Mahar

Prioritas: c, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Mas kawin)

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Mahar (bahasa Arab:الصداق, alshidaq) adalah harta yang dibayarkan oleh laki-laki ketika menikah untuk diberikan kepada pihak wanita. Mahar adalah hak wanita dan ia dapat menuntut segera setelah akad nikah dilaksanakan. Setelah wanita itu meninggal dunia, hak ini akan sampai kepada hak warisnya dan pihak penerima waris dapat menuntuk hak mahar tersebut dari laki-laki (jika belum dibayarkan).

Tidak ditentukannya jumlah mahar dalam pernikahan sementara (berdasarkan fatwa masyhur para Marja), akan menyebabkan pernikahan menjadi batal. Alquran menganjurkan kepada pihak laki-laki untuk memberikan mahar dengan keridhaan penuh dan ia tidak memiliki hak jika ia misalnya sedang membencinya, kemudian ia menyakiti istrinya dengan mengambil hak mahar dari istrinya atau meminta sebagian dari istrinya untuk dikembalikan.

Pada tahun-tahun terakhir, jumlah mahar yang tinggi akan mendatangkan berbagai permasalahan kemasyarakatan dan menyebabkan banyak laki-laki masuk dalam penjara. Dalam hadis-hadis disebutkan bahwa mahar yang tinggi merupakan tanda-tanda keburukan wanita dan dianjurkan supaya mahar setara dengan mahar sunnah (mahar Sayidah Fatimah az-Zahra sa yang jumlahnya kira-kira 1250 hingga 1500 gram perak (pada zaman itu seukuran dengan 170-223 gram emas).

Sejarah Mahar

Mahar secara leksikal adalah sesuatu yang harus diserahkan oleh pihak suami ketika menikah dan secara terminologis mahar adalah harta yang menjadi milik perempuan karena adanya pernikahan, laki-laki harus membayar mahar kepada pihak perempuan.

Macam-macam mahar sebelum datangnya agama Islam juga ada dalam Undang-undang Hamurabi, para pengikut Zoroaster, Iran zaman duhulu, orang-orang Arab dan Yunani namun diantara kaum Kristen tidak ada kebiasaan pemberian mahar dari pihak laki-laki kepada pihak perempuan. [1]

Pada zaman dahulu, para ayah dan ibu menilai bahwa mahar adalah hak susah payah dan harga ASI bagi anak perempuannya. Oleh karena itu, pada pernikahan Syighar yang merupakan bentuk pernikahan pada masa jahiliyyah, pertukaran anak perempuan atau saudara perempuan dinilai sebagai mahar tanpa anak perempuan itu sendiri menggunakan maharnya. Islam meniadakan kebiasaan ini.

Jika seorang wanita selama kehidupan pernikahannya berada di rumah suaminya dan melakukan semua hal-hal yang diperintahkan oleh suaminya, maka ia berhak untuk mendapat imbalan yang disebut dengan ajrul mitsli (upah yang sepadan).

Setelah akad nikah diucapkan, masing-masing pihak baik suami maupun istri memiliki hak-hak dan kewajiban yang harus dijalankan, diantaranya adalah pihak suami harus memberikan nafkah, mahar, ajrul mitsli, nihlah (pemberian kepada perempuan tanpa tuntutan untuk mengembalikan) dan -jika disyaratkan ketika akad nikah- pembagian harta laki-laki menjadi dua. Sebagian hak dan kewajiban ini menjadi tanggung jawab laki-laki setelah terjadi akad nikah seperti pemberian nafkah dan mahar, dan sebagiannya lagi menjadi tanggung jawabnya jika terjadi perceraian diantara mereka seperti ajrut mitsli dan pembagian harta menjadi dua.

Dalam pernikahan permanen, tidak perlu untuk menentukan mahar sebelum menikah dan kedua belah pihak bisa menyepakatinya setelah akad nikah namun jika dalam pernikahan sementara mahar tidak ditentukan, maka berdasarkan fatwa masyhur marja taklid, akadnya menjadi batal. [2]

Mahar dalam Ayat dan Riwayat

Kata mahar tidak digunakan dalam Alquran, [3] namun kata-kata seperti "shaduqāt" [4], "ujur" (sebagian besar berkaitan dengan mut'ah dan pernikahan dengan budak), [5] "shadāq" dan "faridhah" [6] adalah sebagai ganti dari mahar.

Menurut Alquran tidak membayar mahar yang merupakan hak bagi perempuan adalah merupaan perbuatan dzalim dan dosa besar. [7]

Dalam ayat و ءاتُوا النِّساءَ صَدُقاتِهِنُّ نِحلَة [8], mahar disebut dengan nama "shaduqah". Kata ini berasal dari kata "shidq" yang menunjukkan tanda cinta sejati lelaki kepada perempuan [9]. Kata ganti "hunna" menunjukkan bahwa mahar diperuntukkan bagi kaum perempuan, bukan untuk ayah ataupun ibu sehingga keduanya bisa memanfaatkannya sebagai upah bagi mereka berdua. Kata "nihlah" menunjukkan bahwa mahar adalah pemberian yang tidak dituntut untuk mengembalikan bukan merupakan harga perempuan sebagaimana pada masa dewasa ini dimana sebagian orang salah memahami bahwa mahar adalah harga perempuan sehingga mereka menginginkan harga mahar yang tinggi dan menganggap mahar yang disarankan oleh Islam jauh dari martabat perempuan. Mahar perempuan adalah "nihlah" dan anugerah Allah yang diberikan kepada para perempuan dan laki-laki tidak boleh menjadikannya sebagai hal supaya pihak perempuan berhutang budi kepadanya atas mahar yang diberikan kepadanya.

Imam Baqir as bersabda: الصداق ما تراضيا علیه قل او کثر; Shadaq (mahar) adalah sesuatu yang diridhai oleh kedua belah pihak, baik sedikit atau pun banyak. [10] Tentang batasan maksimal mahar menurut syariat, tidak bisa ditentukan kadar tertentu. Imam Shadiq as bersabda: Salah satu hal yang tidak akan diampuni pada hari kiamat adalah mahar yang tidak dibayarkan kepada pihak perempuan. [11]

Dalam beberapa riwayat disebutkan bahwa salah satu keburukan perempuan adalah maharnya yang tinggi [12] dan hal itu dinilai sebagai penyebab dalam menimbulkan kebencian dalam keluarga. [13] Nabi Muhammad saw bersabda: Tiga golongan perempuan yang tidak akan diazab di kuburan dan akan dibangkitkan bersama dengan Sayidah Fatimah Zahra sa: Perempuan yang bersabar atas kemiskinan suaminya, perempuan yang tetap bersabar dengan perilaku buruk suaminya dan istri yang memberikan maharnya kepada suaminya. [14]

Mahar Sunnah

Dalam sebuah hadis dari Imam Ridha as tentang ukuran mahar dalam sunnah, yang terkenal dengan istilah Mahr al-Sunnah, berjumlah lima ratus dirham. [15] Sumber-sumber sejarah menyebutkan bahwa mahar Sayidah Fatimah Zahra sa adalah 400 hingga 500 dirham [16] kurang lebih 1250 [17] sampai 1500 gram perak. [18] Dengan memperhatikan bahwa pada masa itu setiap 10 dirham perak setara dengan satu dinar emas, maka Mahr al-Sunnah setara dengan 170-223 gram emas. [19] (nilai perkiraan ini beragam dan dengan melihat perbedaan pendapat dalam kadar dirham dan dinar) [20]

Jenis-jenis Mahar

Dalam Islam terdapat 3 jenis mahar:

Mahar Musamma

Mahar Musamma adalah mahar yang jumlahnya telah disetujui oleh kedua belah pihak sebelum terjadi akad nikah dan hal itu disebutkan dalam akad nikah atau setelah akad nikah baru terjadi kesepakatan seberapa besar mahar yang akan diberikan pihak laki-laki kepada pihak perempuan. Mahar harus ditentukan secara jelas antara kedua belah pihak dan tidak samar-samar. [21] Syarat-syarat Mahar Musamma

  • Memiliki nilai harta dan ekonomi
  • Bisa dimiliki dan dipindahkan
  • Jumlahnya disebutkan secara jelas
  • Bentuknya telah ditetapkan dan disebutkan
  • Memiliki manfaat secara akli dan dibolehkan bagi syar'i
  • Suami memiliki kemampuan untuk membayar mahar

Penetapan ukuran mahar berdasarkan pasal 1080 Undang-undang Sipil Perkawinan di negara Republik Islam Iran berdasarkan keridhaan kedua belah pihak dan ukurannya dalam hal ini tidak ditetapkan dalam Undang-undang, namun berdasarkan riwayat, mustahab untuk menjadikan mahar sunah sebagai ukuran.

Mahar Mitsli

ketika belum ada kesepakatan jumlah mahar disaat pembacaan akad nikah daim, atau mahar yang telah ditentukan menjadi batal namun kedua suami istri telah melakukan hubungan badan, maka dalam keadaan ini penentuan mahar disesuaikan dengan kedudukan perempuan itu berdasarkan kebiasaan masyarakat setempat dan keadaan khusus pihak perempuan seperti keluarga, pendidikan, umur, pekerjaan dan semacamnya. Jenis mahar ini disebut dengan mahar mitsil yaitu mahar yang seukuran dengan martabat perempuan-perempuan seperti ia.

Mahar Mut'ah

Setiap kali dalam akad nikah tidak disebutkan jumlah maharnya dan suami menceraikan istrinya sebelum menggauli istrinya, maka perempuan berhak untuk mendapatkan mahar mut'ah. [22]

Perwalian Mahar

Apabila dalam akad, penentuan mahar diserahkan kepada salah satu pihak atau pihak lain maka hal itu tidak masalah dan disebut dengan tafwidh (Perwalian mahar) dan dalam hal ini pihak perempuan tidak bisa menentukan jumlah mahar lebih dari mahar mitsil.

Hal-Hal yang Menyebabkan Mahar Menjadi Setengah

  • Jika mahar telah ditentukan dalam akad nikah atau setelah akad nikah kemudian terjadi perceraian sebelum terjadi hubungan suami istri, dalam keadaan ini, pihak perempuan berhak untuk menerima setengah dari mahar musamma. [23]
  • Jika mahar belum ditentukan dan akad batal karena adanya aib 'anan (ketidakmampuan laki-laki dalam masalah seks) maka pihak perempuan berhak untuk mendapatan setengah dari jumlah mahar mitsil.

Masalah Sosial Akibat Mahar yang Tinggi

Konsekuensi dari mahar yang tidak proporsional yang sesuai dengan kemampuan manusia dan adanya mitos tidak benar "Siapa yang memberi dan siapa yang menerima" adalah adanya para tahanan karena masalah mahar berat atau angsuran berat yang harus dibayar hingga puluhan tahun atau bahkan ratusan tahun bagi pihak laki-laki untuk membayar mahar. [24] Permasalahan ini menjadikan motivasi sebagian orang khususnya bagi laki-laki untuk menikah semakin turun dan menjadikan usia menikah semakin meningkat atau menjadikan seseorang menjadi perawan tua. Pada tahun-tahun terakhir, sebagian telah berupaya untuk memecahkan masalah ini, namun usaha tersebut belum cukup untuk menyelesaikan permasalahan ini.

Mahar diberikan jika diminta atau jika mampu

Salah satu cara-cara untuk mengurangi jumlah orang-orang yang dipenjara adanya kaidah "jika diminta atau jika mampu" ketika akad dilaksanakan. Apabila ketika melaksanakan sighah nikah dan menandatangani penulisan syarat "jika mampu" maka ketika perempuan meminta mahar, jika pihak laki-laki tidak mampu membayar mahar, maka laki-laki akan dibebaskan dari penjara dengan tetap berkewajiban membayar mahar sejumlah kemampuannya. Jika penandatanganan dengan syarat "jika diminta" atau tidak ada syarat khusus dalam akad nikah, maka pihak perempuan bisa meminta semua jumlah mahar yang telah ditentukan dan jika pihak laki-laki tidak mampu untuk membayar mahar yang telah ditentukan, maka penjara akan diberlakukan jika pihak perempuan meminta untuk memenjarakan pria. [25]

Peraturan 110 Uang Logam Emas

Pada masa dahulu, apabila mahar diminta dan jumlahnya besar, jika tidak dibayar dalam sekali waktu, maka pihak perempaun bisa memenjarakan pihak laki-laki, namun berdasarkan pasal 22 Undang-undang Sipil Perkawinan baru di negara Republik Islam Iran (Isfand 1390 Syamsi/2011) apabila mahar lebih dari 110 uang logam emas, pihak laki-laki harus membayar sebanyak 110 logam uang emas (dan jika tidak, maka pihak laki-laki harus masuk penjara dengan keinginan pihak perempuan) namun dalam membayar mahar, pihak pengadilan melihat kemampuan laki-laki, apabila ia memiliki kemampuan untuk membayar lebih dari 110 uang logam emas, ia harus membayarnya dan jika ia tidak memiliki kemampuan untuk membayarnya maka ia tidak akan dipenjarakan namun ia harus membayar sisa mahar sesuai dengan perjalanan waktu. [26]

Kritikan Ayatullah Makarim Syirazi

Ayatullah Makarim Syirazi menilai bahwa adanya niat untuk tidak membayar mahar ketika menentukan mahar, tidak adanya ketaatan perempuan setelah menerima angsuran pertama mahar dan penentuan ketidakmampuan secara ekonomi laki-laki oleh pihak laki-laki itu sendiri, pada dasarnya berlawanan dengan hukum syariat dan sebagian peraturan-peraturan mahar telah menciderai hukum Islam dan menjadikan kehormatan Islam menjadi hilang. [27] Ayatullah Makarim Syirazi berpendapat bahwa mahar berat adalah sesuatu yang tidak benar dan dalam akad pihak laki-laki hanya bertanggung jawab untuk membayar mahar mitsil. [28] Pada masa lalu juga sebagian fukaha tidak membenarkan adanya mahar melebihi dari mahar sunnah dan berkata: Apabila seseorang menentukan mahar melebihi nilai mahar sunnah, maka jumlah maharnya kembali kepada mahar sunnah dan laki-laki tidak wajib untuk membayarkan mahar melebihi mahar sunnah. [29]

Penghitungan Mahar Sunah berdasarkan nilai hari ini

Jika mahar berupa mata uang atau sesuatu yang telah ditentukan maka harus dibayarkan sesuai dengan harga mata uang atau sesuatu itu sendiri, namun jika mahar diberikan dengan secara tunai, maka harga mahar, demi melindungi hak-hak perempuan, disesuaikan dengan keadaan ekonomi suatu negara dan nilai inflasinya.[30] dimana dalam hal ini pihak Bank Markazi (sentral) akan mengumumkan indeks harga tahunan. Indeks harga tahunan, setiap tahun akan diumumkan oleh Bank Markazi. [31] Sebagian ulama mengkritik adanya proses ini dan menilai bahwa hal itu berlawanan dengan kaedah-kaedah fikih yang ada. [32]

Catatan Kaki

  1. Site Dukhtarān.
  2. Majalah Hauzah
  3. Farhang Maudhu'i Qurān Majid, Karya Kamran Fani dan Bahauddin Khuramsyahi, frasa Mahar.
  4. (Qs An-Nisa [4]: 4)
  5. Dr Muhammad Khazaili, Ahkām Alqurān, hlm. 47.
  6. و ان طلقتموهن من قبل ان تمسوهن و قد فرضتم لهن فریضة فنصف ما فرضتم
  7. (Qs. An-Nisa [4]: 20 dan 21).
  8. (Qs Nisa [4]: 4).
  9. Masālik al-Afhām, jld. 3, hlm. 184.
  10. Wasāil, jld. 14, hlm. 604.
  11. Wasāil, jld. 14, hlm. 26.
  12. Mizan al-Hikmah, jld. 2, hlm. 1182: «أما شُوم المزأةِ فَکثرةُ مَهرِها و عُقوقُ زَوجِها».
  13. Perawi meriwayatkan dari Nabi Muhammad saw: Mudahkanlah dalam urusan mahar karena laki-laki telah membayar bangsal yang berat bagi perempuan, namun dihatinya timbul sikap permusuhan. (Mizān al-Hikmah, jld. 2, hlm. 1182).
  14. Mawā’idz al-Adidah, hlm. 75.
  15. Bihār al-Anwār, jld. 93, hal 170, riwayat ke-10.
  16. Ibnu Syahr Asyub, Manāqib, Muasasah Intisyarat Allamah, tanpa tahun, jld. 3, hlm. 350 dan 351; Muttaqi Hindi, Fadhil, Kanz al-Ummal, Muasasah al-Risalah, jld. 13, hal 680.
  17. Site Ayatullah Bahjat
  18. Terkait dengan ukuran dan timbangannya secara tepat, terdapat perbedaan diantara para ulama.
  19. Site Ayatullah Sistani
  20. Jawāhir al-Kalām, jld. 15, hlm. 174-179; Taudhih al-Masāil Marāji, jld. 2, hlm. 129; cet. 8, Intisyarat Jamiah Mudarisin, Qum, 1424 H.
  21. Pasal 1079 Undang-undang Sipil Perkawinan di negara Republik Islam Iran.
  22. Pasal 1093 Undang-undang Sipil Perkawinan di negara Republik Islam Iran.
  23. Pasal 1092 Undang-undang Sipil Perkawinan di negara Republik Islam Iran.
  24. Site Alif
  25. Site Zendanhai Iran
  26. Basygah Khabar Negar Jawan.
  27. Site Khabar Online
  28. Portal Anhar
  29. Jawāhir al-Kalām, jld. 31, hlm. 15-18, jld. 31, hlm. 47.
  30. Pada tahun 1376 syamsi/1997, Keterangan terkait dengan pasal 1082 Undang-undang Sipil Perkawinan di negara Republik Islam Iran.
  31. Site Tabnak
  32. Makalah Tabdil Mehriye be Nerh Ruz

Daftar Pustaka

  • Kamran Fani, Bahauddin Khuramsyahi. Farhang Maudhu'i Qurān Majid: Al-Fehrest al-Maudhu'i lil Qurān al-Karim. Intisyarat Huda, 1369 HS.
  • Khazaili, Dr Muhammad. Ahkām Alqurān. Intisyarat Jawidan.
  • Al-Syahid al-Tsani, Zainuddin bin Ali al-Amili. Masālik al-Afhām. Qom: Muasasah al-Ma'arif al-Islamiyah, 1414 H.
  • Syaikh Hur Amili, Muhammad bin Hasan. Wasāil Syiah. Qom: Muasasah Al al-Bayt as, 1409 H.
  • Muhammadi Rey Syahri. Mizān al-Hikmah. Intisyarat Dar al-Hadits.
  • Misykini, Ali. گگMawā'idh al-Adadiyah. Nasyar al-Huda.
  • Ibnu Syahr Asyub. Manāqib. Muasasah Intisyarat Allamah, Tanpa tahun.
  • Muttaqi Hindi, Fādhil. Kanz al-Umal. Muasalah al-Risalah.
  • Allamah Majlisi, Muhammad Baqir. Bihār al-Anwār. Dar al-Kihtab al-Islamiyah, Tehran, 1362 HS.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalām. Intisyarat Dairah al-Ma'arif Fiqh Islami.
  • Taudhih al-Masail Marāji'. Qom: Initsyarat Mudarisin.
  1. ALIH Templat:Wanita dalam Alquran