Lompat ke isi

Radha'ah (Menyusui): Perbedaan antara revisi

Dari wikishia
imported>M.hazer
imported>M.hazer
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 7: Baris 7:


==Radha'ah dalam Referensi==
==Radha'ah dalam Referensi==
Masalah Radha'ah dan sebagian hukumnya terdapat dalam [[ayat]] [[Alquran]].<ref>QS. Al-Baqarah: 233</ref> Alquran meng[[haram]]kan pernikahan antar mahram sepersusuan, yang sebagian contohnya pun disebutkan.<ref>QS. An-Nisa: 23</ref>Referensi-referensi hadis juga memuat riwayat tentang radha'ah yang terangkum dalam Bab al-Ridha'.<ref>Untuk contoh lihat: Kulaini, ''al-Kafi'', jld. 6, hlm. 40-41; Syaikh Shaduq, ''Man Laa Yahdhuru al-Faqih'', jld. 4, hlm. 375-380; Majlisi, ''Bihar al-Anwar'', jld. 100, hlm. 321</ref> Para [[fakih|fukaha]] menyinggung masalah radha'ah pada berbagai bab fikih, di antaranya: Thaharah (bersuci),<ref>Untuk contoh lihat: Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 6, hlm. 167</ref>[[Puasa]],<ref>Thusi, ''al-Mabsuth'', jld. 1, hlm. 285; Yazdi, ''al-'Urwah al-Wutsqa'', jld. 2, hlm. 56-57</ref> Tijarah (jual-beli)<ref>Untuk contoh lihat: Ibnu Barraj, ''al-Muhadzzab'', jld. 1, hlm. 481</ref>, Nikah (pernikahan),<ref>Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, ''al-Mabsuth'', jld. 4, hlm. 205; Ibnu Barraj, ''al-Muhadzdzab'', jld. 1, hlm. 481</ref>Syahadah (kesaksian),<ref>Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 29, hlm. 344</ref> Hudud dan Diyat.<ref>Untuk contoh lihat: Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 43, hlm. 313</ref>
Masalah Radha'ah dan sebagian hukumnya terdapat dalam [[ayat]] [[Alquran]].<ref>QS. Al-Baqarah: 233</ref> Alquran meng[[haram]]kan pernikahan antar mahram sepersusuan, yang sebagian contohnya pun disebutkan.<ref>QS. An-Nisa: 23</ref>Referensi-referensi hadis juga memuat riwayat tentang radha'ah yang terangkum dalam Bab al-Ridha'.<ref>Untuk contoh lihat: Kulaini, ''al-Kafi'', jld. 6, hlm. 40-41; Syaikh Shaduq, ''Man Laa Yahdhuru al-Faqih'', jld. 4, hlm. 375-380; Majlisi, ''Bihar al-Anwar'', jld. 100, hlm. 321</ref> Para [[fakih|fukaha]] menyinggung masalah radha'ah pada berbagai bab fikih, di antaranya: Thaharah (bersuci),<ref>Untuk contoh lihat: Najafi, ''Jawāhir al-Kalam'', jld. 6, hlm. 167</ref>[[Puasa]],<ref>Thusi, ''al-Mabsuth'', jld. 1, hlm. 285; Yazdi, ''al-'Urwah al-Wutsqa'', jld. 2, hlm. 56-57</ref> Tijarah (jual-beli)<ref>Untuk contoh lihat: Ibnu Barraj, ''al-Muhadzzab'', jld. 1, hlm. 481</ref>, Nikah (pernikahan),<ref>Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, ''al-Mabsuth'', jld. 4, hlm. 205; Ibnu Barraj, ''al-Muhadzdzab'', jld. 1, hlm. 481</ref>Syahadah (kesaksian),<ref>Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 29, hlm. 344</ref> Hudud dan Diyat.<ref>Untuk contoh lihat: Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 43, hlm. 313</ref>


Dalam hukum perdata di Indonesia, peraturan mengenai pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif diatur dalam Pasal 128 dan 129 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).<ref>[http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ed4e8aa733c1/perlindungan-hukum-atas-pemberian-asi-eksklusif Hukum Online]</ref>
Dalam hukum perdata di Indonesia, peraturan mengenai pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif diatur dalam Pasal 128 dan 129 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).<ref>[http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4ed4e8aa733c1/perlindungan-hukum-atas-pemberian-asi-eksklusif Hukum Online]</ref>


==Hubungan Mahram Sepersusuan==
==Hubungan Mahram Sepersusuan==
Hubungan mahram sepersusuan adalah satu jenis hubungan kekeluargaan. Hubungan ini dapat terjalin antar dua orang atau lebih bila segala syaratnya terpenuhi. Dengan jalinan tersebut maka hukum pernikahan antar mereka menjadi [[haram]].<ref>Untuk contoh liha: Muhaqqiq Hilli, ''Syara'i al-Islam'', jld. 2, hlm. 226-228; Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 29, hlm. 264-309</ref> Menurut kamus [[fikih]], anak yang menyusu disebut "Murtadhi'", wanita penyusu/ibu susu disebut "Murtadhi'ah", dan pemilik air susu (laki-laki yang menghamili wanita penyusu) disebut Fahl atau Shahibul Laban.<ref>Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, ''al-Khilaf'', jld. 5, hlm. 93</ref>
Hubungan mahram sepersusuan adalah satu jenis hubungan kekeluargaan. Hubungan ini dapat terjalin antar dua orang atau lebih bila segala syaratnya terpenuhi. Dengan jalinan tersebut maka hukum pernikahan antar mereka menjadi [[haram]].<ref>Untuk contoh liha: Muhaqqiq Hilli, ''Syara'i al-Islam'', jld. 2, hlm. 226-228; Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 29, hlm. 264-309</ref> Menurut kamus [[fikih]], anak yang menyusu disebut "Murtadhi'", wanita penyusu/ibu susu disebut "Murtadhi'ah", dan pemilik air susu (laki-laki yang menghamili wanita penyusu) disebut Fahl atau Shahibul Laban.<ref>Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, ''al-Khilaf'', jld. 5, hlm. 93</ref>


==Hukum Menyusui==
==Hukum Menyusui==
Menurut Shahibul Jawahir (Muhammad Hasan al-Najafi), mayoritas [[fakih|fukaha]] [[Syiah]] ber[[fatwa]] bahwa menyusui anak bukanlah kewajiban ibu. Hanya saja yang paling utama dalam penyusuan, hendaknya ibu yang menyusui anaknya.<ref>Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 31, hlm. 280</ref> Ia dapat mengambil biaya penyusuan dari ayah anak yang disusuinya.<ref>Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 31, hlm. 272</ref>Namun sebagian fukaha berpendapat, termasuk Shahibul Jawahir, ASI (air susu ibu) pertama [[wajib]] diberikan ibu pada anak.<ref>Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 31, hlm. 273</ref>
Menurut Shahibul Jawāhir  (Muhammad Hasan al-Najafi), mayoritas [[fakih|fukaha]] [[Syiah]] ber[[fatwa]] bahwa menyusui anak bukanlah kewajiban ibu. Hanya saja yang paling utama dalam penyusuan, hendaknya ibu yang menyusui anaknya.<ref>Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 31, hlm. 280</ref> Ia dapat mengambil biaya penyusuan dari ayah anak yang disusuinya.<ref>Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 31, hlm. 272</ref>Namun sebagian fukaha berpendapat, termasuk Shahibul Jawāhir , ASI (air susu ibu) pertama [[wajib]] diberikan ibu pada anak.<ref>Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 31, hlm. 273</ref>


Wanita yang sedang menyusui memiliki hukum istimewa dalam sebagian aturan [[fikih]]. Ia dapat menunda menjalaninya lalu menggantinya di waktu yang lain. Misal, pelaksanaan hukum diyat atau qisas bagi ibu menyusui dapat ditunda sampai akhir masa penyusuan, itu jika tidak ada wanita yang menggantikannya untuk menyusui anaknya.<ref>Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 31, hlm. 337</ref>Atau jika puasa dapat membahayakan diri sang ibu atau anak yang disusuinya, selama masa penyusuan ia tidak wajib berpuasa.<ref>Thusi, ''al-Mabsuth'', jld. 1, hlm. 285; Yazdi, ''al-'Urwah al-Wutsqa'', jld. 2, hlm. 56-57</ref>
Wanita yang sedang menyusui memiliki hukum istimewa dalam sebagian aturan [[fikih]]. Ia dapat menunda menjalaninya lalu menggantinya di waktu yang lain. Misal, pelaksanaan hukum diyat atau qisas bagi ibu menyusui dapat ditunda sampai akhir masa penyusuan, itu jika tidak ada wanita yang menggantikannya untuk menyusui anaknya.<ref>Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 31, hlm. 337</ref>Atau jika puasa dapat membahayakan diri sang ibu atau anak yang disusuinya, selama masa penyusuan ia tidak wajib berpuasa.<ref>Thusi, ''al-Mabsuth'', jld. 1, hlm. 285; Yazdi, ''al-'Urwah al-Wutsqa'', jld. 2, hlm. 56-57</ref>


Menurut Shahibul Jawahir, mayoritas fukaha Syiah meyakini, sesuatu yang najis karena air kencing anak laki-laki yang sedang menyusu dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya sebanyak satu kali.<ref>Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 6, hlm. 167</ref>
Menurut Shahibul Jawāhir , mayoritas fukaha Syiah meyakini, sesuatu yang najis karena air kencing anak laki-laki yang sedang menyusu dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya sebanyak satu kali.<ref>Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 6, hlm. 167</ref>


==Masa Menyusui==
==Masa Menyusui==
Berdasarkan [[ayat]] [[Alquran]], masa sempurna menyusui adalah selama 2 tahun kalender [[hijriah Qamariah]].<ref>QS. Al-Baqarah: 233</ref> Para [[fakih|fukaha]] membolehkannya jika kurang atau lebih beberapa bulan dari 2 tahun.<ref>Najafi, ''Jawahir al-Kalam'', jld. 31, hlm. 277</ref> Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari [[Imam Ja'far Shadiq as]], jika masa penyusuan kurang dari 21 bulan berarti menzalimi anak.<ref>Al-Kulaini, ''al-Kafi'', jld. 6, hlm. 40</ref>
Berdasarkan [[ayat]] [[Alquran]], masa sempurna menyusui adalah selama 2 tahun kalender [[hijriah Qamariah]].<ref>QS. Al-Baqarah: 233</ref> Para [[fakih|fukaha]] membolehkannya jika kurang atau lebih beberapa bulan dari 2 tahun.<ref>Najafi, ''Jawāhir  al-Kalam'', jld. 31, hlm. 277</ref> Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari [[Imam Ja'far Shadiq as]], jika masa penyusuan kurang dari 21 bulan berarti menzalimi anak.<ref>Al-Kulaini, ''al-Kafi'', jld. 6, hlm. 40</ref>


==Adab Menyusui==
==Adab Menyusui==
Banyak riwayat yang menjelaskan tentang adab menyusui. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ASI harus diutamakan<ref>Al-Kulaini, ''al-Kafi'', jld. 6, hlm. 40</ref> dibanding susu lainnya karena itu merupakan susu terbaik bagi anak.<ref>Syaikh Thusi, ''Uyun Akhbar al-Radha'ah'', jld. 2, hlm. 34</ref>Diriwayatkan dari [[Imam Ja'far Shadiq as]], "Susui anak kalian dengan kedua payudara, sebab salah satu payudara itu mengandung makanan dan satunya mengandung air."<ref>Syaikh Shaduq, ''Uyun Akhbar al-Radha'ah'', jld. 2, hlm. 34</ref>
Banyak riwayat yang menjelaskan tentang adab menyusui. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ASI harus diutamakan<ref>Al-Kulaini, ''al-Kafi'', jld. 6, hlm. 40</ref> dibanding susu lainnya karena itu merupakan susu terbaik bagi anak.<ref>Syaikh Thusi, ''Uyun Akhbār  al-Ridha'', jld. 2, hlm. 34</ref>Diriwayatkan dari [[Imam Ja'far Shadiq as]], "Susui anak kalian dengan kedua payudara, sebab salah satu payudara itu mengandung makanan dan satunya mengandung air."<ref>Syaikh Shaduq, ''Uyun Akhbār  al-Ridha'', jld. 2, hlm. 34</ref>


Dalam banyak hadis disebutkan bahwa susu memiliki peran penting dalam pendidikan dan tabiat anak. Karenanya para maksumin banyak berpesan supaya kita teliti dalam memilih ibu susu. Mereka melarang kita memilih wanita dungu, cacat matanya,<ref>Syaikh Shaduq, ''Man Laa Yahdhuru al-Faqih'', jld. 4, hlm. 479</ref> dan yang susunya bersumber dari hubungan tidak halal sebagai ibu susu. <ref>Syaikh Shaduq, ''Man Laa Yahdhuru al-Faqih'', jld. 4, hlm. 479 </ref>Riwayat dari [[Imam Ali as]] menyebutkan, "Pilihlah ibu susu untuk anakmu wanita yang indah paras dan ahlaknya, karena paras dan ahlak anak akan menyerupai ibu susunya." Sebagian [[fakih|fukaha]] juga menyebutkan, wanita yang berparas dan berahlak indah itu harus diutamakan sebagai ibu susu bagi anak.<ref> Sistani, ''Taudhih al-Masail'', nmr. 2506 </ref>Sebagian fukaha juga sangat menganjurkan, hendaknya ibu menyusui anaknya dalam keadaan berwudhu.
Dalam banyak hadis disebutkan bahwa susu memiliki peran penting dalam pendidikan dan tabiat anak. Karenanya para maksumin banyak berpesan supaya kita teliti dalam memilih ibu susu. Mereka melarang kita memilih wanita dungu, cacat matanya,<ref>Syaikh Shaduq, ''Man Laa Yahdhuru al-Faqih'', jld. 4, hlm. 479</ref> dan yang susunya bersumber dari hubungan tidak halal sebagai ibu susu. <ref>Syaikh Shaduq, ''Man Laa Yahdhuru al-Faqih'', jld. 4, hlm. 479 </ref>Riwayat dari [[Imam Ali as]] menyebutkan, "Pilihlah ibu susu untuk anakmu wanita yang indah paras dan ahlaknya, karena paras dan ahlak anak akan menyerupai ibu susunya." Sebagian [[fakih|fukaha]] juga menyebutkan, wanita yang berparas dan berahlak indah itu harus diutamakan sebagai ibu susu bagi anak.<ref> Sistani, ''Taudhih al-Masail'', nmr. 2506 </ref>Sebagian fukaha juga sangat menganjurkan, hendaknya ibu menyusui anaknya dalam keadaan berwudhu.
Baris 53: Baris 53:
* Al-Majlisi, Muhammad Baqir. ''Bihar al-Anwar''. Beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1403 H.
* Al-Majlisi, Muhammad Baqir. ''Bihar al-Anwar''. Beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1403 H.
* Muhaqqiq al-Hilli, Ja'far bin Husain. ''Syara'i' al-Islam fi Masa'il al-Halal wa al-Haram''. Diedit oleh Abdul Husain Muhamamd Ali Baqqal. Qom: Mussisah Isma'ilian, 1408 H.
* Muhaqqiq al-Hilli, Ja'far bin Husain. ''Syara'i' al-Islam fi Masa'il al-Halal wa al-Haram''. Diedit oleh Abdul Husain Muhamamd Ali Baqqal. Qom: Mussisah Isma'ilian, 1408 H.
* Najafi, Muhammad Hasan. ''Jawahir al-Kalam fi Syarh Syara'i' al-Islam''. Diedit oleh Abbas Qucani dan Ali Akhundi. beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1404 H.
* Najafi, Muhammad Hasan. ''Jawāhir  al-Kalam fi Syarh Syara'i' al-Islam''. Diedit oleh Abbas Qucani dan Ali Akhundi. beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1404 H.


{{akhir}}
{{akhir}}

Revisi per 22 Januari 2019 08.47

Furu'uddin

Salat

Wajib: Salat JumatSalat IdSalat AyatSalat Mayit


Ibadah-ibadah lainnya
PuasaKhumusZakatHajiJihadAmar Makruf dan Nahi MungkarTawalliTabarri


Hukum-hukum bersuci
WudhuMandiTayammumNajasatMuthahhirat


Hukum-hukum Perdata
PengacaraWasiatGaransiJaminanWarisan


Hukum-hukum Keluarga
PerkawinanPerkawinan TemporerPoligamiTalakMaharMenyusuiJimakKenikmatanMahram


Hukum-hukum Yudisial
Putusan HakimBatasan-batasan hukumKisas


Hukum-hukum Ekonomi
Jual Beli (penjualan)SewaKreditRibaPinjaman


Hukum-hukum Lain
HijabSedekahNazarTaklidMakanan dan MinumanWakaf


Pranala Terkait
BalighFikihHukum-hukum SyariatBuku Panduan Fatwa-fatwaWajibHaramMustahabMubahMakruhDua Kalimat Syahadat

Radha'ah (bahasa Arab: الرضاع) adalah proses menyusui. Hal ini dibahas dalam berbagai bab fikih. Radha'ah memiliki akibat hukum mahramiah. Orang yang menjadi mahram karena sebab ini disebut "mahram sepersusuan". Dalam referensi hadis, fikih, dan hukum, menyusui memiliki hukum dan aturan khusus.

Pengertian Radha'ah

Radha'ah adalah mengisap air susu dari payudara.[1]Menurut istilah fikih, Radha'ah berarti menyusui anak. Radha'ah adalah salah satu sebab terjadinya hubungan mahram.[2] Hubungan mahram karena Radha'ah disebut “mahram sepersusuan”.

Radha'ah dalam Referensi

Masalah Radha'ah dan sebagian hukumnya terdapat dalam ayat Alquran.[3] Alquran mengharamkan pernikahan antar mahram sepersusuan, yang sebagian contohnya pun disebutkan.[4]Referensi-referensi hadis juga memuat riwayat tentang radha'ah yang terangkum dalam Bab al-Ridha'.[5] Para fukaha menyinggung masalah radha'ah pada berbagai bab fikih, di antaranya: Thaharah (bersuci),[6]Puasa,[7] Tijarah (jual-beli)[8], Nikah (pernikahan),[9]Syahadah (kesaksian),[10] Hudud dan Diyat.[11]

Dalam hukum perdata di Indonesia, peraturan mengenai pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif diatur dalam Pasal 128 dan 129 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).[12]

Hubungan Mahram Sepersusuan

Hubungan mahram sepersusuan adalah satu jenis hubungan kekeluargaan. Hubungan ini dapat terjalin antar dua orang atau lebih bila segala syaratnya terpenuhi. Dengan jalinan tersebut maka hukum pernikahan antar mereka menjadi haram.[13] Menurut kamus fikih, anak yang menyusu disebut "Murtadhi'", wanita penyusu/ibu susu disebut "Murtadhi'ah", dan pemilik air susu (laki-laki yang menghamili wanita penyusu) disebut Fahl atau Shahibul Laban.[14]

Hukum Menyusui

Menurut Shahibul Jawāhir (Muhammad Hasan al-Najafi), mayoritas fukaha Syiah berfatwa bahwa menyusui anak bukanlah kewajiban ibu. Hanya saja yang paling utama dalam penyusuan, hendaknya ibu yang menyusui anaknya.[15] Ia dapat mengambil biaya penyusuan dari ayah anak yang disusuinya.[16]Namun sebagian fukaha berpendapat, termasuk Shahibul Jawāhir , ASI (air susu ibu) pertama wajib diberikan ibu pada anak.[17]

Wanita yang sedang menyusui memiliki hukum istimewa dalam sebagian aturan fikih. Ia dapat menunda menjalaninya lalu menggantinya di waktu yang lain. Misal, pelaksanaan hukum diyat atau qisas bagi ibu menyusui dapat ditunda sampai akhir masa penyusuan, itu jika tidak ada wanita yang menggantikannya untuk menyusui anaknya.[18]Atau jika puasa dapat membahayakan diri sang ibu atau anak yang disusuinya, selama masa penyusuan ia tidak wajib berpuasa.[19]

Menurut Shahibul Jawāhir , mayoritas fukaha Syiah meyakini, sesuatu yang najis karena air kencing anak laki-laki yang sedang menyusu dapat disucikan dengan menuangkan air di atasnya sebanyak satu kali.[20]

Masa Menyusui

Berdasarkan ayat Alquran, masa sempurna menyusui adalah selama 2 tahun kalender hijriah Qamariah.[21] Para fukaha membolehkannya jika kurang atau lebih beberapa bulan dari 2 tahun.[22] Berdasarkan hadis yang diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as, jika masa penyusuan kurang dari 21 bulan berarti menzalimi anak.[23]

Adab Menyusui

Banyak riwayat yang menjelaskan tentang adab menyusui. Sebagian riwayat menyebutkan bahwa ASI harus diutamakan[24] dibanding susu lainnya karena itu merupakan susu terbaik bagi anak.[25]Diriwayatkan dari Imam Ja'far Shadiq as, "Susui anak kalian dengan kedua payudara, sebab salah satu payudara itu mengandung makanan dan satunya mengandung air."[26]

Dalam banyak hadis disebutkan bahwa susu memiliki peran penting dalam pendidikan dan tabiat anak. Karenanya para maksumin banyak berpesan supaya kita teliti dalam memilih ibu susu. Mereka melarang kita memilih wanita dungu, cacat matanya,[27] dan yang susunya bersumber dari hubungan tidak halal sebagai ibu susu. [28]Riwayat dari Imam Ali as menyebutkan, "Pilihlah ibu susu untuk anakmu wanita yang indah paras dan ahlaknya, karena paras dan ahlak anak akan menyerupai ibu susunya." Sebagian fukaha juga menyebutkan, wanita yang berparas dan berahlak indah itu harus diutamakan sebagai ibu susu bagi anak.[29]Sebagian fukaha juga sangat menganjurkan, hendaknya ibu menyusui anaknya dalam keadaan berwudhu.

Hukum Menyusui di Indonesia

Di Indonesia peraturan mengenai pemberian ASI eksklusif diatur dalam Pasal 128 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan UU Kesehatan yang berbunyi:

  1. Setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, kecuali atas indikasi medis.
  2. Selama pemberian air susu ibu, pihak keluarga, Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat harus mendukung ibu bayi secara penuh dengan penyediaan waktu dan fasilitas khusus.
  3. Penyediaan fasilitas khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diadakan di tempat kerja dan tempat sarana umum.

Menurut undang-undang, menyusui adalah hak bagi sang ibu sehingga sang ayah atau siapapun tidak dapat melarangnya untuk menyusui.[30]

Catatan Kaki

  1. Farahidi, al-'Ain, jld. 1, hlm. 217, pada item: الرضاع
  2. Lihat: Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jld. 2, hlm. 226
  3. QS. Al-Baqarah: 233
  4. QS. An-Nisa: 23
  5. Untuk contoh lihat: Kulaini, al-Kafi, jld. 6, hlm. 40-41; Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 4, hlm. 375-380; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 100, hlm. 321
  6. Untuk contoh lihat: Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 6, hlm. 167
  7. Thusi, al-Mabsuth, jld. 1, hlm. 285; Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 56-57
  8. Untuk contoh lihat: Ibnu Barraj, al-Muhadzzab, jld. 1, hlm. 481
  9. Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, al-Mabsuth, jld. 4, hlm. 205; Ibnu Barraj, al-Muhadzdzab, jld. 1, hlm. 481
  10. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 29, hlm. 344
  11. Untuk contoh lihat: Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 43, hlm. 313
  12. Hukum Online
  13. Untuk contoh liha: Muhaqqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jld. 2, hlm. 226-228; Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 29, hlm. 264-309
  14. Untuk contoh lihat: Syaikh Thusi, al-Khilaf, jld. 5, hlm. 93
  15. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 31, hlm. 280
  16. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 31, hlm. 272
  17. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 31, hlm. 273
  18. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 31, hlm. 337
  19. Thusi, al-Mabsuth, jld. 1, hlm. 285; Yazdi, al-'Urwah al-Wutsqa, jld. 2, hlm. 56-57
  20. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 6, hlm. 167
  21. QS. Al-Baqarah: 233
  22. Najafi, Jawāhir al-Kalam, jld. 31, hlm. 277
  23. Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 6, hlm. 40
  24. Al-Kulaini, al-Kafi, jld. 6, hlm. 40
  25. Syaikh Thusi, Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 34
  26. Syaikh Shaduq, Uyun Akhbār al-Ridha, jld. 2, hlm. 34
  27. Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 4, hlm. 479
  28. Syaikh Shaduq, Man Laa Yahdhuru al-Faqih, jld. 4, hlm. 479
  29. Sistani, Taudhih al-Masail, nmr. 2506
  30. Pasal 200 dan 201 UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

Daftar Pustaka

  • Ibnu Barraj, Abdul Azir. Al-Muhaddzab. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1406 H.
  • Yazdi Thabathaba'i, Sayid Muhammad Kazhim. Al-Urwah al-Wutsqa ma'a al-Ta'liqat. Qom: Intisyarat Madrisah Imam Ali bin Abi Thalib, 1428 H.
  • Al-Shadūq, Muhammad bin Alī. 'Uyūn Akhbār al-Ridhā.Diedit oleh Mahdi Lajewardi. Tehran: penerbit Jahan, 1378 H.
  • Al-Shadūq, Muhammad bin Alī. Man la Yahdhuruh al-Faqih. Diedit oleh Ali Akbar Ghaffari. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1413 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Khilaf. Diedit oleh Ali Khorasani. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1407 H.
  • Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Mabsuth fi Feqh al-Imamiah. Diedit oleh Sayid Muhammad Taqi Kasyfi. Tehran: al-Maktabat al-Murtadhawiah li Ihya' al-Atsar al-Ja'fariah, 1387 H.
  • Farahidi, Khalil bin Ahmad. Al-'Ain. Qom: penerbit:Hijrat, 1409 H.
  • Katuzian, Nashir. Huquq Madani Khanewadeh. Tehran: Muassisah Nasyr Yalda, 1375 S.

Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kafi. Diedit oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi. tehran: Darul Kubub al-Islamiah, 1407 H.

  • Al-Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1403 H.
  • Muhaqqiq al-Hilli, Ja'far bin Husain. Syara'i' al-Islam fi Masa'il al-Halal wa al-Haram. Diedit oleh Abdul Husain Muhamamd Ali Baqqal. Qom: Mussisah Isma'ilian, 1408 H.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawāhir al-Kalam fi Syarh Syara'i' al-Islam. Diedit oleh Abbas Qucani dan Ali Akhundi. beirut: Daru Ihya' al-Turats al-Arabi, 1404 H.