Pengguna anonim
Abdul Mutthalib: Perbedaan antara revisi
tidak ada ringkasan suntingan
imported>E.amini Tidak ada ringkasan suntingan |
imported>Esmail Tidak ada ringkasan suntingan |
||
Baris 33: | Baris 33: | ||
|below = | |below = | ||
}} | }} | ||
'''Abdul Muththalib''' bin Hasyim bin Abdu Manaf (Bahasa Arab: '''عَبْدُ المُطَّلِب''' بن هاشم بن عبد مناف ) adalah kakek [[Nabi Muhammad Saw|Rasulullah Muhammad Saw]], pembesar kabilah [[Quraisy]] yang sangat disegani dan dihormati di kota [[Mekah]]. Ia lahir di kota [[Madinah|Yatsrib]] dan hijrah ke Mekah pada usia 7 tahun dan menjalani kehidupannya di kota tersebut sampai akhir hayatnya. Ia dikenal dalam peristiwa penyerangan kota Mekah oleh pasukan bergajah yang dipimpin [[Abrahah]]. | '''Abdul Muththalib''' bin Hasyim bin Abdu Manaf (Bahasa Arab: '''عَبْدُ المُطَّلِب''' بن هاشم بن عبد مناف ) adalah kakek [[Nabi Muhammad Saw|Rasulullah Muhammad Saw]], pembesar kabilah [[Quraisy]] yang sangat disegani dan dihormati di kota [[Mekah]]. Ia lahir di kota [[Madinah|Yatsrib]] dan hijrah ke Mekah pada usia 7 tahun dan menjalani kehidupannya di kota tersebut sampai akhir hayatnya. Ia dikenal dalam peristiwa penyerangan kota Mekah oleh pasukan bergajah yang dipimpin [[Abrahah]]. | ||
==Nasab== | ==Nasab== | ||
Abdul Muththalib berasal dari kabilah Quraisy, putra Hasyim sehingga ia dikenal sebagai pembesar dari [[Bani Hasyim]]. Nasab dan silsilah keluarganya sampai kepada [[Nabi Ibrahim As]]. Ibunya bernama Salma binti ‘Amru dari Bani Najar Khazraj dari Thaifah. Setelah [[Nabi Muhammad Saw]] [[hijrah]] ke [[Madinah]], kabilah neneknya tersebut menjadi sahabat dan pembela Rasulullah Saw.<ref>''Usdu al-Ghabah'', jld. 6, hlm. 151. </ref> Nasab Aimmah As dan para pembelanya (Bani Ali, Bani Ja’far dan Bani Aqil) berujung pada Abu Thalib bin Abdul Muththalib dan yang berasal dari nasab Bani Abbas ada 37 orang dari khalifah Dinasti Abbasiyah (132 – 656 H) sampai kepada Abbas bin Abdul Muththalib dan nasab 17 orang dari khulafa Abbasiyah di Mesir (659 – 923 H). Begitupun khalifah ke 35 Dinasti Abbasiyah di Irak yaitu al-Thahir Billah (622 – 623 H) juga sampai kepada Abbas bin Abdul Muththalib. <ref>Nasab Bani Harits dan Bani Abi Lahab juga sampai kepada Abdul Muthalib. Dapat dirujuk dalam kitab ‘Amdata al-Thālib fi Ansāb Ali Abi Thālib yang ditulis oleh Jalamuddin Ahmad bin Ali Husaini, yang lebih dikenal dengan nama Ibn Ghanabah (w. 828 H). </ref> | |||
Abdul Muththalib berasal dari kabilah Quraisy, putra Hasyim sehingga ia dikenal sebagai pembesar dari Bani Hasyim. Nasab dan silsilah keluarganya sampai kepada Nabi Ibrahim As. Ibunya bernama Salma binti ‘Amru dari Bani Najar Khazraj dari Thaifah. Setelah Nabi Muhammad Saw hijrah ke [[Madinah]], kabilah neneknya tersebut menjadi sahabat dan pembela Rasulullah Saw.<ref>''Usdu al-Ghabah'', jld. 6, hlm. 151. </ref> Nasab Aimmah As dan para pembelanya (Bani Ali, Bani Ja’far dan Bani Aqil) berujung pada Abu Thalib bin Abdul Muththalib dan yang berasal dari nasab Bani Abbas ada 37 orang dari khalifah Dinasti Abbasiyah (132 – 656 H) sampai kepada Abbas bin Abdul Muththalib dan nasab 17 orang dari khulafa Abbasiyah di Mesir (659 – 923 H). Begitupun khalifah ke 35 Dinasti Abbasiyah di Irak yaitu al-Thahir Billah (622 – 623 H) juga sampai kepada Abbas bin Abdul Muththalib. <ref>Nasab Bani Harits dan Bani Abi Lahab juga sampai kepada Abdul Muthalib. Dapat dirujuk dalam kitab ‘Amdata al-Thālib fi Ansāb Ali Abi Thālib yang ditulis oleh Jalamuddin Ahmad bin Ali Husaini, yang lebih dikenal dengan nama Ibn Ghanabah (w. 828 H). </ref> | |||
==Nama dan Kunyah== | ==Nama dan Kunyah== | ||
Nabi asli Abdul Muththalib yaitu Syaibah dan kunyahnya adalah Abul Harits.<ref>Ibnu Abdul Barra, jld. 1, hlm. 27. </ref> Disebutkan pula bahwa ia memiliki nama lainnya, diantaranya: Amir, Sayid al-Bathaha’, Saqi al-Hajaij, Saqi al-Ghaits, Ghaits al-Wara fi al-‘Am al-Jadab, Abu al-Sadat al-‘Asyarah, Abd al-Muthalib, Hafir Zam-zam <ref>Bihār al-Anwār, jld. 15, hlm. 128. </ref>, Ibrahim Tsani <ref>Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 11, Beirutm 1379 H. </ref> dan Fayyadzh. | Nabi asli Abdul Muththalib yaitu Syaibah dan kunyahnya adalah Abul Harits.<ref>Ibnu Abdul Barra, jld. 1, hlm. 27. </ref> Disebutkan pula bahwa ia memiliki nama lainnya, diantaranya: Amir, Sayid al-Bathaha’, Saqi al-Hajaij, Saqi al-Ghaits, Ghaits al-Wara fi al-‘Am al-Jadab, Abu al-Sadat al-‘Asyarah, Abd al-Muthalib, Hafir Zam-zam <ref>Bihār al-Anwār, jld. 15, hlm. 128. </ref>, Ibrahim Tsani <ref>Tārikh Ya’qubi, jld. 2, hlm. 11, Beirutm 1379 H. </ref> dan Fayyadzh. | ||
Yang menjadi penyebab ia lebih dikenal dengan sebutan Abdul Muththalib: Setelah beberapa tahun pasca wafatnya Hasyim, Muththalib (paman Abdul Muththalib) membawanya dari kota Yastrib ke kota Mekah. <ref>Tārikh al-Thabari/terj, jld. 3, hlm. 802. </ref>Sewaktu warga kota Mekah dan Quraisy melihat Abdul Muththalib memasuki kota bersama pamannya, mereka menganggapnya sebagai budak yang dibawa Muththalib dari kota Yastrib, dengan itu dinamai Abdul Muththalib (budak atau hamba sahaya dari Muththalib), meski mereka menyadari kekeliruan itu, nama Abdul Muththalib oleh penduduk Mekah terus dilekatkan padanya. <ref>Rasul Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhammad Saw, jld. 1, hlm. 91. </ref> | Yang menjadi penyebab ia lebih dikenal dengan sebutan Abdul Muththalib: Setelah beberapa tahun pasca wafatnya Hasyim, Muththalib (paman Abdul Muththalib) membawanya dari kota [[Yastrib]] ke kota [[Mekah]]. <ref>Tārikh al-Thabari/terj, jld. 3, hlm. 802. </ref>Sewaktu warga kota Mekah dan Quraisy melihat Abdul Muththalib memasuki kota bersama pamannya, mereka menganggapnya sebagai budak yang dibawa Muththalib dari kota Yastrib, dengan itu dinamai Abdul Muththalib (budak atau hamba sahaya dari Muththalib), meski mereka menyadari kekeliruan itu, nama Abdul Muththalib oleh penduduk Mekah terus dilekatkan padanya. <ref>Rasul Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhammad Saw, jld. 1, hlm. 91. </ref> | ||
==Hari Kelahiran== | ==Hari Kelahiran== | ||
Hasyim ayah Abdul Muthalib dalam perjalanannya ke Yastrib, ia menikah dengan Salma binti ‘Amru bin Zaid dari Thaifah Bani Najar. <ref>Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 65. </ref> | Hasyim ayah Abdul Muthalib dalam perjalanannya ke Yastrib, ia menikah dengan Salma binti ‘Amru bin Zaid dari Thaifah Bani Najar. <ref>Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 65. </ref> | ||
Sebelum kelahiran puteranya Abdul Muthalib (Syaibah), Hasyim melakukan perjalananan ke kota Gaza Palestina namun meninggal dunia di kota tersebut, dan di tempat itu pula ia dimakamkan. <ref>Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 65. </ref> Beragam pendapat dari ahli sejarah menyebutkan Abdul Muththalib bersama ibunya di kota Yastrib selama 7 tahun, ada pula yang menyebut lebih dari itu. <ref>Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 137. </ref> Tidak berselang lama, Muththalib pamannya sengaja ke kota Yastrib untuk menjemputnya dan membawanya kembali ke kota Mekah. <ref>Rasuli Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhamamd Saw, jld. 1, hlm. 91. </ref> | Sebelum kelahiran puteranya Abdul Muthalib (Syaibah), Hasyim melakukan perjalananan ke kota Gaza Palestina namun meninggal dunia di kota tersebut, dan di tempat itu pula ia dimakamkan. <ref>Ansāb al-Asyrāf, jld. 1, hlm. 65. </ref> Beragam pendapat dari ahli sejarah menyebutkan Abdul Muththalib bersama ibunya di kota Yastrib selama 7 tahun, ada pula yang menyebut lebih dari itu. <ref>Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 137. </ref> Tidak berselang lama, Muththalib pamannya sengaja ke kota [[Yastrib]] untuk menjemputnya dan membawanya kembali ke kota [[Mekah]]. <ref>Rasuli Mahlati, Sayid Hasyim, Zendeghi Muhamamd Saw, jld. 1, hlm. 91. </ref> | ||
==Menjadi Pembesar di Kota Mekah== | ==Menjadi Pembesar di Kota Mekah== | ||
Muththalib setelah kematian saudaranya Hasyim, ia kemudian menjadi pengganti kedudukannya sebagai kepala kabilah. Setelah beberapa tahun berlalu, sewaktu berada di Yaman disebuah perkampungan bernama Radiman, ia meninggal dunia sehingga kedudukannya sebagai kepala kabilah jatuh ke tangan keponakannya, Abdul Muththalilb. Abdul Muththalib berkat kecakapan, kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya, semua kaum Quraisy ridha dengan kepemimpinannya.<ref>Ibn Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 1, hlm. 77, Tārikh Ibn Khaldun, jld. 1, hlm. 365. </ref> | Muththalib setelah kematian saudaranya Hasyim, ia kemudian menjadi pengganti kedudukannya sebagai kepala kabilah. Setelah beberapa tahun berlalu, sewaktu berada di Yaman disebuah perkampungan bernama Radiman, ia meninggal dunia sehingga kedudukannya sebagai kepala kabilah jatuh ke tangan keponakannya, Abdul Muththalilb. Abdul Muththalib berkat kecakapan, kecerdasan dan kebijaksanaan yang dimilikinya, semua kaum Quraisy ridha dengan kepemimpinannya.<ref>Ibn Sa’ad, al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 1, hlm. 77, Tārikh Ibn Khaldun, jld. 1, hlm. 365. </ref> | ||
==Kepribadian Abdul Muththalib== | ==Kepribadian Abdul Muththalib== | ||
Ya’qubi mengatakan, ''“Abdul Muththalib sewaktu memegang kedudukan sebagai kepala kabilah, tidak disertai dengan persaingan. Allah Swt tidak memberikan kecakapan dan kemampuan memimpin pada siapapun dizamannya sebagaimana yang ia miliki. Dari [[sumur Zam-zam]] di Mekah sampai Dzu al-Haram di Thaif ia jamin kenyamanannya. Kaum Quraisy sendiri memberikan masing-masing hartanya kepada Abdul Muththalib untuk dikelolah dan dibawah manajemennya tidak ada seorangpun warga yang mengalami kelaparan meskipun burung-burung di pegunungan juga tidak pernah ada yang kekurangan makanan. Mengenai hal tersebut, Abu Thalib pernah berkata, “Betapa kami memberikan makanan kepada masyarakat, sampai burung-burungpun merasa dikeyangkan oleh kedermawanan kami.”'' | |||
Semasa hidupnya, Abdul Muththalib sama sekali tidak pernah menyembah berhala. Ia meyakini tauhid dan memiliki ilmu ma’rifat mengenai [[Allah Swt]] sehingga jika ia bernadzar atau bersumpah maka ia niatkan karena Allah Swt. Sebagian dari sunnah yang dijaganya, disebutkan dalam [[Al-Qur’an]]. <ref>Terj. Tarikh Ya’qubi, jld. 1, hlm. 363. </ref> | |||
Semasa hidupnya, Abdul Muththalib sama sekali tidak pernah menyembah berhala. Ia meyakini tauhid dan memiliki ilmu ma’rifat mengenai Allah Swt | |||
Ya’qubi meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai ke Nabi Muhammad Saw, bahwa ia bersabda, “Allah Swt mengumpulkan pada kakek saya –Abdul Muththalib- silsilah kenabian dan keagungan para bangsawan.” <ref>Terj. Tarikh Ya’qubi, jld. 1, hlm. 363. </ref> | Ya’qubi meriwayatkan hadis yang sanadnya sampai ke [[Nabi Muhammad Saw]], bahwa ia bersabda, ''“Allah Swt mengumpulkan pada kakek saya –Abdul Muththalib- silsilah kenabian dan keagungan para bangsawan.”'' <ref>Terj. Tarikh Ya’qubi, jld. 1, hlm. 363. </ref> | ||
==Pasukan Bergajah== | ==Pasukan Bergajah== | ||
Berdasarkan catatan sejarah, baik dalam periwayatan Islam maupun kesaksian warga setempat, peristiwa penyerangan ke kota [[Mekah]] oleh tentara Abrahah yang dikenal dengan istilah ''Ashab al-Fil'' (Pasukan Bergajah) yang hendak menghancurkan [[Ka’bah]] terjadi pada masa Abdul Muththalib sebagai kepala kabilah dan pimpinan di kota Mekah. <ref>Akhbār al-Thawāl/terj. hlm. 92. </ref> Sewaktu memasuki kota Mekah, tentara Abrahah merampas unta-unta milik penduduk Mekah. Ketika mendapatkan laporan tersebut, Abdul Muththalib menemui Abrahah dan memprotes tindakannya. Ia meminta agar unta-unta yang dirampas tentara Abrahah untuk segera dikembalikan kepada pemiliknya. Abrahah mengatakan, “Aku pikir kamu datang untuk berdialog untuk mencegah niatku menghancurkan Ka’bah.” | |||
Abdul Muththalib, ''“Saya adalah penanggungjawab dan penjaga dari unta-unta yang tentara anda rampas. Sementara Ka’bah, ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya.”'' | |||
Abdul Muththalib, “Saya adalah penanggungjawab dan penjaga dari unta-unta yang tentara anda rampas. Sementara Ka’bah, ada pemiliknya sendiri yang akan menjaganya.” | |||
Sehabis menyampaikan hal tersebut, ia kembali ke kota Mekah dan memerintahkan kepada penduduk kota Mekah untuk berlindung di balik bukit sembari membawa harta benda mereka untuk diselamatkan. <ref>Affarinasy wa Thārikh/terj, jld. 1, hlm. 532. </ref> Hari berikutnya, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan. Ketika pasukan bergajah Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah, tiba-tiba berdatangan sekelompok burung dari langit yang menyerang pasukan tersebut sehingga pasukan tersebut kocar-kacir. Banyak dari pasukan bergajah tersebut yang tewas dan sebagian kecil dari mereka melarikan diri.<ref>Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 47. </ref> | Sehabis menyampaikan hal tersebut, ia kembali ke kota Mekah dan memerintahkan kepada penduduk kota Mekah untuk berlindung di balik bukit sembari membawa harta benda mereka untuk diselamatkan. <ref>Affarinasy wa Thārikh/terj, jld. 1, hlm. 532. </ref> Hari berikutnya, terjadilah peristiwa yang sangat menakjubkan. Ketika pasukan bergajah Abrahah hendak menghancurkan Ka’bah, tiba-tiba berdatangan sekelompok burung dari langit yang menyerang pasukan tersebut sehingga pasukan tersebut kocar-kacir. Banyak dari pasukan bergajah tersebut yang tewas dan sebagian kecil dari mereka melarikan diri.<ref>Ibn Hisyam, al-Sirah al-Nabawiyah, jld. 1, hlm. 47. </ref> | ||
==Penggalian Sumur Zam-zam== | ==Penggalian [[Sumur Zam-zam]]== | ||
Menurut catatan sejarah kota Mekah, sebelum Mekah dibawah dominasi Qushay bin Kilab (nenek moyang [[Rasulullah Saw]]), kabilah Jurhum lebih dulu berkuasa di Mekah. Namun karena kabilah Jurhum bertindak sewenang-wenang dan menindas kabilah lain, maka terjadi perebutan kekuasaan yang diawali dengan perang antar kabilah yang berlarut-larut. Saat Umar bin Harits menjadi kepalah kabilah, Jurhum mengalami kekalahan. Untuk menyelamatkan harta kabilah yang tersimpan di dalam [[Kabah]], Umar bin Harits mengeluarkannya dan menjatuhkannya ke [[sumur Zam-zam]] kemudian menutupinya dengan tanah supaya tidak bisa ditemukan. Beberapa tahun setelahnya saat Mekah dibawah kekuasaan Abdul Muthalib, ia memerintahkan untuk menemukan kembali sumur Zam-zam dan melakukan penggalian atasnya. Beruntung, lokasi sumur Zam-zam bisa ditemukan dan pasca penggalian Abdul Muthalib menemukan harta dan perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Dengan harta tersebut, Abdul Muthalib mendanai renovasi Ka’bah termasuk renovasi sumur Zam-zam sehinggar akhirnya bisa dimanfaatkan kembali oleh penduduk kota Mekah. <ref>Ibn Katsir al-Damsiqi, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 244. </ref> | |||
Menurut catatan sejarah kota Mekah, sebelum Mekah dibawah dominasi Qushay bin Kilab (nenek moyang Rasulullah Saw), kabilah Jurhum lebih dulu berkuasa di Mekah. Namun karena kabilah Jurhum bertindak sewenang-wenang dan menindas kabilah lain, maka terjadi perebutan kekuasaan yang diawali dengan perang antar kabilah yang berlarut-larut. Saat Umar bin Harits menjadi kepalah kabilah, Jurhum mengalami kekalahan. Untuk menyelamatkan harta kabilah yang tersimpan di dalam Kabah, Umar bin Harits mengeluarkannya dan menjatuhkannya ke sumur Zam-zam kemudian menutupinya dengan tanah supaya tidak bisa ditemukan. Beberapa tahun setelahnya saat Mekah dibawah kekuasaan Abdul Muthalib, ia memerintahkan untuk menemukan kembali sumur Zam-zam dan melakukan penggalian atasnya. Beruntung, lokasi sumur Zam-zam bisa ditemukan dan pasca penggalian Abdul Muthalib menemukan harta dan perhiasan yang tersembunyi didalamnya. Dengan harta tersebut, Abdul Muthalib mendanai renovasi Ka’bah termasuk renovasi sumur Zam-zam sehinggar akhirnya bisa dimanfaatkan kembali oleh penduduk kota Mekah. <ref>Ibn Katsir al-Damsiqi, al-Bidāyah wa al-Nihāyah, jld. 2, hlm. 244. </ref> | |||
==Janji Abdul Muthalib== | ==Janji Abdul Muthalib== | ||
Menurut sebagian perawi, pada peristiwa penggalian sumur Zam-zam yang mendapat mendapat penentangan dan protes dari pembesar-pembesar Quraisy lainnya, untuk memuluskan langkahnya, Abdul Muthalib melakukan nazar (janji) kepada dirinya sendiri bahwa jika ia mempunyai 10 anak, maka anak kesepuluhnya akan dia kurbankan di jalan Allah Swt di sisi Ka’bah. Proses penggalian sumur Zam-zampun mendapat kemudahan dari [[Allah Swt]] dan akhirnya bisa kembali dimanfaatkan seperti semula. | |||
Menurut sebagian perawi, pada peristiwa penggalian sumur Zam-zam yang mendapat mendapat penentangan dan protes dari pembesar-pembesar Quraisy lainnya, untuk memuluskan langkahnya, Abdul Muthalib melakukan nazar (janji) kepada dirinya sendiri bahwa jika ia mempunyai 10 anak, maka anak kesepuluhnya akan dia kurbankan di jalan Allah Swt di sisi Ka’bah. Proses penggalian sumur Zam-zampun mendapat kemudahan dari Allah Swt dan akhirnya bisa kembali dimanfaatkan seperti semula. | |||
Beberapa tahun setelahnya, Abdul Muthalib dikaruniai anak sampai sepuluh orang. Anak kesepuluh yang dia niatkan untuk dikurbankan, diberi nama Abdullah. Namun karena rasa sayangnya yang besar pada Abdullah, Abdul Muthalib mengganti nazarnya dengan mengurbankan seratus ekor unta untuk menggantikan posisi Abdullah. | Beberapa tahun setelahnya, Abdul Muthalib dikaruniai anak sampai sepuluh orang. Anak kesepuluh yang dia niatkan untuk dikurbankan, diberi nama Abdullah. Namun karena rasa sayangnya yang besar pada Abdullah, Abdul Muthalib mengganti nazarnya dengan mengurbankan seratus ekor unta untuk menggantikan posisi Abdullah. | ||
Ali Dawani dengan bersandar pada keyakinan bahwa Abdul Muthalib adalah seorang yang bertauhid, menolak kesahihan riwayat tersebut dengan mengajukan alasan, silsilah perawi pada riwayat berkenaan dengan peristiwa tersebut adalah orang-orang yang tidak bisa ditelusuri identitasnya dan menurutnya itu adalah riwayat buatan yang baru muncul pada masa dinasti Bani Umayyah, untuk menunjukkan Abdul Muthalib termasuk seorang yang musyrik, sehingga mereka bisa menjatuhkan posisi Imam Ali bin Abi Thalib As yang memiliki nasab dan silsilah yang terhormat.<ref>Dawani, Ali, Tarikh Isla az Agaz ta Hijrat, hlm. 45. </ref> | Ali Dawani dengan bersandar pada keyakinan bahwa Abdul Muthalib adalah seorang yang bertauhid, menolak kesahihan riwayat tersebut dengan mengajukan alasan, silsilah perawi pada riwayat berkenaan dengan peristiwa tersebut adalah orang-orang yang tidak bisa ditelusuri identitasnya dan menurutnya itu adalah riwayat buatan yang baru muncul pada masa dinasti [[Bani Umayyah]], untuk menunjukkan Abdul Muthalib termasuk seorang yang musyrik, sehingga mereka bisa menjatuhkan posisi [[Imam Ali bin Abi Thalib As]] yang memiliki nasab dan silsilah yang terhormat.<ref>Dawani, Ali, Tarikh Isla az Agaz ta Hijrat, hlm. 45. </ref> | ||
==Iman Abdul Muthalib== | ==Iman Abdul Muthalib== | ||
Menurut riwayat yang kuat, Abdul Muthalib menganut agama yang hanif dan tidak pernah menyembah berhala sekalipun dalam episode hidupnya. Salah seorang sejarahwan abad ketiga Hijriyah , Mas’udi setelah melakukan penelitian terhadap berbagai pendapat yang muncul berkenaan dengan iman dan agama Abdul Muthalib berpendapat, bahwa Abdul Muthalib tidak pernah menyembah berhala dan menganut agama yang hanif (lurus). <ref>Marwaj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 109. </ref> | Menurut riwayat yang kuat, Abdul Muthalib menganut agama yang hanif dan tidak pernah menyembah berhala sekalipun dalam episode hidupnya. Salah seorang sejarahwan abad ketiga Hijriyah , Mas’udi setelah melakukan penelitian terhadap berbagai pendapat yang muncul berkenaan dengan iman dan agama Abdul Muthalib berpendapat, bahwa Abdul Muthalib tidak pernah menyembah berhala dan menganut agama yang hanif (lurus). <ref>Marwaj al-Dzahab, jld. 2, hlm. 109. </ref> | ||
Syaikh Shaduq yang menukilkan riwayat dari Imam Shadiq As menyatakan bahwa Nabiullah Muhammad Saw pernah berkata kepada Imam Ali As: Abdul Muthalib tidak pernah kalipun bermain judi dan menyembah berhala. Selanjutnya ia berkata, “Aku memegang teguh agama nenek moyangku, Ibrahim.” <ref>Shaduq, Khashāl, jld. 1, hlm. 455. </ref> | [[Syaikh Shaduq]] yang menukilkan riwayat dari [[Imam Shadiq As]] menyatakan bahwa [[Nabi Muhammad Saw|Nabiullah Muhammad Saw]] pernah berkata kepada [[Imam Ali As]]: Abdul Muthalib tidak pernah kalipun bermain judi dan menyembah berhala. Selanjutnya ia berkata, “Aku memegang teguh agama nenek moyangku, Ibrahim.” <ref>Shaduq, Khashāl, jld. 1, hlm. 455. </ref> | ||
==Sunnah Abdul Muthalib== | ==Sunnah Abdul Muthalib== | ||
[[Syaikh Shaduq]] dalam kitab Khashāl menuliskan riwayat dari [[Imam Shadiq As]] yang menyebutkan Nabi Muhammad Saw berkata kepada Imam Ali As, “''Abdul Muthalib memiliki lima sunnah yang diberlakukannya pada masa jahiliyah, dan kelima sunnah tersebut tetap diberlakukan di masa Islam. Lima sunnah itu adalah, mengharamkan istri ayah untuk dinikahi anaknya, dan Allah Swt berfirman, “Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu.”'' <ref>Nisa’: ayat 22. </ref> | |||
Ia menemukan harta yang terpendam (maksudnya adalah harta yang ditemukannya pada saat penggalian [[sumur Zam-zam]]) dan mengeluarkan khumusnya.<ref>Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 206. </ref> Allah Swt berfirman mengenai hal tersebut, ''“Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah…”'' <ref>Al- Anfal: 41. </ref> | |||
Ia menemukan harta yang terpendam (maksudnya adalah harta yang ditemukannya pada saat penggalian sumur Zam-zam) dan mengeluarkan khumusnya.<ref>Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 206. </ref> Allah Swt berfirman mengenai hal tersebut, “Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sesungguhnya seperlima untuk Allah…” <ref>Al- Anfal: 41. </ref> | |||
Sewaktu sumur Zam-zam bisa kembali dimanfaatkan, Abdul Muthalib menyebutnya سقایة الحاج (tempat minum jamaah haji) yang diperuntukkan untuk menjamu jamaah haji. Mengenai pelayanan terhadap jamaah haji yang dilakukan Abdul Muthalib, Allah Swt berfirman, “Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah?” <ref>At-Taubah, ayat 19. </ref> | Sewaktu sumur Zam-zam bisa kembali dimanfaatkan, Abdul Muthalib menyebutnya سقایة الحاج (tempat minum jamaah haji) yang diperuntukkan untuk menjamu jamaah haji. Mengenai pelayanan terhadap jamaah haji yang dilakukan Abdul Muthalib, [[Allah Swt]] berfirman, ''“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam kamu samakan dengan orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta bejihad di jalan Allah?”'' <ref>At-Taubah, ayat 19. </ref> | ||
Abdul Muthalib menetapkan aturan diyah (denda) terhadap pembunuhan satu jiwa manusia sebanyak seratus ekor unta, dan hukum itu pula yang Allah Swt berlakukan dalam agama Islam. Ketika melakukan putaran saat tawaf di Ka’bah yang dilakukan kaum Quraisy sebelumnya tidak memiliki ketentuan jumlah, lalu oleh Abdul Muthalib ditetapkan ketentuan, saat tawaf yang dilakukan adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Aturan tawaf tujuh kali putaran itu pula yang kemudian hari ditetapkan dalam aturan fiqh haji dalam Islam. <ref>Shaduq, Khashāl, jld. 1, hlm. 455. </ref> | Abdul Muthalib menetapkan aturan diyah (denda) terhadap pembunuhan satu jiwa manusia sebanyak seratus ekor unta, dan hukum itu pula yang Allah Swt berlakukan dalam agama Islam. Ketika melakukan putaran saat tawaf di [[Ka’bah]] yang dilakukan kaum Quraisy sebelumnya tidak memiliki ketentuan jumlah, lalu oleh Abdul Muthalib ditetapkan ketentuan, saat tawaf yang dilakukan adalah mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh putaran. Aturan tawaf tujuh kali putaran itu pula yang kemudian hari ditetapkan dalam aturan fiqh haji dalam Islam. <ref>Shaduq, Khashāl, jld. 1, hlm. 455. </ref> | ||
Ya’qubi menulis, “Abdul Muthalib menjadi peletak batu pertama sunnah-sunnah yang kemudian dijalankan dan ditetapkan oleh Rasulullah Saw yang mendapat penegasan dengan turunnya ayat-ayat Ilahi yang berkenaan dengan hal tersebut. Diantaranya: Kesetiaan pada nadzar (janji), penetapan 100 ekor unta sebagai pembayaran diyah, pengharaman pernikahan dengan mahram, pelarangan memasuki rumah melalui atas atap, memotong tangan pencuri, pelarangan membunuh anak perempuan, mubahalah, pengharaman minumkan keras, pengharaman zina dan pemberlakukan hukum rajam untuk pelakunya, pengraman mengundi/judi, melarang tawaf dengan telanjang, penghormatan terhadap tamu, pengeluaran ongkos ibadah haji dari harta yang halal dan layak, memuliakan bulan-bulan haram dan pelarangan untuk berbuat riya dan berlaku nifak.” <ref>Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 207. </ref> | Ya’qubi menulis, “Abdul Muthalib menjadi peletak batu pertama sunnah-sunnah yang kemudian dijalankan dan ditetapkan oleh Rasulullah Saw yang mendapat penegasan dengan turunnya ayat-ayat Ilahi yang berkenaan dengan hal tersebut. Diantaranya: Kesetiaan pada nadzar (janji), penetapan 100 ekor unta sebagai pembayaran diyah, pengharaman pernikahan dengan mahram, pelarangan memasuki rumah melalui atas atap, memotong tangan pencuri, pelarangan membunuh anak perempuan, mubahalah, pengharaman minumkan keras, pengharaman zina dan pemberlakukan hukum rajam untuk pelakunya, pengraman mengundi/judi, melarang tawaf dengan telanjang, penghormatan terhadap tamu, pengeluaran ongkos ibadah haji dari harta yang halal dan layak, memuliakan bulan-bulan haram dan pelarangan untuk berbuat riya dan berlaku nifak.” <ref>Tarikh Tahqiqi Islam, jld. 1, hlm. 207. </ref> | ||
==Wafat== | ==Wafat== | ||
Menurut sumber yang masyhur, Abdul Muthalib meninggal dunia disaat Nabi Muhammad Saw berusia 8 tahun. <ref>Ibn Jauzi, al-Munadzham fi Tarikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 2, hlm. 282. </ref>Sejarahwan berbeda pendapat mengenai usia Abdul Muthalib saat wafatnya, ada yang berpendapat 82 tahun, 108 tahun dan 140 tahun. | Menurut sumber yang masyhur, Abdul Muthalib meninggal dunia disaat Nabi Muhammad Saw berusia 8 tahun. <ref>Ibn Jauzi, al-Munadzham fi Tarikh al-Umum wa al-Muluk, jld. 2, hlm. 282. </ref>Sejarahwan berbeda pendapat mengenai usia Abdul Muthalib saat wafatnya, ada yang berpendapat 82 tahun, 108 tahun dan 140 tahun. | ||
Disebutkan, sesaat sebelum meninggalnya, Abdul Muthalib mengumpulkan anak-anak perempuannya dan berkata, “Sebelum saya wafat, saya menginginkan kalian menangis untukku, bacakanlah syair kesedihan, sehingga kalian bisa mengatakan apa yang kalian hendak katakan setelah aku meninggal.” | Disebutkan, sesaat sebelum meninggalnya, Abdul Muthalib mengumpulkan anak-anak perempuannya dan berkata, ''“Sebelum saya wafat, saya menginginkan kalian menangis untukku, bacakanlah syair kesedihan, sehingga kalian bisa mengatakan apa yang kalian hendak katakan setelah aku meninggal.”'' | ||
Seketika itu pula, anak-anak perempuan Abdul Muthalib menangisinya dan membacakan sajak-sajak kepiluan. | Seketika itu pula, anak-anak perempuan Abdul Muthalib menangisinya dan membacakan sajak-sajak kepiluan. | ||
Dinukilkan dari Ummu Aiman, yang berkata, “Muhammad mendatangi jenazah Abdul Muthalib dan kemudian menangis. Jenazah Abdul Muthalib dibawa ke Hujun dan dimakamkan di sisi kakeknya, Qushai bin Kilab. <ref>Ibn Atsir, Asad al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm. 23. </ref> | Dinukilkan dari Ummu Aiman, yang berkata, “Muhammad mendatangi jenazah Abdul Muthalib dan kemudian menangis. Jenazah Abdul Muthalib dibawa ke Hujun dan dimakamkan di sisi kakeknya, Qushai bin Kilab. <ref>Ibn Atsir, Asad al-Ghabah fi Ma’rifah al-Shahābah, jld. 1, hlm. 23. </ref> | ||
==Keturunannya== | ==Keturunannya== | ||
Diriwayatkan Abdul Muthalib memiliki 10 orang putra yang bernama: Harits, Abdullah, Zubair, Abu Thalib, [[Hamzah]], Maqum, Abbas, Dharar, Qatsam, [[Abu Lahab]] (nama lainnya Abdul ‘Azi) dan Ghaidaq.<ref>Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722. </ref> | |||
Diriwayatkan Abdul Muthalib memiliki 10 orang putra yang bernama: Harits, Abdullah, Zubair, Abu Thalib, Hamzah, Maqum, Abbas, Dharar, Qatsam, Abu Lahab (nama lainnya Abdul ‘Azi) dan Ghaidaq.<ref>Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722. </ref> | |||
Ia juga memiliki enam anak perempuan yang bernama: Atikah, Shafiyah, Amimah, Barah, Urwa dan Ummu Hakim.<ref>Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722. </ref> | Ia juga memiliki enam anak perempuan yang bernama: Atikah, Shafiyah, Amimah, Barah, Urwa dan Ummu Hakim.<ref>Affarinasy wa Tārikh/trej, jld. 2, hlm. 722. </ref> | ||
Baris 146: | Baris 134: | ||
[[en:'Abd al-Muttalib]] | [[en:'Abd al-Muttalib]] | ||
[[ur:عبدالمطلب بن ہاشم]] | [[ur:عبدالمطلب بن ہاشم]] | ||
[[Kategori:Keluarga-keluarga Arab]] | |||
[[Kategori:Pembesar Quraisy]] | |||
[[Kategori:Pembesar Quraisy]] |