Malam Ghariban

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia

Malam Ghariban (bahasa Persia: شام غریبان) adalah istilah yang digunakan masyarakat Iran (Persia) untuk menyebut masuknya maghrib pada hari kesepuluh Muharram (hari Asyura) atau dengan kata lain, malam kesebelas bulan Muharram. Ghariban sendiri berarti keterasingan atau kegetiran. Umat Islam Syiah pada malam tersebut menyelenggarakan acara duka dan belasungkawa untuk Imam Husain as dan Ahlulbait as. Tradisi ini bukan hanya dilakukan di Iran namun juga disejumlah negara muslim lainnya, dengan tata cara yang memiliki kekhasan masing-masing. Diantara kekhasan Malam Ghariban yang dilakukan masyarakat Iran adalah menyalakan lilin sebagai simbol duka cita dan pembacaan narasi kronologi kesyahidan Imam Husain as yang tertulis dalam kitab Raudhah al-Syuhada.

Definisi

Syam Ghariban secara etimologi memiliki beberapa arti, seperti:

  • Malam orang-orang yang terasing dan jauh dari teman dan orang-orang terdekatnya.
  • Malam pertama bagi keluarga yang ditinggalkan oleh yang wafat.
  • Malam kesebelas bulan Muharram dan azadari (penyelenggaraan majelis duka cita) setelah malam itu. "Syam Ghariban" juga sering diartikan malam ratapan atas musibah yang terjadi, khususnya musibah dalam bentuk wafatnya salah seorang anggota keluarga atau orang terdekat.[1]

Secara terminologi, Syam Ghariban artinya acara belasungkawa dan duka cita yang diselenggarakan secara khusus pada malam kesebelas bulan Muharram untuk mengenang kesyahidan Imam Husain as di padang Karbala pada 10 Muharram 61 H/681.[2]

Sejarah Singkat

Menyalakan lilin pada Malam Ghariban di Haram Imam Husain as

Syam Ghariban dalam tradisi masyarakat berbahasa Persia adalah istilah yang digunakan untuk menyebut malam kesebelas bulan Muharram yang dikaitkan dengan peristiwa kesyahidan Imam Husain as pada hari Asyura tahun 61 H/681 di padang Karbala.[3]

Dalam kitab-kitab ziarah, untuk waktu petang di hari Asyura, dianjurkan membaca ziarah-ziarah yang berisi ucapan belasungkawa yang ditujukan kepada Nabi Muhammad saw, Imam Ali as, Sayidah Fatimah sa dan Imam Hasan as. Besar kemungkinan tradisi Syam Ghariban bermula dari pembacaan ziarah yang dibaca menjelang malam kesebelas Muharram tersebut. [4]

Tradisi ini sampai sebelum Mudzaffar al-Din Syah di Tehran bukanlah sesuatu yang dikenali masyarakat Iran, karena yang membiasakannya adalah orang-orang Turki, Sampai kemudian orang-orang Turki bersama Mudzaffar al-Din Syah membawa tradisi ini ke Tehran dengan melakukannya Syam Ghariban pertama kali secara besar-besaran di Masjid Syaikh Abdul Husain. [5] Sejak itu Syam Ghariban pun dikenal oleh masyarakat Iran dan ditradisikan sampai sampai saat ini. [6]

Hari kesepuluh bulan Muharram secara khusus dibacakan mengenai narasi kronologi terbunuhnya Imam Husain as, seperti perlawanan gigih Imam Husain as sampai akhirnya menemui kesyahidannya, begitupun dengan keberanian, ketegaran dan pengorbanan Sayidah Zainab sa membela keturunan suci Ahlulbait as yang tersisa dan kronologi pembakaran tenda keluarga Nabi saw.[7] Pada malam kesebelas, yang menandai berakhirnya hari kesepuluh Muharram, diselenggarakan acara Syam Ghariban, yang secara simbolis dilakukan dengan menyalakan lilin-lilin yang kemudian diarak di jalan-jalan sembari menyanyikan kidung duka yang disertai isakan tangis dan ratapan kepiluan dari para pecinta Ahlulbait as.

Peristiwa pada Malam Ghariban

Pasukan musuh pada maghrib hari kesepuluh Muharram, menyerang tenda-tenda keluarga Nabi Muhammad saw sembari mengeluarkan paksa perempuan-perempuan dari tenda-tenda tersebut. Tenda-tenda yang telah kosong itupun kemudian dibakar. [8] Melihat kebengisan itu, para perempuan berteriak histeris dan karena melihat dengan mata kepala sendiri kekejian dihadapan mereka, merekapun memukuli wajah mereka sendiri karena tidak menyangka betapa perlakuan keji diberlakukan atas keluarga Nabi saw. [9] Ketika malam menjelang, api yang membakar habis tenda-tenda pelan-pelan mulai meredup. Pasukan Umar bin Sa'ad menatap sisa-sisa tenda yang hangus terbakar dengan senyum kemenangan sembari membayangkan hadiah besar yang sebentar lagi akan mereka peroleh. [10]

Umar bin Sa'ad menjelang maghrib hari Asyura mengambil kepala Imam Husain as yang telah terpenggal dan mengutus Khauli Ashbahi dan Hamid bin Muslim Azadi untuk membawanya kehadapan Ibnu Ziyad, sementara kepala sahabat-sahabat Imam Husain as lainnya yang jumlahnya sebanyak 72 dikumpulkan dan dibawa diantaranya oleh Syimr, Qais bin Asy'ab, Amru bin Hajaj dan Azrah bin Qais juga untuk diperlihatkan kepada Ibnu Ziyad. [11]

Umar bin Sa'ad sendiri dengan pasukannya yang tersisa tetap berada di Karbala malam itu dan baru pada siang keesokan harinya setelah menguburkan pasukannya yang tewas ia menuju ke kota Kufah sembari mengarak perempuan dan anak-anak dari Ahlulbait as yang tersisa. [12] Diriwayatkan, malam kesebelas Muharram yaitu malam Ghariban, Sayidah Zainab sa tetap melakukan salat Malam, namun karena kondisi fisiknya saat itu lemah, maka ia melakukannya dalam keadaan duduk.[13]

Tradisi Malam Ghariban

Malam Ghariban sedikit banyaknya menyerupai majelis Raudhah, dengan perbedaan pada malam Ghariban lampu tidak dinyalakan dan sebagai gantinya dinyalakan sejumlah lilin yang dengan suasana remang-remang, majelis malam Ghariban pun diselenggarakan. Pada malam ini tidak ada ritual menepuk-nepuk dada, melainkan hanya berjalan dalam beberapa barisan teratur menuju tempat majelis duka diselenggarakan sembari membawa lilin. Dalam majelis, pembaca narasi maqtal akan mengisahkan peristiwa duka yang terjadi pada malam kesebelas Muharram tahun 61 H/681. [14]

Pada majelis duka tersebut, anak-anak dan balita termasuk bayi yang masih dipangkuan dilibatkan dengan memberikan penggambaran suasana yang dihadapi Ahlulbait Nabi saw yang tersisa yang terdiri dari anak-anak kecil harus menghadapi malam yang penuh kegetiran dan keterasingan dengan telah perginya para ayah mereka yang gugur di Karbala. Peringatan Malam Ghariban dimaksudkan untuk mengenang kegetiran anak-anak Ahlulbait as yang tersisa, yang dalam suasana gelap di padang pasir yang luas, tanpa tenda dan tanpa perlindungan.[15] Pada malam Ghariban, kaum ibu berkumpul disebuah tempat terbuka sembari memangku bayi-bayi kecil mereka dengan hanya pencahayaan dari lilin yang mereka nyalakan. Seseorang dari mereka akan membacakan syair duka yang diiringi isak tangis dan dalam keadaan tetap seperti itu mereka berjalan, menggendong bayi-bayi mereka menuju majelis duka untuk mendengarkan ceramah mengenai peristiwa malam kesebelas Muharram. [16]

Tradisi Malam Ghariban di Negara lain

Tradisi Malam Ghariban bukan hanya dilestarikan oleh bangsa Persia namun juga ditradisikan sejumlah negara lainnya meskipun dengan tata cara yang berbeda. Misalnya, umat Islam Pakistan pada malam Ghariban mereka melakukannya dengan berkumpul pada sebuah majelis dengan memukul-mukul dada dan kepala saat kisah kronologis pembantaian keluarga Nabi saw di Karbala dibacakan. Di New York, komunitas Syiah setelah salat maghrib berjamaah mereka akan berjalan kaki bersama-sama sembari membawa lilin yang dinyalakan. Demikian pula, di Brasil, Argentina, Finlandia, Maroko, Sudan, dan negara-negara lainnya di dunia, umat Islam Syiah berkumpul di majelis-majelis duka yang diselenggarakan untuk mengenang kesyahidan Imam Husain as di Karbala dan kegetiran yang dihadapi keluarganya. [17]

Galeri

Catatan Kaki

  1. Dehkhoda, Lhugat Nāmeh Dehkhoda, entri Syam Ghariban.
  2. Muhadditsi, Farhang 'Asyurā, hlm. 241.
  3. Kumpulan Penulis, Pesyuhesyi dar Maqtalhai Farsi, hlm. 123.
  4. Mastufi, Syarah Zendegie Man, hlm. 460-461.
  5. Mastufi, Syarah Zendegie Man, hlm. 460-463.
  6. Asyraf Zadeh, Paigham Ahl Rāz, jld. 2, hlm. 73.
  7. Hasyimi Nurbakhs, Bā Kārawān_e Syam, hlm. 71, 86 dan 100.
  8. Alwan Sazkhui, Waqā'i al-Ayyām, jld. 2, hlm. 135 dan 151.
  9. Rasuli, Zainab 'Aqilah Bani Hasyim, jld. 1, hlm. 55.
  10. Syafi'i Mazandarani, 'Asyurā Hamāseh Jāwidān, hlm. 205.
  11. Qomi, Dar Karbala Ce Gudzasyt?, hlm. 486.
  12. Rasuli, Zainab Aqilah Bani Hasyim, jld. 1, hlm. 61-62.
  13. Muhsin Zadeh, Sirr Nainawa Zainab Kubra sa, hlm. 158.
  14. Rezai, Bir Jand Nameh, hlm. 476 dan 477.
  15. Muhaditsi, Farhang Asyura, hlm. 240-241.
  16. Mastufi, Syarh Zendeghi Man, hlm. 460-461.
  17. Ghulestan Qur'an, hlm. 8.

Daftar Pustaka

  • Alwansaz khui, Muhammad. Waqā'i al-Ayyām fi Tatimmah Muharram al-Harām. Riset Ali Tabrizi Khiyabani. Qom: Ghurfah al-Islam, 2007.
  • Asyraf Zadeh, Ridha. Paigham Ahl Rāz. Tehran, Asathir, 2002.
  • Dehkhoda, Ali Akbar. Lhugatname Dehkhoda. Tehran: Yayasan Penerbit dan Percetakan Universitas Tehran, cet. II, 1988.
  • Ghulestan Qur'an. Urdibehest, 2001, no. 56.
  • Hasyimi Nurbakhsy, Husain. Bā Kārawān Syam. Tehran: Masy'ar, 2010.
  • Ishlah Arabani, Ibrahim. Kitāb Gilān. Tehran: Tim Peneliti Iran, 1995.
  • Kumpulan Penulis. Pesyuhesyi dar Maqtalhai Farsi. Qom: Zam-zam Hidayat,2007.
  • Mastufi, Abdullah. Tārikh Ijtimā'I wa Edari Daureh Qājāriyah. Tehran: Zawar, 2005.
  • Muhadditsi, Jawad. Farhang Asyura. Qom: Nasyr Ma'rifat, 1997.
  • Muhammad Zadeh, Mardhiah. Danesh Nameh Sya'ir Asyurai Inqilab Husaini dar Sya'ir Sya'iran 'Arab wa 'Ajam. Tehran: Kementerian Kebudaan dan Dakwah Islami, Dep. Penerbitan dan Percetakan, 2007.
  • Muhsin Zadeh, Muhammad Ali. Sar_e Ninu Zainab Kubra Sa. Tehran: Masy'ar, 2009.
  • Muthahari, Murtadha. Majmu'ah Atsar. Qom: Sadra, 1998.
  • Qomi, Abbas. Dar Karbala Ce Ghudzasyt?. Terj. Syaikh Muhammad Baqir Kamrei. Qom: Intisyarat Masjid Muqaddas Jamkaran, cet. III, 1993.
  • Rasuli, Hasyim. Zainab Aqilah Bani Hasyim. Tehran: Masy'ar.
  • Rezai, Jamal. BirJandnameh. Tehran: Hairmand, 2002.
  • Syafi'i Mazandarani, Muhammad. Asyura Hamaseh Jāwidān. Tehran: Masy'ar, 2002.