Kaidah Jabb
Kaidah Jabb (bahasa Arab:قاعدة الجَبّ) merupakan sebuah kaidah fikih yang menyatakan bahwa ketika seorang kafir memeluk Islam, kesalahan-kesalahan sebelumnya akan tertutupi dan ia tidak wajib mengqadha (mengganti) ibadah-ibadah yang terlewat selama masa kekafirannya. Kaidah ini berlaku pada banyak aspek Hukum-Hukum Syariat seperti: salat, puasa, zakat,haji dan Hukuman Had.
Namun kaidah ini tidak berlaku untuk beberapa hal seperti: pembayaran diyat, tiga jenis Thaharah (wudhu, ghusl, dan tayammum) dan hutang piutang. Dimana ketika seorang kafir telah masuk Islam tetap berkewajiban melaksanakannya.
Sayid Muhammad Kazhim Yazdi dianggap sebagai fuqaha pertama yang merumuskan hal ini sebagai sebuah kaidah fikih yang sistematis. Sebagian fuqaha menyebutkan hikmah dari kaidah ini adalah untuk memotivasi dan mendorong non-Muslim memeluk Islam.
Dalam justifikasi syar'inya, kaidah ini bersandar pada Ayat-ayat Al-Qur'an, riwayat-riwayat, Sirah Nabawiyah, Kebiasaan kaum rasional
Kedudukan dan Pentingnya Kaidah Jabb
Qaidah Jabb merupakan sebuah kaidah fikih yang membahas tentang non-Muslim yang memeluk Islam.[1] Berdasarkan kaidah ini, masa lalu seorang kafir tidak mempengaruhi masa depannya, karena Islam memutuskan hubungan antara masa lalu dan masa depan.[2] Menurut penjelasan Sayid Muhammad Kazhim Yazdi, kaidah ini hanya mencakup kafir asli, yaitu orang yang baru pertama kali memeluk Islam, bukan orang yang sebelumnya Muslim lalu murtad dan kemudian bertaubat.[3]
Menurut pandangan Sayid Khui, marja' taqlid Syiah, mayoritas fuqaha berpendapat bahwa non-Muslim seperti halnya Muslim, tidak hanya berkewajiban terhadap Kaidah-Kaidah keyakinan, tetapi juga terhadap cabang-cabang agama (hukum syariat).[4] Namun, beliau dan sekelompok fuqaha lainnya tidak menerima pandangan mayoritas ini.[5]
Fuqaha Syiah juga menyatakan bahwa Qaidah Jabb hanya mencakup kewajiban ibadah yang berkaitan dengan hak-hak Allah, dan jika suatu perbuatan seperti pencurian memiliki aspek hak Allah dan hak manusia, maka pelaksanaan hukuman had sebagai hak Allah akan dihapuskan, tetapi aspek hak manusia tidak termasuk dalam kaidah ini.[6] Ja'far Subhani, seorang fakih Syiah abad ke-15 Hijriah, menjelaskan bahwa kaidah ini bersifat imtinani (pemberian kemudahan) yang bertujuan menghilangkan kesulitan yang berat dan didasarkan pada kaidah nafyu dharar.[7] Penghapusan hak manusia dari tanggung jawab individu akan menyebabkan terabaikannya hak orang lain dan tidak ada lagi kemudahan dalam hal ini.[8]
Kaidah ini telah menjadi rujukan para fuqaha dalam berbagai bab fikih seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan hudud.[9] Dikatakan bahwa hikmah dari kaidah ini adalah untuk memotivasi dan mendorong non-Muslim memeluk Islam.[10] Syekh Thusi merupakan fakih pertama yang berargumen dengan hadis Jabb (al-Islam Yajubbu Ma Qablah) dalam kitab al-Khilaf, sedangkan Sayid Muhammad Kazhim Yazdi, penulis kitab al-'Urwah al-Wutsqa, merupakan fakih pertama yang merumuskannya sebagai sebuah kaidah fikih.[11]
Kaidah Jabb dalam Fikih Syiah
Kaidah Jabb dalam fikih Syiah merupakan Kaidah yang menyatakan bahwa jika seorang kafir atau musyrik sebelum masuk Islam telah melakukan perbuatan, mengucapkan perkataan yang tidak pantas, atau memiliki keyakinan batil yang dalam agama Islam dikenai hukuman - maka dengan keislamannya semua itu terhapus dan tidak perlu diganti/diperbaiki.[12]
Secara bahasa, kata "Jabb" (جَبّ) bermakna memotong, memutuskan, dan mengabaikan.[13]
Dasar-dasar dan Referensi Kaidah Jabb
Untuk membuktikan keabsahan syar'i kaidah ini, para ulama berpegang pada beberapa dalil dari Al-Qur'an, hadis, sirah nabawiyah, dan bina' al-'uqala.
Ayat-ayat Al-Qur'an
Ayat paling terkenal yang menjadi sandaran para fuqaha dalam menetapkan kaidah Jabb adalah: Surah Al-Anfal ayat 38:"Katakanlah kepada orang-orang kafir: 'Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya akan diampuni bagi mereka apa yang telah lalu..."[14]
Muqaddas Ardabili dalam kitab ''Majma' al-Fa'idah wa al-Burhan'' fi Syarh Irsyad al-Adzhan menyatakan bahwa ayat ini hanya mencakup pengampunan dosa-dosa yang dilakukan seseorang dalam keadaan kufur; dan tidak bisa dipahami dari ayat ini tentang tidak wajibnya mengqadha ibadah-ibadah yang terlewat setelah masuk Islam.[15] Surah An-Nisa' ayat 22 dan Surah Al-Maidahayat 95 juga menjadi dalil lain yang mendukung kaidah ini.[16]
Hadis dan Sirah Nabawiyah
Hadis "al-Islam yajubbu ma qablahu" (Islam menghapus apa yang sebelumnya) merupakan hadis paling terkenal yang digunakan sebagai dasar syar'i kaidah ini.[17]
Menurut Muhammad Reza Moballeghi, pengajar di Hawzah Ilmiah Qom, para fuqaha menganggap hadis ini lemah secara sanad dan mengandung cacat.[18] Namun, Muhammad Hasan Najafi (Shahib Jawahir) berpendapat bahwa pengamalan hadis ini secara luas telah mengompensasi kelemahan sanad dan dalalah-nya, di samping kandungannya yang sejalan dengan QS. Al-Anfal: 38.[19]
Zare'i Sabzewari, peneliti fikih, dalam membuktikan kaidah ini merujuk pada riwayat dari Imam Ali as: "Masuk Islam menghancurkan (dosa-dosa) masa lalu."[20][21]
Ali Akbar Fayyaz Misykini, seorang ulama fiqh abad ke-14 H, ketika menjelaskan dasar-dasar hukum terkait suatu kaidah, merujuk pada sebuah hadis dari Nabi Muhammad saw dalam kitab Shahih Muslim, serta hadis lain dari Imam Muhammad Baqir as.[22]
Menurut pandangan Muhammad Husain Kasyif al-Ghita, salah satu marja' taqlid di Najaf, orang-orang yang baru masuk Islam tidak diwajibkan untuk menunaikan atau mengganti ibadah maupun kewajiban finansial yang terlewatkan selama mereka masih berstatus non-Muslim, sesuai dengan ajaran sunnah Nabi Muhammad saw.[23] Sementara itu, Muhammad Fadhil Lankarani, salah satu marja' taqlid Syiah kontemporer, menjelaskan bahwa sikap Rasulullah saw ini bertujuan untuk memberikan kemudahan dan mendorong kaum kafir agar tertarik memeluk Islam. Contohnya, kasus masuk Islamnya Mughirah bin Syu'bah dan Amru bin Ash, di mana kesalahan atau tindakan mereka di masa lalu diabaikan demi memberikan motivasi kepada mereka.[24]
Berdasarkan Prinsip Akal
Nasir Makarim Syirazi meyakini bahwa Kaidah "Bina' Uqala" (hukum yang ditetapkan oleh akal), yang juga disahkan oleh syariat, tidak berlaku surut untuk peristiwa masa lalu. Artinya, hukum-hukum yang ditetapkan oleh akal tidak diterapkan pada situasi atau tindakan yang telah terjadi sebelumnya.[25]
Implikasi dalam Fikih
Prinsip ini memiliki konsekuensi penting dalam berbagai aspek hukum Islam:
Ruang Lingkup Penerapan Kaidah
- Akibat Kemusyrikan dan Kekafiran: Menurut pandangan Sayid Muhammad Hadi Milani, salah satu marja' taqlid Syiah, setelah seseorang masuk Islam, semua akibat dari kemusyrikan dan kekafiran - seperti status kenajisan atau dosa-dosa yang melekat padanya - dihapus sepenuhnya.[26]
- Kewajiban Ibadah yang Terlewatkan: Ibadah seperti shalat, puasa, dan haji tidak perlu diganti atau dilakukan sebagai kompensasi atas periode ketika seseorang masih non-Muslim. Kewajiban ibadah dimulai setelah seseorang memeluk Islam.[27]
- Kewajiban Finansial: Berdasarkan pandangan umum ulama Syiah, kewajiban finansial seperti khums dan zakat yang terlewat selama seseorang masih non-Muslim diampuni dan tidak perlu dibayarkan setelah masuk Islam.[28] Namun, Sayid Muhammad Rida Golpayegani berpendapat bahwa zakat atas harta yang dimiliki sebelum masuk Islam tetap wajib dibayarkan.[29]
- Kontrak dan Perjanjian: Semua kontrak dan pernyataan hukum yang dilakukan oleh non-Muslim selama masa kekafirannya—seperti jual-beli rumah, pernikahan, atau perceraian—tetap dianggap sah meskipun beberapa syarat mungkin tidak dipenuhi. Namun, pernikahan yang diharamkan dalam Islam, seperti menikahi dua saudara perempuan atau ibu dan anak perempuan, tetap tidak sah.[30][31]
- Hukuman Syariat: Ja'far Subhani, salah satu marja' taqlid Syiah, menyatakan bahwa hukuman syariat - seperti hukuman atas pencurian, minum khamr, atau zina - yang seharusnya dikenakan selama seseorang masih non-Muslim, dihapuskan setelah ia masuk Islam.[32]
- Warisan: Syekh Shaduq menjelaskan bahwa jika seseorang non-Muslim masuk Islam sebelum pembagian warisan, ia tetap berhak mendapatkan bagian dari warisan tersebut.[33]
Kasus-Kasus yang Tidak Termasuk dalam Kaidah Ini
- Kisas dan Diyat : Menurut pandangan sebagian ulama, Kaidah ini tidak mencakup kisas. Jika seorang non-Muslim layak dihukum kisas, masuk Islam tidak akan menghapuskan kewajiban tersebut.[34] Namun, ada juga yang berpendapat bahwa berdasarkan Kaidah ini, kisas dapat dihapuskan.[35] Sayid Hasan Bijnordi, salah satu ulama senior dari hawzah Ilmiyyah Najaf, menyatakan bahwa penghapusan diyat manusia bertentangan dengan rasa syukur dan menegaskan bahwa diyat tetap harus dibayar oleh orang yang baru masuk Islam.[36]
- Tiga Jenis Thaharah: Pandangan umum ulama menyatakan bahwa jika seorang non-Muslim melakukan sesuatu yang mewajibkan salah satu dari tiga jenis Thaharah (wudhu, ghusl, atau tayammum) selama masa kekafirannya, masuk Islam tidak menghapuskan hadats besar atau hadats kecil yang ada. Ia tetap wajib melakukan taharah yang diperlukan untuk melaksanakan ibadah.[37]
- Utang dan Tanggungan Keuangan : Menurut pandangan Muqaddas Ardabili, utang dan tanggungan keuangan tidak dihapuskan dengan masuk Islam. Hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama (ijma').[38]
Ada pula beberapa kasus dalam fiqh yang dianggap ambigu dan memerlukan analisis lebih lanjut, karena belum jelas apakah kasus-kasus tersebut termasuk dalam Kaidah "Jabb" atau tidak. Misalnya, seorang anak dari pasangan Yahudi yang tidak menikah menurut aturan pernikahan yang berlaku di antara mereka dan dihukumi sebagai anak zina (walad al-zina). Apakah setelah masuk Islam, ia termasuk dalam Kaidah "Jabb"? Shahib Jawahir al-Kalam (Muhammad Hasan Najafi) tidak memberikan keputusan terkait kasus ini.[39]
Catatan Kaki
- ↑ Makarim Syirazi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1370 H, jil. 2, hlm. 171.
- ↑ Bojnurdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1419 H, jil. 1, hlm. 50.
- ↑ Thabathaba'i Yazdi, Al-'Urwah al-Wutsqa, 1409 H, jil. 2, hlm. 465.
- ↑ Al-Khui, Mausu'ah al-Imam al-Khui, 1418 H, jil. 23, hlm. 128.
- ↑ Al-Khui, Mausu'ah al-Imam al-Khui, 1418 H, jil. 23, hlm. 128; Saifi, Mabani al-Fiqh al-Fi'al fi al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1425 H, jil. 3, hlm. 77.
- ↑ Mar'asyi Najafi, Al-Qisas 'ala Dhau' al-Qur'an wa al-Sunnah, 1415 H, jil. 1, hlm. 302; Fadhil Lankarani, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1416 H, hlm. 266-267.
- ↑ Subhani Tabrizi, Al-Idhahat al-Saniyyah, 1436 H, jil. 3, hlm. 74.
- ↑ Subhani Tabrizi, Al-Idhahat al-Saniyyah, 1436 H, jil. 3, hlm. 74; Majd Khwani, Fakhla'i dan lainnya, Mafhum-syenasi Imtinan wa Sanjesy ba Wazhegan-e Musytarak, hlm. 601.
- ↑ Lotfi, Barresi Qa'idah Jabb (al-Islam Yajubbu Ma Qablah), hlm. 41-42.
- ↑ Mu'assasah Da'irat al-Ma'arif al-Fiqh al-Islami, Mausu'ah al-Fiqh al-Islami, 1423 H, jil. 13, hlm. 49.
- ↑ Mu'assasah Da'irat al-Ma'arif al-Fiqh al-Islami, Mausu'ah al-Fiqh al-Islami, 1423 H, jil. 13, hlm. 50.
- ↑ Bojnurdi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1419 H, jil. 1, hlm. 50.
- ↑ Ibn Atsir, Al-Nihayah, 1367 H, jil. 1, hlm. 233-234.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 21, hlm. 259; Aqa Diya' al-Iraqi, Syarh Tabshirat al-Muta'allimin, 1414 H, jil. 4, hlm. 361; Muntazeri, Kitab al-Zakat, 1409 H, jil. 1, hlm. 137.
- ↑ Muqaddas Ardabili, Majma' al-Fa'idah wa al-Burhan, 1403 H, jil. 3, hlm. 236.
- ↑ Mustafawi, Mi'ah Qa'idah Fiqhiyyah, 1421 H, hlm. 41.
- ↑ Faqih, Qawa'id al-Faqih, 1407 H, hlm. 166; 'Allamah Hilli, Nihayat al-Ahkam, 1419 H, jil. 2, hlm. 308; Syekh Anshari, Kitab al-Shaum, 1413 H, hlm. 195.
- ↑ Moballeghi, "Barrasi Qa'idah Jabb ba Nigahi Tarikhi wa Taṭbiqi", hlm. 114.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404 H, jil. 15, hlm. 62.
- ↑ Ibnu hayyūn, Sharh al-Akhbar, 1409 H, jil. 2, hlm. 317.
- ↑ Zare'i Sabzewari, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1430 H, jil. 9, hlm. 330.
- ↑ Misykini, Musthalahat al-Fiqh, 1392M, hlm. 191.
- ↑ Kasyif al-Ghita, Tahrir al-Majallah, 1359H, Jilid 1, hlm. 93.
- ↑ Fadhil Lankarani, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1416H, hlm. 261-262.
- ↑ Makarim Syirazi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1370M, Jilid 2, hlm. 188.
- ↑ Milani, Muhadharat fi Fiqh al-Imamiyyah, 1395H, Jilid 1, hlm. 80.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404H, Jilid 17, hlm. 301; Subhani Tabrizi, Al-Idhahat al-Saniyyah, 1436H, Jilid 3, hlm. 76.
- ↑ Sabzewari, Kifayah al-Ahkam, 1381M, Jilid 1, hlm. 170.
- ↑ Golpaygani, Al-Durr al-Mandhud, 1412H, Jilid 3, hlm. 264.
- ↑ Fadhil Lankarani, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1416H, hlm. 269; Lembaga Ensiklopedia Fiqih Islam, Mausu'ah al-Fiqh al-Islami, 1423H, Jilid 13, hlm. 61.
- ↑ Ghuyur Baghbani, Barresi-ye Tathbiqi Du Qaidah Jabb wa Afw Umumi az Manzhar-e Feqh wa Huquq, hlm. 112.
- ↑ Subhani Tabrizi, Al-Idhahat al-Saniyyah, 1436H, Jilid 3, hlm. 78.
- ↑ Syekh Shaduq, Al-Muqni', 1415H, hlm. 507.
- ↑ Makarim Syirazi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1370M, Jilid 2, hlm. 184; Subhani Tabrizi, Al-Idhahat al-Saniyyah, 1436H, Jilid 3, hlm. 82-83; Lembaga Ensiklopedia Fiqih Islam, Mausu'ah al-Fiqh al-Islami, 1423H, Jilid 13, hlm. 57.
- ↑ Madani Kasyani, Kitab al-Qisas, 1410H, hlm. 74.
- ↑ Bijnordi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1419H, Jilid 1, hlm. 54.
- ↑ Makarim Syirazi, Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, 1370M, Jilid 2, hlm. 182.
- ↑ Husaini Ameli, Miftah al-Karamah, 1419H, Jilid 9, hlm. 597.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1404H, Jilid 13, hlm. 325.
Daftar Pustaka
- Al-Qur'an al-Karim.
- Allamah Hilli, Hassan bin Yusuf. Nihayah al-Ahkam fi Ma'rifah al-Ahkam. Qom: Muassasah Al al-Bayt as, 1419H.
- Ardabili, Ahmad bin Muhammad (Muqaddas Ardabili). Majma' al-Faidah wa al-Burhan fi Syarh Irsyad al-Adzhan. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1403H.
- Bahrul Ulum, Muhammad bin Muhammad Taqi. Bulghah al-Faqih. Teheran: Maktabah al-Sadiq as, 1362M.
- Bijnordi, Sayid Hasan. Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Qom: Nashr al-Hadi, 1419H.
- Fadhil Lankarani, Muhammad. Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Qom: Chapkhane Mehr, 1416H.
- Faqih, Muhammad Taqi. Qawa'id al-Faqih. Beirut: Dar al-Adwa', 1407H.
- Ghayyur Baghbani, Sayid Ali. "Barresi Taṭhbiqi Dua Qa'idah Jabb wa Afw 'Umumi az Manzhar-e Fiqh wa Huquq". Majalah Islami: Fiqh wa Uṣul, Edisi 100, 1394M.
- Golpaygani, Sayid Muhammad Rida. Al-Durr al-Mandhud fi Ahkam al-Hudud. Qom: Dar al-Qur'an al-Karim, 1412H.
- Husaini Amili, Sayid Jawad bin Muhammad. Miftah al-Karamah fi Syarh Qawa'id al-'Allamah. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1419H.
- Husaini Milan, Sayid Muhammad Hadi. Muhadharat fi Fiqh al-Imamiyyah: Kitab al-Zakat. Masyhad: Muassasah Chap wa Nashr Universitas Ferdowsi, 1395H.
- Ibnu Atsir. Al-Nihayah fi Gharib al-Hadits wa al-Atsar. Takhrij oleh Mahmud Muhammad Tanahi, Qom: Muassasah Mathbu'ati Ismailian, 1367M.
- Ibnu Hayyun, Nu'man bin Muhammad. Syarh al-Akhbar fi Fadhail al-A'imah al-Athhar as. Qom: Jamiah Mudarrisin, 1409H.
- Iraqi, Ziya al-Din. Syarh Tabshirah al-Muta'allimin (al-Thaharah ila al-Ijarah). Qom: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1414H.
- Kasyif al-Ghita, Muhammad Husain. Tahrir al-Majallah. Najaf: Maktabah al-Murtadawiyyah, 1359M.
- Khui, Sayid Abul Qasim. Mausu'ah al-Imam Khui. Qom: Muassasah Ihya' Athar al-Imam Khui, 1418H.
- Luthfi, Asadullah. "Barresi Qa'idah Jab (Al-Islam Yajubbu Ma Qablah)". Majalah Daneshkadeh Huquq wa Ulum Siyasi, Volume 40, Nomor 1050, Tir 1377M.
- Madani Kasyani, Riza, Kitab al-Qisas li al-Fuqaha wa al-Khawas, Qom: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1410H.
- Majd Khavani, Behruz, dan Behruz Fakhl'i wa Digaran. "Mafhumsyenasi Imtinan wa Sanjesy ba Wazegan-e Musyabih". Pajuhesy-ha-ye Fiqhi, Volume 15, Nomor Keempat, 1398M.
- Makarim Syirazi, Nashir. Al-Qawa'id al-Fiqhiyah. Qom: Madrasah Imam Amir al-Mu'minin as, 1370M.
- Makarim Syirazi, Nashir. Tarjumah Qur'an. Qom: Daftar Mutala'at Tarikh wa Ma'arif Islami, 1373M.
- Mar'asyi Najafi, Syahab al-Din. Al-Qisas 'ala Dhau' al-Qur'an wa al-Sunnah. Qom: Maktabah Ammah Hadrat Ayatullah al-Uzma Mar'asyi Najafi, 1415H.
- Misykini Ardabili, Ali. Musthalahat al-Fiqh. Qom: Muassasah Ilmi Farhangi Dar al-Hadith, 1392M.
- Muassasah Dairat Ma'arif al-Fiqh al-Islami. Mausu'ah al-Fiqh al-Islami Taqfa'an li-Madhhab Ahl al-Bayt as. Qom: Muassasah Dairat Ma'arif al-Fiqh al-Islami, 1423H.
- Muballighi, Muhammad Ridha. "Barresi Qa'idah Jab ba Negahi Tarikhi wa Tathbiqi". Jastari Fiqhi wa Uṣuli, Tahun Ketiga, Nomor Berkelanjutan Kedelapan, Musim Gugur 1396M.
- Muntazeri, Husain Ali. Kitab al-Zakat. Qom: Markaz al-Alami li Dirasat Islamiyyah, 1409H.
- Mustafa'i, Sayid Muhammad Kazhim. Mi'ah Qa'idah Fiqhiyyah. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1421H.
- Naisyaburi, Muslim. Ṣahih Muslim. Beirut: Dar al-Fikr, Tanpa Tahun.
- Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-Kalam fi Syarh Syara'i' al-Islam. Beirut: Dar Ihya' al-Turath al-Arabi, 1404H.
- Sabzewari, Muhammad Baqir. Kifayah al-Ahkam. Qom: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1381M.
- Saifi, Ali Akbar. Mabani al-Fiqh al-Fa'al fi Al-Qawa'id al-Fiqhiyah al-Asasiyyah. Qom: Daftar Intisyarat Islami, 1425H.
- Subhani Tabrizi, Ja'far, Al-Idhahat al-Saniyyah li Al-Qawa'id al-Fiqhiyah, Qom: Muassasah al-Imam al-Sadiq as, 1436H.
- Syekh Anshari, Murtadha. Kitab al-Shaum. Qom: Kongres Sedunia Peringatan Syekh Anshari Agung, 1413H.
- Syekh Shaduq, Muhammad bin Ali. Al-Muqni'. Qom: Muassasah Imam Hadi as, 1415H.
- Thabathaba'i Yazdi, Sayid Muhammad Kazhim. Al-Urwah al-Wutsqa. Beirut: Muassasah al-Alami lil Mathbu'at, 1409H.
- Zare'i Sabzawari, Abbas Ali. Al-Qawa'id al-Fiqhiyah fi Fiqh al-Imamiyyah. Qom: Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1430H.