Lompat ke isi

Konsep:Perjanjian Alast

Dari wikishia

Perjanjian Alast (bahasa Arab:ميثاق عالَم الذَّرّ أو عَهد عالم الذرّ) adalah sebuah konsep Qur'ani yang berasal dari ayat 172 surah Al-A’raf, yang menggambarkan adanya suatu perjanjian antara Allah dan keturunan Adam tentang rububiyah ilahi. Dalam perjanjian ini, manusia secara batin menyatakan pengakuan mereka atas rububiyyah Allah. Perjanjian ini tidak hanya disebutkan dalam Al-Qur’an, tetapi juga dilaporkan dalam sumber-sumber hadis Syiah maupun Sunni, dan menjadi salah satu topik yang banyak diperdebatkan dalam tafsir dan teologi islam.

Para ulama Muslim meyakini bahwa perjanjian ini memiliki kedudukan penting; mereka melihatnya sebagai proses yang diperlukan agar manusia dapat mengenal Tuhan, sekaligus sebagai upaya penyempurnaan hujjah-Nya atas manusia pada hari Kiamat.

Sebagian ulama, berdasarkan ayat dan riwayat yang ada, memandang mitsaq al-ast sebagai perjanjian universal, pra-kelahiran, yang bisa diingat kembali oleh jiwa manusia, dan mencerminkan kesaksian batin mereka terhadap rububiyyah Allah. Adapun mengenai isi perjanjian tersebut, terdapat berbagai pandangan: sebagian menyatakan bahwa perjanjian itu semata-mata berkaitan dengan rububiyyah Allah, sementara sebagian lain berpendapat bahwa perjanjian ini juga mencakup prinsip tauhid (kesatuan ilahi).

Mengenai bagaimana perjanjian ini diambil, para ulama juga memiliki pendapat berbeda-beda: sekelompok ulama berkeyakinan bahwa Allah telah mengambil pengakuan akan rububiyyah-Nya dari manusia sebelum mereka diciptakan di dunia, yaitu di suatu alam yang disebut alam dzar. Ada pula yang berpendapat bahwa Allah memberikan akal kepada manusia sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mengenal Tuhan dan mengakui-Nya. Sebagian lain percaya bahwa Allah mengenalkan diri-Nya kepada manusia melalui pengutusan Para Nabi dan wahyu, lalu mengambil pengakuan dari mereka. Pendapat-pendapat lain juga muncul dalam masalah ini, dan masing-masing mendapatkan tanggapan serta kritik tersendiri.

Kedudukan dan Pentingannya

"Perjanjian Alast" merujuk pada ayat 172 surah Al-A’raf , yang menjelaskan bahwa Allah telah mengambil perjanjian dari seluruh keturunan Adam terkait rububiyyah-Nya.[1] Selain dalam ayat tersebut,[2] peristiwa ini juga dilaporkan dalam sejumlah riwayat. Para muhaddits Syiah[3] dan Ahl al-Sunnah[4] dalam kitab-kitab mereka telah menyediakan bab-bab khusus untuk membahas riwayat-riwayat tentang mitsaq ini.

Perjanjian Alast beserta rincian-rinciannya seperti alam dzar, merupakan salah satu tema yang diperselisihkan oleh para ulama islam sejak masa awal perkembangan agama ini.[5] Muhammad Baqir Majlisi (W. 1110 H), seorang muhaddits Syiah, menyadari adanya perbedaan-perbedaan dalam pemahaman tentang perjanjian ini, berpendapat bahwa akal manusia tidak mampu sepenuhnya memahami hakikat dan detailnya. Oleh karena itu, menurutnya lebih baik kita meninggalkan spekulasi-spekulasi tentang hal tersebut.[6]

Keharusan Diambilnya Perjanjian

Jawadi Amuli (lahir: 1312 HS), seorang mufassir Syiah, berdasarkan tafsir yang ia ambil dari Ayat Mitsaq, menganggap perjanjian ini sebagai sesuatu yang sangat penting. Dalam ayat tersebut, Allah menyatakan perlunya perjanjian ini agar di hari Kiamat nanti, manusia tidak dapat beralasan bahwa mereka tidak pernah mengetahui kebenaran ini.[7] Abdul Husain Amini (W. 1390 H) juga berkeyakinan bahwa jika manusia tidak pernah mengalami perjanjian ilahi ini di alam dzar dan alam ruh, maka karena tabir-tabir material dunia, mengenal Allah bagi mereka akan mustahil terjadi. Oleh sebab itu, keberadaan perjanjian ini sangat penting dalam proses pengenalan manusia terhadap Tuhan.[8] ia juga menyebutkan sembilan riwayat yang secara kuat menyatakan bahwa pengambilan perjanjian ini diperlukan agar manusia dapat mengenal Penguasa, Pencipta, dan Pemberi rezeki.[9]

Sifat-Sifat Mitsaq

Para ulama memiliki perbedaan pendapat mengenai bentuk mitsaq al-ast ("perjanjian Alast"): sekelompok ulama Syiah seperti Mulla Shadra, 'Allamah Amini, dan Jawadi Amuli berdasarkan sumber-sumber agama terkait mitsaq, berpendapat bahwa perjanjian tersebut bersifat umum dan diambil dari setiap individu manusia secara personal, dan semua manusia memberikan jawaban persetujuan atas perjanjian itu.[10]

Sebaliknya, Syekh Thusi (W. 460 H) berpandangan bahwa perjanjian ini tidak ditujukan untuk semua orang, melainkan hanya untuk sekelompok manusia tertentu yang memiliki akal sempurna.[11]

Ada juga pandangan bahwa kehadiran manusia dalam posisi mitsaq bersifat fisik dan material;[12] namun sebagian lain berkeyakinan bahwa perjanjian ini terjadi sebelum eksistensi material manusia, dan di tempat yang tidak terikat waktu atau perubahan.[13]

isi Perjanjian

Dalam hal isi mitsaq "Alast", berbagai penjelasan telah dikemukakan berdasarkan ayat dan riwayat:

Sejumlah ulama, dengan merujuk pada ayat mitsaq, menyatakan bahwa Allah mengambil perjanjian dari manusia terkait rububiyyah-Nya.[14] Muhyi al-Din ibn ‘Arabi (W. 638 H) berkeyakinan bahwa perjanjian ini semata-mata berkaitan dengan rububiyyah Allah, bukan tawhid; karena Allah mengetahui bahwa sebagian manusia akan menjadi musyrik.[15] Namun sebagian mufassir memandang ayat mitsaq sebagai indikasi adanya perjanjian juga terkait prinsip tauhid.[16]

Terdapat pula riwayat yang menyebutkan bahwa isi perjanjian ini mencakup masalah kenabian dan wilayah.[17] Dalam beberapa riwayat, hal ini disebut sebagai “penyampaian wilayah kepada makhluk.”[18]

Muhammad bin Mas’ud ‘Ayyasyi, mufassir abad keempat dari kalangan Syiah, dalam tafsir Ayat 138 Surah Al-Baqarah meriwayatkan sebuah hadis dari imam Shadiq as yang menyatakan bahwa maksud dari “shibghat Allah” (warna Allah) dalam ayat tersebut adalah pengenalan terhadap wilayat Amirul Mukminin as yang telah diberikan kepada manusia dalam perjanjian tersebut.[19]

Bagaimana Allah Mengambil Perjanjian dari Manusia?

Di kalangan para mutakallim dan mufassir, terdapat beberapa pandangan mengenai bagaimana cara Allah mengambil perjanjian dari manusia:

Alam Dzar

Menurut teori ini, sebelum manusia diciptakan di dunia, Allah menciptakan dalam alam dzar suatu bentuk tubuh kecil, mirip partikel, untuk setiap manusia, lalu Dia menghubungkan jiwa mereka ke wujud tersebut. Tubuh-tubuh mini ini, yang telah ditentukan bagi setiap individu, benar-benar ada di alam dzar, dan diciptakan dari belakang Nabi Adam as, kemudian jiwa dihubungkan ke tubuh-tubuh mini tersebut, sehingga terbentuklah penciptaan manusia secara utuh.[20]

Dalam pandangan ini, manusia di alam dzar tersebut mengakui rububiyyah Allah, menyatakan keyakinannya pada tauhid, dan ketika ditanya, “أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ” (“Bukankah Aku Tuhanmu?”), mereka menjawab, “بَلَىٰ شَهِدْنَا” (“Ya, kami menyaksikan”). Setelah itu, mereka dikembalikan lagi ke tubuh Adam.[21]

Sejumlah ulama Syiah yang mendukung teori ini antara lain: Syekh Shaduq (W. 381 H),[22] Syekh Hur 'Amili (W. 1104 H),[23] Muhammad Baqir Majlisi (W. 1110 H),[24] dan 'Allamah Amini (W. 1390 H).[25]

Sementara itu, sejumlah ulama yang menolak teori ini termasuk: Syekh Mufid (W. 413 H),[26] Sayid Murtadha (W. 436 H),[27] Syekh Thusi (W. 460 H),[28] Faidh al-Kasyani (W. 1091 H),[29] dan Sayid Muhammad Husain Thabathaba'i (W. 1402 H).[30]

Akal

Beberapa ulama seperti Syekh Mufid (meninggal: 413 H) berpandangan bahwa mitsaq (perjanjian) ilahi berkaitan erat dengan akal manusia. Menurut mereka, ketika manusia mulai menginjakkan kaki di dunia ini, Allah telah menanamkan kemampuan berpikir rasional dalam diri mereka, serta mengutus para rasul sebagai pemberi peringatan guna membangkitkan potensi akal tersebut.

Akal inilah yang menjadi jalan bagi manusia untuk mengenal Allah dan menjadikan mereka bertanggung jawab atas kebenaran eksistensi-Nya. Oleh karena itu, apa yang disebut sebagai perjanjian ilahi dalam ayat mitsaq sebenarnya merujuk pada kesadaran batin ini, yaitu saat manusia, dengan bersandar pada akalnya, secara sadar menyadari tanggung jawab spiritual mereka terhadap Tuhan.[31]

Namun, pandangan ini tidak luput dari kritik. Di antara kritik utama yang diajukan adalah bahwa pendapat ini tidak selaras dengan makna tekstual ayat mitsaq, yang menggunakan kata kerja masa lampau dalam kalimat "أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ" ("Bukankah Aku Tuhanmu?"). Selain itu, dalam ayat tersebut dinyatakan bahwa perjanjian diambil agar kelak di hari Kiamat tidak ada yang mengatakan, “Kami tidak tahu.” Sementara itu, menurut pandangan ini, sebagian orang bisa saja mengatakan bahwa kondisi untuk berkembangnya akal mereka tidak sempurna selama hidup di dunia.[32]

Wahyu

Menurut pandangan wahyu, perjanjian yang diwajibkan kepada manusia telah sampai kepada mereka melalui para nabi dan wahyu. Dengan demikian, hujjah (bukti) telah sempurna atas mereka, sehingga di hari Kiamat nanti mereka tidak dapat mengklaim bahwa mereka tidak mengetahui kebenaran tersebut.[33]

Salah satu kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa tidak semua manusia merespons seruan para nabi secara positif, sehingga sulit untuk mengatakan bahwa mereka telah melanggar sebuah perjanjian yang secara jelas telah mereka sepakati.[34]

Tamtsil (Analogi)

Sejumlah mufassir berpendapat bahwa ucapan "أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ؟ قالوا: بَلَىٰ" ("Apakah Aku bukan Tuhanmu? Mereka menjawab: Ya") merupakan bentuk tamtsil (penyerupaan), bukan peristiwa historis literal. Artinya, Allah menunjukkan rububiyyah-Nya kepada manusia melalui akal dan bukti-bukti yang ada dalam diri mereka, seolah-olah Dia mengambil pengakuan dari mereka. Dengan pemahaman akan bukti-bukti tersebut, akal manusia seolah memberikan kesaksian bahwa "Ya, Engkau adalah Tuhan kami."[35]

Pandangan ini mendapatkan kritik karena dua alasan utama: pertama, tidak ada dalil yang cukup kuat untuk meninggalkan makna tekstual ayat dan beralih ke makna majaz (kiasan); kedua, tidak semua manusia memberikan kesaksian atas rububiyyah Allah dengan akal mereka, sehingga tidak tepat jika semua orang diminta mempertanggungjawabkan perjanjian tersebut di hari Kiamat.[36]

Alam Arwah

Sebagian ulama, berdasarkan riwayat-riwayat yang menyebutkan bahwa Allah menciptakan arwah (jiwa) manusia dua ribu tahun sebelum tubuh-tubuh mereka,[37] meyakini bahwa perjanjian yang diambil dari manusia terjadi di alam arwah.[38]

Jawadi Amuli berpandangan bahwa meskipun keberadaan mitsaq dalam tingkat alam arwah dapat dibuktikan, ayat mitsaq tidak dapat dipahami secara tepat sebagai bagian dari alam tersebut.[39]

Alam Jabarut atau Mutsul Aflathuni (Platonis)

Mulla Shadra (W. 1050 H), filsuf Syiah, berkeyakinan bahwa ayat "أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ" ditujukan pada hakikat intelektual manusia, yaitu bentuk cahaya dan abstrak dari jiwa mereka yang hadir dalam ilmu Allah dan wilayah mithal ilahi. Para filosof menyebut bentuk-bentuk ini sebagai "penggerak jenis", yang bertindak sebagai penuntun setiap individu dari jenis tertentu, mirip dengan malaikat.[40]

Tafsir ini dikritik karena tidak memiliki dasar logis yang pasti dalam konsep muthula' iftikhari (Platonis). Selain itu, meskipun wujud entitas semacam ini diakui, belum tentu perjanjian mitsaq dilakukan terhadap mereka.[41]

Malakut

Sayid Muhammad Husain Thabathaba'i, ('Allamah Thabataba'i) berkeyakinan bahwa manusia sebelum datang ke dunia memiliki eksistensi di alam lain di sisi Allah. Setiap makhluk memiliki dua aspek: satu mengarah ke dunia dan secara bertahap menjadi nyata, sedangkan yang lain mengarah langsung kepada Allah dan mencakup seluruh kesempurnaan-Nya. Di dalam alam malakut, manusia melihat Allah tanpa hijab dan tanpa perantara, serta secara langsung mengakui tauhid-Nya. Pemahaman tentang rububiyyah di alam ini bersifat intuitif dan transendental, bukan hasil pemikiran logis.[42]

Javadi Amuli meskipun mengakui adanya kelebihan pandangan ini dibanding pandangan-pandangan sebelumnya, tetap menolaknya karena dianggap memiliki kelemahan tertentu.[43]

Fitrah

Menurut Sayid Murtadha (W. 436 H), Allah menciptakan kita sedemikian rupa sehingga eksistensi itu sendiri penuh dengan tanda-tanda-Nya. Bukti-bukti ini begitu jelas sehingga seolah-olah kita sudah secara batin dan total mengakui rububiyyah-Nya, meskipun tanpa perkataan.[44]

Catatan Kaki

  1. Gozasyteh, Alast, juz 10.
  2. Thabataba'i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 1390 H, juz 8, hlm. 306.
  3. Lihat misalnya: Shaffar, Basha'ir al-Darajat, 1404 H, hlm. 70–89; Kulaini, Al-Kafi, 1407 H, juz 2, hlm. 12; Barqi, Al-Mahasin, Dar al-Kutub al-islamiyah, juz 1, hlm. 135.
  4. ibn Abi ‘Ashim, Kitab al-Sunnah, 1400 H, hlm. 87; Baihaqi, Al-Qadha’ wa al-Qadr, 1421 H, hlm. 140.
  5. Biyabani Askuyi, Maqam-e 'Alam-e Dzar wa Arwah dar Fithrat-e Tauhidi-ye Insan, 1394 SH, hlm. 483–561.
  6. Majlisi, Bihar al-Anwar, 1403 H, juz 5, hlm. 261.
  7. Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim', 1392 SH, juz 31, hlm. 66.
  8. Amini, Al-Maqashid al-'Aliyah fi al-Mathalib al-Sunniyah, 1434 H, hlm. 138.
  9. Amini, Al-Maqashid al-'Aliyah fi al-Mathalib al-Sunniyah, 1434 H, hlm. 138–140.
  10. Sadr al-Din al-Syirazi, Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1366 SH, juz 2, hlm. 245; Amini, Al-Maqashid al-'Aliyah fi al-Mathalib al-Sunniyah, 1434 H, hlm. 138; Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim', 1392 SH, juz 31, hlm. 42–44.
  11. Syekh Thusi, Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an, Dar ihya al-Turats al-Arabi, juz 5, hlm. 30.
  12. Biyabani Askuyi, Maqam-e 'Alam-e Dzar wa Arwah dar Fithrat-e Tauhidi-ye Insan, 1394 SH, hlm. 433.
  13. Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1392 SH, juz 31, hlm. 41.
  14. Syaraf al-Din, Falsafah al-Mitsaq wa al-Wilayah, 1432 H, hlm. 3–4.
  15. ibn Arabi, Al-Futuhat al-Makkiyah, 1405 H, juz 2, hlm. 211.
  16. Syubbar, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Dar al-Hijrah, hlm. 44; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, 1374 SH, juz 7, hlm. 16; Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1392 SH, juz 31, hlm. 48.
  17. Syubbar, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Dar al-Hijrah, hlm. 44.
  18. Biyabani Askuyi, Maqam-e 'Alam-e Dzar wa Arwah dar Fithrat-e Tauhidi-ye Insan, 1394 SH, hlm. 42.
  19. Ayyasyi, Tafsir al-Ayyasyi, 1380 H, juz 1, hlm. 62.
  20. Biyabani Askuyi, Maqam-e 'Alam-e Dzar wa Arwah dar Fithrat-e Tauhidi-ye Insan, 1394 SH, hlm. 433.
  21. Shadri Nia, Alam-e Dzar, 1388 SH, hlm. 49.
  22. Syekh Saduq, Al-Hidayah, 1418 H, hlm. 24–25.
  23. Syekh Hur 'Amili, Al-Fushul al-Muhimah fi Ushul al-A'immah, 1418 H, juz 1, hlm. 425.
  24. Majlisi, Bihar al-Anwar, 1403 H, juz 5, hlm. 257; Majlisi, Mir’at al-‘Uqul fi Syarh Akhbar Al al-Rasul, 1404 H, juz 5, hlm. 16–161.
  25. Amini, Al-Maqashid al-'Aliyah fi al-Mathalib al-Sunniyah, 1434 H, hlm. 136–138.
  26. Syekh Mufid, Al-Masa'il al-Sarawiyyah, 1413 H, hlm. 46.
  27. Sayid Murtadha, Tafsir al-Syarif al-Murtadha, 1431 H, juz 2, hlm. 376.
  28. Syekh Thusi, Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an, Dar ihya al-Turats al-Arabi, juz 5, hlm. 29.
  29. Faidh al-Kasyani, Al-Wafi, 1406 H, hlm. 502.
  30. Thabataba'i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 1393 H, juz 8, hlm. 315–316.
  31. Syekh Mufid, Al-Masa'il al-'Ukbariyyah, 1413 H, hlm. 113; Sayid Murtadha, Tafsir al-Syarif al-Murtadha, 1431 H, juz 2, hlm. 377; Faidh al-Kasyani, Al-Wafi, 1406 H, hlm. 502; Syaraf al-Din, Falsafah al-Mitsaq wa al-Wilayah, 1432 H, hlm. 16–17.
  32. Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1392 SH, juz 31, hlm. 89–92.
  33. Sayid Murtadha, Tafsir al-Syarif al-Murtadha, 1431 H, juz 2, hlm. 377; Syekh Thusi, Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an, Dar ihya al-Turats al-Arabi, juz 5, hlm. 27–28.
  34. Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1392 SH, juz 31, hlm. 93–94.
  35. Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, 1407 H, juz 2, hlm. 176; Abu Hayyan, Al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir, 1420 H, juz 5, hlm. 218–220.
  36. Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim'', 1392 SH, juz 31, hlm. 95–97.
  37. Lihat misalnya: Barqi, Al-Mahasin, 1371 H, juz 1, hlm. 135; Shaffar, Basha'ir al-Darajat, 1404 H, juz 1, hlm. 87; Kulaini, Al-Kafi, 1407 H, juz 1, hlm. 438.
  38. Lihat misalnya: Amili, Tafsir al-Muhith al-A’zham, 1428 H, juz 4, hlm. 259–260 dan juz 5, hlm. 361–362; Syekh Bahai, Arba'un Haditsan, 1431 H, hlm. 78.
  39. Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1392 SH, juz 31, hlm. 109–110.
  40. Sadr al-Din al-Syirazi, Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1366 SH, juz 2, hlm. 243.
  41. Biyabani Askuyi, Maqam-e 'Alam-e Dzar wa Arwah dar Fithrat-e Tauhidi-ye Insan, 1394 SH, hlm. 507.
  42. Thabataba'i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 1390 H, juz 8, hlm. 318–321.
  43. Jawadi Amuli, Tasnim: Tafsir al-Qur'an al-Karim, 1392 SH, juz 31, hlm. 105–109.
  44. Sayid Murtadha, Tafsir al-Syarif al-Murtadha, 1431 H, juz 2, hlm. 377–378.

Daftar Pustaka

  • Abu Hayyan, Muhammad bin Yusuf. Al-Bahr al-Muhith fi al-Tafsir. Beirut: Dar al-Fikr, 1420 H.
  • Amili, Haidar bin Ali. Tafsir al-Muhith al-A'zham wa al-Bahr al-Khadhm fi Ta'wil Kitab Allah al-‘Aziz al-Muhkam. Qom: Nur 'Ali Nur, 1428 H.
  • Amini, ‘Abd al-Husain. Al-Maqashid al-'Aliyah fi al-Mathalib al-Sunniyah. Qom: Dar al-Tafsir, 1434 H.
  • Ayyasyi, Muhammad bin Mas’ud. Tafsir al-Ayyasyi. Teheran: Maktabah Islamiyyah Ilmiyyah, 1380 H.
  • Baihaqi, Ahmad bin Husain. Al-Qadha’ wa al-Qadr. Riyadh: Maktabah al-‘Abyakan, 1421 H.
  • Barqi, Ahmad bin Muhammad. Al-Mahasin. Qom: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, tanpa tahun.
  • Biyabani Askuyi, Muhammad. Maqam-e ‘Alam-e Dzar wa Arwah dar Fithrat-e Tauhidi-ye Insan. Teheran: Muassasah Farhangi Naba’, 1394 SH.
  • Faidh al-Kasyani, Muhammad Muhsin bin Syah Murtadha. Al-Wafi. Isfahan: Khoneh Ketab Amir al-Mu’minin ‘Ali as, 1406 H.
  • Guzasyteh, Nashir, "Alast", Ensiklopedi Besar Islam, Teheran: Pusat Ensiklopedi Besar Islam.
  • Ibn Arabi, Muhammad bin Ali. Al-Futuhat al-Makkiyyah. Kairo: Al-Hay’ah al-Misriyyah al-‘Amma lil-Kitab, 1405 H.
  • Jawadi Amuli, Abdullah. Tasnim: Tafsir Qur’an al-Karim. Qom: Isra, 1392 SH.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya’qub. Al-Kafi. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1407 H.
  • Majlisi, Muhammad Baqir. Bihar al-Anwar. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1403 H.
  • Sadri Niya, Husain. Alam-e Dzar. Teheran: Sayyah Roshan, 1388 SH.
  • Sayid Murtadha, Ali bin Husain. Tafsir al-Syarif al-Murtadha. Beirut: Muassasah al-Alami lil-Matbu’at, 1431 H.
  • Shadr al-Din al-Syirazi, Muhammad bin Ibrahim. Tafsir al-Qur’an al-Karim. Qom: Bidar, 1366 SH.
  • Shaffar, Muhammad bin Hasan. Basha’ir al-Darajat. Qom: Maktabah Ayatullah al-Uzhma Mar’asyi al-Najafi (r.a.), 1404 H.
  • Syaraf al-Din, ‘Abd al-Husain. Falsafah al-Mitsaq wa al-Wilayah. Beirut: Muassasah Al al-Bait as li Ihya al-Turats, 1432 H.
  • Syekh Bahai, Muhammad bin ‘Izz al-Din. Arba’un Haditsan. Qom: Jamiat-e Ulama wa Mudarrisin dar Howzah Ilmiah-e Qom-e Muqaddasah, 1431 H.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad. Al-Masa’il al-‘Ukbariyyah. Qom: Konferensi Internasional Milad Syekh Mufid, 1413 H.
  • Syekh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut: Dar Ihya al-Turats al-Arabi, tanpa tahun.
  • Syubbar, Abdullah. Tafsir al-Qur’an al-Karim. Qom: Dar al-Hijrah, tanpa tahun.
  • Thabathaba’i, Sayid Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut: Al-Alami lil Matbu’at, 1390 H.
  • Zamakhsyari, Mahmud bin ‘Umar. Al-Kasysyaf. Beirut: Dar al-Kitab al-Arabi, 1407 H.
  • ibn Abi ‘Ashim, Ahmad bin Amr. Kitab al-Sunnah. Beirut: Al-Maktab al-Islami, 1400 H.