Konsep:Ayat 1 Surah An-Nisa
| Informasi Ayat |
|---|
Templat:Infobox Ayat Ayat 1 Surah An-Nisa dengan menekankan pada penciptaan semua manusia dari "nafs wahidah" (jiwa yang satu), menyeru manusia kepada Takwa, persaudaraan, kesetaraan, dan menjaga hak-hak kekerabatan. Mayoritas mufasir Syiah dan Sunni menganggap nafs wahidah sebagai Nabi Adam as, sementara sebagian lainnya seperti Jawadi Amoli, penulis Tafsir Tasnim, menafsirkannya sebagai hakikat kemanusiaan yang sama. Mousavi Ardebili menganggap ayat ini sebagai ayat paling mendasar mengenai keluarga yang menafikan segala bentuk supremasi gender.
Mengenai Penciptaan Hawa, terdapat berbagai pandangan; mulai dari penciptaan dari hakikat kemanusiaan Adam hingga teori penciptaan dari tulang rusuk Adam yang ditolak oleh banyak mufasir. Dalam masalah pernikahan anak-anak Adam, juga terdapat tiga teori utama yang mana teori paling umum adalah diperbolehkannya pernikahan saudara laki-laki dan perempuan pada awal penciptaan. Ayat ini juga dijadikan dalil dalam kritik terhadap Teori Evolusi dan dalam pembahasan fikih seperti Shilaturahim, taklif (kewajiban syariat) bagi orang-orang kafir, dan Kloning Manusia.
Perintah Umum Takwa dan Pengingat Kesatuan Penciptaan
Ayat 1 Surah An-Nisa dengan mengisyaratkan pada keesaan Sang Pencipta dan penciptaan seluruh manusia dari satu jiwa, menyeru mereka semua untuk bertakwa agar menata hubungan kemanusiaan berdasarkan persaudaraan dan kesetaraan.[1] Setelah menekankan keagungan Allah, ayat ini kembali memerintahkan ketakwaan dan dengan mengisyaratkan pada ikatan kekerabatan seluruh umat manusia, ia menghitung menjaga ikatan ini dan pemenuhan hak-hak kerabat sebagai bagian dari bukti ketakwaan.[2]
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاءً ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ ۚ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
"Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dari diri yang satu (Adam), dan (Allah) menciptakan pasangannya (Hawa) dari (diri)-nya; dan dari keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Bertakwalah kepada Allah yang dengan nama-Nya kamu saling meminta, dan (peliharalah) hubungan kekeluargaan. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasimu."
(Surah An-Nisa: 1)
Menurut laporan Mousavi Ardebili, para mufasir Syiah dan Sunni sepakat bahwa yang dimaksud dengan nafs wahidah adalah Nabi Adam as.[3] Jawadi Amoli mengartikan istilah nafs wahidah sebagai zat dan hakikat. Oleh karena itu, ayat ini menyatakan bahwa semua laki-laki dan perempuan, bahkan Adam dan Hawa, berasal dari satu hakikat kemanusiaan yang sama. Ia menyebut Nabi Adam as sebagai misdaq (bukti konkret) pertama dari hakikat ini.[4]
Mousavi Ardebili menilai ayat ini sebagai ayat yang paling tepat mengenai keluarga, yang dengan menekankan pada penciptaan dan asal-usul yang sama antara laki-laki dan perempuan dari satu jiwa, menafikan segala bentuk supremasi dan pelanggaran hak-hak perempuan oleh laki-laki.[5]
Penciptaan Hawa
Para mufasir Syiah dengan memperhatikan frasa "wa khalaqa minha zaujaha" (dan menciptakan pasangannya dari [diri]-nya) dalam lanjutan ayat 1 Surah An-Nisa, membahas topik bagaimana penciptaan istri Adam. Di antaranya:
- Makarem Shirazi, mufasir dan peneliti Al-Qur'an mengatakan bahwa dengan memperhatikan Ayat 21 Surah Ar-Rum dan Ayat 72 Surah An-Nahl, maksud ayat tersebut adalah Allah menciptakan istri Adam dari jenisnya, yaitu jenis manusia.[6] Menurut mufasir lain, Jawadi Amoli, kata ganti perempuan dalam frasa (وَ خَلَقَ مِنْها) juga kembali kepada nafs wahidah (dalam arti hakikat kemanusiaan), bukan sisa tanah lempung Adam atau anggota tubuh atau tulang rusuk kirinya. Selain ayat-ayat tersebut, ia juga menambahkan dua ayat yaitu Ayat 11 Surah Asy-Syura dan Ayat 6 Surah Az-Zumar sebagai bukti Al-Qur'an untuk pandangan ini.[7]
- Dalam keyakinan Syaikh Saduq, Hawa diciptakan dari sisa tanah lempung dan materi yang sama dari mana tulang rusuk Adam diciptakan.[8]
- Berdasarkan laporan Syaikh Thusi, mufasir Syiah abad ke-4 Hijriah, sebagian meyakini bahwa Hawa diciptakan dari tubuh dan tulang rusuk Adam;[9] sebagaimana dikatakan bahwa pasal kedua dari Kitab Kejadian dalam Taurat juga menegaskan makna ini. Makarem Shirazi menilai teori ini tidak benar.[10] Syaikh Saduq juga menolak pandangan ini dengan berargumen bahwa jika Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam setelah penciptaan Adam sempurna, para penyebar syubhat akan mengatakan bahwa Adam menikah dengan sebagian dari dirinya sendiri, padahal ini adalah anggapan yang batil.[11]
Pernikahan Anak-anak Adam
Mengenai pernikahan anak-anak Adam as, terdapat tiga pandangan utama dalam sumber-sumber tafsir dan riwayat:
- Pernikahan saudara laki-laki dan perempuan: Pada awal penciptaan, pernikahan antara anak-anak Adam dan Hawa diperbolehkan dan tidak haram; sebagian riwayat menguatkan pendapat ini. Tafsir-tafsir seperti Al-Mizan, Tafsir Namunah, dan Tafsir Tasnim memilih kemungkinan ini dan menilai riwayat-riwayat tersebut selaras dan sesuai dengan zahir ayat.[12]
- Pernikahan dengan makhluk non-manusia: Abdullah Syubbar, penulis Tafsir al-Qur'an al-Karim, menukil riwayat-riwayat di bawah ayat ini yang menunjukkan pernikahan anak-anak Adam dengan bidadari.[13] Selain itu, dalam sumber-sumber hadis terdapat riwayat yang menunjukkan pernikahan anak-anak Adam dengan bidadari atau Jin.[14]
- Pernikahan dengan sisa-sisa manusia terdahulu: Berdasarkan pandangan ketiga, pasangan anak-anak Adam berasal dari keturunan manusia sebelum dia, namun dikatakan bahwa kemungkinan ini tidak selaras dengan zahir ayat-ayat Al-Qur'an dan hanya dikemukakan dari sudut pandang biologi.[15]
Kritik Teori Evolusi
Templat:Utama Mousavi Ardebili[16] dan Muhammad Husain Fadhlullah, salah satu mufasir Syiah, dengan bersandar pada ayat pertama Surah An-Nisa dan ayat-ayat serupa, menolak teori evolusi. Menurut pandangan Darwin, ahli biologi Inggris, manusia pada awalnya diciptakan dalam bentuk hewan dan mencapai tahap kemanusiaan melalui evolusi. Namun berdasarkan ayat ini, Al-Qur'an menekankan penciptaan Adam secara sempurna dan berakal sebagai titik awal masyarakat manusia saat ini. Fadhlullah menganggap teori Darwin hanya sebagai hipotesis dugaan yang dibangun di atas pengalaman terbatas dan tidak memiliki validitas ilmiah di hadapan kebenaran wahyu Ilahi.[17]
Istinad (Dalil) Fikih
Ayat 1 Surah An-Nisa dijadikan dalil dalam pembahasan fikih berikut:
Sejumlah peneliti dengan bersandar pada ayat-ayat seperti ayat 1 Surah An-Nisa dan pemahaman tafsir mereka, menganggap kemungkinan diperbolehkannya Kloning Manusia. Pandangan ini didasarkan pada penciptaan Hawa dari tubuh dan tulang rusuk Adam. Sebaliknya, Sayid Ali Mousavi Sabzevari dengan mengompromikan semua riwayat yang dinukil dalam topik ini, menerima teori penciptaan Hawa dari sisa tanah lempung Adam dan menolak pandangan tersebut.[18]
Abdullah Syubbar, mufasir Syiah, menegaskan bahwa seruan dan perintah umum ayat pertama Surah An-Nisa kepada seluruh manusia menunjukkan bahwa orang-orang kafir juga memiliki taklif (beban kewajiban) dalam hukum-hukum cabang (furu').[19]
Thabarsi juga dalam tafsir ayat ini, menarik kesimpulan mengenai perintah untuk bertakwa terkait kerabat, yang mana ayat ini menyiratkan larangan memutus Shilaturahim. Menurut laporannya, sebuah riwayat dari Imam al-Baqir as menguatkan makna ini. Pada akhirnya, Thabarsi menganggap ayat ini sebagai salah satu dalil Al-Qur'an atas wajibnya shilaturahim.[20]
Catatan Kaki
- ↑ Jawadi Amoli, Tafsir Tasnim, 1389 HS, jld. 18, hlm. 86-87; Thabathaba'i, Tafsir Al-Mizan, 1352 HS, jld. 4, hlm. 134.
- ↑ Sadeqi Tehrani, Al-Furqan, 1406 H, jld. 6, hlm. 154; Makarem Shirazi, Tafsir Namunah, 1374 HS, hlm. 247-248.
- ↑ Mousavi Ardebili, Dar Parto-ye Wahi, 1388 HS, jld. 2, hlm. 132.
- ↑ Jawadi Amoli, Tafsir Tasnim, 1389 HS, jld. 18, hlm. 100 dan 105.
- ↑ Mousavi Ardebili, Dar Parto-ye Wahi, 1388 HS, jld. 2, hlm. 131 dan 138.
- ↑ Makarem Shirazi, Tafsir Namunah, 1374 HS, hlm. 245-246.
- ↑ Jawadi Amoli, Tafsir Tasnim, 1389 HS, jld. 18, hlm. 108-110.
- ↑ Syaikh Saduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, 1413 H, jld. 4, hlm. 327.
- ↑ Syaikh Thusi, Al-Tibyan, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, jld. 3, hlm. 99.
- ↑ Makarem Shirazi, Tafsir Namunah, 1374 HS, hlm. 245-246.
- ↑ Syaikh Saduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, 1413 H, jld. 4, hlm. 327.
- ↑ Thabathaba'i, Tafsir Al-Mizan, 1352 HS, jld. 4, hlm. 136-137; Makarem Shirazi, Tafsir Namunah, jld. 3, hlm. 246-247; Jawadi Amoli, Tafsir Tasnim, 1389 HS, jld. 18, hlm. 203-204.
- ↑ Syubbar, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Dar al-Hijrah, jld. 1, hlm. 107.
- ↑ Syaikh Saduq, Man La Yahdhuruhu al-Faqih, 1413 H, jld. 3, hlm. 381-382.
- ↑ Rezaei Isfahani, Tafsir Qur'an Mehr, 1389 HS, jld. 2, hlm. 305.
- ↑ Mousavi Ardebili, Dar Parto-ye Wahi, 1388 HS, jld. 2, hlm. 133.
- ↑ Fadhlullah, Min Wahyi al-Qur'an, 1439 H, jld. 4, hlm. 24-25.
- ↑ Sabzevari, Al-Istinsakh baina al-Tiqniyyah wa al-Tasyri', 1423 H, hlm. 87.
- ↑ Syubbar, Tafsir al-Qur'an al-Karim, Dar al-Hijrah, jld. 1, hlm. 107.
- ↑ Thabarsi, Majma' al-Bayan, 1367 HS, jld. 3, hlm. 6-9.
Daftar Pustaka
- Fadhlullah, Sayid Muhammad Husain. Min Wahyi al-Qur'an. Beirut, Dar al-Malak li al-Thiba'ah wa al-Nasyr, 1439 H.
- Jawadi Amoli, Abdullah. Tafsir Tasnim. Qom, Markaz-e Nasyre Isra, 1389 HS.
- Makarem Shirazi, Nasser. Tafsir Namunah. Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1374 HS.
- Mousavi Ardebili, Sayid Abdul Karim. Dar Parto-ye Wahi. Qom, Universitas Mofid, 1388 HS.
- Rezaei Isfahani, Muhammad Ali. Tafsir Qur'an Mehr. Qom, Cetakan Pertama, Ashre Zuhur, 1389 HS.
- Sabzevari, Sayid Ali. Al-Istinsakh baina al-Tiqniyyah wa al-Tasyri'. Qom, Kantor Ayatullah Sabzevari, Cetakan Kedua, 1423 H.
- Sadeqi Tehrani, Muhammad. Al-Furqan fi Tafsir al-Qur'an bi al-Qur'an wa al-Sunnah. Lebanon, Muassasah al-A'lamili al-Mathbu'at, 1406 H.
- Syubbar, Abdullah. Tafsir al-Qur'an al-Karim. Qom, Muassasah Dar al-Hijrah, Tanpa Tahun.
- Syaikh Saduq, Muhammad bin Ali. Man La Yahdhuruhu al-Faqih. Qom, Daftar-e Intisyarat-e Eslami, 1413 H.
- Syaikh Thusi, Muhammad bin Hasan. Al-Tibyan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Tanpa Tahun.
- Thabathaba'i, Sayid Muhammad Husain. Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut, Muassasah al-A'lami li al-Mathbu'at, 1352 HS.
- Thabarsi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayan fi Tafsir al-Qur'an. Beirut, Dar al-Ma'rifah, 1367 HS.