Berpakaian Hitam

Prioritas: b, Kualitas: b
tanpa foto
tanpa infobox
tanpa navbox
Dari wikishia

Berpakaian hitam (bahasa Arab:لَبسُ السّواد) adalah mengenakan pakaian berwarna hitam dan menutupi tempat-tempat dengan warna hitam sebagai tanda berkabung. Di kalangan Syiah, tradisi ini sudah umum sejak awal Islam. Ada beragam bukti dalam riwayat Maksumin as yang membenarkan tradisi ini.

Fukaha Syiah menganggapnya mustahab, karena mengenakan pakaian hitam pada saat berkabung untuk pembesar agama adalah diantara bentuk syiar agama. Mereka menganggap makruhnya mengenakan pakaian hitam yang disampaikan dalam sejumlah riwayat itu dimaksudkan diluar hari berkabung. Para fukaha seperti Sayid Jafar Thabathabai Hairi, Sayid Hasan Sadr dan Mirza Jawad Tabrizi telah menulis karya khusus untuk menegaskan mustahabnya mengenakan pakaian hitam saat berkabung untuk para pembesar agama.

Pakaian hitam juga dianggap sebagai simbol bani Abbas. Sejumlah ahli sejarah berpendapat bahwa kecenderungan bani Abbas terhadap bendera dan pakaian berwarna hitam merupakan tanda pemberontakan untuk membalas penderitaan yang ditimpakan kepada Ahlulbait as pada masa bani Umayyah. Penggunaan pakaian hitam ini dilakukan dengan tujuan untuk mendekatkan para pengikut dan Syiah para Imam as pada pemerintahan bani Abbas. Ada pula yang menganggap alasan dikeluarkannya hadis pelarangan pakaian hitam oleh para imam untuk mencegah penyalahgunaan bani Abbas.

Pada awal hari-hari berkabung terdapat upacara yang disebut penggunaan pakaian hitam, dimana para pelayat mengenakan pakaian berkabung menurut ritual khusus dan menutupi pintu dan dinding tempat-tempat tertentu seperti masjid-masjid, makam-makam suci, pusat-pusat ziarah dan Husainiyah dengan warna hitam. Di beberapa kota di Azerbaijan, terdapat ritual yang disebut “yaqehbandan” pada tanggal 12 Muharram, di mana para lelaki tua dan sesepuh pertemuan, secara simbolis, mengikat kancing kerah pelayat yang dibuka sebagai tanda dari orang yang berduka.

Warna hitam, simbol duka dan kesayyidan

Mengenakan pakaian berwarna hitam dianggap sebagai tanda duka dan kesedihan dalam kebiasaan masyarakat. Oleh karena itu, orang-orang Syiah dan pecinta Ahlulbait as mengenakan pakaian hitam dan menutupi pintu dan dinding tempat-tempat seperti, masjid-masjid, Imam Zadeh, Tekyeh dan Husainiyah dengan warna hitam[1] pada hari berkabung untuk para pembesar agama, terutama Imam Husain as. Ali Abu al-Hasani (W. 1390 S) sejarawan Syiah dari penjelasan Imam Shadiq as terkait penggunaan pakaian hitam yang dilakukan perempuan yang sedang berduka atas suaminya[2] dan menyebut Idul Ghadir sebagai hari melepas pakaian hitam,[3] sedemikian rupa sehingga para imam juga menekankan karakteristik alami dari warna hitam, yaitu kesedihan dan kedukaan.[4]

Selain itu, warna hitam juga menyimbolkan kekaguman, keagungan dan superioritas. Menurut Abul Hasani, berdasarkan ciri-ciri inilah Nabi Muhammad saw dan Ahlulbait as mengenakan sorban hitam pada acara-acara khusus seperti Ghadir, sehingga sorban Sadat (keturunan Nabi) juga berwarna hitam mengikuti mereka.[5]

Tradisi Pakaian Hitam dalam Upacara Duka

Menurut Muhsin Hassam Madzahiri dalam kitab "Farhang Saug Syi’i", orang-orang yang berkabung mengenakan pakaian berwarna hitam pada hari berkabung dengan adat dan upacara khusus serta menutupi pintu dan dinding-dinding tempat berkabung dengan kain hitam yang biasanya padanya tertulis syiar-syiar, teks-teks keagamaan, nama imam-imam dan syuhada Karbala. Acara inipun disebut dengan “balutan hitam”.[6]

Acara lainnya diadakan di beberapa kota Azerbaijan, seperti di Tabriz dan Khalkhal, dengan tajuk pita kerah (dalam bahasa Turki: Yakha Baghlama) pada hari ketiga pasca syahidnya Imam Husain as (12 Muharam). Dalam acara ini, sebagai tanda berakhirnya masa berkabung 10 hari pertama Muharram, para lelaki tua mengikatkan kancing kerah kemeja hitam para pelayat yang dibuka untuk menunjukkan keadaan pelayat.[7]

Sunnahnya Berpakaian Hitam di Hari Berkabung para Pemuka Agama

Mengenakan pakaian hitam untuk berkabung para pembesar agama adalah salah satu mustahab syar'i dalam mazhab Syiah, dan banyak ahli fikih telah mengeluarkan fatwa tentang hal itu untuk memuliakan syiar-syiar ilahi.[8][9] Istifta dari sebagian marja taklid Syiah seperti Sayid Ali Khamenei, Sayid Ali Sistani, Nashir Makarim Syirazi, Luthfullah Shafi Golpeygani dan Husain Wahid Khurasani berdasarkan hal tersebut memfatwakan mustahabnya mengenak pakaian hitam dalam acara berkabung Ahlulbait as.[10] Dalam praktiknya, banyak ulama mengenakan pakaian hitam pada hari berkabung.[11] Ayatullah Mar’asyi Najafi dalam surat wasiatnya mewasiatkan pakaian berwarna hitam yang dikenakannya pada bulan Muharam dan Safar harus dikuburkan bersamanya.[12]

Namun terdapat sejumlah riwayat mengenai kemakruhan mengenakan pakaian berwarna hitam,[13] dan berdasarkan itu, fukaha menilai makruh mengenakan pakaian berwarna hitam dalam salat atau secara umum;[14] Namun disebutkan dengan adanya amalan dan perkataan Ahlulbait as yang menunjukkan kebolehan memakai pakaian berwarna hitam pada acara-acara berkabung dan untuk kepentingan membesarkan syiar-syiar, maka mengenakan pakaian berwarna hitam dalam kondisi ini tidak lagi makruh.[15]

Karya-Karya Fukaha mengenai Pakaian Hitam

Para mujtahid Syiah telah menulis karya yang menjelaskan mengenai sunnahnya mengenakan pakaian hitam pada majelis-majelis duka, diantaranya sebagai berikut:

  • "Irsyad al-‘Ibad ila Istihbab Libas al-Sawwad ‘ala Sayid al-Syuhada wa al-Aimmah al-Amjad" adalah judul sebuah kitab yang ditulis oleh Sayid Ja’far Thabathabai Hairi (W. 1321 H) salah seorang keturunan dari Shahib Riyadh.[16]
  • Agha Bozorg Tehrani menyebutkan sebuah kitab berjudul "Tabyyin al-Rasysyad fi Istihbab Libas al-Sawad ‘ala al-Aimmah ila al-Amjad", yang ditulis oleh Sayid Hasan Shadr (W. 1354 H) dalam bahasa Persia mengenai hal ini.[17]
  • "Risalah Mukhtasharah fi Libasi al-Sawad" adalah sebuah kitab yang ditulis dari pelajaran Ayatullah Mirza Jawad Tabrizi terkait hukumnya mengenakan pakaian berwarna hitam.[18] Dalam tulisan ini, dijelaskan mengenai tema-tema penggunaan pakaian hitam pada acara-acara berkabung Ahlulbait as dalam pandangan syar’i dan memberikan jawaban atas persoalan-persoalan yag berkaitan dengan ini.[19]

Pengunaan Pakaian Hitam dalam Lintasan Sejarah

Di banyak negara dan budaya, warna hitam dianggap sebagai warna berkabung dan berduka cita.[20] Di Iran kuno, warna ini juga merupakan tanda berkabung, dan mengenakan warna hitam memiliki tempat penting dalam ritual berkabung Siyavash (orang-orang Siyavash atay Sauvash).[21] Hamdallah Mastaufi (w: 750 H) seorang sejarawan periode Ilkhani dalam kitab Tarikh Ghazideh, setelah menyebutkan peristiwa terbunuhnya Siyavash, ia menganggap mengenakan pakaian berwarna gelap dan memanjangkan rambut sebagai peninggalan ritual duka Siyavash.[22] Berbagai bukti telah dikemukakan bahwa di kalangan orang Arab, warna hitam telah menjadi kebiasaan sebagai warna berkabung.[23] Konon di Irak dan banyak wilayah lainnya, pakaian hitam telah menjadi tanda berkabung sejak abad-abad awal Hijriah.[24]

Sirah Nabi Muhammad saw dan Aimmah as

Menurut Ali Abul Hasani dalam kitabnya, "Siyahpusyi dar Saug Aimmeh Nur", kumpulan laporan di bidang ini, terlepas dari perbedaan kredibilitas yang dimiliki masing-masingnya, menunjukkan bahwa Nabi Muhammad saw dan Aimmah as mengenakan pakaian berkabung berwarna hitam saat berkabung atas orang yang mereka cintai. Tradisi seperti itu sudah umum di kalangan mereka dan para pengikutnya.[25]

Sebagai contoh, Zainab putri Ummu Salamah, mengenakan pakaian berkabung hitam selama tiga hari sebagai tanda berkabung atas Hamzah bin Abdul Mutthalib, dan Nabi Muhammad saw menghiburnya;[26] Demikian pula ia memerintahkan Asma binti Umais, atas kesyahidan suaminya Ja'far bin Abi Thalib untuk mengenakan pakaian berkabung (hitam) selama tiga hari.[27] Juga, menurut syarah Nahjul Balaghah karya Ibnu Abi al-Hadid, Imam Mujtaba as muncul di antara orang-orang dengan pakaian hitam. setelah syahidnya Imam Ali as.[28] Syekh Shaduq as dalam Uyun Akhbar al-Ridha as, dalam sebuah riwayat, menceritakan kaum Syiah yang menghadiri prosesi pemakaman Imam Kazhim as mengenakan pakaian hitam.[29]

Dengan memperhatikan riwayat yang dinukil Allamah Majlisi di dalam Bihar al-Anwar, setelah Yazid membebaskan tawanan Karbala, seluruh wanita Bani Hasyim mengenakan pakaian hitam dan berkabung untuk Imam Husain as selama tujuh hari di malam hari.[30] Syekh Kulaini dalam kitab al-Kafi menyebutkan pakaian Imam Sajjad as pada momen tersebut berwarna hitam.[31] Menurut riwayat kitab Mahasin al-Barqi, setelah kesyahidan Imam Husain as, para wanita Bani Hasyim mulai berkabung dengan mengenakan pakaian hitam dan Imam Sajjad as menyediakan makanan bagi mereka.[32] Riwayat ini dinilai sebagai riwayat yang paling kuat di bidang ini baik dalam sanad maupun pendalilan.[33]

Tradisi Syiah yang Populer pada Periode Kegaiban

Menurut laporan sejarah, tradisi mengenakan pakaian hitam adalah hal biasa di kalangan Syiah setelah para imam dan pada periode kegaiban kubra. Pada masa Alu Buwaih, merupakan kebiasaan untuk mengadakan upacara berkabung bagi Ahlulbait as dengan mengenakan pakaian berwarna hitam.[34] Disebutkan dalam al-Kamil fi al-Tarikh bahwa majelis berkabung resmi Syiah yang pertama untuk Imam Husain as diselenggarakan atas perintah Mu'az al-Daulah al-Dailami pada tahun 352 H dan dalam acara ini, kaum perempuan diperintahkan untuk menghitamkan rambut dan wajah.[35] Dalam kitab Adab al-Laththaf Sya’ri salah seorang penyair abad 5 H menukilkan penggunaan pakaian hitam sebagai tanda berkabung untuk Imam Husain as.[36]

Disebutkan Khawaja Ali Siyahpusy (W. 830 H), salah seorang keturunan Syekh Shafi al-Din al-Ardabili dan leluhur raja-raja Shafawi, menjadi terkenal dengan julukan tersebut karena ia selalu mengenakan pakaian berwarna hitam saat majelis duka Imam Husain as.[37]Pietro Della Valle seorang petualang Italia dalam kunjungannya ke Isfahan pada tahun 1027 H pada periode Shafawi, menggambarkan pawai duka masyarakat selama Muharram bersamaan dengan mengenakan pakaian hitam.[38].

Penulis Perancis Comte Dugobineau menceritakan pakaian para emir, menteri dan pegawai pada periode Qajar berwarna hitam dan gelap.[39] Washal Syirazi (W. 1262 H) penyair Syiah pada periode ini, telah memulai menyusun syair Asyuranya dengan kalimat, "Pakaian hitam ini untuk acara berkabung siapa?”[40] Charles James Wills, seorang dokter Inggris pada periode Qajar di Iran, juga melaporkan bahwa pakaian resmi berkabung untuk Muharram dan Safar pada periode ini berwarna hitam, dan kebanyakan orang mengenakan pakaian hitam sejak awal Muharam.[41]

Pakaian Hitam Bani Abbas

Muhsin Hassam Madzahiri, seorang peneliti studi sosial Syiah, mengaitkan orang berpakaian hitam paling terkenal dalam sejarah dengan Abu Muslim Khurasani dan penghikutnya. Menurut catatannya, rupanya setelah Islam, merekalah yang pertama kali bangkit dengan bendera hitam dan menyebut diri mereka kelompok berpakaian hitam (musawwadah).[42] Bani Abbas dengan simbol bendera dan pakaian hitam, bangkit menampakkan diri sebagai penuntut balas atas pembunuhan syuhada Ahlulbait as.[43]

Beberapa ahli sejarah meyakini bahwa pilihan pakaian berwarna hitam sebagai simbol Bani Abbas hanyalah penampakan ekspresi kesedihan dan penyesalan atas penderitaan Ahlulbait as untuk mendapatkan simpatik kaum Syiah.[44] Menurut riwayat Georgi Zaidan (W.1332 H), mengenakan pakaian berwarna hitam menjadi begitu resmi di kalangan mereka sehingga siapa pun yang ingin menghadap Khalifah harus mengenakan jubah hitam untuk menutupi semua pakaian dalam mereka.[45] Sebagian alasan pelarangan Aimmah atas penggunaan pakaian hitam yang terdapat dalam beberapa riwayat[46] adalah untuk menghindari penyerupaan dengan Bani Abbas dan penyimpangan mereka.[47]

Ali Abu al-Hasani pernah berkata tentang perbedaan bani Abbas dan Syiah yang memakai pakaian hitam:

  • Pada hari-hari tertentu, kaum Syiah mengenakan pakaian hitam sebagai tanda berkabung; Namun, bani Abbas memilih pakaian berwarna hitam sebagai pakaian harian dan resmi mereka.[48]
  • Mengenakan pakaian hitam oleh kaum Syiah sepenuhnya bersifat sukarela dan untuk mengungkapkan cinta dan kesedihan batin; Berbeda dengan bani Abbasiyah yang diwajibkan mengenakan pakaian berwarna hitam dan bahkan hukuman diberikan bagi mereka yang melakukan pembangkangan.[49]
  • Pakaian hitam bani Abbasiyah dilakukan dengan aturan dan formalitas khusus; Berbeda dengan kaum Syiah, yang tidak membahas isu-isu tersebut.[50]

Catatan Kaki

  1. Abu al-Hasani, Siyahpushi dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 51.
  2. Ibnu Hayun, Da'aim al-Islam, jld. 2, hlm. 291.
  3. Sayid Ibnu Thawus, Iqbal al-A'mal, jld. 1, hlm. 464.
  4. Abu al-Hasani, Siyahpush dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 42.
  5. Abu al-Hasani, Siyahpushi dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 32-37.
  6. Mazhahiri, Farhangg-e Sug-e Syi'i, hlm. 296.
  7. Payan-e Dawazdah Ruz-e Azadari ba Ijra-e Marasim-e Sunnati Yaqeh Bandan dar Tabriz, site rasanews.ir; Yaqeh Bandan; Āyin-e Azadari Syahr-e Khalkhol, site hawzah.net, hlm. 59; Azadari Yaqeh Bandan dar Āzar Syahr Barguzar Shod, site irna.ir.
  8. Mazhahiri, Farhangg-e Sug-e Syi'i, hlm. 291.
  9. Barutiyan, Pirahan-e Kabud, hlm. 62-64.
  10. Barutiyan, Pirahan-e Kabud, hlm. 62-64.
  11. Barutiyan, Pirahan-e Kabud, hlm. 56.
  12. Mar'asyi Najafi, Farazhayi az Wasiyatnameh, hlm. 21.
  13. Untuk contoh silakan lihat ke: Syekh Hur 'Amili, Wasail al-Syiah, jld. 4, hlm. 382-386.
  14. Salar Deylami, al-Marasim fi al-Fiqh al-Imami, hlm. 63; Syekh Thusi, al-Khalaf, jld. 1, hlm. 506; Syekh Tahbrisi, al-Mu'talaf min al-Mukhtalaf bain al-Aimmah al-Salaf, jld. 1, hlm. 177; Muhaqiq Hilli, al-Mu'tabar fi Syarh al-Mukhtashar, jld. 2, hlm. 93; Allamah Hilli, Tadzkirah al-Fuqaha', jld. 2, hlm. 500; Barutiyan, Pirahan-e Kabud, hlm. 62-64.
  15. Abu al-Hasani, Siyahpushi dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 204.
  16. Thabathabai Hairi, Irsyad al-Ibad ila al-Istihbab Lubs al-Sawad.
  17. Tehrani, al-Dzari'ah, jld. 3, hlm. 333.
  18. Tabrizi, Risalah al-Mukhtasharah fi Lubs al-Sawad, hlm. 5.
  19. Tabrizi, Risalah al-Mukhtasharah fi Lubs al-Sawad, hlm. 5-6.
  20. Abu al-Hasani, Siyahpushi dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 53-72.
  21. Mazhahiri, Farhangg-e Sug-e Syi'i, hlm. 289.
  22. Mustaufa, Tarikh-e Guzideh, hlm. 88.
  23. Abu al-Hasani, Siyahpushi dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 95-96.
  24. Faqihi, Āli Buwaih Nakhustin-e Selseley-e Qudratmand-e Syieh, hlm. 809.
  25. Abu al-Hasani, Siyahpushi dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 95-96.
  26. Zamakhsyari, al-Faiq fi Gharib al-Hadits, jld. 2, hlm. 154.
  27. Ibnu Manzur, Lisan al-Arab, jld. 1, hlm. 473.
  28. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, jld. 16, hlm. 22.
  29. Syekh Shaduq, Uyun Akhbar al-Ridha,jld. 1, hlm. 100.
  30. Majlisi, Bihar al-Anwar, jld. 45, hlm. 196.
  31. Kulaini, al-Kafi, jld. 6, hlm. 449.
  32. Barqi, al-Mahasin, jld. 2, hlm. 420.
  33. Abu al-Hasani, Siyahpushi dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 116.
  34. Muqaddasi, Ahsan al-Taqasim, jld. 2, hlm. 545; Kabir, Āli Buwaih dar Bagdad, hlm. 312.
  35. Ibnu Atsir, al-Kamil fi al-Tarikh, jld. 8, hlm. 549.
  36. Syubbar, Adab al-Thuf, jld. 3, hlm. 268.
  37. Mazhahiri, Farhangg-e Sug-e Syi'i, hlm. 291.
  38. Della Valle, Safar Nameh, hlm. 123.
  39. Dugobineau, Syukuh-e Ta'ziyeh dar Iran, hlm. 457.
  40. Washal Syirazi, 'Divan, hlm. 901.
  41. Wills, Tarikh-e Ijtima'i-e Iran dar 'Ahd-e Qajar, hlm. 265.
  42. Mazhahiri, Farhangg-e Sug-e Syi'i, hlm. 290.
  43. Ibnu A'tsam Kufi, al-Futuh, jld. 8, hlm. 319.
  44. Baladzuri, Ansab al-Asyraf, jld. 3, hlm. 264; Musawi Husaini, Nazhah al-Jalis, jld. 1, hlm. 316; 'Amili, al-Hayah al-Siyasiah li al-Imam al-Ridha, jld. 1, hlm. 62; Mazhahiri, Farhangg-e Sug-e Syi'i, hlm. 290.
  45. Zaidan, Tarikh al-Tamaddun al-Islami, jld. 5, hlm. 609.
  46. Kulaini, al-Kafi, jld. 6, hlm. 449.
  47. Abu al-Hasani, Siyahpush dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 195-200; Mazhahiri, Farhangg-e Sug-e Syi'i, hlm. 290; Gurbawi, al-Qaul al-Sadid, hlm. 55-56; Barutiyan, Pirahan-e Kabud, hlm. 38-39.
  48. Abu al-Hasani, Siyahpush dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 189-190.
  49. Abu al-Hasani, Siyahpush dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 190.
  50. Abu al-Hasani, Siyahpush dar Sug-e Aemmeh Nur, hlm. 191.

Daftar Pustaka

  • Abu al-Hasani, Ali (Mundzir). Siyahpush dar Sug-e Aemmeh Nur. Qom: Diterbitkan: Ali Abu al-Hasani, 1375 HS.
  • Agha Buzurg Tehrani, Muhammad Muhsin. al-Dzari'ah ila Tashanif al-Syiah. Qom: Penerbit Ismailiyan, 1408 H.
  • Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Tadzkirah al-Fuqaha. Qom: Yayasan Ālulbait li Ihya al-Turats, 1414 H.
  • Allamah Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar li Durar Akhbar al-Aimmah al-Athar. Beirut: Penerbit Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1403 H.
  • Amili, Sayid ja'far Murtadha. al-hayah al-Siyasiah li al-Imam al-Ridha. Qom: Jama'ah al-Mudarrisin fi al-Hauzah al-Ilmiah bi Qom: Yayasan al-Nahr al-Islami, 1416 H.
  • Baladzuri, Ahmad bin Yahya. Ansab al-Asyraf. Mesir: Penerbit Dar al-ma'arif, tanpa tahun.
  • Barqi, Ahmad bin Muhammad. al-Mahasin. Qom: Penerbit Dar al-Kutub al-Islamiah, 1371 H.
  • Barutiyan, Sayid Ali. Pirahan-e Kabud. Teheran: Penerbit Hanif, 1390 HS.
  • Della Valle, Pietro. Safar Nameh. Penerjemah Sya'au al-Din Syifa. Teheran: Penerbit Ilmi Farhanggi, 1370 S,
  • Dugobineau, Comte. Syukuh-e Ta'ziyeh dar Iran. Penerjemah: Flora Bozorgpour. Jurnal Hunar, vol. 30, musim dingin 1374 HS, dan musim semi, 1375 HS.
  • Faqihi, Ali Ashgar. Āli Buwaih Nakhustin-e Selseley-e Qudratmand-e Syieh. Teheran: Penerbit Raf'at, 1381 HS.
  • Ibnu Abi al-Hadid, Abdul Hamid bin Hibatullah. Syarh Nahj al-Balaghah. Qom: Penerbit Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1404 H.
  • Ibnu A'tsam al-Kufi, Muhammad bin Ali. al-Futuh. Beirut: Dar al-Adhwa, 1411 H.
  • Ibnu Atsir, Ali bin Muhammad. al-Kamil fi al-Tarikh. Beirut: Penerbit Dar Shadir, 1385 H.
  • Ibnu Hayun, Nu'man bin Muhammad maghribi. Da'aim al-Islam. Qom: Penerbit Yayasan Ālulbait, 1385 H.
  • Ibnu Jauzi, Abdul Rahman bin Ali. al-Muntadzam fi Tarikh al-Muluk wa al-'Ajam. Beirut: Penerbit Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1412 H.
  • Ibnu Manzur, Muhammad bin Mukrim. Lisan al-Arab. Beirut: Penerbit Dar Shadir, 1414 H.
  • James Wills, Charles. Tarikh-e Ijtima'i-e Iran dar 'Ahd-e Qajar. Teheran: Penerbit Zarrin, 1363 HS.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. al-Kafi. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, 1407 H.
  • Mar'asyi Najafi, Sayid Syihabuddin. Farazhayi az Wasiyatnameh. Qom: Penerbit Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1381, Hs.
  • Mazhahiri, Muhsin Hisam. Farhangg-e Sug-e Syi'i. Teheran: Penerbit Kheimeh, 1395 HS.
  • Muhaqiq Hilli, Ja'far bin Hasan. al-Mu'tabar fi Syarh al-Mukhtashar. Qom: Penerbit Yayasan Sayid al-Syuhada, 1364 HS.
  • Muqaddasi, Muhammad bin Ahmad. Ahsan al-Taqasim fi Ma'rifah al-Aqalim. Penerjemah: Ali NAqi Munzaqi. Teheran: Perusahaan Penulis dan Penerjemah Iran, 1361 HS.
  • Mustaifi, Hamdullah bin Abi Bakar. Tarikh Guzideh. Teheran: Penerbit Amir Kabir, 1364 HS.
  • Salar Deylami, Hamzah bin Abdul Aziz. al-Marasim fi al-Fiqh al-Imami. Qom: Penerbit al-Haramain, 1404 H.
  • Sayid Ibnu Thawus, Ali bin Musa. Iqbal al-A'mal. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiah, 1409 H.
  • Site hawzah.net. Yaqeh Bandan; Āyin-e Azadari Syahr-e Khalkhol. Majalah Kheimeh, vol. 38 & 39 bulan Farwardin dan Urdibehest 1387 HS.
  • Site irna.ir. Āyin-e Azadari Yaqeh Bandan dar Āzar Syahr Barguzar Shod. Diakses 25 Aban 1392 HS, dilihat 30 Bahman 1402 HS.
  • Site rasanews.ir. Payan-e Dawazdah Ruz-e Azadari ba Ijra-e Marasim-e Sunnati Yaqeh Bandan dar Tabriz. Diakses 21 Dey 1387 HS, dilihat 30 Bahman 1402 HS.
  • Syekh Hur Amili, Muhammad bin Hasan. Tafshil Wasail al-Syiah ila Tahshil Masail al-Syari'ah. Qom: Penerbit Yayasan Ālulbait, 1409 H.
  • Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Uyun Akhbar al-Ridha. Teheran: Penerbit jahan, 1378 H.
  • Syekh Thabrisi, Fadhl bin Hasan. al-Mu'talaf min al-Mukhtalaf bain Aimmah al-Salaf. Masyahd: Asataneh al-Radhawiyah al-Muqaddasah, Majma al-Buhuts al-Islamiah, 1410 H.
  • Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. al-khalaf. Qom: Penerbit Jama'ah al-Mudarrisin fi al-Hauzah al-Ilmiah bi Qom Yayasan al-Nashr al-Islami, 1407 H.
  • Syubbar, Jawad. Adab al-Thuf au Syu'ara al-Husain alaihisalam. Beirut: Penerbit Dar al-Murtadha, 1409 H.
  • Tabrizi, Jawad. Risalah Mukhtasharah fi Lubs al-Sawad. Qom: Penerbit Dar al-Shiddiqah al-Syahidah, 1425 H.
  • Thabathabai Hairi, Sayid Ja'far. irsyad al-Ibad ila al-Istihbab Lubs al-Sawad ala Sayid al-Syuhada wa al-Aimmah al-Amjad. Qom: Penerbit Ilmiah, 1404 H.
  • Washal Syirazi, Muhammad Syafi'. Divan Asy'ar. Penerbit Toko buku Fakhr Razi, tanpa tahun.
  • Zamakhsyari, Muhammad bin Umar. al-Faiq fi Gharib al-Hadits. Beirut: dar al-Kutub al-Ilmiah, 1417 H.
  • Zaydan, Jurji. Tarikh al-Tamaddun al-Islami. Beirut: Penerbit Dar Maktabah al-Hayah, tanpa tahun.