Lompat ke isi

Wajib Bersyukur kepada Pemberi Nikmat

Dari wikishia

Wajib bersyukur kepada pemberi nikmat (wujūb syukur al-mun'im) (bahasa Arab:وجوب شكر المُنعِم) berarti keharusan bersyukur kepada pihak yang memberikan nikmat kepada manusia.[1] Kaidah ini dianggap sebagai hukum akal atau syar'i yang ditetapkan oleh akal, Al-Qur'an, dan hadis. Salah satu ayat yang menjadi rujukan adalah Surah Ibrahim ayat 7, yang menjelaskan pengaruh syukur terhadap kelanggengan nikmat, sementara kufur nikmat dianggap sebagai pemicu azab keras dari Allah.[2]

Ulama Muslim berbeda pendapat tentang apakah kaidah ini bersumber dari akal atau hanya ditekankan dalam syariat. Kelompok Adliyah (Mu'tazilah dan Imamiyah) meyakini bahwa kaidah ini bersifat akal, meskipun juga disebutkan dalam Al-Qur'an dan hadis. Mereka menganggap hukum syariat dalam hal ini bersifat petunjuk.[3] Sebaliknya, Asy'ariyah, mazhab teologi Ahlusunnah, berpendapat bahwa sebelum adanya syariat dan pengutusan para nabi, tidak dapat ditetapkan kewajiban bersyukur kepada pemberi nikmat.[4]

Ulama Syiah menggunakan kaidah ini dalam berbagai disiplin ilmu Islam seperti kalam, ushul fikih, dan fikih, misalnya dalam kewajiban meneliti masalah akidah serta pembuktian keharusan ijtihad, taqlid, atau prinsip kehati-hatian (ihtiyat).

Pengenalan dan Kedudukan

Kewajiban bersyukur kepada pemberi nikmat berarti keharusan secara akal atau syar'i untuk berterima kasih kepada pihak yang memberikan nikmat.[5] Kaidah ini terutama dibahas dalam ilmu kalam, tetapi para ahli fikih juga menggunakannya untuk menetapkan beberapa hukum.[6]

Para mufasir menganggap beberapa ayat sebagai dalil kaidah ini, seperti Surah Az-Zukhruf ayat 11-15,[7] Surah Al-A'raf ayat 107,[8] Surah Al-An'am ayat 109,[9] Surah Al-Baqarah ayat 164,[10] dan Surah Ibrahim ayat 7.[11] Dalam hadis, juga ditekankan pentingnya bersyukur atas nikmat Allah. Misalnya, Imam Ali (as) bersabda: "Seandainya Allah tidak memberikan peringatan azab atas dosa, tetap wajib untuk tidak berbuat dosa sebagai bentuk syukur atas nikmat."[12]

Kaidah ini juga tercermin dalam syair, seperti karya Rumi (w. 672 H):

Bersyukur pada pemberi nikmat wajib dalam akal
Jika tidak, pintu kemurkaan abadi terbuka lebar[13]

Sa'di Shirazi (w. 691 H) juga menulis:

Jangan enggan bersyukur pada pemberi nikmat
Kelak di akhirat, kepala tak bernilai apa-apa[14]

Kaidah Akal atau Syar'i?

Perdebatan utama antara Adliyah dan Asy'ariyah, dua mazhab teologi Muslim, adalah apakah kewajiban bersyukur bersifat akal atau syar'i.[15]

Kelompok Mu'tazilah[16] dan Imamiyah[17] berpendapat bahwa kaidah ini bersifat akal, sementara perintah dan larangan syariat hanyalah bersifat petunjuk.[18] Syekh Murtadha Anshari (w. 1281 H), seorang ahli fikih dan ushul Syiah, menjelaskan bahwa perbedaan ini berakar pada persoalan al-husn wa al-qubh. Jika seseorang menganggap akal sebagai sumber penentu baik dan buruk, maka ia akan menerima kewajiban bersyukur sebagai hukum akal. Namun, jika seperti Asy'ariyah yang menganggap baik dan buruk hanya bersifat syar'i, maka kewajiban ini pun hanya dianggap sebagai ketetapan syariat.[19]

Bukti Rasionalitas Kaidah

Beberapa teolog berargumen bahwa kewajiban bersyukur kepada pemberi nikmat bersifat rasional dan jelas (badihi). Mereka menyatakan bahwa akal secara naluriah mewajibkan respons terhadap nikmat.[20] Muhammad bin Ali Karajaki (w. 449 H), seorang teolog Syiah, menyatakan bahwa kewajiban ini merupakan sirah 'uqala' (kebiasaan orang berakal) dan tidak diperselisihkan di kalangan mereka.[21]

Allamah Hilli (w. 726 H), seorang teolog dan fakih Syiah, berargumen bahwa jika syukur tidak wajib, maka mengenal Sang Pemberi Nikmat juga tidak wajib. Ketidaktahuan ini berarti pengutusan para nabi menjadi sia-sia. Oleh karena itu, syukur kepada pemberi nikmat adalah keharusan.[22]

Bukti Keharusan Syar'i

Berbeda dengan Adliyah, Asy'ariyah]berpendapat bahwa kewajiban bersyukur bersumber dari syariat, bukan akal. Argumen mereka meliputi:

Bantahan: Ayat-ayat ini berbicara tentang hukuman duniawi, bukan ukhrawi. Selain itu, hukuman disebabkan oleh pembangkangan terhadap Allah, dan jika seseorang memahami kewajiban ini secara rasional tetapi mengabaikannya, ia layak dihukum.[24]

  • Makna "kewajiban" hanya dapat dipahami melalui perintah Allah, karena pahala (hasil ketaatan) dan siksa (hasil maksiat) baru bermakna setelah adanya perintah-Nya.[25]

Bantahan: Yang dimaksud di sini adalah keharusan rasional, bukan kewajiban syar'i yang muncul dari perintah ilahi.[26]

Contoh Penerapan dalam Ilmu Agama

Kaidah ini digunakan dalam berbagai disiplin ilmu agama, antara lain:

Kewajiban Meneliti Akidah

Para teolog menggunakan kaidah ini bersama kewajiban menolak bahaya potensial[27] untuk membuktikan perlunya meneliti eksistensi Allah dan masalah akidah.[28] Logikanya:

  1. Bersyukur kepada pemberi nikmat wajib secara rasional.
  2. Syukur mustahil tanpa mengenal Sang Pemberi.
  3. Pengenalan membutuhkan penelitian.

∴ Meneliti Sang Pemberi Nikmat adalah wajib.[29]

Dasar Teologis Ushul Fikih

Sebagian ahli ushul fikih menjadikan kaidah ini sebagai fondasi teologis. Allamah Hilli disebutkan sebagai salah satu yang secara independen membahasnya.[30] Syekh Bahai juga mengkajinya sebagai dasar ilmu ushul.[31]

Dasar Ijtihad, Kehati-hatian, dan Taklid

Kaidah ini menjadi argumen untuk:

  • Ijtihad (upaya mandiri menetapkan hukum).
  • Kehati-hatian (bertindak berdasarkan keyakinan).
  • Taqlid (mengikuti ahli hukum yang memenuhi syarat).

Alasannya: Syukur membutuhkan pengetahuan tentang hukum Allah, yang bisa diperoleh melalui tiga cara di atas.[32]

Catatan Kaki

  1. Hasyimi Syahrudi, Farhang Fiqh, 1382 HS, jil. 6, hlm. 447; Sanu, Mu'jam Musthalahat Ushul al-Fiqh, 1427 H, hlm. 250.
  2. Thabathaba'i, Al-Mizan, 1352 HS, jil. 12, hlm. 23.
  3. Syekh Anshari, Matharih al-Anzhar, 1404 H, hlm. 231.
  4. Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, 1415 H, jil. 1, hlm. 55–56.
  5. Hasyimi Syahrudi, Farhang Fiqh, 1382 HS, jil. 6, hlm. 447.
  6. Hasyimi Syahrudi, Farhang Fiqh, 1382 HS, jil. 6, hlm. 447.
  7. Hakim Jasyami, Al-Tahdzib fi al-Tafsir, 1440 H, jil. 9, hlm. 6287.
  8. Thabarsi, Majma' al-Bayan, 1408 H, jil. 4, hlm. 701.
  9. Abul Futuh Razi, Raudh al-Jinan, 1371 HS, jil. 7, hlm. 410.
  10. Fakhruddin Razi, Al-Tafsir al-Kabir, 1420 H, jil. 4, hlm. 173.
  11. Thabathaba'i, Al-Mizan, 1352 HS, jil. 12, hlm. 23.
  12. Nahj al-Balaghah, Hikmah 290.
  13. Rumi, Matsnawi Ma'nawi, 1376 HS, jil. 1, hlm. 448.
  14. Sa'di, Kulliyat Sa'di, 1320 HS, hlm. 208.
  15. Syahrastani, Al-Milal wa al-Nihal, 1415 H, jil. 1, hlm. 55–56; Utsman, Al-Qamus al-Mubin, 1423 H, hlm. 192.
  16. Lihat contoh: Qadhi Abdul Jabbar, Al-Mughni, tanpa tahun, jil. 15, hlm. 27.
  17. Lihat contoh: Al-Kasyif al-Ghitha', Asl al-Syi'ah wa Ushuluha, 1413 H, hlm. 76; Subhani Tabrizi, Al-Inshaf, 1381 HS, jil. 3, hlm. 37.
  18. Al-Thaliqani, Al-Syekhiyyah: Nasy'atuha wa Tathawwuruha wa Mashadir Dirasatuha, 1420 H, hlm. 299.
  19. Syekh Anshari, Matharih al-Anzhar, 1404 H, hlm. 231.
  20. Lihat contoh: Karajaki, Kanz al-Fawaid, 1410 H, jil. 1, hlm. 221; Syekh Thusi, Al-Tibyan, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, jil. 7, hlm. 340; Allamah Hilli, Mabadi al-Wushul, 1404 H, hlm. 93.
  21. Lihat contoh: Karajaki, Kanz al-Fawaid, 1410 H, jil. 1, hlm. 221.
  22. Allamah Hilli, Tahdzib al-Wushul, 1380 HS, hlm. 54.
  23. Fakhruddin Razi, Al-Mahshul fi Ilm Ushul al-Fiqh, 1420 H, jil. 1, hlm. 67.
  24. Kasyif al-Ghitha', Ghayah al-Ma'mul, tanpa tahun, hlm. 199.
  25. Ghazali, Al-Mustashfa, 1413 H, hlm. 49.
  26. Mudhaffar, Dalail al-Shidq, 1422 H, jil. 2, hlm. 159.
  27. Lihat contoh: Ibnu Mitham, Qawa'id al-Maram, 1406 H, hlm. 28–29.
  28. Hasyimi Syahrudi, Farhang Fiqh, 1382 HS, jil. 6, hlm. 447.
  29. Ibnu Nubakht, Al-Yaqut, 1413 H, hlm. 27; Syekh Thusi, Tamhid al-Ushul, 1362 HS, hlm. 206; Ibnu Mitham, Qawa'id al-Maram, 1406 H, hlm. 29; Fadhil Miqdad, Al-I'timad, 1412 H, hlm. 48.
  30. Dhamiri, Danishnameh Ushuliyan Syiah, 1387 HS, hlm. 323.
  31. Dhamiri, Danishnameh Ushuliyan Syiah, 1387 HS, hlm. 518.
  32. Hakim, Mustamsak al-Urwah al-Wutsqa, 1374 HS, jil. 1, hlm. 6; Muwahhidi Najafi, Al-Burhan al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid, 1387 HS, hlm. 34–36; Saifi Mazandarani, Dalil Tahrir al-Wasilah, 1436 H, hlm. 3; Sand, Sand al-Urwah al-Wutsqa (Al-Ijtihad wa al-Taqlid), 1394 HS, jil. 1, hlm. 23–24.

Daftar Pustaka

  • Abul Futuh Razi, Husain bin Ali. Raudh al-Jinan wa Ruh al-Janan fi Tafsir al-Qur'an. Masyhad: Astan Quds Razavi. Bunyad Pazuhesy-ha-ye Islami, 1371 HS.
  • Al-Kasyif al-Ghitha', Muhammad Husain bin Ali. Ashl al-Syi'ah wa Ushuluha. Beirut: Al-A'lami lil-Mathbu'at, 1413 H.
  • Al-Taliqani, Muhammad Hasan. Al-Syekhiyyah Nasy'atuha wa Tatawwuruha wa Mashadir Dirasatuha. Beirut: Al-Amal lil-Mathbu'at, 1420 H.
  • Allamah Hilli, Hasan bin Yusuf. Mabadi al-Wushul ila Ilm al-Ushul. Qom: Mathba'ah al-Ilmiyyah, 1404 H.
  • Asytihardi, Ali Panah. Madarik al-Urwah. Teheran: Munazhamah al-Auqaf wa al-Syu'un al-Khairiyyah, Dar al-Uswah lil-Thiba'ah wa al-Nasyr, 1417 H.
  • Dhamiri, Muhammad Ridha. Daneshnameh Ushuliyan Syiah. Qom: Bustan Kitab, 1387 HS.
  • Fadhil Miqdad, Miqdad bin Abdullah. Al-I'timad fi Syarh Wajib al-I'tiqad. Masyhad: Astanah al-Radhawiyyah al-Muqaddasah. Majma' al-Buhuts al-Islamiyyah, 1412 H.
  • Fakhruddin Razi, Muhammad bin Umar. Al-Tafsir al-Kabir. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1420 H.
  • Ghazali, Muhammad bin Muhammad. Al-Mustashfa fi Ilm al-Ushul. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1413 H.
  • Hakim Jasyami, Muhsin bin Muhammad. Al-Tahdzib fi al-Tafsir. Kairo: Dar al-Kitab al-Mishri, 1440 H.
  • Hakim, Sayyid Muhsin. Mustamsak al-Urwah al-Wutsqa. Qom: Dar al-Tafsir, 1374 HS.
  • Hasyimi Syahrudi, Mahmud. Farhang Fiqh Muthabiq Mazhab Ahl al-Bait (alaihim al-salam). Qom: Mu'assasah Dairah al-Ma'arif Fiqh Islami bar Mazhab Ahl al-Bait (alaihim al-salam), 1382 HS.
  • Ibnu Fahd Hilli, Ahmad bin Muhammad. 'Uddah al-Da'i. Qom: Dar al-Kitab al-Islami, 1407 H.
  • Ibnu Mitham, Mitham bin Ali. Qawa'id al-Maram fi Ilm al-Kalam. Qom: Maktabah Ayatullah al-Udzma al-Mar'asyi al-Najafi (ra), 1406 H.
  • Ibnu Nubakht, Ibrahim bin Nubakht. Al-Yaqut fi Ilm al-Kalam. Qom: Maktabah Ayatullah al-Udzma al-Mar'asyi al-Najafi (ra), 1413 H.
  • Karajaki, Muhammad bin Ali. Kanz al-Fawaid. Qom: Dar al-Dzakhair, 1410 H.
  • Kasyif al-Ghitha', Ja'far bin Khidhr. Ghayah al-Ma'mul. tanpa tempat, tanpa penerbit, tanpa tahun.
  • Mazandarani, Muhammad Shalih. Syarh Ushul al-Kafi. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1429 H.
  • Mudhaffar, Muhammad Hasan. Dalail al-Shidq li Nahj al-Haq. Qom: Mu'assasah Al al-Bait (alaihim al-salam) li-Ihya al-Turats, 1422 H.
  • Muwahhidi Najafi, Muhammad Baqir. Al-Burhan al-Sadid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid. Qom: Dar al-Tafsir, 1387 HS.
  • Qadhi Abdul Jabbar, Abdul Jabbar bin Ahmad. Al-Mughni fi Abwab al-Tauhid wa al-Adl. Tahqiq Qasim Mahmud Muhammad, tanpa tempat, tanpa penerbit, tanpa tahun.
  • Rumi, Muhammad bin Muhammad. Matsnawi Ma'nawi. Tahqiq Abdul Karim Sausy, Teheran: Intisharat Ilmi Farhangi, 1376 HS.
  • Sa'di, Mushlih al-Din. Kulliyat Sa'di. Tahqiq Muhammad Ali Furughi. Teheran: Chapkhaneh Barukhaim, 1320 HS.
  • Saifi Mazandarani, Ali Akbar. Dalil Tahrir al-Wasilah (Al-Ijtihad wa al-Taqlid). Qom: Mu'assasah Tanzhim wa Nasyr Atsar al-Imam al-Khomeini (Quds Sarrahu), 1436 H.
  • Sand, Muhammad. Sand al-Urwah al-Wutsqa (Al-Ijtihad wa al-Taqlid). Beirut: Dar al-Kaukhab, 1394 HS.
  • Sanu, Quthb Musthafa. Mu'jam Musthalahat Ushul al-Fiqh. Damaskus: Dar al-Fikr, 1427 H.
  • Sayyid Radhi, Muhammad bin Husain. Nahj al-Balaghah. Tahqiq Shubhi Shalih, Qom: Hijrah, 1414 H.
  • Subhani Tabrizi, Ja'fa. Al-Insaf fi Masa'il Dama Fiha al-Khilaf. Qom: Mu'assasah al-Imam al-Shadiq (as), 1381 HS.
  • Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim. Al-Milal wa al-Nihal. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1415 H.
  • Syekh Anshari, Murtadha bin Muhammad Amin. Matharih al-Anzhar. Qom: Mu'assasah Al al-Bait (alaihim al-salam) li-Ihya al-Turats, 1404 H.
  • Syekh Bahai, Muhammad bin Husain. Zubdah al-Ushul ma'a Hawasy al-Musannif 'Alaiha. Qom: Dar al-Basyir, 1383 HS.
  • Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tanpa tahun.
  • Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Tamhid al-Ushul fi Ilm al-Kalam. Teheran: Intisharat Daneshgah Teheran: 1362 HS.
  • Thabarsi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut: Dar al-Ma'rifah, 1408 H.
  • Thabathaba'i, Sayyid Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut: Al-A'lami fi al-Mathbu'at, 1352 HS.
  • Utsman, Mahmud Hamid. Al-Qamus al-Mubin fi Ishtilahat al-Ushuliyyin. Riyadh: Dar al-Zahim, 1423 H.