Muhammad bin al-Hanafiyah

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Muhammad bin Hanafiyah)
Keturunan Imam
Muhammad bin Hanafiyah
PeranPerawi hadis • Pemegang panji dalam Perang Jamal
NamaMuhammad bin Hanafiyah
KunyaAbul Qasim
Terkenal denganIbnu Hanafiyah
Afiliasi AgamaIslam
AyahImam Ali as
IbuKhulah Hanafiyah
Lahirtahun 16 H/637
Tempat LahirMadinah
Tempat TinggalMadinah, Thaif, Mekah
Anak-anakAbdullah • Hasan • Ibrahim • Aun
Wafattahun 81 H/700
Tempat DimakamkanAilah atau Madinah atau Thaif
Masa Hidup65 tahun

Muhammad bin Hanafiyah (bahasa Arab: محمد بن الحنفية) putra dari pasangan Imam Ali as dengan Khulah Hanafiyah (putri Ja'far bin Qais) adalah termasuk dari Tabi'in tingkat pertama yang lahir pada tahun 16 H/637 pada masa pemerintahan Umar bin Khattab dan meninggal pada tahun 81 H/700 dalam usianya ke-65 di Ailah atau Thaif atau Madinah di periode kekhilafahan Abdul Malik bin Marwan.

Terkadang dia dipanggil dengan nama Muhammad bin Ali dan Muhammad Akbar. Julukannya Abul Qasim. Ia ikut serta dalam Perang Shiffin dan Jamal, dan menjadi pemegang panji pasukan Imam Ali as di Perang Jamal. Pasca kesyahidan Imam Husain as, menurut sebagian pendapat, ia mengaku imam, namun setelah ada penyaksian dari Hajar Aswad akan keimamahan Imam Sajjad as ia menarik kembali klaimannya.

Kelompok Kisaniyah meyakini Muhammad bin Hanafiyah sebagai imam mereka. Sesuai dengan suratnya yang ditulis kepada Mukhtar, golongan Kisaniyah lah yang menyelamatkan dia dari Abdullah bin Zubair. Dialah orang pertama yang dikenal dengan Mahdi Mau'ud as. Sikap politisnya dalam kehidupannya sangat damai.

Nama, Nasab dan Kelahiran

Terkenalnya dengan sebutan Ibnu Hanafiyah adalah karena ibunya (Khulah), putri Ja'far bin Qais [1] berasal dari kabilah Bani Hanafiyah. Menurut pandapat sebagian peneliti ibunya seorang budak yang menjadi tawanan pada penyerangan Bani Asad terhadap Bani Hanafiyah di masa khilafah Abu Bakar dan Imam Ali as membelinya serta membebaskannya, lalu menikah dengannya.

Karena tanggal meninggalnya terjadi pada tahun 81 H/700 dan pada saat itu ia berumur 65 tahun, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa ia lahir pada tahun 16 H/637. [2] Jululukan Ibnu Hafiyah adalah Abul Qasim.[3]

Muhammad Hanafiyah dan Imam Ali as

Setelah Imam Ali as sakit karena efek dari tebasan pedang Ibnu Muljam, beliau berwasiat kepada Anak-anaknya. Setelah berwasiat kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as, beliau mengalihkan pandangannya kepada Muhammad Hanafiyah dan mengatakan: Apakah kamu mengingat apa yang telah saya wasiatkan kepada saudaramu? Muhammad Hanafiyah menjawab: iya, Imam berkata kembali, kalau begitu dengan kebesaran yang dimiliki oleh saudaramu dan pengormatannya kepadamu, saya mewasiatkan kepada kamu untuk mengikuti segala perintahnya dan janganlah sama sekali menentukan suatu kerjaan tanpa bermusyawarah dengannya. Lalu beliau berkata kepada Imam Hasan as dan Imam Husain as : saya mewasiatkan dia kepada kalian karena dia adalah saudaramu dan anak dari ayah kalian sendiri dan kalian juga mengetahui bahwa ayah kalian senang kepadanya.[4]

Hadir Dalam Perangnya Imam Ali as

Perang Jamal

Perang Jamal terjadi pada tahun 36 H/656. Pada saat Muhammad berhenti menyerang, Ali as mengambil panjinya. Setelah laskar Jamal mulai beruntuhan, Ali as menyerahkan kembali panjinya kepada Muhammad seraya berkata: Dengan serangan ulang, tutupilah seranganmu yang lalu. Atas bantuan Khuzaimah bin Tsabit (Dzu Syahadatain) dan sejumlah orang Anshar yang kebanyakan mereka penduduk Badar ia melakukan serangan bertubi-tubi dan mampu mencerai beraikan pasukan laskar Jamal.[5]

Ibnu Khallikan menukil dari ucapan seorang tak dikenal bahwa Ibnu Hanafiyah bimbang dalam memegang panji pasukan Imam Ali as di perang Jamal dan bahkan sempat memprotes ayahnya.[6] Namun pada akhirnya ia mau memegang panji itu. Thabari, Ibnu Katsir dan Ibnu Jauzi tanpa menyindir soal keraguannya, menyebutkan kisah pemegangan panji perang Jamal ditangan Muhammad bin Hanafiyah.[7]

Perang Shiffin

Muhammad Hanafiyah hadir dalam Perang Shiffin dan dia termasuk salah satu panglima perang dalam perang tersebut.[8]

Allamah al-Majlisi menukil sebuah cerita tentang Muhammad Hanafyah hadir dalam Perang Shiffin: Suatu hari dalam Perang Shiffin, Imam Ali as menugaskan Muhammad Hanafiyah untuk menyerang dari sisi kanan pasukan musuh. Muhammad Hanafiyah bersama dengan pasukannya melakukan penyerangan dan pasukan Muawiyah mengalami kekalahan dan dia kembali dalam keadaan terluka. Namun setelah beberapa jam kemudian, Imam Ali as menugaskan lagi Muhammad Hanafiyah untuk menyerang dari sisi kiri pasukan musuh. Dia bersama dengan pasukannya melakukan penyerbuan dan berhasil menaklukkan lawan dan lagi-lagi Muhammad Hanafiyah terluka akibat perang tersebut. Kemudian Imam Ali as berkata: Bangkitlah dan seranglah tepat di jantung pasukan musuh! Muhammad Hanafiyah menyerang jantung pertahanan pasukan Muawiyah dan lagi lagi dia bersama pasukannya mengalami kemenangan atas musuh dan ketika dia kembali, dia mengalami luka yang sangat berat dan sangat menyakitkan.

Imam Ali as mencium diantara dua mata Muhammad Hanafiyah dan berkata: Saya bersumpah dengan nama Tuhan bahwa kamu telah membuat saya gembira, kenapa kamu menangis, apakah karena senang atau takut? Muhammad Hanafiyah berkata: Saya menangis karena saya tiga kali hampir mencicipi cawan syahadah, namun Allah swt mengembalikan saya dalam keadaan selamat. Setiap kali saya kembali, Ayahanda tidak memberikan kesempatan kepada saya tapi ayahanda sama sekali tidak memerintahkan kedua saudaraku, Hasan dan Husain. Imam kemudian mencium kepala Muhammad Hanafiyah dan berkata kepadanya: wahai anakku, kamu adalah anak saya tapi mereka adalah anak-anak Nabi Muhammad saw, apakah saya tidak boleh menjaga mereka? Muhammad Hanafiyah berkata: kenapa Tidak wahai Ayahandaku, demi Tuhan aku korbankan diriku untukmu dan kedua saudaraku.[9]

Perang Nahrawan

Muhammad Hanafiyah juga hadir dalam perang Nahrawan dan dia termasuk pemegang panji pasukan.[10]

Kedudukannya Dalam Menukil Hadis

Dia meriwayatkan hadis dari ayahnya, Ali as, Umar bin Khattab, Abu Hurairah, Ammar bin Yasir, Muawiyah dll. Anak-anaknya, Abdullah, Hasan, Ibrahim dan Aun, dan juga pribadi-pribadi lain seperti Salim bin Abi Ju'd, Mundzir Tsauri, Imam Baqir as, Abdullah bin Muhammad Aqil, Amr bin Dinar,Muhammad bin Qais, Abdul A'la bin Amir dan yang lain menuikil hadis darinya.[11]

Di Madinah ia membuat majelis-majelis ilmu. Majelis ilmu inilah yang menjadi sumber munculnya pemikiran-pemikiran yang lain, hingga mencapai satu tingkatan dimana majelis pelajarannya dapat bersaing dengan majelis ilmu Hasan Basri di Basrah. Sebagaimana majelis itu dikenal menjadi sumber munculnya pemikiran-pemikiran Mu'tazilah, aliran Sufi dan kaum puritan, murid-murid madrasah ini pun dikenal sebagai perintis pemikiran-pemikiran teologi. Contohnya, dua anak Ibnu Hanafiyah yaitu Abdullah yang dijuluki Abu Hasyim dan Hasan yang dijuluki Abu Muhammad adalah akademisi dari majelis pelajaran ini, yang mana Abu Hasyim menjadi perantara pemikiran-pemikiran Mu'tazilah dan Abu Muhammad menjadi perintis pemikiran Irja'.[12]

Absen di Karbala

Ulama dan pakar ilmu rijal Syi'ah memberikan juftifikasi dalam membela Muhammad bin Hanafiyah atas ketidakhadirannya pada peristiwa Karbala. Menurut keyakinan mereka keabsenan Ibnu Hanafiyah bukan didasari oleh ketidakpatuhan dan penentangan dan dia memiliki alasan-alasan yang bisa ditolerir dalam ketikbersamaannya dengan Imam Husain as diantaranya:

  • Muhamad bin Hanafiyah mengalami sakit saat Imam Husain as mau berangkat dari Madinah dan Makkah

Salah satu alasan yang dibawa oleh Allamah al-Hilli dalam menjawab Mahna bin Sinan atas ketidakhadiran Muhammad bin Hanafiyah di Karbala adalah sakitnya Muhammad saat Imam as keluar dari Madinah.[13] Sebagian orang menyebutkan bahwa ia menderita sakit mata.[14]

  • Muhammmad bin Hanafiyah diberi tugas oleh Imam as untuk diam di Madinah

Ibnu A'tsam Kufi menukil bahwa disaat Imam as mau keluar dari Madinah dan Muhammad tidak mampu menahannya untuk tetap tinggal di Madinah, beliau berkata kepada Muhammad bin Hanafiyah: Menetapnya engkau di Madinah tidak bermasalah agar supaya engkau menjadi spionaseku ditengah-tengah mereka dan engkau melaporkan semua urusan mereka kepadaku.[15]

  • Muhammad bin Hanafiyah tidak diperintah oleh Imam as untuk ikut bangkit dan menemani beliau.

Pengarang buku Tanqih al-Maqāl berkeyakinan bahwa karena Imam Husain as di Madinah atau Mekah tidak memerintahkan seseorang untuk ikut, maka Muhammad bin Hanafiyah dalam ketidakhadirannya bersama beliau tidak melakukan suatu perbuatan yang dapat mempersoalkan sifat adilnya. Ia menulis: "Disaat Imam Husain as keluar dari Hijaz menuju Irak ia tahu bahwa dirinya akan gugur sebagai syahid, namun secara lahiriyah beliau tidak berangkat dengan niat perang bersenjata sehingga tidak wajib bagi semua mukallaf untuk keluar menemani beliau sebagai bentuk jihad. Akan tetapi Imam as berangkat berlandaskan tanggung jawabnya yaitu memegang kepemimpinan lahiriyah umat yang telah mengundangnya. Dalam kondisi ini, tidak wajib bagi orang lain untuk pergi bersama Imam as, dan jika sesorang tidak bersamanya maka ia tidak berbuat dosa. Akan tetapi yang berdosa adalah orang yang punya andil dalam kebangkitan Karbala dan pengepungan Imam Husain as di hari Asyura, dan meskipun ia melanggar Imam tetapi tidak bergegas menolong beliau.

Adapun orang-orang yang tinggal di Hijaz dan sejak awal tidak pergi bersama Imam as, maka dari awal mereka tidak berkewajiban bergerak dan bersama beliau. Ketidakbersamaan mereka dengan Imam as bukan sebuah pelanggaran dan menyebabkan kefasikan dan dosa mereka. Mamaqami setelah menjelaskan premis-premis ini mengatakan, Dengan demikian, ada sejumlah orang-orang shaleh dan baik yang pada saat itu tidak tercatat kemulian mati syahid bagi mereka dan menetap di Hijaz, dan tidak diragukan bahwa seorang pun tidak meragukan keadilan mereka. Jadi, ketidakhadiran Muhammad bin Hanafiyah dan Abdullah bin Ja'far bukan karena pembangkangan atau penyimpangan mereka berdua.[16] Dalam buku Itsbat al-Hudāh juga dinukil sebuah hadis dari Imam Shadiq as bahwasanya Hamzah bin Hamran berkata: Kami menyebut keluarnya Imam Husain as dan ketidakikutan Ibnu Hanafiyah di sisi Imam as, ia berkata: Hai Hamzah! Aku sampaikan sebuah hadis kepadamu yang setelah ini engkau jangan menanyakan lagi soal ini, saat Husain as meninggalkan Madinah ia meminta kertas dan menulis:

"Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Dari Husain bin Ali bin Abi Thalib untuk Bani Hasyim, Amma Ba'du: setiap orang dari kalian yang bergabung denganku akan gugur sebagai syahid, dan setiap orang yang tidak melakukan ini maka tidak akan mendapatkan kemenangan, Wassalam".[17]

Allamah al-Majlisi dalam menjelaskan kalimat Imam Husain as diatas berkata: "lahiriyah kalimat ini berbentuk celaan namun ada kemungkinan juga bahwa beliau memberikan pilihan antara datang dan tidak datang. Karena datang bukan perintah wajib tapi pilihan, maka pelanggarannya tidak terhitung dosa".[18]

Setelah Husain bin Ali as dipaksa berbait kepada Yazid dan menolaknya, Muhammad bin Hanafiyah mengusulkan saudaranya pergi ke Mekah supaya jiwanya terjaga aman dan jika di sana diancam maka pergi ke Yaman, dan jika di Yaman kondisi juga tidak aman maka berlindunglah di pesisiran dan pinggiran gunung. Imam Husain as mengapresiasi pendapatnya seraya berkata: "Saudaraku! tetaplah engkau di Madinah dan jadilah mata-mataku disini serta laporkan semua urusan musuh kepadaku". [19]

Relasi Dengan Kisaniyah Dan Mukhtar

Menurut dugaan Kisaniyah, setelah Husain bin Ali as terbunuh, Muhammad bin Hanafiyah mengangkat Mukhtar sebagai gubernur penduduk Irak (Kufah dan Basrah) dan meminta kepadanya supaya menuntut balas para pembunuh Imam Husain as. Beberapa waktu setelah kesyahidan beliau, Kisaniyah melakukan kebangkitan dan meyakini keimamahan Muhammad bin Hanafiyah. Mereka berkeyakinan bahwa dia belajar rahasia-rahasia agama, ilmu takwil dan ilmu kabatinan dari Imam Hasan Mujtaba as dan Imam Husain as. Sebagian dari mereka mentakwil rukun-rukun syariat seperti salat dan puasa dan menyakini reinkarnasi. Semua golongan Kisaniyah memiliki keyakinan yang sama terkait dengan keimamahan Muhammad bin Hanafiyah dan bolehnya Bada' untuk Allah swt. Kelompok ini juga disebut dengan Mukhtariyah.[20]

Terkait hubungan Ibnu Hanafiyah dengan Mukhtar terjadi perbedaan pendapat, sebagian orang berkeyakinan bahwa dia tidak punya suatu kepercayaan kepada Mukhtar dan tidak memberikan perwakilannya kepadanya, sebagian yang lain menyakini bahwa Mukhtar menjadi wakilnya dan kelompok ketiga melontarkan kerelaan tersembunyi Muhammad Hanafiyah terhadap sepak terjang Mukhtar meskipun di saat yang sama ia tidak memberikan tugas apa pun kepadanya.[21]

Selamatnya Muhammad Hanafiyah dari Tangan Abdullah bin Zubair

Ketika Mukhtar menguasai Kufah ia mengajak masyarakat kepada Muhammad Hanafiyah. Abdullah bin Zubair yang berkuasa di Mekah dan Madinah karena takut masyarakat condong kepada Muhammad bin Hanafiyah, ia dan Abdullah bin Abbas diseru untuk berbait kepadanya dan mereka berdua menolaknya. Dari sini Ibnu Zubair memenjara semua mereka di ruang air Zamzam dan diancam dengan pembunuhan. Muhammad Hanafiyah dan Abdullah bin Abbas melayangkan surat ke Mukhtar dan minta pertolongan darinya. Setalah melihat surat, Mukhtar mengirim Zhabyan bin Imarah ke Mekah dengan membawa 400 orang dan 400.000 Dirham serta sejumlah orang lain.[22]

Dengan bendara-bendera yang dipegangnya, mereka memasuki Masjid al-Haram dengan suara lantang meneriakkan pembalasan darah Husain bin Ali as hingga mereka sampai ke Zamzam. Ibnu Zubair mengumpulkan setumpuk kayu bakar ingin membakar mereka. Mereka hancurkan pintu Masjidi al-Haram dan sampai kepada Ibnu Hanafiyah dan mengatakan, pilihlah satu diantara kami dan Abdullah bin Zubair!. Muhammad bin Hanafiyah menjawab: "Aku melihat tidak benar terjadi perang dan penumpahan darah di rumah Allah swt". Ibnu Zubair sampai kepada mereka dan berteriak, "Aneh, ada gerangan apa kayu ini di tangan-tangan kalian![catatan 1], Kalian kira aku biarkan Muhammad pergi dari sini sebelum berbaiat kepadaku?" Saat itu para pendukung Mukhtar yang sedang diluar Masjid al-Haram mendatangi masjid meneriakkan pembalasan penumpahan darah Husain as. Ibnu Zubair ketakutan kepada mereka dan tidak menghalangi Muhammad Hanafiyah keluar. Muhammad disertai dengan 4000 orang pergi menuju Syi'bi Abi Thalib dan hidup disana sampai Mukhtar terbunuh.[23]

Keyakinan Sebagian Kisaniyah kepada Mahdiisme

Sebagian peneliti tentang kelompok-kelompok dan mazhab-mazhab Islam meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah adalah orang pertama dalam Islam yang diberi nama Mahdi. [24] Mereka yang berkeyakinan akan Mahdiisme mendakwakan bahwa dia berdomisili di gunung Radhwa dan berkehidupan dari dua sungai susu dan madu hingga suatu hari dimana Allah Swt melapangkan urusannya. [25] Ayatullah Khui meyakini bahwa Muhammad bin Hanafiyah lepas tangan dari Kisaniyah dan mengatakan bahwa Kisaniyah muncul setelahnya. [26]

Pengklaiman Imamah

Berdalih dengan Imam Sajjad as

Muhammad bin Hanafiyah meyakini bahwa saudara-saudaranya, Imam Hasan as dan Imam Husain as lebih utama dari dirinya. Namun menurut sebuah riwayat, pasca kesyahidan Imam Husain as ia menulis surat kepada Imam Sajjad as dan meminta darinya untuk menerima keimamahannya. Argumentasi Ibnu Hanafiyah ialah bahwa Imam Husain as berbeda dengan imam-imam sebelumnya tidak mewasiatkan kepada imam setelahnya, juga Muhammad Hanafiyah adalah anak langsung Imam Ali as dan dari segi umur dan banyaknya riwayat lebih unggul daripada Zainal Abidin as. Imam Sajjad as dalam menjawab pamannya mengajaknya untuk takut kepada Allah swt dan menjauhkan diri dari kebodohan serta menulis untuknya:

"Sebelum Ayahku berniat berangkat ke Irak telah mewasiatkan tentang keimamahanku dan beberapa saat menjelang kesyahidannya telah mengambil janji dariku."

Imam Sajjad as mengajak Ibnu Hanafiyah datang ke dekat Hajar Aswad dan membicarakn persoalannya di sana, siapa saja yang diberi kesaksian oleh batu itu akan keimamahannya maka orang itulah yang jadi imam. Di sana, setelah Muhammad berdoa kepada Allah swt, pertama meminta batu untuk bersaksi akan keimamahannya, namun hal ini tidak terjadi. Kemudian Imam Sajjad as berdoa dan berkata kepada batu supaya bersaksi akan keimamahannya dan spontan batu berbicara serta bersaksi atas keimamahan Ali bin Husain as setelah Imam Husain as, akhirnya Muhammad Hanafiyah juga menerima keimamahan beliau. [27] Sebagian ulama memungkinkan bahwa perdebatan ini bersifat fiksi supaya orang-orang Syi'ah yang (imannya) lemah tidak condong kepadanya. [28]

Meyakini Keimamahan Imam Sajjad as

Dalam sebuah riwayat dari Imam Shadiq as dimuat bahwa Muhammad Hanafiyah sebelum wafat telah percaya atas keimamahan Imam Sajjad.[29] Quthbuddin Rawandi menukil satu riwayat dari Abu Khalid Kabuli (pembantu Ibnu Hanafiyah) bahwa Abu Khalid bertanya kepada Muhammad Hanafiyah mengenai keimamahannya dan ia menjawab:

"Imam saya dan kamu dan seluruh kaum muslimin adalah Ali bin Husain as". [30]

Kejujuran

Dalam Rijal Kassyi dinukil sebuah riwayat dari Imam Ali as bahwa ada empat nama Muhammad yang mencegah terjadinya pembangkangan kepada Allah swt; empat orang ini adalah Muhammad bin Ja'far Thayyar, Muhammad bin Abi Bakar, Muhammad bin Hanafiyah dan Muhammad bin Abi Hudzaifah. [31] Mamaqami dengan menyinggung hadis ini menetapkan keadilan dan kesucian Muhammad bin Hanafiyah. [32]

Garis Politik

Ibnu Hanfiyah dari segi politik memilih jalan damai. Dalam garis politik inilah, pasca kesyahidan Amirul Mukminin as, ia hidup damai berdampingan dengan saudaranya, Imam Hasan as di Madinah, dan juga berbaiat kepada Yazid sebagai putra mahkota Muawiyah. Setelah Yazid mengemban tugas khilafah, Ibnu Hanifayah pun tidak menentangnya.

Pada periode-periode berikutnya ia juga menjaga hubungan damainya dengan badan kekhilafahan, diantaranya pada tahun 76 H/695 ia melakukan kunjungan ke Damaskus dan bertemu dengan Abdul Malik bin Marwan. Sebagian orang menyangka bahwa dalil kedekatan Ibnu Hanafiyah dengan Abdul Malik adalah sikap-sikap buruknya Ibnu Zubair padanya. Abdullah bin Zubair memenjara dia di ruang kecil air Zamzam, lalu sahabat-sahabat Mukhtar Tsaqafi menyelamatkanya dari tangan Ibnu Zubair. [33]

Setelah Mukhtar terbunuh, Ibnu Zubair sekali lagi meminta baiat dari Muhammad bin Hanafiyah dan berniat menyerang dia dan kerabat-kerabat dekatnya. Di saat itu sepucuk surat dari Abdul Malik bin Marwan yang baru saja duduk dikursi kekhilafahan sampai kepada Muhammad Hanafiyah dan meminta darinya supaya datang ke Syam. Muhammad Hanafiyah dan sahabat-sahabatnya memenuhi undangannya datang ke Syam. Namun ketika mereka sampai di Madyan Ibnu Hanafiyah mendapat kabar bahwa Abdul Malik bin Marwan mengingkari janjinya kepada Amr bin Said (salah satu dari sahabat Ibnu Hanafiyah). Oleh sebab ini, ia kecewa atas kedatangan dirinya dan menghentikan perjalanannya di Ailah salah satu kota di pingggiran laut merah di akhir Hijaz di perbatasan Syam, dan dari sana ia kembali ke Mekah dan mengambil tempat di lembah Abu Thalib, dan selepas itu pergi ke Thaif. Muhammad bin Hanafiyah selama Hajjaj memblokade Ibnu Zubair di Mekah menetap di Thaif. Kemudian dari Thaif kembali lagi ke lembah Abu Thalib. Hajjaj meminta darinya supaya membaiat Abdul Malik tapi dia menolak. Dengan meninggalnya Ibnu Zubair, Muhammad bin Hanafiyah menulis surat kepada Abdul Malik dan meminta pengamanan darinya. Abdul Malik memberikan keamanan kepadanya.[34]

Imamzadeh Muhammad Hanafiyah di Gilan

Meninggal dan Makam

Dalam sebuah riwayat dari Imam Baqir as dimuat: "Di saat Muhammad bin Hanafiyah sakit aku ada disisinya, aku sendiri yang merapatkan matanya, memandikannya, mengafaninya, menshalatinya dan menguburkannya".[35] Menurut laporan yang terdapat dalam sumber-sumber selain Syi'ah dijelaskan bahwa Aban bin Utsman (putra khalifah ketiga) yang menshalatinya.[36]

Mengenai dimana makam Muhammad bin Hanafiyah terjadi silang pendapat; Sayid Muhsin al-Amin mengisyaratkan kepada tiga tempat, Ailah, Thaif dan Madinah di pekuburan Baqi',[37] namun yang lebih tepat ia wafat di Madinah.[38]

Imamzadeh Mir Muhammad (Muhammad Hanafiyah) di pulau Kharak

Imamzadeh Bernama Muhammad bin Hanafiyah

Imamzadeh-imamzadeh (anak keturunan para Imam as) yang ada di pulau Kharak di Busyihr dan kota Rudbar di Gilan dinisbatkan kepada Muhammad Hanafiyah, namun penisbatan ini dengan melihat tempat wafatnya tidaklah benar.

  • Imamzadeh bernama Muhammad bin Hanafiyah ada di desa Biwarzin di kota Rudbar. Sesuai dengan silsilahnya dan keyakinan penduduk setempat, Muhammad Hanafiyah dan anaknya Hasyim dan Abul Qasim Hamzah (anak-anak Imam Kazhim as) dikuburkan disana. Namun pengakuan ini tidak relevan dengan data-data kitab yang menyebutkan tempat wafatnya Muhammad bin Hanafiyah. Imamzadeh Muhammad Hanafiyah dinamai juga dengan Qilqili atau Ghaltan. Tanggal 28 Safar adalah hari yang paling ramai yang dialami Imamzadeh ini di setiap tahunnya.[39]
  • Imamzadeh Mir Muhammad (Muhammad Hanafiyah) terletak di pulau Kharak dan termasuk di antara peninggalan-peninggalan sejarah awal Islam. Masyarakat setempat berkeyakinan bahwa tempat ini adalah makam Muhammad Hanafiyah putra Amirul Mukminin as.[40]Di tempat imamzadeh ini juga, seperti imamzadeh di atas, tempat wafatnya Muhammad Hanafiyah tidak singkron dengan tempat dikuburkannya.

Riset-riset Terkait

catatan

  1. Saat pendukung-pendukung Mukhtar masuk Haram mereka memegang kayu sebagai ganti pedang, sebab di Haram tidak boleh membawa pedang

Catatan Kaki

  1. Ansāb al-asyraf, jld. 2, hlm. 200
  2. al-Thabaqāt al-Kubra, jld. 5, hlm. 87
  3. Lihat: Ibnu Said, jld. 5, hlm. 67; Mudarris Wahid, jld. 2, hlm. 356
  4. Thabari, Tarikh al-Thabari, 1387 H, jilid 5, hal.147
  5. Mudarris Wahid, jld. 2, hlm. 357; Reiysyahri, jld. 1, hlm. 183
  6. Lihat: Ibnu Khallikan, jld. 4, hlm. 171
  7. Lihat: Ibnu Jauzi, jld. 5, hlm. 78; Shabiri, jld. 2, hlm. 51
  8. Ibnu Syahr Asyub, Manaqib Al Abi Thalib as, 1379 H, jilid 3, hal.168
  9. Allamah Majelisi, Bihar al-Anwar, 1403 H, jilid 45, hal.349
  10. Humairi, Qurbul Isnad, 1413 H, hal.27
  11. Shabiri, jld. 2, hlm. 51
  12. Shabiri, jld. 2, hlm. 54
  13. Bihar al-Anwar, jld. 42, hlm. 110
  14. al-Muqarram, hlm. 135
  15. Ibnu A'tsam, al-Muqarram, hlm. 23
  16. Mamaqami, Abdullah, Tanqih al-Maqal fi Ahwāl al-Rijal, jld. 3, hlm. 111, Mathba'ah al-Haidariyah.
  17. Hur Amili, Itsbāt al-Hudah, jld. 4, hlm. 42.
  18. Bihar al-Anwar, jld. 42, hlm. 81
  19. Qummi, hlm. 88
  20. Nubakhti, hlm. 87
  21. Lihat: Tarikhe Siyasi-e Shadre Islam, hlm. 214-215; Nubakhti, jld. 2, hlm. 52-53
  22. Akhbār al-Daulah al-Abbasiyah, hlm. 99-100
  23. Nubakhti, hlm. 85-86
  24. Shabiri, jld. 2, hlm. 55
  25. Asy'ari,Maqālāt al-Islamiyin, riset: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, jld. 90-91; Bagdadi, al-Firaq Baina al-Firaq, Kairo, Maktabah Muhammad Shabih wa Auladihi, hlm. 39, 41 dan 43
  26. Mu'jam al-Rijal, jld. 18, hlm. 102-103
  27. Lihat: Shaffar, hlm. 502; Babawaih, hlm. 60-62; Kulaini, jld. 1, hlm. 348
  28. jld. 1, hlm, 285; Bihar al-Anwar, jld. 56, hlm. 30al-Kharāij wa al-Jarāih,
  29. al-Imamah wa al-Tabshirah min al-Hairah, hlm. 60
  30. Quthbuddin Rawandi, jld. 1, hlm. 261-262
  31. Kassyi, hlm. 70
  32. Tanqih al-Maqāl, jld. 3, hlm. 111
  33. Shabiri, jld. 2, hlm. 52-53
  34. Nubakhti, hlm. 86-87
  35. Rijal Kassyi, hlm. 315
  36. Tahdzib al-Kamal, jld. 10, hlm. 285
  37. A'yān al-Syi'ah, jld. 14, hlm. 270
  38. 34
  39. Situs Studio Radio pusat Gilan
  40. Danesytihāye Tarikh wa Jughrafiyā-e Iran wa Jahan

Daftar Pustaka

  • Ibnu Babawaih, Ali Hasan, al-Imamah wa al-Tabshirah min al-Hairah, Madrasah al-Imam al-Mahdi, Qom, 1404 H
  • Ibnu Jauzi, Abdurrahman bin Ali, al-Muntazhim fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, riset: Muhammad dan Mustafa Abdul Qadir Atha, Dar al-kutub al-Ilmiyah, Bairut, 1417 H/1992 M.
  • Ibnu Khallikan, Ahmad bin Muhammad bin Abi Bakar, Wafayāt al-A'yān wa Abnā' al-Zaman, riset: Ihsan Abbas, Dar al-Tsaqafah, Bairut, 1968 M
  • Ibnu Saad, Muhammad, al-Thabaqāt al-Kubra, riset: Muhammad Abdul Qadir Atha, Dar al-Kutb al-Ilmiyah, Bairut.
  • Ibnu Fulaich, Alauddin Muglathai bin Qulaich bin Abdullah Bikcheri Hanafi, Ikmal Tahdzib al-Kamal, Intisyarat Faruq al-Haditsiyah, Kairu, 1422 H
  • Asy'ari, Ali bin Ismail, Maqālāt al-Islamiyin, riset: Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, Kairu, 1369 H
  • al-Amin, Sayid Muhsin, A'yān al-syi'ah, riset: Hasan Amin, Darul al-Ta'āuf, Bairu, 1420 H/2000 M
  • Bagdadi, Abdul Qahir bin Thahir Tamimi, Kairu, Maktabah Muhammad Shabih wa Auladihi, tanpa tahun.
  • Baladzuri, Ahmad bin Jabir, Kitab Jumal min Ansāb al-Asyraf, riset: Suhail Zakkar dan Riyadh Zirikli, Bairut, Dar al-Fikr, cetakan 1, 1417 H/ 1996 M
  • Quthbuddin Rawandi, al-Kharāij wa al-Jarāih madrasah Imam Mahdi As, cetakan 1, Qom, 1409 H
  • Syarif Radhi, Muhammad bin Husain, Syarh Nahju al-Balaghah, penjelas: Ahmad Mudarris Wahid, penerbit: Ahmad Mudarris Wahid, Qom
  • Shabiri, Husain, Tarikh Firaqe Islami, Simat, Teheran, 1430 H
  • Shaffar, Muhammad bin Hasan, Bashair al-Darajaā fi Fadāil Āli Muhammad, revisi: Muhsin Kucheh Baghi, Maktabah Ayatullah al-Uzhma al-Mar'asyi al-Najafi, Qom.
  • Quthbuddin Rawandi, Said bin Hibatullah, al-Kharāij wa al-Jarāih, Muassasa al-Imam al-Mahdi As, Qom
  • Qommi, Abbas, Dar Karbala Cheh Gudzasy? Terjemahan buku Nafas al-Mahmum, riset: Muhammad Baqir Kamarei, Intisyarate Masjid Muqaddase Jamkaran, Qom, 1423 H
  • Kulaini, Muhammad Ya'qub, al-Kafi, revisi: Muhammad Ākhundi dan Ali Akbar Ghaffari, Dar al-Kutub al-Islamiyah, Teheran.
  • Muhammad Reisyahri, Muhammad, Danesy Nameh Amiril Mukminin As bar Poyeh Quran, Hadits wa Tarikh, penerjemah Abdul Hadi Mas'udi, Dar al-Hadits, Qom, 1428 H
  • Mudarris, Mirza Muhammad Ali, Raihanah al-Adab, penerbit: Ketabfurusyi Khayyam, cetakan 3, 1410 H
  • Akhbār al-Daulah al-Abbasiyah wa fihi Akhbār al-Abbas Waladihi, riset: Abdul Aziz al-Dauri dan Abdul Jabbar al-Mathlabi, Bairut, Dar al-Thali'ah, 1391 H.
  • Nubakhti, Hasan bin Musa, Tarjumah Firaq al-Syi'ah Nubakhti, dengan dua mukaddimah: biografi Nubakhti dan kitab Firaq al-Syi'ah, melihat Syi'ah dan sekte-sekte Islam yang lain sampai akhir abad ke-3 Hijriyah, penerjemah: Muhammad Jawad Masykur, Bunyad Farhangge Iran, Teheran, 1394 H
  • Chelunigar, Muhammad Ali, Muhammad bin Hanafiyah wa Qiyame Karbala, majalah Rawesy syenosi-e Ulume Insani, musim dingin tahun 1423 H, vo. 33.