Hak Kedua Orang Tua
Hak kedua orang tua (bahasa Arab:حقوق الوالدين) adalah hak yang dimiliki orang tua atas anak-anaknya. Ketaatan terhadap hak-hak ini dianggap sebagai salah satu perintah Allah swt yang paling penting setelah hak Tuhan. Hak kepada kedua orang tua adalah hak terbesar yang ada di pundak setiap anak.
Dalam beberapa sumber agama, kebaikan, rasa hormat dan ketaatan kepada orang tua serta pemenuhan kebutuhan finansial-nya, termasuk hak orang tua atas anak, dipertimbangkan. Dalam Al-Qur'an, setelah memerintahkan berbuat baik kepada orang tua, anak diminta tidak hanya menghindari perlakuan buruk dan kekerasan sekecil apa pun terhadap orang tuanya, tetapi juga harus rendah hati di hadapan mereka dan mendoakan mereka selama hidup maupun sepeninggalnya.
Dalam hadis maksumin, kebaikan dalam memperlakukan orang tua dianggap sebagai salah satu amalan terbaik dan paling dicintai di mata Tuhan dan salah satu ciri khas kaum Syiah.
Para Fukaha (ulama fikih) menjelaskan wajibnya menaati orang tua jika ketidakpatuhan menyebabkan kemalangan atau murka Allah swt; Kecuali mereka menyuruh anaknya untuk berbuat dosa. Selain itu, menurut fatwa mereka, wajib bagi anak untuk menafkahi orang tuanya yang membutuhkan jika ia mampu.
Kedudukan dan Pentingnya Hak Kedua Orang Tua
Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapak...
Surah An-NisaAyat:36Menghormati hak orang tua adalah sebagai salah satu perintah Tuhan yang paling penting[1] setelah hak Tuhan, hal itu sebagai hak terbesar yang ada di pundak setiap anak.[2]
Kebaikan dan kebajikan kepada orang tua, yang termasuk hak orang tua,[3] telah beberapa kali ditekankan dalam Al-Qur'an.[4] Pengulangan perintah ini, segera setelah perintah menyembah kepada Allah swt dan larangan menyekutukan-Nya[5] adalah tanda betapa pentingnya ajaran akhlak atau moral dan agama ini.[6]
Dalam kumpulan hadis Syiah dan Sunni, kedudukan khusus orang tua juga ditekankan dan ada pembahasan khusus untuk itu[7] dan durhaka kepada orang tua dilarang dan dianggap dosa besar.[8] Penekanan untuk menghormati orang tua juga ditemukan dalam beberapa kitab agama lain seperti Kitab Perjanjian Lama.[9]
Hak Apa Saja Yang Dimiliki Kedua Orang Tua?
Dalam beberapa sumber agama, perbuatan baik dan rasa hormat kepada orang tua[10] dan menaatinya[11] serta mencukupi kebutuhan keuangannya[12] termasuk hak orang tua.
Imam Kazhim as: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw: Apa hak seorang ayah terhadap anaknya? Beliau bersabda: Jangan panggil dia dengan namanya, jangan pula berjalan di depannya, jangan duduk di depannya, jangan duduk sebelumnya dan jangan melakukan sesuatu yang membuat orang menghina ayahnya. (Kulaini, Al-Kafi, 1407 H, jilid 2, hal.158.)
Kebaikan Dan Rasa Hormat
Kebajikan dan penghormatan kepada orang tua dianggap sebagai hak orang tua.[13] Syekh Hur Aamili menyebutkan beberapa hadis tentang perbuatan baik, terpuji dan hormat terhadap orang tua dalam kitab Wasail yang berjudul "Hak-hak Orang Tua".[14]
Disebutkan dalam hadis maksumin bahwa kebaikan dalam memperlakukan orang tua adalah salah satu amalan yang paling baik.[15] dan perbuatan paling dicintai di sisi Allah swt.[16] Hal itu jyga merupakan salah satu ciri khas kaum Syiah.[17] Selain itu, ridha dan murka Allah bergantung pada kesenangan dan ketidaksenangan mereka terhadap perilaku anak-anaknya.[18] Tidak ada alasan yang dapat diterima untuk tidak berbuat baik kepada mereka.[19]
Diriwayatkan juga tentang kehidupan Nabi saw bahwa beliau sangat menghormati ibu susunya[20] dan menghormati orang-orang yang berperilaku baik kepada orang tuanya.[21] Berdasarkan hal ini, umat Islam diperintahkan untuk bersikap baik kepada orang tuanya dan menanggung kesulitan dalam merawat mereka;[22] Sekalipun orang tuanya musyrik[23] atau berbuat jahat.[24]
Contoh Kebaikan
Dalam Surah Al-Isra' ayat 23 dan 24, setelah perintah berbuat baik kepada orang tua, disebutkan beberapa contoh, seperti larangan mengucapkan “ah” dan kekerasan sekecil apapun terhadap mereka.[25] Dalam lanjutan ayat tersebut, anak-anak diminta tidak hanya untuk menghindari perilaku buruk terhadap orang tua ketika mereka sudah menua, tetapi juga untuk bersikap rendah hati terhadap mereka dan senantiasa mendoakan mereka selama hidup ataupun setelah kematian mereka, sebagai imbalan atas kesulitan yang dialami mereka selama pertumbuhan dan pengasuhan.[26]
Contoh hak orang tua juga disebutkan dalam beberapa hadis. Antara lain, anak tidak boleh memanggil orang tua dengan namanya, tidak boleh berjalan di depannya, dan tidak boleh duduk di depan atau di belakang mereka.[27] Juga, jika mereka memanggilnya, dia harus menjawab dengan cepat, meskipun dia sedang salat,[28] jika perkataan dan perlakuan mereka bertentangan dengan apa yang ia sukai, maka tidak layak baginya untuk menolak dan menghinakannya.[29] Melindungi privasi orang tua[30] dan berterima kasih kepada mereka[31] adalah beberapa contoh kebaikan kepada orang tua.
Dan rendahkanlah dirimu dihadapan keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Tuhanku! Sayangilah keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidik aku pada waktu kecil.” (Surah al-Isra', ayat 23-24)
Ketaatan dan Nafkah
Ketaatan kepada orang tua diketahui sebagai salah satu hak mereka,[32]kecuali jika mereka mengajak anak untuk berbuat syirik atau berbuat dosa.[33]Dalam hadis-hadis maksum, ketaatan kepada orang tua diketahui sebagai tanda keimanan seseorang[34] dan perilaku yang rasional[35].
Menurut Syekh Mirza Qomi, salah satu ulama' fikih Syiah, kewajiban menaati orang tua dalam beberapa hal merupakan kesepakatan (ijmak) para ulama' fikih.[36] Ia mengatakan tidak boleh melakukan sesuatu yang tidak disukai oleh orang tua, kecuali hal itu merugikan anak.[37]
Beberapa ulama fikih seperti Muhammad Hasan Najafi (Sahib Jawahir0, Sayid Muhsin Hakim dan Nashir Makarim Syirazi juga berpendapat bahwa kewajiban menaati orang tua terkait dengan kondisi tertentu, yaitu jika ketidaktaatan anak menyebabkan kerugian bagi kedua orang tua.[38]
Hak orang tua lainnya adalah memenuhi kebutuhan finansialnya.[39] Menurut para ulama fikih, jika orang tua miskin atau fakir, wajib bagi anak untuk membiayai nafkah dan pengeluarannya jika ia mampu.[40] Selain itu, dalam beberapa ayat Al-Qur'an,[41] anak-anak disarankan untuk mempertimbangkan bagian orang tua dalam wasiat harta mereka dan menafkahkan harta mereka untuk orang tua mereka.[42]
Hak Orang Tua setelah Kematiannya
Dalam sumber agama, anak diperintahkan untuk berbuat baik kepada orang tuanya sepeninggalnya.[43] Dalam hal-hal seperti membaca Al-Quran, memohon ampun dan mendoakan orang tua, memberikan sedekah untuk orang tuanya, melunasi hutang-hutang keuangan dan kewajiban-kewajiban lainnya, menghormati sahabat orang tua dan bersilaturahmi dengan sanak saudaranya,[44] dan menunaikan salat, puasa dan haji yang diniatkan untuk orang tuanya.[45]
Dalam kitab fikih, diwajibkan bagi anak sulung untuk menunaikan qadha salat dan puasa bagi ayahnya.[46] Beberapa marja' taqlid, seperti Sayid Ali Khamenei, Makarim Syirazi, dan Nuri Hamedani, juga mengatakan ibu juga termasuk dalam hukum ini.[47] Dalam Shahifah Sajjadiyah, terdapat beberapa kewajiban anak terhadap orang tuanya dalam bentuk doa.[48]
Alasan Menjaga Hak Kedua Orang Tua
Allamah Thabathabai menjelaskan alasan mengapa Al-Qur'an menekankan tentang pentingnya berbuat kepada orang tua karena hubungan emosional antara orang tua dan anak menimbulkan ikatan yang kuat antara generasi baru dan generasi masa lalu serta mempererat keluarga. Sebagai salah satu isu terpenting dalam hubungan sosial, stabilitas keluarga adalah penyebab stabilitas masyarakat manusia.[49]
Ibnu Maskawaih (320 - 420 H), seorang ulama Syiah, juga dalam menganalisa tentang mengapa dalam ajaran agama Islam diperintahkan untuk bersikap baik kepada orang tua dan menghormati hak-haknya, namun perintah tersebut tidak diberikan kepada orang tua kepada anaknya, Ia percaya bahwa orang tua memperlakukan anak-anak mereka sebagai sesuatu yang tidak terpisah dari diri mereka sendiri. Oleh karena itu, sebagaimana mereka mencintai dirinya sendiri, mereka juga mencintainya dan menganggap kemajuannya sebagai kemajuan mereka. Namun anak-anak tidak merasakan hal seperti ini terhadap orang tuanya.[50]
Imam Sajjad as : Seorang laki-laki datang kepada Nabi saw dan berkata bahwa tidak ada hal buruk yang tidak saya lakukan. Apakah ada cara bagi saya untuk bertobat dan kembali? Nabi menjawab, "Apakah ada orang tuamu yang masih hidup?" Laki-laki menjawab, ibuku yang masih hidup. Nabi saw bersabda, pergilah dan berbuat baik padanya. Ketika laki-laki itu pergi, Rasulullah saw berkata dan berharap andai ibunya masih hidup. Kufi Ahwazi, Al-Zahd, 1399 H, hal.35.
Perhatian Khusus terhadap Hak Ibu
Dalam hadis-hadis ditekankan perhatian khusus terhadap ibu [51] dan ibu dianggap orang yang paling berhak atasnya;[52] Sampai ditahap mereka menganggap mustahil memenuhi hak-hak ibu.[53]
Dalam riwayat Nabi saw disebutkan bahwa berbuat baik kepada ibu merupakan penebus dosa-dosa yang telah berlalu. [54]
Dalam Surah Al-Ahqaf ayat ke-15, setelah perintah untuk berbuat baik kepada orang tua dan mengungkapkan filosofinya, yang disebutkan hanyalah pengorbanan ibu. Persoalan ini, menurut ulama, merupakan penekanan terhadap hak ibu dan perintah yang lebih besar terhadapnya.[55]
Imam Sajjad as dalam Risalah al-Huquq, menunjukkan kesulitan yang dialami ibu selama kehamilan dan setelah itu selama masa pertumbuhan anak, dan oleh karena itu, kemudian secara khusus memerintahkan anak untuk menghargai usaha ibu. [56]
Catatan Kaki
- ↑ Sepah-e Pasdaran, Ma'arif-e Quran, jld. 2, hlm. 78.
- ↑ Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, jld. 8, hlm. 186; Fadhlullah, Min Wahyi al-Quran, jld. 7, hlm. 259.
- ↑ Abu al-Sa'ud, Tafsir Abi al-Sa'ud, jld. 3, hlm. 198.
- ↑ Silakan lihat ke: QS. Al-Ankabut [29]: 8; QS. Al-Ahqaf [46]: 15.
- ↑ QS. Al-Baqarah [2]: 83; QS. An-Nisa [4]: 36; QS. Al-An'am [6]: 151; QS. Al-Isra
- ↑ Syah Abdul Azhimi, Tafsir Itsna 'Asyari, jld. 7, hlm. 355.
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke: Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 157; Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 71, hlm. 22; Bukhari, Shahih al-Bukhari, jld. 8, hlm. 2; Muslim bin Hajjaj, Shahih Muslim, jld. 8, hlm. 1.
- ↑ Silakn lihat ke: Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 278; Bukhari, Shahih al-Bukhari, jld. 8, hlm. 4.
- ↑ Silakan lihat ke: Kitab Suci, Safar Lawiyan, pasal 19, ayat 3; Safar khuruj, pasal 20, ayat 12; Safar Tastniyah, pasal 5, ayat 16.
- ↑ Abu al-Sa'ud, Tafsir Abi al-Sa'ud, jld. 3, hlm. 198.
- ↑ Abbas Nezad, Ravansyenasi va Ulum-e Tarbiyati, hlm. 81.
- ↑ Abbas Nezad, Ravansyenasi va Ulum-e Tarbiyati, hlm. 81.
- ↑ Abu al-Sa'ud, Tafsir Abi al-Sa'ud, jld. 3, hlm. 198; Abbas Nezad, Ravansyenasi va Ulum-e Tarbiyati, hlm. 81.
- ↑ Syekh Hur 'Amili, Wasail al-Syiah, jld. 21, hlm. 505.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 158.
- ↑ Bukhari, Shahih al-Bukhari, jld. 8, hlm. 2.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 74.
- ↑ Tirmidzi, Sunan Tirmidzi, jld. 3, hlm. 207; Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 428.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 162.
- ↑ Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, jld. 2, hlm. 507-508.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 161.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 162; Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 4, hlm. 407 & 408.
- ↑ Bukhari, Shahih al-Bukhari, jld. 8, hlm. 4.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 162.
- ↑ Fakhr Razi, Mafatih al-Ghaib, jld. 20, hlm. 324.
- ↑ QS. Al-Isra [17]: 23-34.
- ↑ Silakan lihat ke: Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 158-159; Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 4, hlm. 372; Bukhari, al-Adab al-Mufrad, hlm. 30.
- ↑ Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 71, hlm. 37.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 349; Syekh Thusi, al-Tibyan, jld. 6, hlm. 467.
- ↑ Silakan lihat ke: Kulaini, al-Kafi, jld. 6, hlm. 503; Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 4, hlm. 372.
- ↑ Syekh Shaduq, Uyun Akhbar al-Ridha;;, jld. 1, hlm. 259.
- ↑ Abbas Nezad, Ravansyenasi va Ulum-e Tarbiyati, hlm. 81.
- ↑ QS. Al-Ankabut [29] : 8; QS. Luqman [31]: 13-14; Abbas Nezad, Ravansyenasi va Ulum-e Tarbiyati, hlm. 81.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 158.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 1, hlm. 22.
- ↑ Mirza-e Qummi, Jami' al-Syattat, jld. 1, hlm. 240.
- ↑ Mirza-e Qummi, Jami' al-Syattat, jld. 1, hlm. 240.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, jld. 21, hlm. 23; Hakim, Mustamsik al-Urwah al-Wutsqa, jld. 7, hlm. 169; Makarim Syirazi, Istifta'at Jadid, jld. 1, hlm. 494.
- ↑ Abbas Nezad, Ravansyenasi va Ulum-e Tarbiyati, hlm. 81.
- ↑ Untuk contoh silakan lihat ke; Imam Khomeini, Najah al-Ibad, hlm. 382; Shafi Golpeighani, Jami' al-Ahkam, jld. 2, hlm. 104.
- ↑ QS. Al-Baqarah [2]: 180 & 215.
- ↑ Syekh Thusi, al-Tibyan, jld. 2, hlm. 108.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 159 & 163
- ↑ Silakan lihat ke: Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 159 & 163; Thabrisi, Majma' al-Bayan, jld. 6, hlm. 632.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 159, hadits no 7.
- ↑ Muhaqiq Hilli, Syara'i al-Islam, jld. 4, hlm. 19.
- ↑ Silakan lihat ke: Bani Hasyimi, Taudhih al-Masail Maraji', jld. 1, hlm. 162 & 761; Khamenei, Ajwibah al-Istifta'at, hlm. 110.
- ↑ Imam Sajjad, Shahifah Sajjadiyah, hlm. 116-118.
- ↑ Thabathabai, al-Mizan, jld. 7, hlm. 374 & jld. 13, hlm. 80.
- ↑ Maskawaih, Tahdzib al-Akhlak, hlm. 233.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 159-160
- ↑ Hakim Neisyaburi, Dar al-Ma'rifah, jld. 4, hlm. 150.
- ↑ Ibnu Abi Jumhur, 'Awali al-La'ali, jld. 1, hlm. 269.
- ↑ Kulaini, al-Kafi, jld. 2, hlm. 269
- ↑ Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, jld. 17, hlm. 400; Ibnu Muflih, al-Adab al-Syar'iyyah wa al-Minah al-Mar'iyyah, jld. 1, hlm. 338.
- ↑ Syekh Shaduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, jld. 2, hlm. 621.
Daftar Pustaka
- Al-Quran al-Karim
- Kitab Suci
- Abbas Nezad, Muhsin. Quran, Ravansyenasi va Ulum Tarbiati. Masyhad: Bunyad Pazuhesyhayi Quran Hauzah dan Universitas, cet. 1, 1384 S.
- Abu al-Sa'ud, Muhammad bin Muhammad. Tafsir Abi al-Sa'ud. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 1, 1983 M.
- Abu Dawud, Sulaiman bin Asy'ats. Sunan Abu Dawud. Beirut: Cet. Sa'id Muhammad Liham, 1410 HS.
- Bani Hasyimi Khomeini, Sayid Muhammad Husain. Taudhih al-Masail Maraji' . Qom: Kantor penerbit Islami, cet. 8, 1424 Hs.
- Bukhari, Muhammad bin Ismail. al-Adab al-Mufrad. riset: Muhammad Fuad Abdul Baqi. Beirut: Dar al-Basyair al-Islamiah, cet. 3, 1409 HS.
- Fadhlullah, Muhammad Husain. Min Wahyi al-Quran. Beirut: Dar al-Milak, cet. 1, 1419 HS.
- Fakhr Razi, Muhammad bin Umar. Mafatih al-Ghaib (al-Tafsir al-Kabir). Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 3, 1420 HS.
- Hakim Neisyaburi, Muhammad bin Abdullah. al-Mustadrak ala al-Shahihain. Beirut: Dar al-Ma'rifah, tanpa tahun.
- Hakim, Sayid Muhsin. Mustamsik al-Urwah al-Wutsqa. Qom: Yayasan Dar al-Tafsir, cet. 1, 1416 HS.
- Ibnu Abi Jumhur, Muhammad bin Zainuddin. 'Awali al-La'ali al-'Aziziah fi al-Ahadits al-Diniyah. Riset dan editor: Mujtaba Iraqi. Qom: Dar Sayyidu al-Syuhada li al-Nashr, cet. 1, 1405 HS.
- Ibnu Syu'bah Harrani, Hasan bin Ali. Tuhaf al-'Uqul 'an Āli al-Rasul (s). Riset dan editor: Ali Akbar, Ghafari. Qom: Kantor penerbit Islami, cet. 2, 1404 HS.
- Imam Khomeini, Ruhullah. Najah al-Ibad. Yayasan Tanzim va Nashr Asar-e Imam Khomeini. Teheran: Cet. 1, 1422 HS.
- Imam Sajjad (as), Ali bin al-Husain. Shahifah Sajjadiyah. Qom: Kantor penerbit al-Hadi, cet. 1, 1376 S.
- Khamenei, Sayid Ali. Ajwibah al-Istifta'at. Qom: Kantor Imam Ali Kahamenei, cet. 1, 1424 HS.
- Kufi Ahwazi, Hasain bin Sa'id. al-Zuhd. Riset: Ghulam Ridha Irfaniyan. Qom: Penerbit Ilmiah, 1399 HS.
- Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. al-Kafi. Riset: Ali Aknbar Ghafari. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, cet. 4, 1401 HS.
- Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 2, 1403 HS.
- Makarim Syirazi, Nashir. Istifta'at Jadid. Riset dan editor: Aliyan Nezad, Abu al-Qasim. Qom: Penerbit Madrasah Imam Ali bin Abi Thalib (as), cet. 2, 1427 HS.
- Maskawaih, Ahmad bin Muhammad. Tahdzib al-Akhlak wa Tathir al-A'laq. Penerbit Thali'ah al-Nurm cet. 1, tanpa tempat, 1426 HS.
- Mirza-e Qummi, Abu al-Qasim. Jami' al-Syattat fi Ajwibah al-Sualat. Riset dan editor: Murtadha Radhawi. Teheran: Yayasan Keyhan, cet. 1, 1413 HS,
- Muhaqiq Hilli, Najmuddin. Syara'i al-Islam fi Masail al-Halal wa al-haram. Riset dan editor: Baqal, Abdul Husain Muhammad Ali. Qom: Yayasan Ismailiyan, cet. 1408 HS.
- Muslim bin Hajjaj. Shahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, tanpa tahun.
- Najafi, Muhammad Hasan. jawahir al-Kalam fi Syarh Syara'i al-Islam. Riset dan editor: Qucani, Abbas, Akhundi, Ali. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, cet. 7, 1404 HS.
- Rasyid Ridha, Muhammad. Tafsir al-Manar. Lebanon: Dar al-Ma'rifah, cet. 1, 1414 HS.
- Sepah-e Pasdaran-e Inqilab-e Islami. Ma'arif-e Quran. Teheran: Lembaga penelitian Tahqiqat-e Islami Sepah-e Pasdaran-e Inqilab-e Islami, cet. 4, 1378 S.
- Shafi Golpeighani, Luthfullah. Jami' al-Ahkam. Qom: Penerbit Hazrat-e Ma'sumah, cet. 4, 1417 HS.
- Syah Abdul Azhimi, Husain. Tafsir Itsna 'Asyari. Teheran: Penerbit MIqat, cet. 11363 S.
- Syekh Hur Alimi, Muhammad bin Hasan. Wasail al-Syiah. Qom: Yayasan Ālulbait (as), cet. 1, 1378 HS.
- Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali bin Babawaih. Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Riset dan editor: Ali Akbar, Ghafari. Qom: Kantor penerbit Islami, cet. 2, 1413 HS.
- Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. al-Tibyan fi Tafsir al-Quran. Riset: Ahmad Qashir Amili. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tanpa tahun.
- Thabathabai, Muhammad Husain Thbathabai. al-Mizan fi Tafsir al-Quran. Beirut: 1390-1394/1971-1974.
- Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Quran. Pendahuluan Muhammad Jawad Balaghi. teheran: Penerbit Nashir Khusru, cet. 3, 1382 S.
- Tirmidzi, Muhammad bin Isa. Sunan al-Tirmidzi. Beirut: Cet. Abdul Wahhab Abdul lathif, 1403 HS.