Tasyabbuh Dengan Orang-Orang Kafir
Artikel ini merupakan artikel deskriptif umum tentang masalah fikih. |
Salat Wajib: Salat Jumat • Salat Id • Salat Ayat • Salat Mayit Ibadah-ibadah lainnya Hukum-hukum bersuci Hukum-hukum Perdata Hukum-hukum Keluarga Hukum-hukum Yudisial Hukum-hukum Ekonomi Hukum-hukum Lain Pranala Terkait |
Tasyabbuh (menyerupai) Orang Kafir (bahasa Arab:التشبه بالكفار) berarti perilaku orang-orang Islam untuk menyerupai dirinya dengan orang-orang kafir dalam kehidupan pribadi atau sosial, yang menurut para fukaha sebagian dari tasyabbuh adalah haram. Meniru orang-orang kafir dalam bidang ilmu pengetahuan dan kemajuan industri tidak termasuk dalam kategori tasyabbuh dengan orang-orang kafir. Sebagian ulama menganggap bahwa larangan meniru dan menyerupai orang-orang kafir adalah bagian dari kaidah fikih, oleh sebab itu melalui penerapannya dari kaidah tersebut akan didapatkan secara jelas contoh-contoh tasyabbuh yang beraneka ragam.
Diantara para fukaha terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum syariat tasyabbuh dengan orang-orang kafir, sebagian dari mereka mengatakan haram secara mutlak, sebagian lagi mengatakan makruh secara mutlak, tetapi sebagian lagi mengatakan haram dengan syarat-syarat tertentu. Para fukaha Syiah lebih banyak memfatwakan haram dengan syarat-syarat tertentu dalam masalah tasyabbuh dengan kuffâr (jamak dari kafir); Meskipun mereka menerima dalil-dalil dari Al-Qur'an, riwayat, dan dalil akal tentang keharaman tasyabbuh dengan orang-orang kafir, tetapi mereka tidak memfatwakan keharamannya secara mutlak.
Dalil keharaman tasyabbuh dengan orang-orang kafir terdapat dalam sumber-sumber dalil yang empat; Di antaranya ayat-ayat Al-Quran yang menyebutkan keharaman tersebut, dan terdapat pada tiga kategori ayat: pertama: ayat-ayat yang melarang secara mutlak melakukan tasyabbuh dengan orang-orang kafir, kedua: ayat-ayat yang memperingatkan umat Islam agar tidak berada di bawah kendali orang-orang kafir dan bersahabat dengan mereka, ketiga: ayat-ayat yang melarang melakukan pada salah satu contoh dari bentuk tasyabbuh. Selain itu, dalil kedua adalah hadis, sebagian hadis membahas tentang permasalahan tasyabbuh secara umumnya dengan orang-orang kafir, dan sebagian lagi membahas tentang tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam hal tertentu secara khusus. Dari sudut pandang dalil ketiga, yakni akal, tasyabbuh dengan orang-orang kafir aakan menyebabkan dominasi mereka atas umat Islam di bidang politik, militer, ekonomi dan budaya, dan hal tersebut jelaslah dilarang.
Konsep Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir dan Pentingnya Pembahasan
Tasyabbuh dengan orang-orang kafir berarti umat Islam mengikuti orang-orang kafir dalam berbagai urusan kehidupan pribadi dan sosial.[1] Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dianggap tidak pantas dari sudut pandang syariat, dan tidak ada perbedaan antara ulama Syiah dan Ahlussunah dalam hal ini. [2] Namun dalam hal hukum taklifi secara rinci, seperti pengaruh adanya syarat “mengetahui” dan “niat melakukan” dalam hukum tasyabbuh tersebut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ahli hukum Islam.[3].
Sebagian ulama mengatakan bahwa permasalahan tasyabbuh dengan orang kuffâr bukanlah masuk dalam kategori persoalan fikih, melainkan kaidah fikih, yang mana seorang muqallid (orang yang mengikuti fatwa Marj’a), dapat melakukan penerapan kaidah tersebut pada berbagai bentuk contoh tasyabbuh, untuk memperjelas hukum dalam berbagai bab fikih.[4]
Para fukaha Imamiyah mengangkat persoalan tasyabbuh dengan orang-orang kafir kebanyakan pada ruang lingkup ibadah, seperti cara berpakaian dalam jamaah salat, sebagai hal-hal yang dapat membatalkan salat dan tawaf, sedangkan dalam hal-hal lain, seperti ruang lingkup kehidupan pribadi dan sosial tidak terlalu mereka perhatikan.[5]
Hukum Syariah Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir
Hukum fikih tasyabbuh dengan orang-orang kafir memiliki perbedaan pendapat, baik di kalangan Syi'ah dan ataupun Sunni, dari mulai hukum haram secara mutlak hingga hukum makruh secara mutlak;[6] berikut ini adalah penjelasan mengenai hukum-hukum tersebut:
Haram secara mutlak: hukum haram ini dianggap sebagai pendapat yang masyhur dari kalangan Ahlusunah dan sebagian fukaha Imamiyah. [7] Dari sudut pandang hukum ini, maka segala bentuk tasyabbuh antara muslim dan non-Muslim (kafir, musyrik, ahli kitab, bahkan orang-orang Barat sekalipun), baik dalam gaya hidup sehari-hari dalam ruang lingkup pribadi ataupun sosial dihukumi haram. [8] Menurut ulama yang berpendapat demikian, tidak ada perbedaan dalam keharaman tasyabbuh baik yang asalnya dari perbuatan yang diperbolehkan atau pada awalnya memang sudah diharamkan, baik itu didasari dengan niat dan pengetahuan terhadap perbuatan tasyabbuh atau tidak, dan juga baik hal itu dilakukan oleh seorang individu muslim atau sistem negara muslim.[9]
Makruh secara mutlak: Di antara para ulama Syafi'i [10] dan di antara ulama Syiah seperti Syekh Mufid,[11] Muhaqqiq Hilli,[12] Allamah Hilli [13] dan Syekh Baha'i [14] termasuk di antara orang-orang yang berpendapat dengan hukum ini. [15] Mereka menganggap hukum tasyabbuh adalah makruh, sedangkan ada atau tiadanya niat dalam melakukannya tidak memberikan efek apa pun pada hukum tersebut.[16]
Haram dengan syarat tertentu: Ulama yang berpendapat dengan hukum ini sebagian besar adalah para fukaha Imamiyah. [17] Kelompok ulama ini, meskipun menerima dalil dari Al-Quran, riwayat dan akal yang menunjukkan keharaman tasyabbuh, tetapi mereka tidak melihat adanya keharaman secara mutlak dari dalil-dalil tersebut.[18] Menurut pendapat kelompok ulama ini, syarat-syarat yang menyebabkan keharaman tasyabbuh dengan orang-orang kafir adalah sebagai berikut: [19]
- Tasyabbuh dengan orang-orang kafir hendaknya dilakukan dengan dasar niat dan motif untuk memajukan dan menyebarkan gaya hidup orang-orang kafir dan membuktikan kehebatan mereka serta melemahkan Islam. [20]
- Tasyabbuh dalam gaya hidup dan perilaku sehari-hari harus pada hal yang khusus dilakukan dan digunakan oleh orang-orang kafir seperti penggunaan salib, bukan dalam perkara yang biasa terdapat kesamaan antara orang-orang kafir dan orang-orang muslim.[21]
Bentuk-bentuk Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir
Persoalan tasyabbuh dengan orang -orang kafir dalam fikih telah dikaji dalam dua bentuk:[22]
Ibadah: bahwa seseorang beribadah kepada Allah Swt dengan cara-cara ibadah orang-orang kafir, baik dalam hal bentuknya atau dalam cara berpakaian; [23] seperti yang disebutkan dalam riwayat Imam Ali as [24] dan Imam Baqir as [25] mengenai larangan melakukan bentuk ibadah seperti orang-orang Majusi saat beribadah.
Gaya Hidup: Beberapa bentuk tasyabbuh dalam gaya hidup dengan orang-orang kafir secara umum terdapat dalam tiga kategori utama; tasyabbuh dalam pakaian, tata rias, dan adat istiadat.[26] Kesamaan pakaian dengan orang-orang kafir, seperti yang disebutkan dalam riwayat Imam Shadiq as, dimana Allah Swt menginginkan orang-orang beriman untuk menghindari memakai pakaian musuh-musuh mereka.[27 ] Atas dasar inilah, terdapat larangan untuk memakai pakaian dekoratif khusus barat tertentu, seperti penggunaan dasi bagi pria muslim.[28]
Tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam berdandan dan tata rias, seperti misalnya dalam riwayat Nabi saw, yang menyebutkan larangan pria muslim menyerupai orang-orang majusi dalam cara merapikan kumisnya. [29] Adapun tasyabbuh dalam adat istiadat seperti halnya yang disebutkan di dalam riwayat dari Imam Sadiq as yang melarang umat Islam makan bersama orang-orang yang sedang berkabung [30] karena hal tersebut memiliki kemiripan dengan kaum musyrik Jahiliah. Dengan landasan ini, maka melakukan hal-hal yang menjadi kebiasaan orang-orang barat seperti merayakan hari raya Natal dan tahun baru [31], serta hari valentin (hari kasih sayang) [32] adalah dilarang di dalam Islam.
Dikatakan bahwa karena terbatasnya jumlah subjek yang memiliki unsur tasyabbuh dengan orang-orang kafir yang disebutkan dalam sumber-sumber Islam (seperti ayat dan riwayat), maka kita tidak dapat memperluas larangan tasyabbuh tersebut dalam bidang ilmu pengetahuan dan kemajuan industri.[33]
Kriteria untuk Mengidentifikasi Contoh Tasyabbuh
Identifikasi ada atau tidaknya perkara tasyabbuh diserahkan kepada uruf masyarakat, karena bisa saja sesuatu yang telah dianggap sebagai kebiasaan khusus orang-orang non muslim, namun jika orang muslim melakukannya tidak dianggap sebagai tasyabbuh dengan orang-orang kafir. [34] Misalnya, ada sebuah klaim bahwa meskipun Nowruz adalah salah satu syiar keyakinan Zoroaster, tetapi tidak ada fukaha Syiah sepanjang sejarah yang menganggap perayaannya sebagai tasyabbuh dengan orang-orang kafir; [25] namun mencukur jenggot, penggunaan dasi dalam zaman tertentu telah dianggap sebagai contoh serupa dengan tasyabbuh.
Landasan Dalil Hukum Tasyabbuh dengan Orang-orang Kafir
Dalil-dalil yang empat merupakan sumber-sumber hukum tasyabbuh dengan orang-orang kafir, [38] diantaranya:
Al-Qur'an dan Hadis
Ada tiga kategori ayat Al-Quran tentang hukum tasyabbuh dengan orang kafir:[39]
- Ayat-ayat yang melarang secara mutlak tsyabbuh dengan orang-orang kafir; Diantaranya, Surah Al Imran ayat ke-105, Surah Al-Anfal ayat ke-47, dan Surah Al-Hadid ayat ke-16.[40]
- Ayat-ayat yang melarang berada di bawah kendali orang-orang kafir dan bersahabat dengan mereka; Diantaranya, Surah Al-Baqarah ayat ke-120, Surah Al Imran ayat ke-118, Surah An-Nisa ayat ke-115, Surah Al-Maidah ayat ke-49, Surah al-Maidah ayat ke-51 dan ke-52, dan Surah Al-An'am ayat ke-153 .[41]
- Ayat yang melarang tasyabbuh dengan orang-orang kafir dalam suatu contoh tertentu; Diantaranya, Surah Al-Baqarah ayat ke-104 dan ke-105, Surah Al-A'raf ayat ke-31.[42]
Riwayat yang berkaitan dengan persoalan tasyabbuh dengan orang-orang kafir dibagi menjadi dua kategori: bersifat umum dan khusus: [43] Riwayat yang bersifat umum, seperti hadis dari Nabi saw [44] dan Imam Ali as, [45] yang di dalamnya dikatakan secara umum bahwa siapa pun yang serupa dengan suatu kelompok akan dianggap sebagai bagian dari kelompok tersebut; Adapun riwayat yang bersifat khusus meliputi berbagai aspek kehidupan, mulai dari ibadah hingga gaya hidup pribadi dan sosial, seperti riwayat dari Imam Shadiq as yang di dalamnya Imam as memerintahkan untuk menyapu halaman rumah agar tidak menjadi seperti orang – orang Yahudi.[46]
Dalil-dalil Lain terkait Hukum Tasyabbuh
Di kalangan Ahlusunah, Ibnu Taimiyah (W. 728 H) telah mengklaim adanya ijma' mengenai keharaman tasyabbuh dengan orang-orang kafir. [47] Dari sudut pandang dalil akal, terdapat beberapa alasan yang akan dikemukakan di bawah ini untuk menolak tasyabbuh dengan orang-orang kafir: [48]
- Tasyabbuh dengan kaum kafir menyebabkan dominasi mereka terhadap umat Islam di bidang politik, militer, ekonomi, dan budaya.
- Umat Islam selalu disudutkan oleh musuh-musuhnya dan tidak melakukan tasyabbuh seperti musuh-musuh Islam merupakan bentuk perlawanan terhadap mereka.
Beberapa kaidah fikih, seperti Kaidah Nafyu Sabil dan sad ad-dzarâi’, juga menjadi sandaran yang digunakan Ibnu Taimiyah.[49] Makna sabil (jalan) dalam kaidah nafi as-sabil dianggap bermakna umum, sehingga dominasi budaya orang kafir termasuk dalam salah satu contoh dari bentuk sabil dan penguasaan orang - orang kafir.[50] Begitu pula keharaman tasyabbuh dengan orang -orang kafir dengan kaidah sad ad -dzarâi’ dan usaha untuk menutup jalan menuju hal-hal yang diharamkan; seperti halnya ketergantungan pada orang-orang kafir dan penghinaan, kehinaan serta hilangnya kepercayaan diri umat Islam. [51]