, Muassasah Imam Shadiq (as), 1424 HQ.
- Hurr Amili, Muhammad bin Hasan. Tafshil Wasail al-Syi'ah ila Tahshil Masail al-Syari'ah. Peneliti: Muhammad Ridha Husaini Jalali. Qom, Muassasah Alu al-Bait (as), 1416 HQ.
- Husaini, Sayid Shadiq. Al-Ta'liqat 'ala Syarai' al-Islam Syirazi. Qom, Penerbit Istiqlal, 1425 HQ.
- Ibnu Hamzah, Muhammad bin Ali. Al-Wasilah ila Nail al-Fadhilah. Peneliti: Muhammad Hassun. Qom, Penerbit Perpustakaan Umum Ayatullah Mar'asyl Najafi, 1408 HQ.
- Ibnu Idris Hilli, Muhammad bin Ahmad. Al-Sarair al-Hawi li Tahrir al-Fatawi. Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, 1410 HQ.
- Ibnu Majah, Muhammad bin Yazid. Sunan Ibnu Majah. Peneliti: Muhammad Fuad Abdul Baqi. Jeddah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyyah - Faisal Isa al-Babi al-Halabi, Tanpa Tahun.
- Ibnu Manzhur, Jamaluddin. Lisan al-Arab. Beirut, Dar Shadir, 1414 HQ.
- Imam Khomeini, Sayid Ruhullah. Tahrir al-Wasilah. Teheran, Muassasah Tanzhim va Nasyr-e Atsar-e Imam Khomeini, 1392 HS.
- Irawani, Muhammad Baqir. Durus Tamhidiyyah fi al-Qawa'id al-Fiqhiyyah. Qom, Penerbit Dar al-Fiqh li al-Thiba'ah wa al-Nasyr, Cetakan kelima, 1432 HQ.
- Isfahani, Sayid Abul Hasan. Wasilah al-Najah ma'a Ta'aliq Al-Imam Al-Khomeini. Teheran, Muassasah Tanzhim va Nasyr-e Atsar-e Al-Imam Al-Khomeini, 1424 HQ.
- Katouzian, Naser. Huquq-e Madani-ye Khanevadeh (Hukum Perdata Keluarga). Teheran, Penerbit Syerkat-e Sahami-ye Entesyar, Cetakan ketujuh, 1385 HS.
- Khawari, Houshang dan Manouchehr Syariati. Tawarots-e Omumi Asas va Chegunegi-ye Tawarots (Pewarisan Umum: Dasar dan Cara Pewarisan). Teheran, Penerbit Asia, 1363 HS.
- Khu'i, Sayid Abul Qasim. Ahkam al-Radha' fi Fiqh al-Syi'ah. Qom, Penerbit Al-Munir li al-Thiba'ah wa al-Nasyr, 1417 HQ.
- Khu'i, Sayid Abul Qasim. Minhaj al-Shalihin. Qom, Penerbit Madinah al-Ilm, 1410 HQ.
- Khwansari, Sayid Ahmad. Jami' al-Madarik fi Syarh Mukhtashar al-Nafi'. Qom, Muassasah Isma'iliyan, Cetakan kedua, 1405 HQ.
- Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kafi. Peneliti: Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi. Teheran, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Cetakan keempat, 1407 HQ.
- Luthfi, Asadullah. "Qa'ideh-ye Firasy" (Kaidah Firasy). Fashlnameh Elmi-Pajuheshi Olum-e Ensani Daneshgah-e Al-Zahra (as). Teheran, No. 41, Musim Semi 1381 HS.
- Majlisi, Muhammad Baqir. Maladz al-Akhyar fi Fahm Tahdzib al-Akhbar. Qom, Penerbit Perpustakaan Ayatullah Mar'asyl Najafi, 1406 HQ.
- Majlisi, Muhammad Baqir. Mir'at al-Uqul fi Syarh Akhbar Al al-Rasul. Teheran, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1404 HQ.
- Mughniyah, Muhammad Jawad. Fiqh al-Imam al-Shadiq (as). Qom, Muassasah Ansarian, 1421 HQ.
- Muhaqqiq Hilli, Ja'far bin Hasan. Al-Mukhtashar al-Nafi' fi Fiqh al-Imamiyyah. Qom, Mathbu'at-e Dini, 1418 HQ.
- Muhaqqiq Hilli, Ja'far bin Hasan. Syarai' al-Islam fi Masail al-Halal wa al-Haram. Peneliti dan Korektor: Abdul Husain Muhammad Ali Baqqal. Qom, Penerbit Isma'iliyan, Cetakan kedua, 1408 HQ.
- Muhsini, Muhammad Ashif. Al-Fiqh wa Masail Thibbiyyah. Qom, Penerbit Daftar-e Tablighat-e Eslami Howzeh-ye Elmiyeh-ye Qom, Cetakan pertama, 1426 HQ.
- Murtadha Zubaidi, Muhammad bin Muhammad. Taj al-Arus min Jawahir al-Qamus. Beirut, Dar al-Fikr, 1414 HQ.
- Musavi Bojnourdi, Sayid Hasan. Al-Qawa'id al-Fiqhiyyah. Peneliti: Muhammad Husain Dirayati dan Mahdi Mahrizi. Qom, Penerbit Al-Hadi, 1377 HS.
- Musthafavi, Sayid Muhammad Kazhim. Al-Qawa'id: Miah Qa'idah Fiqhiyyah Ma'nan wa Madrakan wa Mauridan. Qom, Jama'ah al-Mudarrisin fi al-Hauzah al-Ilmiyyah, 1421 HQ.
- Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-Kalam fi Syarh Syarai' al-Islam. Koreksi: Abbas Quchani dan Ali Akhundi. Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan ketujuh, 1404 HQ.
- Nasa'i, Ahmad bin Ali. Sunan al-Nasa'i al-Musamma bi al-Mujtaba. Beirut, Dar al-Fikr, 1420 HQ.
- Pusat Penelitian Fikih Kehakiman. Majmu'eh Nazariyat-e Masyverati-ye Feqhi dar Omur-e Huquqi (Kumpulan Pendapat Konsultatif Fikih dalam Masalah Hukum). Teheran, Penerbit Deputi Pendidikan dan Penelitian Kehakiman Pusat Penelitian Fikih, 1388 HS.
- Qusyairi Naisyaburi, Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim. Peneliti: Muhammad Fuad Abdul Baqi. Beirut, Dar al-Fikr, 1398 HQ.
- Sabzawari, Sayid Abdul A'la. Muhadzdzab al-Ahkam fi Bayan al-Halal wa al-Haram. Qom, Muassasah Al-Manar, 1413 HQ.
- Sajastani Azdi, Abu Sulaiman Ibnu Asy'ats. Sunan Abi Dawud. Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Tanpa Tahun.
- Sallar Dailami, Hamzah bin Abdul Aziz. Al-Marasim al-Alawiyyah fi al-Ahkam al-Nabawiyyah. Koreksi: Muhsin Husaini Amini. Tanpa Tempat, Penerbit Universitas Al-Azhar, Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah, 1414 HQ.
- Sayid Murtadha, Ali bin Husain. Rasail al-Syarif al-Murtadha. Peneliti: Mahdi Rajai. Qom, Dar al-Quran al-Karim, 1405 HQ.
- Sistani, Sayid Ali. Minhaj al-Shalihin. Qom, Maktab Ayatullah al-Uzhma Al-Sayid Al-Sistani, 1416 HQ.
- Subhani Tabrizi, Ja'far. Nizam al-Nikah fi al-Syari'ah al-Islamiyyah al-Gharra. Qom, Muassasah Imam Shadiq (as), 1416 HQ.
- Syaikh Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Muqni'ah. Qom, Kongres Internasional Milenium Syaikh Mufid, Cetakan pertama, 1413 HQ.
- Syaikh Shaduq, Muhammad bin Ali. Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Peneliti dan Korektor: Ali Akbar Ghaffari. Qom, Daftar-e Entesharat-e Eslami vabasteh be Jame'eh Modarresin-e Howzeh-ye Elmiyeh-ye Qom, Cetakan kedua, 1413 HQ.
- Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Istibshar fima Ikhtalafa min al-Akhbar. Teheran, Penerbit Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Cetakan ketiga, 1390 HS.
- Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Mabsuth fi Fiqh al-Imamiyyah. Teheran, Maktabah al-Murtadhawiyyah, Cetakan ketiga, 1387 HQ.
- Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Nihayah fi Mujarrad al-Fiqh wa al-Fatawa. Beirut, Penerbit Dar al-Kutub al-Arabi, 1400 HQ.
- Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan. Tahdzib al-Ahkam. Teheran, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, Cetakan keempat, 1407 HQ.
- Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. Al-Raudhah al-Bahiyyah fi Syarh al-Lum'ah al-Dimasyqiyyah. Pensyarah: Hasan bin Muhammad Sulthan al-Ulama. Qom, Penerbit Daftar-e Tablighat-e Eslami Howzeh-ye Elmiyeh-ye Qom, Cetakan pertama, 1412 HQ.
- Syahid Tsani, Zainuddin bin Ali. Masalik al-Afham ila Tanqih Syarai' al-Islam. Qom, Muassasah al-Ma'arif al-Islamiyyah, 1419 HQ.
- Thabathaba'i Hairi, Sayid Ali. Riyadh al-Masail fi Tahqiq al-Ahkam bi al-Dalail. Qom, Alu al-Bait, Cetakan pertama, 1418 HQ.
- Thabathaba'i Yazdi, Sayid Muhammad Kazim. Takmilah al-Urwah al-Wutsqa. Koreksi: Sayid Muhsin Thabathaba'i. Teheran, Mathba'ah al-Haidari, Cetakan pertama, 1378 HS.
- Thaheri, Habibullah. Huquq-e Madani (Hukum Perdata). Qom, Jame'eh Modarresin-e Howzeh-ye Elmiyeh-ye Qom, Daftar-e Entesharat-e Eslami, 1418 HQ.
- Yusufi, Hasan bin Abi Thalib. Kasyf al-Rumuz fi Syarh al-Mukhtashar al-Nafi'. Qom, Muassasah Al-Nasyr Al-Islami, 1408 HQ.