Sa'i
Salat Wajib: Salat Jumat • Salat Id • Salat Ayat • Salat Mayit Ibadah-ibadah lainnya Hukum-hukum bersuci Hukum-hukum Perdata Hukum-hukum Keluarga Hukum-hukum Yudisial Hukum-hukum Ekonomi Hukum-hukum Lain Pranala Terkait |
Sa'i antara Shafa dan Marwah (bahasa Arab: السعي بين الصفا والمروة) termasuk salah satu amalan wajib haji dan umrah, yang berarti menempuh perbukitan antara Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali.
Shafa dan Marwah
Shafa dan Marwah adalah nama-nama dari dua bukit kecil, yang berdekatan dengan Masjidil Haram. Jarak antara dua bukit yang disebut "Mas'a" adalah sekitar 395 meter. Shafa dan Marwah lebih besar dan lebih tinggi di masa lalu dan menjadi lebih kecil dan pendek seiring waktu dan pasca perluasan Masjidil Haram. Sekarang, ketinggian Shafa sekitar 8 meter, Marwah juga hanya tersisa sedikit saja dan pada tahun 1995 bukit Marwah diangkat dengan tujuan memperluas jangkauan putaran para pelaksana sa'i, dan diujungnya dibukakan pintu keluar, saat ini Marwah hanya tersisa tanda semata. [1]
Shafa, Marwah dan juga sa'i diantara keduanya telah disebut dalam Alquran: إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِن شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَیتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَیهِ أَن یطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَن تَطَوَّعَ خَیرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِیمٌ "Sesungguhnya Shafa dan Marwah adalah sebagian dari syi'ar Allah. Maka barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber'umrah, maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa'i antara keduanya. Dan barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, maka sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha Mengetahui." [QS. Al-Baqarah: 158]
Sa'i
Sa'i adalah melintasi jarak antara Shafa dan Marwah dengan niat haji atau umrah sebanyak tujuh kali, untuk setiap putaran ini disebut "Syauth".[2] Sa'i Termasuk hal yang wajib, bahkan merupakan rukun haji dan umrah, yang mana apabila dengan sengaja meninggalkannya sampai pada batas lewat waktu pelaksanaannya, akan dapat membatalkan haji dan umrah; meninggalkannya secara tidak sengaja, tidak menyebabkan batal. Dan setiap kali ia ingat, maka harus melakukannya dan atau jika tidak memungkinkan atau sulit dilakukan, diharuskan untuk mengambil seorang wakil dan selama ia belum melakukan sa'i, maka larangan-larangan haram yang dihalalkan setelah melakukan sa'i, masih tetap pada posisinya.[3]
Mayoritas fukaha meyakini bahwa, sa'i kebalikan dari Tawaf, tidak ada yang mustahab. [4]
Sa'i Siti Hajar antara Shafa dan Marwah
Dimuat dalam riwayat bahwa ketika Siti Hajar mencari air untuk Ismail as, ia berjalan bolak balik antara bukit Shafa dan Marwah sebanyak tujuh kali. Sunah Ibrahim as ini dianggap sebagai ritual haji, bahkan pada masa jahiliyyah. Pada saat itu satu berhala diletakkan di satu sisi dan satu berhala lainnya diletakkan di sisi lain dan ketika orang-orang yang melakukan sa'i sampai ke berhala-berhala tersebut, mereka menyentuhnya. Gambaran masyarakat Jahiliyyah adalah bahwa kedua berhala ini, yang disebut Usaf dan Nailah, adalah laki-laki dan perempuan pelaku zina, yang telah berubah menjadi batu. [5]
Waktu dan Kedudukan Sa'i
Sa'i dilaksanakan setelah tawaf dan salatnya, jika pelaksana umrah atau haji secara sengaja mengerjakannya sebelum tawaf, maka sa'inya batal dan wajib baginya untuk mengulanginya setelah tawaf dan salatnya; [6] tetapi jika mendahulukannya berdasarkan lupa atau tidak mengetahui masalahnya, maka terdapat perbedaan fatwa tentang batalnya sa'i dan kewajiban mengulanginya setelah tawaf. [7]
Para ulama masyhur berpendapat, boleh melakukan penundaan antara sa'i dan tawaf sampai malam. [8]
Kewajiban-kewajiban Sa'i
Setelah niat dan bertaqarrub, sa'i dimulai dari Shafa dan diakhiri dengan Marwah. Jika memulainya dari Marwah, baik secara sengaja atau lupa dan atau berdasarkan tidak mengetahui masalah, maka sa'inya batal dan wajib mengulanginya dari Shafa[9] Tidak wajib mendaki bukit Shafa dan Marwah, meskipun dianjurkan. [10] Dari Shafa ke Marwah dihitung satu putaran dan kembali dari Marwah ke Shafa dihitung putaran lainnya. [11]
Jika ada seseorang secara sadar dan sengaja melakukan sa'i lebih dari tujuh putaran, maka sa'inya batal. [12]
Mayoritas fukaha membolehkan beristirahat dan duduk saat mengerjakan sa'i. [13]
Tidak diperbolehkan untuk mengabil batu dari Shafa dan Marwah, dan jika seseorang melakukannya, maka wajib baginya untuk mengembalikannya ke tempat semula. [14]
Sunah-Sunah Sa'i
Disunnahkan bagi pelaksana umrah dan haji, sebelum mengerjakan sa'i, untuk meminum air Zamzam dan menuangkannya sedikit di kepala dan tubuhnya dan membaca doa ini:
- اَللّهُمَ اجْعَلْهُ عِلْماً نافِعاً وَ رِزْقاً واسِعَاً وَ شِفاءاً مِنْ کُلِّ داءٍ وَ سُقْمٍ Ya Allah, aku mohon kepada-Mu ilmu pengetahuan yang bermanfaat, rizki yang luas dan kesembuhan dari segala sakit dan penyakit.
Kemudian mencium Hajar Aswad dan dengan tenang bergerak ke arah Shafa. Setelah sampai di bukit Shafa hendaknya pergi ke atasnya dan melihat Kakbah dan menghadap rukun Hajar Aswad, kemudian setelah memuji Allah dan membaca takbir dan tahlil sebanyak 7 kali, membaca doa yang relevan. [15]
Berlama-lama wukuf (berhenti) di shafa adalah hal yang mustahab. [16] Menurut apa yang dikemukakan dalam riwayat, dampak darinya adalah memperbanyak harta dan kekayaan. [17]
Menurut pendapat masyhur, bersuci dan menurut sebagian ulama lainnya, sucinya badan dan pakaian juga disunnahkan saat melakukan sa'i. [18]
Berjalan di bagian awal dan akhir mas'a (tempat sa'i) dan untuk laki-laki, berlari-lari kecil (Harwalah) [19] pada jarak yang ditandai dengan lampu neon berwarna hijau dan membaca doa yang dianjurkan saat melakukan sa'i adalah hal-hal lain yang disunahkan. [20]
Sa'i di Tingkat Dua dan Tiga
Saat ini, batas antara Shafa dan Marwah dibangun dalam tiga tingkat dan beberapa fukaha tidak membenarkan sa'i ditingkat dua dan tiga karena tingkat atas tidak berada di antara dua bukit tersebut. [21]
Dihalalkannya Mencium Wewangian Setelah Sa'i
Menurut fatwa masyhur fukaha, dalam amalan haji, hal-hal yang diharamkan saat ihram dapat menjadi halal dengan melakukan halq atau taqsir, kecuali bersenang-senang dengan istri[22] dan setelah tawaf dan sa'i, mencium wewangian juga dihalalkan[23]; dalam umrah, tidak satupun dari hal-hal yang diharamkan ketika Ihram akan halal dengan melakukan sa'i. [24]
Catatan Kaki
- ↑ Jafarian, Atsar Islami Mekah wa Madinah, jld. 1, hlm. 105-108.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 871.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 429-431.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 839.
- ↑ Ja'farian, Atsar Islami Mekah wa Madinah, jld. 1, hlm. 105.
- ↑ Khu'i, al-Mu'tamad fi Syarh al-Manasik, jld. 5, hlm. 63; Mahmudi, Manasik Haj, masalah 840.
- ↑ Khu'i, al-Mu'tamad fi Syarh al-Manasik, jld. 5, hlm. 41-43; Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 446; Mahmudi, Manasik Haj, masalah 846.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 446; Mahmudi, Manasik Haj, masalah 841.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 852.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 851.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 851.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 872.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 865.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj (Maraji), jld. 1, hlm. 496.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 895.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 415-417.
- ↑ Hur Amuli, Wasail al-Syiah, jld. 13, hlm. 479.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 410-417; Mahmudi, Manasik Haj, masalah 841.
- ↑ Harwalah, berjalan atau berlari-lari kecil.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 423-428.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 848.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 251.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 19, hlm. 257-258.
- ↑ Mahmudi, Manasik Haj, masalah 903.
Daftar Pustaka
- Hurr Amili, Muhammad bin al-Hasan. Wasāil al-Syiah. Qom: Muassasah Ahlubait as, 1412 H.
- Jakfariyan, Rasul. Ātsāri Islami Makah wa Madinah. Teheran: penerbit Masy'ar, 1382 HS.
- Khui, Sayid Abul Qasim. Al-Mu'tamad fi Syarh al-Manasik. Transkrip pelajaran Sayid Abul Qasim Khui oleh Sayid Ridha Khalkhali. Qom: Mathbaah al-Ilmi, 1409 H.
- Mahmudi, Muhammad Ridha. Manasik Haji Muthabeqe Fatawa Imam Khomeini wa Maraji' Muazzam Taqlid. Markaz Tahqiqat Haji Bi'tsah Maqami Muazzami Rahbari. Penerbit Masy'ar, cet. 4, 1387 HS.
- Najafi, Sayid Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalām fi Syarh Syarāyi' al-Islam. Peneliti: Ibrahim Sultani Nasab. Beirut: Dar Ihya at-Turats al-Arabi, 1362 HS.