Masjid Dzul Hulaifah

tanpa prioritas, kualitas: a
Dari wikishia
(Dialihkan dari Masjid Dzul Khalifah)
Masjid Dzul Hulaifah
Masjid Dzul Hulaifah terletak di sekitar 8 KM sebelah selatan kota Madinah
Masjid Dzul Hulaifah terletak di sekitar 8 KM sebelah selatan kota Madinah
LokasiKota Madinah, Arab Saudi.
SekteIslam
Informasi arsitektur
Lebar luas88.000 m
Tahun renovasipada tahun 961 H/1554 oleh Zainuddin al-Elastar • Pada tahun 1058 H di masa Utsmani oleh salah seorang Muslim India

Masjid Dzul Hulaifah (bahasa Arab: مسجد ذي الحليفة) merupakan masjid bersejarah di Madinah yang terletak di daerah Dzul Hulaifah atau Abar Ali. Masjid ini berada pada jarak 8 KM dari arah barat daya Masjid Nabawi dalam rute jalan ke atau dari Mekah. Dzul Hulaifah adalah miqat jamaah haji yang ingin melaksanakan umrah tamattu' dan umrah mufradah dari Madinah ke Mekah. Tempat ini juga dikenal dengan nama-nama lain seperti Masjid Syajarah dan Masjidil Haram. Nabi Muhammad saw dalam safar umrah dan haji tamattu' menjadikan miqat ini sebagai tempat untuk mengenakan baju ihram bagi beliau.

Letak Geografis

Abar Ali bermakna sungai-sungai Ali, merupakan sebuah kawasan yang pada umumnya terselimuti oleh pohon kurma. Kawasan ini berada di sekitar 8 KM sebelah selatan kota Madinah. Di sana terdapat sumur yang digali oleh Imam Ali as untuk keperluan peziarah Kakbah. Tempat ini merupakan salah satu dari miqat-miqat haji. Pada masa sekarang ini, tiga nama-nama: Abar Ali, Dzul Hulaifah dan Masjid Syajarah digunakan sebagai nama kawasan ini.

Masjid Dzul Hulaifah Madinah

Nama-nama Lain

Dari sisi sudut pandang yang berbeda-beda, nama-nama lain yang juga masyhur adalah:

  • Masjid Syajarah: Penamaan dengan Syajarah karena Nabi Muhammad saw pada waktu melakukan perjalanan tahun ke-6 H yang berbuah pada penandatanganan perjanjian Hudaibiyah Nabi sampai di tempat ini, di samping pohon (syajarah) dengan nama Syajarah dan mengenakan pakaian ihram di sana. Nabi juga mengenakan pakaian ihram di sana pada tahun ke-7 H untuk melakukan umrah qadha dan juga pada tahun ke-10 untuk melakukan Haji Wada'. [1]
  • Masjid Ihram: Karena tempat ini menjadi tempat ihram bagi orang-orang yang menjalankan ihram.
  • Masjid Miqat: karena tempat ini merupakan salah satu miqat bagi orang-orang yang melaksanakan ihram atau haji.
  • Masjid Abar Ali atau Masjid Sumur-sumur Ali as: Nama ini lebih masyhur. Dikatakan bahwa sebab penamaan dengan nama ini adalah setelah wafat Nabi Muhammad saw dan pengambilan kekuasaan atas kekhalifahan yang seharusnya berada di tangan Imam Ali as, beliau banyak menggali sumur untuk mengairi kurma-kurmanya dan beliau sibuk menyiraminya. [2]

Berdasarkan riwayat yang berasal dari Imam Shadiq as kawasan ini diserahkan kepada Iqtha'. (yaitu penyerahan hakim kepada seseorang untuk mengelola keuntungan hasil panen atau tempat untuk mencari sumber pencaharian baik untuk waktu-waktu terbatas atau tidak terbatas) dan pada masa itu iqtha' diserahkan kepada Imam Ali. Oleh karena itu, sumur-sumur yang merupakan kepunyaan Imam Ali as tersebut, dikenal dengan nama Abar Ali.

Masjid Dzul Hulaifah, salah satu tempat untuk berihram

Nabi Berihram di Masjid ini

Nabi Muhammad saw dalam safar umrah dan haji mengenakan pakaian ihram di miqat ini:

  • Pada tahun penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah yang tidak berhasil untuk melakukan umrah (tahun ke-6 H)
  • Pada tahun ke 7 H, pada peristiwa Umrah Qadha
  • Haji Wada' pada tahun ke-10 H. [3]

Nabi Muhammad saw setelah melakukan salat dua rakaat di Masjid Syajarah, memakai baju ihram dan mengucapkan talbiah: لبیک،اللهم لبیک، لبیک لا شریک لک لبیک، ان الحمد و النعمة لک و الملک، لاشریک لک لبیک Diriwayatkan bahwa Nabi Muhammad saw pada awal kalinya, ketika melakukan haji berada di bawah sebuah pohon sehingga pada masa-masa berikutnya dibangun sebuah masjiddi tempat itu.

Pemugaran dan perbaikan

Meskipun masjid ini mengalami kerusakan pada abad ke-8 H, namun tetap digunakan. Sepertinya pada masa-masa awal bangunan, terdapat aula dan halaman namun pada abad ke- 8 H dan 9 hanya dindingnya saja yang tersisa.

Abad ke-10 Hijriah

Zainuddin al-Elastar pada tahun 961 H membangun kembali bangunan masjid dan membangun dinding yang tinggi hingga akhir periode Utsmani masih berlangsung. Ia juga membangun menara sebelah barat laut. Karena mihrab asli sudah tidak ketahuan lagi, maka ia membangun mihrab lain di tengah bangunan yang kemungkinan merupakan mihrab asli. Demikian juga, ia membangun tiga tangga di tiga tempat untuk menuju masjid sehingga dengan demikian bisa mencegah masuknya hewan berkaki empat ke masjid. [4]

Masa Utsmani

Pada tahun 1058 H masjid Syajarah dibangun pada masa Utsmani oleh salah seorang Muslim India. Ia juga membangun menara-menara di masjid itu. [5]

Pada Masa Kini

Pada masa kini, panjang masjid terbentang dari selatan ke utara sepanjang 25 meter, dari timur hingga barat juga sepanjang 25 meter. Pada tahun-tahun terakhir masjid ini dibangun dengan sangat indah seluas 88 ribu persegi. [6]Tahrir al-Wasilah

Hukum-hukum Fikih Miqat Dzul Hulaifah

Para Fuqaha Imamiyah dalam kitab fikihnya menjelaskan bahwa masjid ini merupakan salah satu miqat haji. Sebagian hukum-hukum yang berlaku di masjid ini adalah:

  • Masjid Dzul Hulaifah bisa dijadikan (tidak merupakan keharusan) miqat umrah tamattu' dan dan umrah mufradah bagi masyarakat Madinah dan orang-orang Madinah yang akan pergi ke Makkah. [7]

Terdapat perbedaan pendapat terkait bahwa miqat ini terletak di masjid ini atau berada di sekitar tempat ini. [8]

  • Berdasarkan pendapat pertama, orang-orang yang sedang junub dan haidh, berdasarkan penjelasan sekelompok dari fuqaha mereka harus berihram ketika mereka sedang melewati masjid dan apabila tidak memungkinkan, maka mereka harus berihram dari luar masjid. [9]
  • Sebagian memilih jalan ikhtiyat diantara dua pilihan (ihram dari luar masjid dan memperbaharui lagi di Juhfah. [10]
  • Miqat masyarakat Madinah dalam keadaan darurat seperti karena sakit atau tidak mampu adalah Juhfah. [11]

Pranala Terkait

Catatan Kaki

  1. Rasul Ja'fariyan, Atsār Islāmi Mekah dan Madinah, hlm. 275.
  2. Asghar Qaidan, Tārikh wa Atsār Islāmi Makah wa Madinah, hal. 409.
  3. Rasul Ja'fariyan, Atsār Islāmi Mahah wa Madinah, hlm. 275.
  4. Muhammad Baqir Najafi, Madinah Syenāsi, jld. 1, hlm. 167 dan 168; Asghar Qaidan, Tārikh wa Atsār Islāmi Makah wa Madinah, hlm. 410.
  5. Muhammad Baqir Najafi, Madinah Syenāsi, jld. 1, hlm. 268; Rasul Ja'fariyan, Atsār Islāmi Makah wa Madinah, hlm. 276.
  6. Asghar Qaidan, Tārikh wa Atsar Islām Makah wa Madinah, hlm. 410.
  7. Muhammad Kadhim Thabathabai Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 5, hlm. 551; Khomeini, Ruhullah, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hlm. 109.
  8. Muhammad Kadhim Thabathabai Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 551.
  9. Muhammad Kadhim Thabathabai Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 551; Khomeini, Ruhullah, Tahrir al-Wasilah, jld. 1, hlm. 109.
  10. Manāsik Haji, (Muhassya), hlm. 158.
  11. Muhammad Kadhim Thabathabai Yazdi, Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 552.

Daftar Pustaka

  • Khomeini, Ruhullah. Tahrir al-Wasilah. Qom: Muasasah Mathbu'at Dar al-Ilm, Awal, tanpa tahun.
  • Ja'fariyan, Rasul. Atsār Islāmi Makah wa Madinah. Teheran: Nasyar Masy'ar, cet. 3, 1384 HS.
  • Qaidan, Asghar. Tārikh wa Atsār Islāmi Makah wa Madinah. Nasyar Masy'ar, cet. 4, 1381.