Ayat Musyawarah

Prioritas: b, Kualitas: b
tanpa Kategori
tanpa navbox
Dari wikishia
Kaligrafi Ayat Musyawarah, karya Amirul Kutab untuk sidang ketiga Dewan Nasional
Informasi Ayat
NamaAyat Musyawarah
SurahSurah Ali Imran
Ayat159
Juz4
Informasi Konten
Sebab
Turun
Penegasan sirah Nabi saw pada perang Uhud berdasarkan dengan musyawarah para sahabat
Tempat
Turun
Madinah
TentangAkhlak - Keyakinan
DeskripsiPengampunan umum, perlunya melakukan pekerjaan publik dan pemerintahan berdasarkan musyawarah, twakal kepada Tuhan
Ayat-ayat terkaitAyat SyuraAyat Radha'ah


Artikel ini membahas tentang Ayat Musyawarah dan untuk membaca lebih tentang musyawarah silahkan lihat Ayat Syura.

Ayat musyawarah (bahasa Arab:آية المشاورة) (Al-Imran: 159) berisi ungkapan peran akhlak baik Nabi Muhammad saw dalam menarik umat Islam, yang memerintahkannya untuk bermusyawarah dengan umat. Alasan diturunkannya ayat ini adalah penegasan terhadap sirah hidup Nabi Muhammad saw dalam musyawarah dengan para sahabat pada perang Uhud.

Para ahli tafsir telah mencantumkan manfaat musyawarah pada penjelasan mengenai ayat musyawarah; diantaranya meningkatkan kemampuan berpikir umat, membuat mereka merasa bertanggung jawab khususnya terhadap urusan umat, mengajarkan bagaimana memilih suara atau pendapat terbaik, mereformasi masyarakat dan sebagai bentuk penghormatan terhadap umat.

Menurut para ahli tafsir, musyawarah Nabi Muhammad saw dengan umat berkaitan dengan urusan umum dan pengelolaan publik serta cara melaksanakan hukum-hukum Allah swt, bukan mengenai halal dan haramnya yang merupakan kekhususan ketetapan Allah swt; Karena ketetapan Ilahi berasal dari wahyu dan diambil dari Al-Quran dan Sunnah.

Dari sudut pandang sebagian pemikir Islam, ajaran musyawarah dalam Al-Qur'an dianggap sebagai metode yang paling cocok untuk pembentukan pemerintahan Islam.

Pengenalan Singkat, Teks Ayat dan Terjemahannya

Ayat 159 Surah Ali Imran telah diperkenalkan sebagai ayat musyawarah.[1] Tentu saja, selain ayat ini,[2] pada ayat 38 Surah Asy-Syura, para ahli tafsir juga telah mengkaji masalah musyawarah dan peranannya.[3] Dalam ayat musyawarah, selain mengingatkan mengenai akhlak Nabi Muhammad saw yang mulia, ada tiga perintah umum yang dikeluarkan: pengampunan secara umum, musyawarah dengan manusia dan bertawakal kepada Allah.[4] Anjuran untuk bermusyawarah dalam ayat ini adalah juga seperangkat tatanan moral.

Menurut Ayatullah Makarim Syirazi, dalam ayat musyawarah yang mengacu pada kelembutan Nabi Muhammad saw yang menarik umat Islam, Allah swt memintanya untuk bermusyawarah dengan umat Islam dalam urusan, bagaimana metode pemberian amnesti kepada orang-orang yang bersalah dalam perang Uhud dan permohonan ampunan kepada mereka yang tewas dalam perang.[5]

Para peneliti agama menilai bahwa ayat-ayat musyawarah menyebabkan perluasan musyawarah di masyarakat dan semua orang berpartisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Menurut mereka, yang dibahas dalam ayat-ayat ini adalah aspek pemerintahan Nabi Muhammad saw, bukan aspek kenabiannya; Karena sebagai penyampai pesan Ilahi ia memiliki hubungan langsung dengan Allah swt dan tidak memerlukan makhluk; sehingga musyawarah adalah ciri positif suatu pemerintahan, sekalipun yang duduk di tampuk kepemimpinan adalah individu yang maksum.[6]

فَبِمَا رَ‌حْمَةٍ مِّنَ اللَّـهِ لِنتَ لَهُمْ ۖ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لَانفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ‌ لَهُمْ وَشَاوِرْ‌هُمْ فِي الْأَمْرِ‌ ۖ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّـهِ ۚ إِنَّ اللَّـهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ

Maka dengan [keberkahan] rahmat Allah, kamu bersikap lemah lembut [dan penyayang] terhadap mereka, dan jika kamu mudah marah dan keras hati, niscaya mereka akan menjauh darimu. Maka maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam [berbagai] urusan, dan apabila kamu sudah mengambil keputusan, bertawakallah kepada Allah, karena Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya.(QS. Al-Imran, ayat 159 )

Sebab Turunnya Ayat

Para ahli tafsir meyakini turunnya ayat 159 Surah Ali Imran berkaitan dengan kekalahan kaum muslimin pada perang Uhud.[7] Berdasarkan apa yang dikemukakan dalam Tafsir al-Amtsal, sebelum perang Uhud, tentang bagaimana cara menghadapi musuh, pendapat Nabi Muhammad saw bersama dengan beberapa sahabat lainnya adalah perang dilakukan di dalam kota Madinah, namun ia mengikuti dan menghormati pendapat mayoritas yang mengusulkan untuk perang menghadapi kaum Musyrikin dilakukan di luar kota Madinah.

Karena itu Nabi bersama pasukan pergi keluar Madinah. Pasca menerima kekalahan dari perang tersebut, sebagian berpendapat bahwa penyebab kekalahan adalah disebabkan ketidakpatuhan terhadap Nabi Muhammad saw, dan semestinya kelak ia tidak perlu bermusyawarah lebih dulu dengan kaum Muslimin. Setelah kekalahan tersebut, sebagian orang berpikir bahwa ketidaktaatan kepada Nabi saw menyebabkan kekalahan tersebut dan bahwa beliau tidak boleh lagi berkonsultasi dengan umat Islam. Oleh karena itu, ayat ini diturunkan untuk menyikapi cara berpikir tersebut dan memerintahkan Nabi Muhammad saw untuk bermusyawarah kembali dengan umat dalam berbagai hal.[8]

Sifat Lemah lembut Nabi Mengundang Ketertarikan kepada Islam

Menurut Allamah Thabathabai, meskipun yang dituju ayat Musyawarah adalah Rasulullah saw; Namun pada kenyataannya, Allah swt telah berbicara kepada umat Islam pada umumnya dan bersabda bahwa keramahan Nabi Muhammad saw dalam berhadapan dengan mereka. Dan memberikan maaf atas kesalahan-kesalahan mereka adalah rahmat Allah terhadap umat Islam; karena dialah yang menjadikan Nabi Muhammad saw lemah lembut dan berakhlak mulia.[9] Menurut Fadhl bin Hasan Thabrisi, hasil dari kelembutan Nabi Muhammad saw adalah ketertarikan umat terhadap agama Islam. Dan di sisi lain, ini adalah peringatan kepada Nabi Muhammad saw bahwa jika dia keras hati dan egois, maka orang-orang akan menjauh darinya.[10]

Pentingnya Musyawarah

Para ahli tafsir dalam menafsirkan ayat-ayat musyawarah telah menyebutkan manfaat-manfaatnya, di antaranya adalah: meningkatkan level keintelektualan umat dan rasa tanggung jawab mereka, mengajarkan cara memilih suara terbaik, mendorong partisipasi dalam urusan publik umat, mereformasi umat dan mengarahkan umat kepada akhlak yang baik dan sebagai bentuk penghormatan pada umat.[11]

Penekanan Al-Qur'an pada musyawrah dalam melakukan sesuatu dapat dipahami sebagai alasan bahwa semakin kuat intelektual seseorang, semakin dia melihat satu atau lebih aspek dari berbagai permasalahan dan lalai pada aspek lainnya. Disebutkan juga dalam ayat-ayat terkait pentingnya musyawarah, bahwa pekerjaan ini dianggap sebagai program permanen, bahkan Nabi sekalipun memiliki hubungan dengan sumber wahyu, namun dalam masalah tekhnis, Nabi tetap bermusyawarah dengan umat Islam dan terkadang lebih mendahulukan pendapat mereka dibanding pendapatnya sendiri.[12]

Allamah Thabathabai menilai ayat 159 Surat Ali Imran sebagai penegasan kehidupan Nabi Muhamamd saw, bahwa tindakan Rasulullah didasarkan pada perintah Allah swt dan Allah swt ridha dengan perbuatan Rasulullah saw.[13]

Ruang Lingkup Musyawarah Nabi

Para ahli tafsir menganggap musyawarah Nabi Muhammad saw dengan umat hanya dalam urusan umat dan pengelolaan publik,[14] hal-hal yang berkaitan dengan nasib umat, kepentingan umum dan juga bagaimana melaksanakan ketetapan Ilahi.[15] Dan mereka mengatakan bahwa musyawarah dalam hal yang dihalalkan dan diharamkan Allah[16] ] dan masalah agama bukanlah hal yang dimaksudkan;[17] karena keputusan-keputusan ini berasal dari wahyu dan diambil dari kitab dan sunah serta berkaitan dengan wilayah tasyri’i dari Allah swt.[18]

Mufasir seperti Shadiqi Tehrani dan Nashir Makarim Syirazi menganggap musyawarah dalam urusan kekhalifahan tidak sah. Sebab menurut mereka, telah diturunkan ketetapan khusus oleh Allah swt mengenai masalah ini dan dengan diangkatnya penerus dan khalifah Nabi Muhammad saw melalui wahyu, maka tidak ada ruang lagi bagi permusyawaratan.[19] Beberapa mufasir Ahlusunah seperti itu sebagaimana Zamakhshari yang mengutip pernyataan Umar bin Khattab yang merupakan "Al-Khilafah Syura" (khilafah adalah syura), telah menempatkan persoalan khilafah dalam ranah Syura.[20]

Kepatuhan Nabi Terhadap Hasil Musyawarah Dalam Pengambilan Keputusan Akhir

Beberapa orang berpendapat bahwa Nabi Muhammad saw diperintahkan bermusyawarah karena menghormati kepribadian umat Islam dan mereka percaya bahwa pengambil keputusan akhir, sebagaimana dikatakan dalam ayat tersebut, adalah Nabi Muhammad dan ia tidak mesti menjalankan hasil musyawarah.

Sementara pandangan lain menyebutkkan bahwa di akhir ayat, Nabi Muhammad saw diperkenalkan sebagai pengambil keputusan akhir, bukan berarti dia bermusyawarah dengan umat lalu mengabaikan pendapat mereka; Karena tidak sesuai dengan maksud ayat tersebut dan akan menimbulkan rasa tidak hormat terhadap opini umat dan akibatnya menimbulkan kebencian umat Islam sehingga yang terjadi adalah sebaliknya.

Dalam sirah Nabi Muhammad saw juga terlihat bahwa meskipun ia memandang pendapat orang banyak berbeda dengan pendapatnya sendiri, ia tetap bertindak berdasarkan pendapat orang banyak tersebut untuk memperkuat prinsip musyawarah.[21]

Menurut Sayid Mahmud Thaliqhani, salah seorang mufasir kontemporer, keputusan akhir diserahkan kepada hakim setelah bermusyawarah dan mengetahui pendapat orang lain; Dengan penjelasan bahwa hakim harus mencapai titik kesamaan untuk mengkaji dan meneliti berbagai aspek permasalahan sosial; Namun ketika sudah sampai pada tahap pengambilan keputusan, jika keputusan tidak diambil secara tegas dan terdapat keragu-raguan maka akan terjadi kekacauan.[22]

Membentuk Pemerintahan Berdasarkan Prinsip Syura Al-Qur'an

Dari sudut pandang sebagian pemikir Islam, antara lain Sayid Mahmud Taliqhani dan Rasyid Ridha, ajaran musyawarah (syura) dalam Al-Qur'an dinilai paling cocok untuk pembentukan pemerintahan Islam di era baru, yang dapat mengakhiri krisis-krisis umat Islam.[23]

Thaliqani dengan bersandar pada ayat 159 Surah Ali Imran, ayat 38 Surah Asy-Syura dan ayat 233 Surah Al-Baqarah berkeyakinan bahwa ketika Al-Qur'an menetapkan musyawarah dalam urusan kecil dalam keluarga, maka setiap rumah harus menjadi pusat musyawarah dan menyebar ke penyelenggaraan masyarakat atau negara.[24] Menurut Thaliqhani, sistem syura di satu sisi menolak tirani, dan di sisi lain kompatibel dengan demokrasi, bahkan lebih dari itu, ia berpendapat bahwa demokrasi hanya menekankan aspek material, sedangkan sistem syura Islam, karena menganggap manusia sebagai khalifah Allah, mempunyai cita-cita kemanusiaan yang agung dalam naungan wahyu untuk umat manusia.[25]

Catatan Kaki

  1. Makarim Syirazi, Payam-e Quran, jld. 10, hlm. 87-88.
  2. Mughniyah, al-Kasyif, jld. 2, hlm. 189; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 3, hlm. 142-148.
  3. Thabathabai, al-Mizan, jld. 18, hlm. 63.
  4. Rezai Isfahani, Tafsir Quran Mehr, jld. 3, hlm. 309.
  5. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 3, hlm. 140-143.
  6. Muballigi, Naqsy-e Masywarat va Musyarekat dar Farayand-e Tasmim Sazi ba Negahi Tarikhi va Tathbiqi, diakses oleh site imam-khomeini.ir.
  7. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 56; Mughniyah, al-Kasyif, jld. 2, hlm. 188; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 3, hlm. 140.
  8. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 3, hlm. 143.
  9. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 56.
  10. Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 2, hlm. 69.
  11. Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 2, hlm. 69; Musawi Sabziwari, Mawahib al-Rahman, jld. 7, hlm. 9; Thayib, Ahsan al-bayan, jld. 3, hlm. 409; Qiraati, Tafsir Nur, jld. 2, hlm. 184-185.
  12. Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 20, hlm. 462-463.
  13. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 56.
  14. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 57.
  15. Mughniyah, al-Kasyif, jld. 6, hlm. 529.
  16. Mughniyah, al-Kasyif, jld. 6, hlm. 529.
  17. Musawi Sabziwari, Mawahib al-Rahman, jld. 7, hlm. 8.
  18. Thabathabai, al-Mizan, jld. 4, hlm. 57; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 20, hlm. 462-463.
  19. Shadiqi Tehrani, al-Furqan,jld. 6, hlm. 61-62; Makarim Syirazi, Payam-e Quran, jld. 10, hlm. 89.
  20. Zamakhsyari, al-Kasyaf an Haqaiq Ghawamidh al-Tanzil, jld. 4, hlm. 229.
  21. Makarim Syirazi, Payam-e Quran, jld. 10, hlm. 88.
  22. Partui az Quran, jld. 5, hlm. 398.
  23. Khon Muhamadi dan Ja'fari, Jaygah-e Syuran dar Hukumat-e Islami, hlm. 23.
  24. Thaliqani, Tabyin-e Resalat Bara-e Qiyam be Qisth, hlm. 159.
  25. Khon Muhamadi dan Ja'fari, Jaygah-e Syuran dar Hukumat-e Islami, hlm. 32-33.

Daftar Pustaka

  • Khon Muhammadi, Yusuf dan Ja'fari, Sayid Nadir. Jaygah-e Syuran dar Hukumat-e Islami az Didgah-e Muhammad Rasyid va Sayid Mahmud Thaliqani. Dalam Ensiklopedia Siyasat-e Muta'aliyeh, vol. 22, 1397 S.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Payam-e Quran. Qom: Madrasah Amir al-Mukminin, 1368 S.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Tafsir Nemuneh. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, 1371 S.
  • Muballigi, Ahmad. Naqsy-e Masywarat va Musyarekat dar Farayand-e Tasmim Sazi ba Negahi Tarikhi va Tathbiqi. Diakses oleh site imam-khomeini.ir. Diakse 2 Urdibehest 1396 S, dilihat 6 Bahman 1401 S.
  • Mughniyah, Muhammad Jawad. al-Kasyif fi Tafsir al-Quran. Teheran: Dar al-Kitab al-Islami, 1424 HS.
  • Musawi Sabziwari, Abdul A'la. Mawahib al-Rahman. Beirut: Yayasan Ahlulbait (as), 1409 HS.
  • Shadiqi Tehrani, Muhammad. al-Furqan fi Tafsir al-Quran. Teheran: Penerbit Farhangg-e Islami, 1365 S.
  • Thabathabai, Muhammad Husain. al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: Yayasan al-A'lami li al-Mathbu'at, 1390 HS.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Teheran: Nashir Khusru, 1372 S.
  • Thaliqani, Sayid Mahmud. Partui az Quran. Teheran: Syerkat-e Sahami Intisyar, 1362 S.
  • Thayib, Sayid Abdul Husain. Athyab al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Teheran: Penerbit Islam, 1378 S.