Siti Hawa

Prioritas: c, Kualitas: c
Dari wikishia
(Dialihkan dari Siti Hawa As)
Siti Hawa
Istri Nabi Adam as
Sebuah makam yang dikaitkan dengan Siti Hawa sa, Jeddah, Saudi.
Sebuah makam yang dikaitkan dengan Siti Hawa sa, Jeddah, Saudi.
Nama lengkapHawa
JulukanIbu umat manusia
Terkenal denganSiti Hawa
Kerabat termasyhurNabi Adam as
Tempat dimakamkanDi Jeddah, Saudi Arabia (menurut sebuah periwayatan) • Sumber lain menyebutkan bahwa makam Hawa sa berada samping makam Nabi Adam as di sebuah gua yang terletak di gunung Abu Qubais, Mekah


Hawa (bahasa Arab:حَوّا) adalah perempuan pertama sekaligus istri Nabi Adam as dan ibu umat manusia. Nama Hawa tertulis dalam kitab suci agama Yahudi dan Kristen, sedangkan di dalam Al-Qur'an tidak tertulis. Al-Qur'an hanya menyebutnya dengan istilah istri Nabi Adam as. Meski demikian, banyak kitab tafsir, sejarah dan riwayat yang membawakan nama Hawa sa berikut kisahnya. Misal, kisah tentang buah terlarang yang ia makan bersama Nabi Adam as, tentang diturunkannya mereka ke bumi, dan tentang kehidupan mereka di bumi. Terdapat perbedaan pendapat tentang letak makam Hawa sa. Ada yang berpendapat bahwa makam Hawa sa berada di Jeddah, Saudi Arabia.

Etimologi

Nama Hawa sa dalam Perjanjian Baru disebut dengan Ḥawwāh. Kata ini dalam Taurat bahasa Yunani diterjemahkan menjadi Eva, sedangkan dalam Bahasa Latin menjadi Heva. Dari penulisan latin itu kemudian berkembang menjadi Eve yang kemudian diadopsi oleh bahasa-bahasa negara Barat. Setidaknya ada 9 perbedaan pendapat mengenai asal mula kata Hawa, di antaranya:

  1. Menurut Perjanjian Lama, Nabi Adam as menamai istrinya dengan Hawwa, sebab ia adalah ibu segala yang hidup.
  2. Kemungkinan, nama Hawa diambil dari kata Hayyah (bahasa Arab: hidup). Menurut Skinner, nama istri Nabi Adam as (Hawa) kemungkinan muncul dari teori kuno tentang awal mula penciptaan manusia. Karena ia adalah ibu pertama maka ia menjadi lambang persatuan seluruh umat manusia. Karena itu kata Hawa mestinya memiliki arti hidup dan induk kehidupan, yaitu ibu.
  3. Hawa adalah kata yang pengucapannya serupa dengan suatu kata dalam Bahasa Aram. Yaitu, "Hiwya" bermakna ular. Menurut pendapat ini, sebab penamaan Hawa adalah karena ia telah berhasil memikat Nabi as bagai ular. Sebagaimana ular yang telah memperdaya Hawa sa, ia pun telah menjadi sosok "ular" bagi suaminya, Adam as.[1]

Dalam referensi-referensi leksikologi bahasa Arab juga terdapat perbedaan pendapat tentang asal mula kata Hawwa' (Arab). Para ahli menyebutkan, kemungkinan kata Hawa berasal dari kata (حوو: hawawa) atau (حوی: hawaa). Dalam hal ini, Hawa adalah sebuah nama yang tidak perlu penjelasan arti bahasa. Mereka hanya menjelaskan bahwa Hawa adalah "istri Nabi Adam as."[2]

Secara global, kata Hawa (arab: hawa' ) dalam bahasa Arab memiliki beberapa makna asli. Di antaranya, Hawa berasal dari kata "hawawa: hitam kehijauan atau merah kehitaman." Kata ini adalah bentuk muannats (perempuan) dari "ahwaa."[3] Atau dari kata "hayiya: kehidupan dan ular."[4] Ibnu Mandhur menerangkan, kata "hawa'" bila digandeng dengan "alif" dan "lam" maka akan menunjukkan nama seekor kuda.[5]

Menurut Tradisi Yahudi

Penciptaan Hawa

Perjanjian Lama menyebutkan dua riwayat tentang penciptaan manusia. Riwayat pertama menerangkan, sejak awal manusia tercipta dengan jenis laki-laki dan perempuan. Riwayat kedua, mulanya hanya tercipta laki-laki kemudian diciptakan pula perempuan. Para peneliti meyakini, kedua riwayat tersebut muncul karena adanya dua revisi teks Taurat yang berbeda. Dalam riwayat yang lebih kuno diterangkan, setelah menciptakan laki-laki, Allah swt menciptakan binatang darat dan burung dari tanah. Nabi Adam as lalu menamai semua binatang itu. Ternyata, di antara makhluk yang dilihatnya dia tidak menemukan sosok yang sepadan sebagai pendamping dan penolong bagi dirinya. Kerenanya Allah swt membuatnya tidur nyenyak kemudian mengambil salah satu tulang rusuknya. Dari tulang itu Allah swt menciptakan seorang perempuan dan menyerahkannya pada Nabi Adam as.

Turunnya Adam dan Hawa dari Surga

Menurut Perjanjian Lama, di surga Nabi Adam as dan Hawa sa hidup telanjang tanpa harus merasa malu. Suatu ketika seekor ular datang untuk membujuk Hawa sa supaya memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat. Hawa sa terkena bujuk rayu sehingga memakan buah tersebut, bahkan memberikannya pada Nabi Adam as. Akibatnya, mereka tersadar ternyata mereka telanjang. Setelah mendapat teguran keras dari Allah swt karena perbuatannya itu, Nabi Adam as menyalahkan dirinya, istri dan sang ular. Allah swt pun memberikan hukuman pada mereka. Di antaranya, Hawa sa akan merasa sakit selama hamil dan ketika melahirkan anaknya, mengalami rindu yang sangat pada suaminya, dan berada di bawah kuasa suaminya. Akhirnya Nabi Adam as dan Hawa sa dikeluarkan dari surga. Seandainya waktu itu mereka juga berhasil memakan buah dari Pohon Kehidupan niscaya mereka akan hidup kekal.

Nama Hawa dalam Perjanjian Lama

Dalam Perjanjian Lama Hawa sa disebut dengan tiga istilah. Masing-masing istilah dalam kitab tersebut memiliki arti dan penggunaan khusus. Pertama, Allah menyinggung Hawa sa dan Nabi Adam as dengan satu sebutan, yaitu "manusia". Kedua, Hawa sa disebut dengan "Isysyah" yang berarti perempuan yang diambil dari tubuh laki-laki kemudian menjadi istri dan teman hidupnya. Nama ini diberikan oleh Nabi Adam as. Nama ini dikutip dalam kisah penciptaan manusia dan peristiwa diturunkannya Nabi Adam as dan Hawa sa dari surga. Ketiga adalah Hawa. Setelah turun dari surga, nama Hawa disebut dua kali. Pertama sebagai ibu dari umat manusia, kedua sebagai ibu dari putra pertamanya, Qabil.[6]

Kehidupan Hawa Setelah Turun ke Bumi

Dalam Perjanjian Lama terdapat kisah tentang kehidupan Hawa sa setelah dikeluarkan dari surga. Disebutkan, setelah keluar dari Taman Eden, Nabi Adam as dan Hawa sa mencari-cari makanan seperti yang pernah mereka makan di surga namun tidak menemukannya. Karenanya mereka memutuskan untuk bertaubat. Hawa sa pun merendam badannya sebatas leher di Sungai Tigris selama 37 hari. Sementara Nabi Adam as berendam di Sungai Yordan selama 40 hari. Namun pada hari ke-18 setan yang menyamar sebagai malaikat datang untuk menipu Hawa sa. Dia menyampaikan bahwa Allah swt telah menerima taubatnya. Karena itu Hawa sa keluar dari sungai sebelum waktunya. Nabi Adam as menegurnya, kenapa Hawa sampai melanggar janji. Baru kemudian Nabi Adam as mengerti bahwa istrinya telah tertipu kembali. Sadar telah melakukan dua kesalahan, dalam keadaan mengandung, Hawa sa pergi meninggalkan Nabi Adam as menuju barat. Ketika tiba waktu melahirkan dia merasakan sakit yang sangat. Dia memohon pertolongan pada Tuhannya namun suaranya tidak didengar. Karena tidak ada hasil, dengan mengerang kesakitan dia memanggil-manggil Nabi Adam as untuk meminta pertolongan. Berkat doa Nabi Adam as, Allah swt mengutus para malaikat untuk menyiapkan keperluan dan membantu persalinannya, dan terlahirlah Kain (Qabil). Nabi Adam as kemudian membawa istri dan anaknya kembali ke timur. Di timur Hawa sa kembali melahirkan anak dan diberi nama Habil.

Masih berdasar cerita di atas, suatu hari Hawa sa bermimpi melihat tangan Qabil berlumuran darah Habil. Ia menceritakan mimpinya pada Nabi Adam as. Mereka kemudian memutuskan untuk memisahkan kedua anaknya itu. Habil disuruh pergi bertani, sedangkan Qabil berternak.[7]

Menurut Tradisi Kristen

Perjanjian Baru hanya menyebutkan dua kali nama Hawa. Pertama, dalam kisah tentang tertipunya Hawa sa. Kisah itu ditujukan sebagai peringatan bagi orang-orang Kristen. Kedua, merujuk pada kisah penciptaan Hawa sa setelah Nabi Adam as. Disebutkan, perempuan tidak berhak menjadi pengajar. Dia tidak boleh mengungguli suaminya. Cukup dengan beriman, bertakwa dan melahirkan anak maka dosa-dosanya akan diampuni dan dimasukkan ke surga.[8]

Menurut Tradisi Islam

Kata Hawa dalam Al-Qur'an dan Hadis

Di dalam Al-Qur'an tidak disebutkan nama Hawa. Ayat Al-Qur'an yang menerangkan tentang Nabi Adam as hanya menyinggung Hawa sa dengan istilah istri Adam (zaujuka: istrimu).[9]

Sedangkan di dalam hadis, sejarah dan tafsir banyak disebutan nama Hawa sa sebagai istri Nabi Adam as. Disebut Hawa karena ia adalah ibu dari semua yang hidup.[10] Atau karena ia tercipta dari sosok "hayy" (yang hidup: Adam).[11] Dalam riwayat disebutkan, Nabi Adam as menamai Hawa dengan Atssa, dalam bahasa Nabath berarti perempuan.[12]

Proses Penciptaan Adam dan Hawa dalam Al-Qur'an

Di tegaskan dalam Al-Qur'an bahwa Nabi Adam as itu tercipta dari tanah.[13]Disebutkan pula, "Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dari diri yang satu, dan darinya Allah menciptakan pasangannya."[14]

Para mufasir terdahulu umumnya meyakini, yang dimaksud "nafs: diri" dalam ayat tersebut adalah Nabi Adam as, sedangkan maksud "zauj: pasangan" adalah Hawa sa. Banyak riwayat menyebutkan Allah swt menciptakan Hawa sa dari salah satu tulang rusuk Nabi Adam as.[15] Ada juga yang menyebutkan bahwa ia tercipta dari sisa tanah yang digunakan untuk menciptakan Nabi Adam as.[16]' Menurut sebagian mufasir, maksud ayat tersebut adalah Allah swt menciptakan pasangan Nabi Adam as dari jenisnya sendiri. Sebagaimana yang disebutkan dalam ayat lain yang memiliki makna sama yaitu, "dari jenis kalian sendiri."[17] Tafsiran ini menjadi lebih sesuai dengan melihat kelanjutan Surah al-A'raf ayat 189, "agar ia merasa tenang di sisi pasangannya." Karena siapapun pasti akan lebih tertarik dan nyaman jika dengan jenis yang sama.[18]

Sebagian kalangan modern berpendapat, maksud "nafsun wahid" itu bukan Nabi Adam as, tapi asal-usul penciptaan manusia (baik laki-laki maupun perempuan). Mereka menyimpulkan, laki-laki dan perempuan itu tercipta dari satu unsur.[19]

Sebagian kalangan menyebutkan, menurut teori biologi modern, makhluk hidup pertama itu satu jenis yang kemudian mengalami perkembangbiakan. Mulanya makhluk tersebut berreproduksi secara aseksual lalu berpasangan dengan makhluk betina yang berasal darinya lalu terlahirlah generasi manusia. Menurut teori ini, pada mulanya, pasangan manusia pertama tidak diciptakan secara terpisah, namun tercipta dari dirinya sendiri. Karena itu reproduksi manusia pada tahapan pertama bukanlah secara seksual.[20]

Turunnya Adam dan Hawa dari Surga

Di dalam Al-Qur'an tidak disebutkan mengenai proses penciptaan Hawa sa. Menurut keterangan ayat Al-Qur'an, Allah swt menyuruh Nabi Adam as dan istrinya untuk tinggal di surga. Di surga mereka boleh makan makanan apa saja kecuali buah dari satu pohon. Jika mereka mendekati pohon tersebut maka akan dikategorikan sebagai orang zalim. Setan berhasil mengelabuhi mereka berdua hingga keduanya memakan buah terlarang. Akibatnya, aurat mereka berdua terlihat. Mereka lalu menutupi tubuh dengan dedaunan surga. Sadar telah berbuat salah, mereka memohon pada Allah swt supaya memberi ampunan. Allah swt berfirman bahwa mereka harus turun ke bumi dan hidup di sana. Akhirnya mereka dikeluarkan dari surga dan tinggal di bumi hingga meninggal.[21]

Peran Hawa dalam Dosa Adam

Al-Qur'an sama sekali tidak menyebutkan peran Hawa sa atas "dosa" yang diperbuat Nabi Adam as. Menurut Perjanjian Lama, ular berhasil membujuk dan menipu Hawa sa. Tak hanya itu, Hawa sa juga memperdaya Nabi Adam as. Sedangkan menurut Al-Qur'an, ular menggoda keduanya.[22]Menurut Surah Thaha ayat 120, kisah yang terjadi hanyalah dialog antara Nabi Adam as dan setan. Saat itu setan membujuknya secara langsung. Sama sekali tidak disebutkan adanya kontak antara setan dengan Hawa sa. Menurut tradisi Yahudi dan Kristen, Hawa sa adalah orang yang tertipu dan menyesatkan. Sedangkan Al-Qur'an menyebutkan, Nabi Adam as dan Hawa sa, masing-masing memiliki tenggung jawab yang sama atas "dosa" yang telah mereka lakukan. Akibatnya, keduanya dikeluarkan dari surga.[23]

Tergodanya Hawa dalam Penjelasan Hadis

Dalam beberapa hadis yang bersifat penafsiran terdapat kisah yang menceritakan tentang godaan setan dan peran Hawa sa dalam kejadian yang menimpanya dan suaminya, yaitu dikeluarkan dari surga.[24] Namun nampaknya cerita itu diambil dari kisah Perjanjian Lama.[25] Bahkan ada hadis yang menyebutkan, "Jika tidak ada Hawa maka tidak akan ada perempuan yang mengkhianati suaminya."[26]Maksud pengkhianatan di sini adalah peran Hawa sa atas dosa pertama yang dilakukan Nabi Adam as.[27] Ada pula riwayat yang menceritakan tentang tergodanya Hawa sa setelah ia dikeluarkan dari surga. Menurut riwayat tersebut, saat itu Hawa sa sedang mengandung bayi namun tidak bertahan hidup. Setan (bernama Harits) datang menemuinya dan membujuknya supaya menamai bayinya dengan Abdul Harits (hamba Harits) supaya tetap hidup. Ia dan suaminya melaksanakan saran tersebut, padahal itu adalah bujukan setan.[28] Dengan demikian, menurut riwayat ini, Hawa sa telah menjerumuskan Nabi Adam as ke dalam tipu daya setan untuk kedua kalinya (para Ulama Sunni dan Syiah banyak yang mengkritisi dan menjelaskan riwayat tersebut).[29] Allamah Majlisi menyebutkan, riwayat ini disampaikan oleh para imam Syiah dalam keadaan bertaqiah. Sedangkan Allamah Thabathabai menjelaskan, itu riwayat palsu atau israiliyat (diambil dari sumber Kristen dan Yahudi).[30]

Foto klasik yang dikaitkan dengan makam Siti Hawa sa di kota Jeddah, Arab Saudi diambil pada tahun 1918.

Hawa dalam Kitab Sejarah

Meski dalam referensi-referensi hadis syiah dan Sunni tidak banyak yang menerangkan tentang Hawa sa, namun tidak demikian dalam buku-buku sejarah. Banyak buku sejarah yang mencatat tentang kisah para nabi dan orang terdahulu dengan berbagai model. Kebanyakan kisah tersebut merujuk pada kisah-kisah Israiliyat.[31] Menurut sebagian riwayat, ketika Allah swt menyuruh Nabi Adam as untuk tinggal di surga, dia sendirian. Allah swt lalu membuatnya tertidur nyenyak dan menciptakan Hawa sa dari salah satu tulang rusuknya. Selama proses penciptaan itu Nabi Adam as sama sekali tidak merasa sakit. Setelah tercipta, Hawa sa diberi pakaian surga, dipercantik lalu diantar ke Nabi Adam as. Begitu terbangun, Nabi Adam as melihatnya dan menamainya Hawa.

Dalam referensi-referensi itu termaktub, selama di surga Nabi Adam as dan Hawa sa hidup nikmat dan berkecukupan. Suatu ketika Iblis dengan wujud ular, dibantu burung merak datang untuk menggoda mereka supaya memakan buah terlarang. Awalnya hanya Hawa yang makan kemudian Nabi Adam as ikut memakan. Dalam beberapa riwayat disebutkan, selama Nabi Adam as masih memiliki pikiran sehat ia tidak akan mau memakan buah terlarang. Karenanya Hawa sa membuatnya mabuk lalu membawanya ke arah pohon dan memaksanya memakan buah tersebut. Karena telah melanggar larangan Allah swt dengan memakan buah terlarang, Nabi Adam as dan Hawa sa dihukum dengan cara dikeluarkan dari surga. Selain itu, Hawa sa juga menerima hukuman lain, di antaranya mengalami haid, hamil dan melahirkan yang menyakitkan. Saat dileluarkan dari surga, Nabi Adam as diturunkan di India, sedangkan Hawa di Jeddah. Setelah mereka bertaubat, Allah swt mempertemukan keduanya di Arafah. Mereka lalu menunaikan sebagain amalan haji. Setelah itu, untuk pertama kalinya Hawa sa mengalami haid. Nabi Adam as menghentak-hentakkan kakinya ke bumi hingga terpancar air zamzam yang kemudian digunakan Hawa sa untuk mandi. Hawa sa memiliki empat puluh anak dari dua puluh kali melahirkan. Ia meninggal setahun setelah wafatnya Nabi Adam as.[32]

Makam Hawa

Terdapat perbedaan pendapat mengenai letak makam Hawa sa. Sebagian meyakini, selain tempat diturunkanya Hawa sa, Jeddah adalah juga tempat makamnya.[33] Menurut sebagian pendapat, atas dasar itu tempat tersebut dinamai Jeddah (dari kata jaddah:nenek). Makam Hawa sa dibangun pertama kali oleh warga Iran.[34] Namun kemudian dihancurkan oleh pemerintah Arab Saudi. Sumber lain meyebutkan bahwa makam Hawa sa berada samping makam Nabi Adam as di sebuah gua yang terletak di gunung Abu Qubais, Mekah.[35]

Catatan Kaki

  1. Danesy Nameh Meyar-e Kitab-e Moqaddas, kata: Eve.
  2. Fairuz Abadi, al-Qamus al-Muhith, kata: Hawawa. Zubaiadi, Tahul 'Arus min Jawahir al-Qamus, kata: Hawawa. Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, kata: Hawaya.
  3. Ibid.
  4. Khalil bin Ahmad, Kitab al-'Ain, kata: Hayawa.
  5. Ibnu Mandhur, Lisan al-Arab, kata: Hawaa.
  6. Danesy Nameh Meyar-e Kitab-e Moqaddas, kata: Eve.
  7. Kuhan, Ganjineh-I az Talmud, jld. 1, hlm. 183. Danesy Nameh Meyar-e Kitab-e Moqaddas, kata: Eve.
  8. Danesy Nameh Meyar-e Kitab-e Moqaddas, kata: Eve.
  9. Qs. Al-Baqarah: 35. Al-A'raf: 19. Thaha: 117.
  10. Ibnu sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 1, hlm. 3940.
  11. Thabari, Jami', tentang Surah al-Baqarah: 35. Ibnu Babawaih, 'Ilal al-Syarai', jld. 1, hlm. 2. Majlisi. Biharul Anwar, jld. 11, hlm. 100-101.
  12. Ibnu Sa'ad, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 1, hlm. 39.
  13. Qs. Ali 'Imran: 59. Al-Hijr: 28, dan ayat lainnya.
  14. Qs. al-Nisa': 1. Al-A'raf: 189.
  15. Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, jld. 1, hlm. 175. Qomi, Tafsir al-Qomi, tentang Surah al-Nisa': 1. Ibnu Babawaih,Ilal al-Syarai, jld. 2, hlm. 471.
  16. 'Iyasyi, Kitab al-Tafsir, tentang Surah al-Nisa': 1. Ibnu Babawaih, al-Amali, jld. 1, hlm. 259-260. Thusi, al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an, tentang ayat-ayat (penciptaan) tersebut. Thabari, Tafsir Majma' al-Bayan, tentang ayat-ayat (penciptaan) tersebut. Fakhru Razi, al-Tafsir al-Kabir aw Mafatih al-Ghaib, tentang ayat-ayat (penciptaan) tersebut.
  17. Qs. Al-Taubah: 128. Al-Nahl: 72.
  18. Syarif Radhi, Haqaiq al-Ta'wil fi Mutasyabih al-Tanzil, jld. 1, hlm. 308-309. Fakhru Razi, al-Tafsir al-Kabir aw Mafatih al-Ghaib, tentang ayat al-Nisa': 1. Thabathabai, Tafsir al-Mizan, tentang Surah al-Nisa': 1. Subhani, al-Qishash al-Qur'aniah: Dirasah wa Mu'thiyat wa Ahdaf, jld. 1, hlm. 92-93.
  19. Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi-tafsir al-Manar, tentang Surah al-Nisa': 1. Jawadi Amuli, Zan dar Aineh-e Jalal wa Jamal, jld. 1, hlm 42-44.
  20. Rasyid Ridha, Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi-tafsir al-Manar, tentang Surah al-Nisa': 1. Behbudi, Baznegari Tarikh-e Anbiya dar Qur'an, hlm. 286-292.
  21. Qs. Al-Baqarah: 35-38. Al-A'raf: 19-25. Thaha: 115-123.
  22. Qs. Al-Baqarah: 36. Al-A'raf: 20.
  23. Danesh Nameh-e Jahane Islam, cet. I.
  24. Ya'qubi, Tarikh, jld. 1, hlm. 5-6.
  25. Thabathabai, Tafsir al-Mizan, jld. 1, hlm. 140.
  26. Bukhari, Shahih Bukhari, jld. 4, hlm, 124. Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jld. 4, hlm. 179.
  27. Nawawi, Shahih Muslim bi-Syarhi al-Nawawi, jld. 10, hlm. 59. Ibnu Hajar Asqalani, Fath al-Bari: Syarh Shahih al-Bukhari, jld. 6, hlm. 261.
  28. Ibnu Hanbal, Musnad al-Imam Ahmad ibn Hanbal, jld. 5, hlm. 11. Turmudzi, Sunan al-Turmudzi, jld. 4, hlm. 332. Thabari, Tarikh al-Thabari (Bairut), jld. 1, hlm. 148-150. Qomi, Tafsir al-Qomi, Surah al-A'raf: 190.
  29. Alamul Huda, Tanziah al-Anbiya', jld. 1, hlm. 29-34. Thabarsi, Tafsir Majma' al-Bayan, al-A'raf: 190.
  30. Majlisi, Biharul Anwar, jld. 11, hlm. 249-256.
  31. Abdurrahman Rabi', al-Israiliat fi Tafsir al-Thabari: Dirasah fi al-Lughah wa al-Mashadir al-Ibriah, jld. 1, hlm. 106-108. Muhammad Qasimi, Israiliat wa Ta'tsir-e An bar Dastanha-e Anbiya dar Tafasir-e Qur'an, jld. 1, hlm. 240-262.
  32. Ibnu Hisyam, Kitab al-Tijan fi Muluk Himyar, jld. 1, hlm. 14-26. Ibnu Qutaibah, al-Ma'arif, jld. 1, hlm. 15. Tsa'labi, Qishahs al-Anbiya', jld. 1, hlm. 25-41. Ibnu Asakir, Tarikh Madinah Dimasyq, jld. 69. Hlm. 101-111. Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jld. 1, hlm. 32-53. Majlisi, Biharul Anwar, jld. 11, hlm. 99-122.
  33. Lih. Ibnu Qutaibah, hlm. 15. Ibnu Faqih, hlm. 268. Thabari, jld. 1, hlm. 121-122. Bakri, hlm. Jld. 1, hlm. 62.
  34. Lih. Ibnu Mujawir, bag. 1, hlm. 47-48.
  35. Thabari, jld. 1, hlm. 161-162.

Daftar Pustaka

  • Alamul Huda, Ali bin Husain. Tanziah al-Anbiya. Bairut: 1409 H/1989 M.
  • Amal Muhammad Abdurrahman Rabi’. al-Israiliyat fi Tafsir al-Thabari: Dirasah fi al-Lughah wa al-Mashadir al-Ibriyah. Kairo: 1422 H/2001 M.
  • Ayasyi, Muhammad bin Masud. Kitab al-Tafsir. cet. Hasyim RasulI Mahalati. Qom: 1380-1381 HS, cet. Offset Tehran.
  • Bakri, Abdullah bin Andul Aziz. Mu'jam Ma-tu'jam. Musthafa Saqa. Bairut: 1403 H/1983 M.
  • Behnudi, Muhammad Baqir. Baznegari Tarikh-e Anbiya dar Qur'an. Pazoheshha-e Qur'ani, S. 11-12, Paiz-Zemestan, 1376 HS.
  • Bukhari, Muhammad bin Ismail. Shahih al-Bukhari. Istanbul: 1401 H/1981 M, cet. Offset Bairut.
  • Danesh Nameh-e Jahan-e Islam, cet. I.
  • Danesh Nameh-e Meyar-e Kitab-e Moqaddas.
  • Fairuz Abadi, Muhammad bin Ya'qub. al-Qamus al-Muhith. cet. Yusuf al-Syekh Muhammad Baqa'i. Bairut: 2005 M.
  • Fakhru Razi, Muhammad bin Umar. al-Tafsir al-Kabir aw Mafatih al-Ghaib. cet. Imad Zaki. Kairo: 2003 M.
  • Ibnu Asakir. Tarikh Madinah Dimasyq. cet. Ali Syiri. Bairut: 1415-1421 H/1995-2001.
  • Ibnu Atsir. al-Kamil fi al-Tarikh (Ali bin Muhammad), al-Kamil fi al-Tarikh. Bairut: 1385-1386 H/1965-1966 M.
  • Ibnu Atsir. al-Kamil fi al-Tarikh (Mubarak bin Muhammad), al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar, cet. Mhamud Muhammad Thanahi dan Thahir Ahmad Zawi. Bairut: 1383 H/1963 M, cet. Offset Qom, 1364 HS.
  • Ibnu Babawaih. 'Ilal al-Syarai' . Najaf: 1385-1386 H, cet. Offset Qom.
  • Ibnu Babawaih. Ma'ani al-Akhbar, cet. Ali Akbar Gifari. Qom: 1361 HS.
  • Ibnu Faqih. Ghayat al-Amani fi Akhbar al-Qathr al-Yamani. cet. Said Abdul Fatah Asyur. Kairo: 1388 H/1968 M.
  • Ibnu Hajar Asqalani. Fathul Bari: Syarh Shahih al-Bukhari. 1300-1201, cet. Offset Bairut.
  • Ibnu Hanbal. Musnad al-Imam Ahmad bin Hanbal. Bairut: Daru Shadir.
  • Ibnu Hisyam. Kitab al-Tijan fi Muluk Himyar. Shana: 1979 M.
  • Ibnu Majah. Sunan ibnu Majah. cet. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Kairo: 1373 H/1954 M, cet. Offset Bairut.
  • Ibnu Mandhur. Lisan al-Arab.
  • Ibnu Mujawir. Sifat Balad al-Yaman wa Makkah wa Ba'dhi al-Hijaz' al-Musammat Tarikh al-Mustabshir. cet. Oscar Lufgren, Leiden, 1951-1954 M.
  • Ibnu Qutaibah. al-Maarif. cet. Tsirwat Akasyah. Kairo: 1960 M.
  • Ibnu Sa'ad. al-Thabaqat al-Kubra. Bairut.
  • Jawadi Amuli, Abdullah. Zan dar Aineh-e Jalal wa Jamal. Qom: 1376 HS.
  • Khalil bin Ahmad. Kitab al-'Ain. cet. Mahdi Makhzumi dan Ibrahim Samarai. Qom: 1405 H.
  • Kuhn, Abraham. Ghanjineh-i az Talmud, terjemah Amir Faridun Gharghani. Tehran: 1382 HS.
  • Majlisi. Biharul Anwar.
  • Muhammad Qasimi, Hamid. Israiliyat wa Ta'tsir-e An bar Dastanha-e Anbiya dar Tafasir-e Qur'an. Tehran: 1380 HS.
  • Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim. cet. Muhammad Fuad Abdul Baqi. Istanbul: 1401 H/1981 M.
  • Nawawi, Yahya bin Syaraf. Shahih Muslim bi-Syarh al-Nawawiy Bairut: 1407 H/1987 M.
  • Qomi, Ali bin Ibrahim. Tafsir al-Qomy. cet. Thayib Musawi Jazairi. Qom: 1404 H.
  • Rasyid Ridha, Muhammad. Tafsir al-Qur'an al-Hakim al-Syahir bi-Tafsir al-Manar. Syekh Muhammad Abduh, jld. 4. Mesir: 1373 H.
  • Subhani, Jakfar. al-Qashash al-Qur'aniyah: Dirasah wa Mu'thiyat wa Ahdaf. Qom: 1427 H.
  • Syarif Ridha. Haqaiq al-Ta’wil fi Mutasyabih al-Tanzil. cet. Muhammad Ridha al-Kasyif al-Ghitha'., Bairut: cet. Offset Qom.
  • Thabari, Jami'.
  • Thabari. Tarikh (Bairut).
  • Thabathabai. Tafsir al-Mizan.
  • Thabrisi. Tafsir Majma' al-Bayan.
  • Thusi. al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an.
  • Tirmidzi, Muhammad bin Isa. Sunan al-Tirmidzi, jld. 4, cet. Abdurrahman Muhammad Utsman. Bairut: 10403 H.
  • Tsa'labi, Ahmad bin Muhammad. Qashahs al-Anbiya. al-Musamma 'Arayis al-Majalis. Bairut: al-Maktabah al-Tsaqafiyah.
  • Ya'qubi. Tarikh.
  • Zubaidi, Muhammad bin Muhammad. Taj al-'Arus min Jawahir al-Qamus. jld. 37, cet. Musthafa Hijazi. Kuwait: 1422 H/2001 M.