Hajar Aswad
Hajar Aswad atau Hajarul Aswad (bahasa Arab:حَجَرُ الْأسْوَدْ), sebuah batu suci, memiliki sejarah dan posisi khusus dalam budaya Islam serta dalam manasik haji, batu ini terletak di rukun timur Kabah (dikenal juga dengan rukun aswad atau rukun hajari) terletak di ketinggian satu setengah meter di atas tanah.
Sebelum Islam Hajar Aswad juga dihormati, tetapi di sepanjang sejarah tidak pernah disembah (walau di zaman jahiliyah, umumnya masyarakat menyembah bebatuan).[1] Batu ini beberapa kali pernah pecah berkeping-keping, karena alasan ini dibuatlah bahan perekat khusus, pecahan-pecahan batu disatukan dengannya.
Penamaan
Hajar Aswad bermakna batu hitam, penamaan ini diambil dari warna batu ini yang memang berwarna hitam. Sebagian ada yang menyebutnya (حجرالأسود) bermakna batu keberuntungan [2] sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Dhahirah, jika (الأسود) dari akar kata(سَوْدَد), maka bermakna pemimpin dan sayid. Dengan demikian, (حجرالأسود) bermakna sebuah batu yang memiliki kedudukan paling baik dan tinggi dibanding batu-batu yang lain.[3]
Kondisi fisik
Bentuk Hajar Aswad berupa batu bulat telur tidak beratur, warnanya hitam agak kemerahan, terlihat juga guratan-guratan merah dan kuning dipermukaannya. [4] Disebutkan bahwa warna yang begitu hitam disebabkan bakaran api yang pernah membakar Kakbah, dimana kebakaran ini pernah terjadi dua kali, pertama di zaman jahiliyah dan kedua di zaman Yazid bin Muawiyah. [5]
Sepanjang sejarah batu ini pernah diserang beberapa kali, dan hancur berkeping keping. Karenanya dibuatlah perekat untuk menyatukannya. Jadi tidak ada penyifatan yang detail dan sempurna berkaitan dengan batu ini. Karena perekat tadi menutupi Hajar Aswad sedemikian rupa, sekarang hanya bisa dilihat pecahan dari Hajar Aswad saja, ukuran pecahan paling besar hanya sebesar buah kurma.
Diriwayatkan bahwa seluruh pecahan Hajar Aswad berjumlah lima belas buah, dimana tujuh darinya tertutupi dan berada di bawah perekat Hajar Aswad yang bewarna coklat. [6] Tidak ada keraguan bahwa berabad-abad Hajar Aswad ketika tersentuh tangan manusia serta adanya perekat yang menyeliputinya akan membuatnya berubah warna. Salah seorang turis Barat yang pergi ke Mekah di abad 19, dia menyifati Hajar Aswad demikian: "Batu ini berbentuk oval tidak beraturan dengan diameter kurang lebih tujuh inci (18 cm) dan batu ini tersusun dari satu dua jenis batu yang lebih kecil dengan ukuran dan bentuk yang beragam. Dimana masing-masing potongan tadi ditempelkan dengan rapi satu dengan lainnya dengan semen, tampak bahwa sebelumnya telah terpecah berkeping keping akibat dipukul dengan penuh kebencian lalu disatukan kembali. [7]
Campuran antara batu dan semen ini juga diletakkan dalam bingkai oval terbuat dari perak. Abdullah bin Zubair merupakan orang pertama yang membuat bingkai Hajar Aswad dari perak, selanjutnya para khalifah dan para pembesar dan orang kaya menggantinya dengan bingkai dari emas. Orang terakhir dari kerajaan Saudi yang membuat bingkai Hajar Aswad dari perak murni adalah Raja Muhammad Rasyad Khan, ini dilakukan pada tahun 1331 H, tahun 1366 Raja Abdul Aziz melakukan pembaharuan salah satu bagian dari bingkai ini, dan pada tahun 1375 H Raja Saudi mengganti secara keseluruhan bingkai buatan Raja Muhammad Rasyad, dengan perak murni baru.[8]
Hajar Aswad dalam Riwayat Agama
Kata Hajar Aswad tidak disebutkan dalam Alquran, tapi seperti terdapat dalam hadis dari Imam Shadiq as, Hajar Aswad merupakan salah satu tanda penjelasan Baitullahil Haram dimana hal ini disebutkan dalam surat Ali Imran ayat 97.[9]
Dalam beberapa hadis khususnya hadis-hadis Syiah, terdapat poin-poin penting yang perlu diperhatikan berkaitan dengan Hajar Aswad, (biasanya dimuat dengan ungkapan الحَجَر). Termasuk pendapat yang menyatakan bahwa Hajar Aswad aslinya adalah malaikat yang paling pertama berikrar di sisi Allah dan menjalankan janjinya kepada Allah swt. Allah juga menjadikannya sebagai amin (penjaga keamanan) bagi para makhluk ciptaannya dan janji semua hamba diserahkan melalui perantaranya, kemudian semua makhluk diundang datang di setiap tahunnya untuk memperbarui baiat melalui malaikat pembawa amanat ini. Dari sini, malaikat itu diletakkan di surga menjadi pendamping Adam menjadi pengingat akan janji dan ikrar kepadanya.Tetapi karena Adam berbuat kelalaian dan akhirnya dikeluarkan dari surga, dan diturunkan ke muka bumi lalu ia bertaubat, Allah mengutus malaikat ini dalam bentuk batu putih (dur) kepadanya, janji-janji yang terlupakan kembali diingatkan kepadanya. Batu putih ini selalu bersama Adam as, sampai dibawa ke Mekah. Ketika mendirikan Kabah batu tersebut juga diletakkan di sana, sebagai janji yang sudah diberikan (تَراءی لَهُمْ). Di hari kiamat Hajar Aswad juga akan menjadi saksi bagi orang-orang yang memperbarui janji di sisinya.[10]
Disebutkan juga bahwa awalnya, warna Hajar Aswad awalnya lebih putih dari susu, lebih bercahaya dibanding matahari, karena orang musyrik menyentuhnya [11] dan tangan-tangan orang berdosa [12] akhirnya menjadi hitam. Disebutkan dalam hadis lainya bahwa Hajar Aswad sebelumnya disimpan di gunung Abu Qubais sebagai sebuah amanat. Sampai ketika Nabi Ibrahim as dan Nabi Ismail membangun Kabah dimana Hajar Aswad harus dikembalikan ke tempat semula. [13]
Berdasarkan sebagian riwayat lainnya, ketika Nabi Ibrahim as, membangun Kabah, Jibril membawa batu ini dari surga untuk diletakkan di salah satu tembok Kabah, sebagai patokan untuk memulai tawaf. [14] Disebutkan juga dalam perdebatan yang terjadi antara Muhammad bin Hanafiyah dengan Imam Sajjad as, Hajar Aswad berbicara dengan beliau dan menyatakan bahwa setelah Imam Husain as imamah akan sampai pada beliau.[15]
Dalam riwayat juga disampaikan bahwa imam Zaman ajf setelah kemunculannya akan bersandar pada Hajar Aswad dan berbaiat bersama masyarakat.[16]
Kesucian
Kabah dan Hajar Aswad walaupun secara lahir berada di muka bumi, tapi selama ini dihormati bukan sebagai bagian dari benda-benda bumi. Kelebihan keduanya karena memiliki hubungan erat dengan alam metafisik, dimana hal ini membuat keduanya menjadi terhormat. Hajar Aswad hanyalah sebuat alat sehingga mengingatkan kita kepada Allah swt, jadi ketika kita mengucapkan janji terhadapnya hal ini dilakukan dijalan-Nya, kita berjalan di jalan yang sudah ditetapkan oleh-Nya. [17] Imam Ali as pernah berbicara dengan khalifah kedua tentang Hajar Aswad: Suatu hari khalifah kedua melewati Hajar Aswad, lalu ia menghadap kearahnya dan berkata, “Hai batu, kami tau kamu hanyalah batu, tidak memberikan manfaat maupun kerugian pada kami, hanya karena kami pernah menyaksikan Nabi menghormatimu maka kami menghormatimu” di sini Imam Ali as menanggapinya dan berkata: “Kamu berkata apa hai putra Khatab, demi Allah aku bersumpah, Allah akan menghidupkannya di hari kiamat, memiliki mulut dan dua bibir, dia akan menjadi saksi bagi mereka yang setia pada janjinya. Batu yang memiliki posisi sebagai tangan kanan Tuhan dimana dengan perantaranya makhluk berbaiat pada-Nya”. Selepas ucapan ini, Umar berkata, semoga Allah menempatkan aku dimana Ali bin Abi Thalib tidak berada di sana. [18]
Hukum Fikih
Para fakih dengan bersandarkan pada hadis-hadis menjadikan Hajar Aswad sebagai titik memulai tawaf, menyentuh dan menciumnya hukumnya mustahab. [19]
"Istislam" (menyentuh dan Mencium) Hajar Aswad
Dalam hadis ditekankan untuk berdoa di sisi Hajar Aswad dan menyentuh dan menciumnya ("istislam") terutama untuk memperbarui janji tauhid serta risalah bahwa Hajar Aswad nanti akan memberikan kesaksian.[20] dalam Riwayat dari Rasulullah saw, disebutkan bahwa Hajar Aswad adalah tangan kanan Allah di muka bumi, barangsiapa mengusapnya maka telah mengusap tangan Allah swt [21]. Mungkin bisa disebutkan bahwa yang dimaksud dengan mengusap di sini bermakna mengingat kembali dan memperbarui iman.
Kejadian sejarah
Ketika dilakukan pemugaran Kabah di masa jahiliyah dimana masing-masing kabilah berharap memiliki kesempatan emas untuk meletakkan Hajar Aswad pada tempatnya dilakukan oleh kabilahnya, dan hampir saja terjadi banjir darah jika tidak ada solusi cerdas Nabi Muhammad saw pada masa muda beliau, sehingga semua kabilah Quraisy bisa berkesempatan mendapatkan kemuliaan mengangkat Hajar Aswad.[22] (silahkan rujuk pada kejadian penempatan Hajar Aswad dimana waktu itu Abdullah bin Zubair berlidung di dalam Masjidil Haram pada tahun 64H, Kabah diserang dan dirusak oleh pasukan Yazid bin Muawiyah dimana sebagiannya terbakar, dan akibat kejadian itu Hajar Aswad pecah menjadi tiga bagian, lalu bagian-bagian ini disatukan oleh Abdullah bin Zubair menjadi satu dengan menggunakan perak,[23] dia dikenal sebagai orang pertama yang melakukan perlakuan ini pada Hajar Aswad.[24] Setelah kejadian penyerangan ini sesuai usul Abdullah bin Zubair akhirnya pemugaran Kabah dilakukan. Terkait siapa yang meletakkan Kabah di tempatnya di sini terjadi perbedaan pendapat. [25] Sesuai keterangan Abdul Malik bin Marwan (wafat tahun 86H) salah satu khalifah Bani Umayyah, juga melakukan perbaikan Kabah, di sini orang yang meletakkan Hajar Aswad ke tempatnya adalah Imam Sajjad as. [26] Bingkai perak yang dipasang untuk menguatkan Hajar Aswad sesuai perintah Abdullah bin Zubair seiring berjalannya waktu menjadi rusak. Pada masa pemerintahan Harun ar-Rasyid ( wafat 193H) salah satu khalifah Bani Abbas, karena khawatir akan terjadi kerusakan pada Hajar Aswad, dibuatlah paku dari intan untuk menguatkannya, lalu bagian itu ditutup dengan perak.[27]
Pada tahun 317 pada kejadian huru-hara Qaramitah yang dikomandani oleh Abu Thahir Qarmiti (wafat 332H) di kota Mekah, dimana Qaramathiyan melakukan penyerangan pada Kabah, Hajar Aswad luluh lantak dan jatuh dari tempatnya, Abu Thahir membawa pecahan Hajar Aswad ke tempat tinggalnya, di Hajara, (sekarang ini berada di kota Ahsa yang merupakan ibu kota Bahrain dimasa lampau) sampai tahun 339H, kemudian Hajar Aswad dikembalikan lagi ke Kabah.[28] Masyarakat mengambil berkah di tempat dimana sebelumnya Hajar Aswad diletakkan. [29]
Ada banyak versi terkait bagaimana Hajar Aswad dikembalikan ke tempat asalnya.[30] Salah satu darinya menyebutkan bahwa Muti’ salah satu khalifah Bani Abbas, telah membayar tiga puluh ribu dinar kepada Qaramathiyan untuk diambil kembali.[31] tapi keterangan ini dinilai tidak bisa dibenarkan. [32]
Berdasarkan keterangan lainnya ketika Bajkam Turki (Makani) pemimpin Baghdad di zaman ar-Radhiyu billah dan Mutaqiyullah, untuk mengambilnya dia menawarkan lima puluh ribu dinar, tapi mereka menolaknya. [33] Kurdi menilai bahwa pengambilan uang untuk mengembalikan Hajar Aswad tidaklah benar. [34] Sebenarnya setelah meninggalnya Abu Thahir Qarmithi sebab kaum Qaramathiyan merasa sudah sampai pada tujuan mereka ketika hari pengangkatan Sanbar bin Hasan Qarmithi pada hari raya kurban. Hajar Aswad yang dilindungi dengan bingkai perak disimpan sedemikian rupa, dan di hadapan para pimpinan Mekah, Hajar Aswad dikembalikan pada tempatnya masih dengan bingkai yang sama. [35]
Pada tahun 340H beberapa tahun setelah dikembalikannya Hajar Aswad, tim pengganti serambi Kabah mengeluarkannya dan menguatkan bingkai penguat Hajar Aswad, bingkai ini dilepas sesuai perintah Daud bin Isa Husaini pimpinan Mekah pada tahun 585H.[36]
Pada tahun 363H seorang warga Romawi dengan diberi imbalan yang berlipat ganda diperintahkan untuk mencuri Hajar Aswad, secara lahir dia tampak seperti orang miskin, ketika hanya tinggal dua orang yang sedang sibuk melakukan tawaf, dia segera mendekati Hajar Aswad lalu memukulnya dengan kapak, karena terdengar suara dentuman datanglah seorang warga Yaman yang tadinya sedang tawaf, ia lukai orang itu dengan tombak, masyarakat pun berdatangan di sekitar masjid, setelah dibawa keluar dari masjid, dibuatlah tumpukan kayu lalu orang itu dibakar di sana. [37]
Tahun 413 H seseorang memukul Hajar Aswad keras-keras dengan tongkat, akibatnya Hajar Aswad terbelah, pecahannya jatuh berserakan di atas tanah.[38] Ibnu Atsir yang menceritakan kejadian ini pada bagian kejadian tahun 414 H, menjelaskan bahwa orang itu adalah orang kafir dan seorang warga Mesir, disebutkan bahwa dia dan para pengikutnya dibakar dalam api. [39] Setelah itu, Bani Syaibah menyatukan kembali kepingan kecil maupun besar dari Hajar Aswad. [40] Kurdi menukil dari Batnuni dalam kitab Ar-Rihlah al-Hijaziyah, dia menyebut kejadian ini terjadi tahun 411H, dia juga menyebutkan sebagian berpendapat bahwa salah satu raja Bani Fatimi dengan tujuan membuat masyarakat meninggalkan Kabah dan datang ke masjidnya di Kairo, ia mengirim orang ini ke Mekah untuk menghancurkan Hajar Aswad.[41] Disebutkan juga bahwa ada warga non arab pada tahun 990H juga memukul Hajar Aswad dengan tongkat, dia dihukum massa setelah melakukan itu dan meninggal di sana. [42]
Ketika dilakukan pemugaran Kabah pada masa raja Murad Utsmani pada tahun 1040 H, Hajar Aswad sudah menjadi empat bagian dan setelah dilakukan berbagai percobaan, dibuatlah semen khusus sehingga masing-masing bagian dapat disatukan begitu baik. Pada kesempatan ini Hajar Aswad juga diletakkan kembali ke tempatnya.[43]
Catatan Kaki
- ↑ Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 241; Marwarid, Qawamisul Hajj, hlm. 846.
- ↑ Silahkan merujuk ke kamus: Deh Khuda, kamus, di bawah kata marwarid, Qawamisul Hajj, hlm. 846.
- ↑ Ibnu Zhahirah, al-Jamiul Lathif, hlm. 41.
- ↑ Kharbuthali, Tarikhul Ka’bah, hlm. 21.
- ↑ Azraqi, Akhbaru Makah, hlm. 32, silahkan merujuk ke paragraf selanjutnya.
- ↑ Kurdi, Makkah wa Madinah, gambar perluasan dan pemugaran, hlm. 101.
- ↑ Quoted in Hughes, A Dictionary of Islam, p. 154.
- ↑ Ubaidullah Kurdi, Makkah wa Madinah, sebuah gambar perluasan dan pemugaran, hlm. 101.
- ↑ Silahkan rujuk: ‘Aiyasyi, Kitabut Tafsir, jld. 1, hlm. 187; al-Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 223.
- ↑ Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 185-186.
- ↑ Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 191; rujuk juga pada kitab: Ibnu Hanbal, Musnad, jld. 1, hlm. 7, 307, dan 329.
- ↑ Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 191.
- ↑ Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 205.
- ↑ Silahkan rujuk: Azraqi, Akhbaru Makkah, hlm. 31-32; Thabari, jld.1, hlm.251.
- ↑ Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 348.
- ↑ Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 185.
- ↑ [1]
- ↑ Syaikh al-Hurrul Amili, Wasailus Syiah, 1409, jld. 13, hlm. 320-321.
- ↑ Untuk melihat lebih detail silahkan rujuk ke: Syahid ats-Tsani, ar-Raudhatul Bahiyyah, jld. 2, hlm. 262; Muqaddas Ardabili, Majma’ul Faidah, jld. 7, hlm. 166; Jazairi, al-Fikh alal Mazahibil Arba’ah, jld. 1, hlm. 655-658; Mughniyah, al-Fikh alal Mazahibil Khamsah, hlm. 236.
- ↑ Sebagai contoh, lihat: Al-Kulaini, al-Kafi, jld.-4, hlm. 204-404; Ibnu Babuwaih, Man La Yahdhuruhul Fakih, jld. 2, hlm. 531; al-Majlisi, 'Biharul Anwar, jld. 96, hlm. 216-228.
- ↑ Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 4, hlm. 406; Wasailus Syiah, jld. 13, hlm. 324.
- ↑ Untuk keterangan dari kejadian ini lihat: Ibnu Hisham, Siratun Nabi, jld. 1, hlm. 127.
- ↑ Silahkan rujuk pada: Azraqi, Akhbaru Makkah, hlm. 138-140; Mathar, Tarikhu Imaratil Haram, hlm. 101-102.
- ↑ Silahkan rujuk pada Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld.2, juz. 3, hlm. 261; Husain Abdullah Basalamah, Tarikhul Ka’batil Mu’azhamah, hlm. 114.
- ↑ Silahkan rujuk: Azraqi, Akhbaru Makkah, hlm. 140-144; Mathar, Tarikhu Imaratil Haram, hlm. 103-109.
- ↑ Qutbur Rawandi, al-Hara’ij wal Jara’ih, jld. 1, hlm. 268.
- ↑ Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm. 193; Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld. 2, jld. 3, hlm. 262; Tarikhu Imaratil Haram, hlm. 109.
- ↑ Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld. 2, juz. 3, hlm. 262.
- ↑ Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm. 193.
- ↑ Silahkan rujuk: Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm, 193; Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm 262-264.
- ↑ Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm. 193; Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld. 2, juz. 3, hlm. 262.
- ↑ Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm. 193.
- ↑ Fasi, Syifa al-Gharam, jld. 1 hlm. 193; Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 262.
- ↑ Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 263.
- ↑ Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm. 193; Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 263-264; Lebih lanjut silahkan rujuk: Husain Abdullah Basalamah, Tarikhul Ka’batil Muazhamah, hlm. 115-118.
- ↑ Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm. 193-194; Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 264.
- ↑ Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld. 2, juz. 3, hlm. 264; Lebih lanjut silahkan rujuk: Husain Abdullah Basalamah, Tarikhul Ka’batil Muazhamah, hlm. 119.
- ↑ Fasi, Syifa' al-Gharam, jld. 1 hlm. 193-194; Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld. 2, juz. 3, hlm. 264.
- ↑ Ibnu Atsir, al-Kamil, jld. 9, hlm.. 332.
- ↑ Ibnu Atsir, al-Kamil, jld. 9, hlm. 332; Fasi, Syifa al- Gharam, jld. 1 hlm. 193-194; Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm.264.
- ↑ Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 265.
- ↑ Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 264; Husain Abdullah Basalamah, Tarikhul Ka’batil Muazhamah, hlm. 120.
- ↑ Muhammad Thahir Kurdi, at-Tarikhul Qawim, jld 2, juz. 3, hlm. 265.
Daftar Pustaka
- 'Ayasyi, Muhammad bin Masud. Kitabu Tafsir. Qom: Hasyim rasuli mahalati, 1380/1381.
- Al-Kulaini. al-Kafi
- Azraqi. Akhbar Makkah Syarafuhallah ta'ala wa ma Jaa fiha minal Atsar, riwayah Ishaq bin Ahmad Khaza'i. Göttingen: Dar Akhbari Makkatil Musyarafah.
- Fasi, Muhammad bin Ahmad. Syifa' al-Gharam bi Akhbari Biladi al-Haram. Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiah,
- Basalamah, Husain Abdullah. Tarikh al-Ka'bah al-Mu'dhamah 'Imaratuha wa Kiswatuha wa Sidanatiha. Kairo: Yahya Hamzah Wazanah, 1420/ 2000.
- Huzairi, Abdu ar-Rahman. Al-Fikh alal Mazahibil Arba'ah. Istanbul: 1404 H/1984 M.
- Ibnu Atsir. al-Kamil
- Ibnu Babuwaih. Man La Yahduruhul Fakih. Qom: Ali akbar ghifari 1404 H.
- Ibnu Hanbal. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut: Dar al-Shadir, tanpa tahun.
- Ibnu Hisyam. Siratun Nabi. Kairo: Muhammad Muhyidin Abdul Hamid, 1383 H/1963.
- Ibnu Zhahirah. Al-Jami' al-Lathif fi Fadhli Makkah wa Ahliha wa Bainal Bait al-Syarif. Kairo: Ali Umar, 1423 H/2003.
- Kamus Deh Khuda, Ali Akbar, kamus
- Kharbuthali, Ali Hasani. Tarikh al-Ka'bah. Beirut: 1411 H/1991 M.
- Kurdi Muhammad Thahir. Al-Tarikh al-Qawim li Makkah wa Baitullah al-Karim. Beirut: 1420 H/ 2000.
- Kurdi, Ubaidullah. Makkah wa Madinah, Tashwiri az Tause'e wa nusazi, terjemahan Husain Shabiri. Muasasah Tahqiqat wa Nasyr Ma'arif Ahlu al-Bait.
- Majlisi, Biharul Anwar
- Marwarid, Ali Asghar. Qawamisul Hajj, Dar al-Hajj, Asyrafa ala Jam'i Ushulihal Khathiyah wa Tartibuha Hasbat Tasalsuli al-Dzimni wa ala Tahqiqiha wa Ikhrajiha wa Amali Qawamisiha ala Asghari Marwarid. Tehran: Markaz Buhuts al-Hajji wa al-'Umrah, 1406 H.
- Mathar, Fauziah Husain. Tarikh Imarati al-Harami Makky Syarif ila Nihayati 'Ashri al-Abbasi al-Awwal. Jeddah: 1402 H/1982.
- Mughniyah, Muhammad Jawad. Al-Fiqh ala al-Madzahib al-Khamsah, Ja’fari, al-Hanafi, al-Maliki, asy-Syafi'i, al-Hanbali. Beirut: 1404/ 1984.
- Muqaddas Ardabili, Ahmad bin Muhammad. Majma'u al-Faidah wa al-Burhan fi Syarhi Irsyadi al-Adzhan. Qom: Mujtaba iraqi, Ali Panah Isytihardi dan Husain Yazdi Ishfahani, 1409 H.
- Qutub Rawandi, Said bin Hibatullah. Al-Hara’ij wal Jara'ih. Qom: 1409 H.
- Syahid tsani, Zainudin bin Ali. Al-Raudhah al-Bahiyah fi Syarhi Lum'ati al-Dimasyqiyah. Najaf: Muhammad Kalantari, 1398.