Hadis (bahasa Arab:الحديث) adalah perkataan yang berasal dari ucapan, perbuatan, atau persetujuan Nabi Islam Saw dan para maksum lainnya as. Hadis, setelah Al-Quran, merupakan sumber kedua dalam memahami ajaran-ajaran agama Islam dan memainkan peran penting dalam pemahaman umat Islam terhadap agama serta dalam pembentukan ilmu-ilmu Islam seperti fiqih, ushul, ilmu kalam, dan tafsir.

Pada awalnya, proses pencatatan dan periwayatan hadis dilakukan secara lisan. Setelah itu, hadis dilakukan dengan cara ditulis dalam lembaran. Penulisan hadis dianggap sebagai faktor terpenting dalam menjaga dan meriwayatkan hadis-hadis para maksum as. Penulisan hadis sempat dilarang pada masa dua khalifah pertama karena kebijakan larangan penulisan hadis; namun seratus tahun kemudian, atas perintah Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan Dinasti Umayyah, larangan ini dicabut secara resmi dan penulisan hadis pun mulai berkembang.

Namun, menurut para ahli hadis Syiah, orang-orang Syiah telah memulai mencatat hadis sejak awal berdasarkan perintah para imam as, dan mereka menyatakan bahwa kitab hadis pertama yang ditulis dalam Islam adalah Kitab Ali atau Al-Jâmi'ah. Tahap-tahap kodifikasi hadis Syiah meliputi pencatatan hadis, pengklasifikasian dan pengaturan hadis, kemudian pengumpulan hadis-hadis tersebut dalam Kumpulan kitab-kitab hadis.

Sumber-sumber hadis terpenting atau kumpulan riwayat Syiah Imamiyah adalah: Al-Kâfi yang ditulis oleh Kulaini (wafat: 329 H), Man La Yahdhuruhu Al-Faqîh yang ditulis oleh Syaikh Shaduq (305–381 H), serta Tahdzib Al-Ahkam dan Al-Istibshar yang ditulis oleh Syaikh Thusi (385–460 H). Buku-buku ini dikenal sebagai Kutub Arba'ah (empat kitab hadis utama). Kitab-kitab lain yang juga dianggap sebagai kumpulan hadis penting Syiah dan ditulis pada abad-abad berikutnya adalah: Al-Wâfi yang ditulis oleh Faidh Kâshâni (1007–1091 H), Bihâr Al-Anwâr yang ditulis oleh Allamah Majlisi (1037–1110 H), dan Wasail Al-Syiah yang ditulis oleh Hur Amili (1033–1104 H).

Ahlus Sunnah mulai mengumpulkan hadis-hadis Nabi Saw sejak pertengahan abad kedua Hijriah. Pada abad ketiga Hijriah, mereka menulis Shihâh Sittah (enam kitab hadis sahih) yang merupakan kumpulan riwayat paling terkenal di kalangan Ahlus Sunnah: Shahih Bukhari (194–256 H), Shahih Muslim (204–261 H), Jami’ Tirmidzi, Sunan Abu Dawud, Sunan Nasâ’i, dan Sunan Ibnu Majah.

Hadis memiliki berbagai macam jenis, termasuk khabar wâhid dan hadis mutawatir. Khabar wahid sendiri memiliki beberapa jenis seperti sahih, hasan, muwatstsaq, dan dha'if. Para ulama Muslim secara umum tidak menerima setiap hadis begitu saja. Mereka menganggap hadis mutawatir dan khabar wâhid yang disertai dengan qarinah (keterangan dan bukti penyerta) yang membawa kepastian sebagai sumber hukum yang sah. Namun, mengenai khabar wâhid yang tidak membawa kepastian, terdapat perbedaan pendapat. Mayoritas ulama fikih Syiah dan Sunni menerima khabar wahid tersebut jika diriwayatkan oleh perawi yang terpercaya (tsiqah). Untuk menilai keabsahan hadis dan mengklasifikasikan serta memahaminya, terdapat beberapa ilmu yang dibutuhkan, seperti ilmu rijal, dirayah al-hadith, dan fiqh al-hadith.

Hadis juga memiliki pengaruh besar terhadap sastra dan seni. Dikatakan bahwa hadis banyak digunakan dalam puisi-puisi para penyair. Selain itu, hadis juga digunakan dalam seni seperti lukisan dan kaligrafi.

Pentingnya Hadis bagi Umat Muslim

Hadis merupakan perkataan yang menceritakan ucapan, perbuatan, atau persetujuan dari seorang maksum [catatan 1], [1] seperti riwayat-riwayat yang berasal dari Nabi Saw, dan menurut keyakinan Syiah, para Imam as juga menjadi sumber riwayat -riwayat tersebut. [2] Berdasarkan tulisan - tulisan para ulama Muslim, hadis juga disebut sebagai khabar, [3] riwayat, [4] dan atsar. [5]

Sumber Kedua dalam Memahami Agama

Menurut Abdul Hâdi Fadhli (1314–1392 H), setelah Al-Quran, hadis merupakan sumber kedua bagi umat Muslim dalam memahami syariat. Selain itu, dalam hal kuantitas, hadis lebih luas cakupannya dibandingkan Al-Quran dan mencakup lebih banyak pengajaran agama. Oleh karena itu, mempelajari ilmu hadis adalah landasan utama dalam berijtihad dan menyimpulkan hukum-hukum syariat. [6]


Ketergantungan Ilmu Agama pada Hadis

Kazem Modir Shanachi (wafat: 1381 H), seorang ahli hadis, dalam pengantar buku Ilmu al-Hadits menulis bahwa semua ilmu yang muncul dalam Islam didasarkan pada hadis dan tanpa hadis ilmu-ilmu tersebut tidak akan mencapai kesempurnaan. Ilmu tafsir pada awalnya hanya berisi riwayat. Fikih dan ushul selalu berhubungan dengan hadis, dan dalam ilmu kalam serta debat antar kelompok dan mazhab Islam, hadis Nabi Saw menjadi penentu kebenaran atau kesalahan suatu pemikiran. Sejarah dan sirah (biografi) juga tidak lain hanyalah riwayat-riwayat yang dinukil dengan rantai sanad. Dalam sastra, ucapan-ucapan Nabi saw juga dijadikan sebagai rujukan penting. [7]

Sejarah Hadis

Pelarangan Penulisan Hadis

Larangan menulis hadis merujuk pada pelarangan penulisan dan penyampaian hadis Nabi Saw setelah wafatnya Nabi Saw yang dimulai pada masa kekhalifahan Abu Bakar dan Umar bin Khattab.[8] Larangan ini berlangsung selama seratus tahun hingga Umar bin Abdul Aziz, khalifah kedelapan dari Dinasti Umayyah, memerintahkan Abu Bakar bin Hazm, gubernur Madinah, untuk menuliskan hadis Nabi Saw karena khawatir ilmu dan para ahlinya akan punah. [9]

Para ulama Ahlusunah menyebutkan bahwa dua khalifah pertama melarang penulisan dan penyampaian hadis karena khawatir terjadi pencampuran antara hadis dan Al-Quran, [10] untuk mencegah perselisihan di kalangan umat Islam, [11] serta untuk mencegah orang-orang sibuk dengan sesuatu selain Al-Quran. [12] Namun, menurut Sayid Ali Syahrastâni, sebagian besar ulama Syiah percaya bahwa alasan pelarangan hadis adalah untuk mencegah penyebaran sabda Nabi Saw mengenai keutamaan Imam Ali as dan keturunannya serta kepemimpinan mereka. [13] Syiah percaya bahwa larangan penulisan hadis menyebabkan terjadinya banyak pemalsuan hadis, [14] hilangnya teks-teks hadis utama, [15] munculnya berbagai mazhab yang berbeda -beda, [16]  dan perubahan pada sunnah Nabi Islam.

Penulisan Hadis

Menurut para ahli hadis, pencatatan dan penyampaian hadis pada awalnya dilakukan secara lisan, kemudian dengan bentuk tulisan. [18] Mereka menganggap penulisan riwayat Nabi Saw dan Ahlul Bait as sebagai faktor penting dalam menjaga keberlangsungan riwayat Islam. [19] Nuruddin ‘Itr, seorang ahli hadis dari Ahlusunah, menulis bahwa penulisan hadis adalah sarana terpenting untuk menjaga hadis dan menyampaikannya kepada generasi mendatang. [20]

Berdasarkan riwayat, para imam Syiah merekomendasikan dilakukannya penulisan hadis. [21] Menurut Sayyid Mohsen Amin, penulis buku A’yân al-Syiah, kaum Syiah dari masa Imam Ali as hingga Imam Askari as telah menulis 6.600 buku hadis. [22] Syahid Tsani, karena kurangnya buku-buku agama pada masanya, menganggap penulisan hadis sebagai kewajiban pribadi (fardhu ‘ain). [23]

Sejarah Penulisan Hadis di Kalangan Syiah

Menurut Majid Ma’ârif dalam bukunya Târikh ‘Umumi Hadits, hadis Syiah mengalami banyak pasang surut di sepanjang sejarah. Dia membagi perubahan ini menjadi dua periode: periode awal dan periode kedua . Periode awal mencakup lima abad pertama Hijriah. Pada periode ini, para imam Syiah mengeluarkan hadis-hadis dan para sahabat mereka menuliskannya. Para ulama berikutnya kemudian mengklasifikasikan hadis-hadis ini hingga "Tiga Ahli Hadis Pertama" yaitu Kulaini (wafat 329 H), Syaikh Shaduq (305-381 H), dan Syaikh Thusi (385-460 H) mengumpulkannya dalam empat kitab utama (al-kutub al-arba’ah). [24]

Periode kedua dimulai dari awal abad keenam hingga zaman kontemporer, di mana munculnya majâmi’ hadith (kumpulan hadis) pelengkap Syiah. Periode ini sebenarnya adalah fase klasifikasi, penyempurnaan, dan analisis karya-karya dari periode sebelumnya. [25]

Periode Awal

Periode awal ini dibagi menjadi empat tahap:

1. Masa Imam Ali as hingga Imam Sajjad as (Abad Pertama)

Pada periode ini, karena adanya kebijakan pelarangan hadis dan tekanan politik terhadap kaum Syiah serta praktik taqiyah oleh para imam as, hadis - hadis dari para Imam tidak terlalu berkembang pesat. [26] Namun, beberapa buku ditulis pada masa ini, termasuk Kitab Ali, [27] yang dianggap sebagai kitab hadis pertama dalam tradisi Syiah. Nahjul Balaghah, [28] yang pada masa itu dikenal dengan judul "Khuthab Amiril Mukminin" atau "Khuthab Ali" yang sebelumnya ada di tangan orang – orang Syiah serta Shahîfah Sajjâdiyah adalah buku hadis lain dari periode ini. [30]

2. Masa Imam Baqir dan Imam Shadiq (Abad Kedua)

Periode ini sangat penting dalam pembentukan hadis Syiah dan menghasilkan karya-karya hadis yang berharga. [31] Ini adalah masa pengkodifikasian ilmu dan berakhirnya pelarangan penulisan hadis. Imam Baqir as dan Imam Shadiq as memanfaatkan kesempatan ini dengan mengadakan majelis umum, mengajar di rumah, mengadakan pertemuan, debat, dan sesi pengajaran khusus fikih dan hadis, yang sangat mempengaruhi perkembangan fikih dan hadis Syiah. [32] Salah satu hasil penting dari periode ini adalah kodifikasi 400 hadis utama yang dikenal sebagai al-ushul al-arba’ami’ah. [33] Ashl adalah kitab yang dimana penulisnya secara langsung atau melalui satu perantara mendengarnya dan menuliskannya dari Maksumin as. [34]

3. Masa Imam Kazdim as hingga Akhir Ghaibah Sughra

Pada periode ini, para khalifah membatasi gerak para Imam Syiah dan juga mereka menekan kaum Syiah. [35] Karena itu, hadis yang dikeluarkan oleh para imam as lebih sedikit dibandingkan dengan periode sebelumnya.[36] Pada periode ini, perhatian lebih diberikan pada pengaturan kitab-kitab hadis dari periode sebelumnya. Para ahli hadis menyusun dan mengklasifikasikan riwayat-riwayat yang telah ada berdasarkan topik-topik fikih dan menyusun kitab-kitab hadis yang lebih rinci. [37]

4. Masa Kemunculan Kumpulan Hadis

Pada masa ini, karena aktifnya pengajaran hadis di lembaga-lembaga ilmiah, muncul kebutuhan untuk menulis kitab-kitab hadis yang lebih komprehensif. Hal  ini menyebabkan munculnya kumpulan-kumpulan hadis yang mencakup berbagai topik agama, termasuk fikih dan akidah, seperti Al-Kafi karya Kulaini, dan beberapa yang hanya fokus pada fikih atau akidah seperti Tauhid, ‘Uyūn Akhbār ar-Ridā, dan Kamaluddin oleh Syaikh Shaduq serta Al-Ghaybah dan Al-Âmâli oleh Syaikh Thusi. [38] Kutub Arba’ah hadis Syiah ditulis pada periode ini. [39] Buku-buku yang merupakan kumpulan riwayat terpenting dalam Syiah Imamiyah, adalah Al-Kafi oleh Kulaini (wafat 329 H), Man La Yahdhuruhu Al-Faqih oleh Syaikh Shaduq (305-381 H), serta Tahdzib al-Ahkam dan Al-Istibshar oleh Syaikh Thusi (385-460 H). [40]

Periode Kemudian

Awal periode ini, dari abad keenam hingga abad kesebelas Hijriah, mengalami kemunduran dalam penulisan kitab-kitab hadis. Namun, sejak abad kesebelas, dengan munculnya Faidh Kâshâni (1007-1091 H), Allamah Majlisi (1037-1110 H), dan Hur Amili (1033-1104 H), kodifikasi kitab-kitab hadis kembali berkembang. Kumpulan hadis terpenting dari periode ini adalah Al-Wâfi karya Faidh Kashani, Bihâr al-Anwâr oleh Allamah Majlisi, dan Wasâil al-Syiah oleh Hur Amili. [41] Pada masa kontemporer, yakni dalam seratus tahun terakhir, beberapa ulama telah mengumpulkan, mengklasifikasikan, dan memilih riwayat-riwayat sahih. Kitab-kitab terpenting dari periode ini adalah Mustadrak al-Wasâil, Safînah al-Bihâr, Jâmi' Ahâdîts ash-Syi’ah, Âtsâr ash-Shâdiqîn, Mîzân al-Hikmah, dan Al-Hayât. [42]

Sejarah Penulisan Hadis di Kalangan Ahlusunah

Abdulhadi Fadhli membagi sejarah hadis Ahlusunah menjadi tiga tahap:

  •  Tahap Pengumpulan Hadis: Dimulai dari pertengahan abad kedua Hijriah. Pada masa ini, ulama-ulama besar Ahlusunah mengumpulkan riwayat-riwayat serta fatwa-fatwa sahabat dan tabi'in dalam kitab-kitab mereka. Al-Muwaththa karya Malik bin Anas ditulis pada masa ini. [43]
  •  Tahap Penulisan Musnad: Musnad adalah kitab-kitab yang hanya berisi hadis-hadis Nabi Saw. [44] Pada akhir abad kedua, beberapa ulama Ahlusunah mulai menulis musnad, seperti Musnad Ahmad bin Hanbal. [45]
  • Tahap Penulisan Shahih: Shahih adalah kitab yang hanya memuat hadis-hadis yang penulisnya menganggap sahih dalam kaitannya dengan hadis dari Nabi Saw. [46] Orang pertama yang menulis kitab dalam bidang ini adalah Muhammad bin Ismail al-Bukhari (194–256 H). Shahih Bukhari dan Shahih Muslim adalah kitab-kitab hadis dari periode ini. [47]