Ayat Amanat

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
(Dialihkan dari Ayat Amanah)
Ayat Amanat
Informasi Ayat
NamaAmanat
SurahSurah Al-Ahzab
Ayat72
Juz22
Informasi Konten
TentangKeyakinan
DeskripsiWilayah dan Imamah


Ayat Amânat (bahasa Arab:آية الأمانة) adalah ayat ke-72 Surah Al-Ahzab yang mengandung hikmah tentang amanat yang diberikan Allah swt kepada manusia. Menurut ayat ini, Allah swt mula-mula menawarkan amanah ini kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, namun mereka tidak menerimanya; Tapi justru manusia menerima dan mengambil alih amanat tersebut. Para ahli tafsir Islam sudah banyak membahas ayat ini dan mengemukakan pandangan tafsiran yang berbeda-beda mengenai apa sebenarnya amanat dan mengapa langit, bumi, dan gunung-gunung tidak menerimanya, sedangkan manusia menerimanya.

Menurut tafsir riwayat Syiah, maksud dari amanat adalah wilayah (perwalian) dan imamah Nabi saw dan para imam Syiah as; Namun para mufasir Sunni mengatakan bahwa amanat mengandung arti kewajiban-kewajiban agama. Allamah Thabathabai meyakini bahwa amanah adalah wilayah Ilahi, sedangkan di antara semua makhluk, hanya manusia yang berhak dan mampu mendapatkan wilayah tersebut; Karena hanya manusia yang mempunyai potensi untuk mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi.

Kemasyhuran Ayat Amanat dalam Budaya Islam

Ayat 72 Surah Al-Ahzab mendapat banyak perhatian dari para ahli tafsir Islam. Para ahli tafsir Syiah dan Sunni menuliskan pandangannya terhadap ayat ini dan ditulis di dalam kitab tafsir mereka mengenai pembahasan apa itu amanat dan mengapa langit dan bumi tidak menerimanya, sedangkan manusia menerimanya.[1]

Di dalam banyak hadis sudah banyak juga membahas mengenai pembahasan amanat ini.[2]

Selain itu, para urafa dan penyair seperti seperti Hafidz, Maulawi dan Khawâjah Abdullah Anshâri telah menyebutkannya dalam literatur irfani.

Misalnya, Hafidz menulis:

Langit tidak mampu menanggung amanat_____Tapi mereka memainkan undian kegilaan dan jatuh (amanat itu) atas nama saya.[3]

Hal ini juga dinyatakan dalam puisi Maulawi:

Langit tidak menerima amanat_____karena ia sedang jatuh cinta dan takut akan melakukan kesalahan.[4]

Khawaja Abdullah Anshari juga berkata dalam doa dan munajatnya kepada Allah: “Ya Ilahi, andaikan aku tidak menerima amanat itu, pada saat itu pun, ketika Kau menyerahkannya, Engkau pun Maha Mengetahui bahwa aku (manusia) seperti ini (banyak tidak menjalankan amanat).”[5]

Teks dan Terjemahan Ayat Amanat

Apa yang Dimaksud dengan Amanat?

Dalam kitab-kitab tafsir, terdapat perbedaan penafsiran makna dari kata amanat. Diantaranya adalah bermakna wiyalah  (perwalian) dan imamah Nabi saw dan para Imam as,[6] kewajiban-kewajiban agama,[7] wilayah ilahi terhadap manusia,[8] akal, kalimat tauhid: tidak ada Tuhan selain Allah,[9] bagian-bagian tubuh,[10] dan amanah orang lain yang diserahkan kepada kita.[11]

Dalam tafsir riwayat Syiah, berdasarkan riwayat dari Nabi saw dan para Imam Syiah, amanat berarti wilayah dan imamah Ahlulbait as, ketaatan kepada mereka, dan kecintaan kepada mereka.[12]

Di dalam tafsir Ahlusunah, maksud dari amanat adalah kewajiban-kewajiban syariat agama yang Allah swt letakkan di atas pundak manusia.[13] Thabarsi, mufasir Syiah, juga menerima pendapat serupa.[14]

Menurut Sayid Muhammad Husain Thabathabai, penulis Tafsir al-Mizan, mengartikan amanat dengan makna wilayah Ilahi yang diletakkan di atas pundak manusia, hal ini dikarenakan bahwa di antara semua makhluk, manusialah yang mampu menempuh jalan kesempurnaan dengan keyakinan yang benar dan amal saleh, dan mencapai derajat tertinggi yang tidak dapat dicapai oleh makhluk apa pun.[15]

Dengan menyandarkan hadis Imam Shadiq as yang di dalamnya disebutkan makna amanat adalah wilayah Imam Ali as.[16] Allamah menafsirkan bahwa wilayah Ahlulbait as sebagai salah satu contoh dari wilayah Ilahi yang diberikan kepada manusia.[17]

Makna Penawaran Amanat kepada Langit, Bumi, dan Gunung-Gunung

Salah satu pertanyaan para ahli tafsir tentang ayat amanat adalah apa yang dimaksud dengan ardhah (penawaran) amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung. Dalam konteks ini, terdapat pandangan yang berbeda: sebagian ahli tafsir memaknainya dengan makna hakiki (arti sebenarnya) dan sebagian lagi mengatakan bahwa penawaran tersebut mempunyai makna majazi (arti kiasan):

Makna Hakiki

Menurut riwayat yang dikutip dalam tafsir riwayat Syiah, Allah swt bersabda kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, bahwa Muhammad saw dan keluarganya adalah sahabatku, waliku, dan hujahku atas manusia, dan tidak ada makhluk yang lebih aku cintai selain mereka. Wilayah mereka adalah amanatku terhadap makhluk-makhlukku. Siapa di antara kamu yang menginginkan wilayah ini untuk dirinya sendiri, tetapi bukanlah mereka yang telah Aku pilih? Mereka takut untuk menerima kedudukan yang besar seperti ini.[18]

Dalam beberapa tafsir Sunni, Allah berfirman kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, “Dapatkah kamu menunaikan amanat (kewajiban-kewajiban syariat) ini?” Mereka berkata, apa yang kita dapat dari amanat ini? Allah saw berfirman jika kamu mengikuti jalan yang benar, kamu akan diberi pahala, dan jika kamu mengikuti jalan yang salah, kamu akan mendapat azab yang pedih. Mereka tidak menerima karena takut tidak mampu menunaikan kewajiban-kewajiban syariat ini, namun manusia menerimanya.[19]

Makna Majazi

Allamah Thabathabai mengatakan, bahwa kalimat “Kami tawarkan amanah ini kepada langit, bumi dan gunung-gunung” adalah perbandingan potensi kemampuan manusia dengan kemampuan langit, bumi dan gunung-gunung, artinya meskipun mereka memiliki volume fisik yang besar, tetapi potensi kemampuan mereka untuk menerima wilayah ini tidak ada, dan hanya manusialah yang mempunyai kemampuan untuk menerima wilayah Ilahi ini dan untuk mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi.[20]

Menurut Alusi, salah satu ahli tafsir Sunni, Tuhan menggunakan tamsil (pemisalan) di dalam ayat sini untuk menunjukkan pentingnya amanat ilahi, yaitu kewajiban-kewajiban agama dan kesulitan dalam menjalankannya, dan juga untuk menyatakan bahwa manusia menerimanya atas kemauannya sendiri; Karena sebagaimana langit, bumi, dan gunung-gunung tidak menerimanya, demikian pula manusia mampu untuk tidak menerimanya.

Menurut pendapatnya, Allah swt, dengan tamsil ini, sedang menjelaskan pentingnya amanat Ilahi dan Allah swt berfirman bahwa menunaikan kewajiban-kewajiban agama sangatlah penting tetapi berat untuk dilaksanakan sehingga walaupun langit, bumi, dan gunung-gunung yang merupakan tamsil dari suatu kekuasaan dan kekuatan diberikan potensi berpikir dan kecerdasan lalu diperintahkan untuk melakukan amanat ini, maka mereka pun pasti tidak akan menerimanya.[21]

Mengapa Manusia Digambarkan sebagai Makhluk yang Zalim dan Bodoh?

Menurut Allamah Thabathabai, Allah swt telah menyebut manusia dengan sifat zalim dan bodoh karena manusia dapat menzalimi dirinya sendiri tanpa menyadari pentingnya amanat tersebut dan tidak mempertimbangkan akibat dari tidak menjalankan amanat, yakni berupa hukuman berat yang menantinya. Namun penyifatan dari ayat tersebut bukanlah untuk semua manusia, tetapi untuk golongan manusia yang memiliki sifat zalim dan bodoh; Sebaliknya, manusia pun mempunyai kemampuan untuk berilmu dan berbuat adil, walaupun di sisi lain manusia mampu untuk berbuat zalim dan kebodohan.[22] Penjelasan tersebut merupakan salah satu kemungkinan tafsiran yang dikemukakan Fakhruddin Razi, salah satu mufasir Sunni.[23]

Menurut Alusi, salah satu mufasir Ahlusunah, penyifatan manusia sebagai makhluk yang zalim dan bodoh menunjukkan bahwa banyak sekali dari golongan manusia yang tidak dapat setia pada amanah ini dan tidak memenuhi kewajiban syariahnya. Oleh karena itu, disebutkan dalam ayat berikutnya bahwa Allah menghukum orang-orang munafik dan musyrik serta menerima tobat orang-orang yang beriman.[24]

Catatan Kaki

  1. Lihat: Thabathabai, al-Mīzān, jld. 16, hlm. 348-349; Thabrasi, Majma' al-Bayān, jld. 8, hlm. 584-586; Fakhrudin Razi, at-Tafsīr al-Kabīr, jld. 25, hlm. 187-189; Alusi, Rūh al-Ma'ānī, jld. 11, hlm. 270-271.
  2. Lihat: Kulaini, al-Kāfī, jld. 1, hlm. 413; Bahrani, al-Burhān Fī Tafsīr al-Qur'ān, jld. 1, hlm. 183-184; Qummi, Tafsīr al-Qummī, jld. 2, hlm. 198.
  3. Hafez Syirazi, Diwan-e Hafez, gazal 184.
  4. Maulawi, Kulliyat-e Syams, hlm. 993, gazal no. 2674.
  5. Khaje Abdullah Anshari, Resale-e Del Wa Jan, hlm. 3.
  6. Lihat: Bahrani, al-Burhān Fī Tafsīr al-Qur'ān, jld. 1, hlm. 183-184; Qummi Masyhadi, Kanz ad-Daqā'iq, jld. 10, hlm. 450-451; Kufi, Tafsīr Furāt al-Kūfī, hlm. 342-343.
  7. Lihat: Fakhrudin Razi, at-Tafsīr al-Kabīr, jld. 25, hlm. 187; Alusi, Rūh al-Ma'ānī, jld. 11, hlm. 270; Maibudi, Kasyf al-Asrār, jld. 8, hlm. 92-93.
  8. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 16, hlm. 349.
  9. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 16, hlm. 349.
  10. Thabrasi, Majma' al-Bayān, jld. 8, hlm. 584.
  11. Thabrasi, Majma' al-Bayān, jld. 8, hlm. 584.
  12. Lihat: Bahrani, al-Burhān Fī Tafsīr al-Qur'ān, jld. 1, hlm. 183-184; Qummi Masyhadi, Kanz ad-Daqā'iq, jld. 10, hlm. 450-451; Kufi, Tafsīr Furāt al-Kūfī, hlm. 342-343; Qummi, Tafsīr al-Qummī, jld. 2, hlm. 198.
  13. Lihat: Fakhrudin Razi, at-Tafsīr al-Kabīr, jld. 25, hlm. 187; Alusi, Rūh al-Ma'ānī, jld. 11, hlm. 270; Maibudi, Kasyf al-Asrār, jld. 8, hlm. 92-93.
  14. Thabrasi, Majma' al-Bayān, jld. 8, hlm. 585.
  15. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 16, hlm. 349.
  16. Kulaini, al-Kāfī, jld. 1, hlm. 413.
  17. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 16, hlm. 349.
  18. Lihat: Bahrani, al-Burhān Fī Tafsīr al-Qur'ān, jld. 1, hlm. 183-184; Qummi Masyhadi, Kanz ad-Daqā'iq, jld. 10, hlm. 450-451; Kufi, Tafsīr Furāt al-Kūfī, hlm. 342-343.
  19. Lihat: Fakhrudin Razi, at-Tafsīr al-Kabīr, jld. 25, hlm. 187; Maibudi, Kasyf al-Asrār, jld. 8, hlm. 92-93.
  20. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 16, hlm. 350-351.
  21. Alusi, Rūh al-Ma'ānī, jld. 11, hlm. 270.
  22. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 16, hlm.
  23. Fakhrudin Razi, at-Tafsīr al-Kabīr, jld. 25, hlm. 188.
  24. Alusi, Rūh al-Ma'ānī, jld. 11, hlm. 271.

Daftar Pustaka

  • Alusi, Mahmud. Rūh al-Ma'ānī Fī Tafsīr al-Qur'ān al-'Adzhīm Wa as-Sab' al-Matsānī. Riset: Abdul Bari Athiyah. Oleh: Ibrahim Syamsuddin & Sana' Bazi' Syamsuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah. Cet. 1, hlm. 1415 H.
  • Anshari, Khaje Abdullah. Munajat Name-e Khaje Abdullah Anshari. Editor: Muhammad Hemashian. Kerman: Khadamat Farhanggi-e Kerman. Cet. 1, 1382 HS/2004.
  • Bahrani, Hasyim. Al-Burhān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Riset: Bunyad-e Be'sat. Qom: Bunyad-e Be'sat. Cet. 1, 1415 H.
  • Fakhrur Razi, Muhammad bin Umar. At-Tafsīr al-Kabīr. Beirut: Dar Ihya' at-Turats al-Arabi, 1420 H.
  • Furat Kufi, Furat bin Ibrahim. Tafsīr Furāt al-Kūfī. Riset & editor: Muhammad Kazim. Tehran: Yayasan Cap Wa Nasyr-e Wezarat-e Farhangg Wa Ersyad-e Eslami. Cet. 1, 1410 H.
  • Hafez Syirazi, Syamsuddin Muhammad. Diwan-e Hafez.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kāfī. Riset: Ali Akbar Ghaffari & Muhammad Akhundi. Tehran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah. Cet. 4, 1407 H.
  • Maibudi, Ahmad. Kasyf al-Asrār Wa 'Uddah al-Abrār. Oleh Ali Asghar Hekmat. Tehran: Amir Kabir. Cet. 5, 1371 HS/1993.
  • Maulawi, Jalaluddin Muhammad. Kulliyat-e Syams. Editor: Badi' a-Zaman Furuzan Far. Tehran: Amir Kabir, 1367 HS/1989.
  • Qummi Masyhadi, Muhammad. Kanz ad-Daqā'iq Wa Bahr al-Gharā'ib. Riset: Husein Dargahi. Tehran: Sazman-e Cap Wa Nasyr-e Entesyarat-e Wezarat-e Farhang Wa Ersyad-e Eslami. Cet. 1, 1368 HS/1990.
  • Qummi, Ali bin Ibrahim. Tafsīr al-Qummī. Riset: Thayyib Musawi Jaza'iri. Qom: Dar al-Kitab. Cet. 3, 1363 HS/1985.
  • Thabathabai, Sayyid Muhammad Husein. Al-Mīzān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Qom: Daftar-e Entesyarat-e Eslami. Cet. 5, 1417 H.
  • Thabrasi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Tehran: Nashir Khusru. Cet. 3, 1372 HS/1994.