Ihbath
Ihbath (bahasa Arab:اِحْباطْ) adalah penghapusan pahala ibadah akibat dosa, di mana hal itu menjadi bahan perbincangan dalam ilmu kalam. Para ulama Syiah tidak meyakini ihbath dan hanya menerimanya dalam konteks murtadnya seorang mukmin. Di antara Ahlusunah, Asya'irah juga memiliki pandangan demikian; namun, Mu'tazilah berpendapat bahwa dosa-dosa dapat menyebabkan hilangnya pahala dari amal baik seseorang.
Dalam Al-Qur'an dan hadis, terdapat pembicaraan mengenai penghapusan amal dan beberapa contoh dari hal itu adalah sebagai berikut; namun, para ulama Syiah secara umum, tidak menerima ihbath secara rasional, di mana menafsirkan hal-hal tersebut sedemikian rupa sehingga sesuai dengan keyakinan mereka tentang tidak adanya ihbat. Beberapa dari mereka juga merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an untuk meniadakan ihbat.
Namun, di antara para ulama Syiah, ada sejumlah kecil ulama, termasuk Nashir Makarim Syirazi, seorang marja' taklid dan mufasir Al-Qur'an, di mana mengatakan bahwa tidak ada argumentasi baik secara rasional atau tekstual yang dapat meniadakan ihbath dan mereka menganggapnya sebagai sesuatu yang mungkin terjadi.
Definisi dan Kedudukan Pembahasan
Ihbath adalah sebuah istilah yang berasal dari Al-Qur'an[1] yang telah dibahas secara luas dalam ilmu kalam dan dijelaskan dengan berbagai sudut pandangan.[2] Istilah ini berarti hilangnya pahala dari amal baik akibat melakukan dosa.[3] Kebalikan dari ihbath adalah Takfir al-Dzunub, di mana berarti hilangnya dosa dengan melakukan amal yang baik.[4]
Kata ihbath dan turunannya disebutkan sebanyak enam belas kali dalam Al-Qur'an.[5] Masalah ini dalam ilmu kalam dibahas di tema-tema seperti, ma'ad, pahala dan hukuman, atau janji dan ancaman.[6]
Pandangan Bersama para Ulama Muslim tentang Ihbath dan Perbedaan Pendapat
Berdasarkan semua mazhab Islam, termasuk Syiah, melakukan beberapa dosa dapat menyebabkan hilangnya amal baik.[7] Sebagai contoh, menurut semua ulama ksum Muslimin, semua amal baik seorang mukmin akan hilang jika ia murtad (dan tidak bertaubat setelah itu).[8] Perbedaan pendapat mereka terletak pada apakah ihbath hanya mencakup murtad dan kekufuran atau berlaku untuk semua amal perbuatan. Asya'irah, seperti halnya pandangan masyhur Syiah, menganggap ihbath dalam pengertian yang terakhir sebagai sesuatu yang tidak benar;[9] namun, Mu'tazilah berpendapat bahwa ihbath secara keseluruhan adalah sesuatu yang benar.[10] Mereka menggunakan argumentasi-argumentasi rasional untuk membuktikan klaim mereka,[11] di mana hal itu telah dijawab oleh para ulama Syiah dan Asya'irah.[12]
Pandangan Syiah
Pandangan yang masyhur di kalangan Syiah adalah bahwa ihbath tidaklah benar.[13] Syekh Thusi, seorang teolog Syiah pada abad keempat, secara umum menolak ihbath dan menyatakan bahwa makna lahiriah ayat-ayat Al-Qur'an yang menunjukkan ihbath tidak dapat diterima; karena dasar-dasar keyakinan harus berlandaskan rasional dan ayat-ayat harus ditafsirkan sedemikian rupa agar sesuai dengan rasional.[14] Ja'far Subhani juga menulis bahwa pengahapusan amal baik akibat dosa adalah bentuk pelanggaran janji dan kezaliman, karena Allah swt tidak berbuat zalim, Dia tidak akan menghapus amal baik manusia dengan melakukan dosa.[15] Ia juga merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an (seperti ayat 7 dari Surah Al-Zalzalah dan ayat 40 dari Surah An-Najm), di mana menunjukkan bahwa manusia pada hari kiamat akan melihat hasil dari semua amal yang telah mereka lakukan (baik dan buruk) dan tidak ada amal baik atau buruk yang akan hilang.[16]
Namun, di antara para ulama Syiah, terdapat pandangan lain. Sebagai contoh, menurut Nashir Makarim Syirazi, penulis Tafsir Nemune, ihbath dalam bentuk parsial mungkin saja terjadi, dan tidak ada argumentasi baik secara rasional atau tekstual yang membuktikan bahwa ihbath itu batal.[17] Ia menggambarkan ihbath dengan perumpamaan dalam hal-hal duniawi, dikatakan bahwa sama seperti investasi yang diperoleh seseorang dengan susah payah sepanjang hidupnya dapat hilang karena satu kesalahan, begitupula amal baiknya juga dapat hancur akibat satu dosa. Ia menganggap perbedaan pendapat dalam masalah ini sebagai perdebatan leksikal.[18] Allamah Majlisi, penulis kitab Bihar al-Anwar, juga berpendapat bahwa tidak setiap dosa dapat dianggap sebagai penyebab hilangnya amal baik; namun, kasus-kasus yang disebutkan dalam ayat-ayat dan hadis adalah contoh-contoh dari ihbath.[19] Meskipun demikian, pada kesempatan lain, ia menjelaskan kasus-kasus tersebut sedemikian rupa sehingga tidak dianggap sebagai penghapusan amal perbuatan.[20]
Faktor-faktor Ihbath
Berdasarkan kesepakatan semua umat Islam, jika seseorang yang mukmin murtad, kekafiran tersebut menghapus semua perbuatannya yang telah lalu.[21] Dalam ayat-ayat Al-Qur'an, murtad setelah beriman,[22] membunuh pelaku amar ma'ruf,[23] mendustakan hari kebangkitan dan ayat-ayat Allah[24] serta kemunafikan dan kepura-puraan[25] dianggap sebagai penyebab terhapusnya amal perbuatan.[26] Meskipun demikian, Syekh Thusi mengatakan bahwa dikarenakan makna lahiriah dari ayat-ayat ini, dsecara rasional tidak dapat diterima, maka ayat-ayat tersebut harus ditafsirkan sedemikian rupa sehingga sesuai dengan rasional.[27]
Dalam hadis-hadis Syiah, beberapa faktor yang menjadi penyebab terhapusnya amal perbuatan juga disebutkan, antara lain: mengingkari wilayah Imam Ali as,[28] ketidak sabaran dalam menghadapi musibah,[29] menuduh berzina kepada seorang wanita atau pria yang menikah,[30] berburuk sangka,[31] riya[32] dan berdebat.[33] Allamah Majlisi berusaha untuk menyelaraskan hadis-hadis ini dengan pandangan Syiah tentang ihbath. Menurutnya, terkait ihbath yang disebutkan dalam hadis, tidak merujuk kepada makna penghapusan yang sebenarnya; melainkan berarti bahwa syarat diterimanya beberapa amal saleh adalah tidak mengerjakan beberapa dosa di masa depan dan dengan melakukan dosa, terungkap bahwa dirinya sejak awal tidak melakukan amal saleh dengan semua syaratnya dan pada dasarnya tidak layak mendapatkan pahala.[34] Ia menyebut pandangan ini sebagai pendapat masyhur para Syiah.[35]
Meninggikan Suara dihadapan Nabi saw
Dalam ayat 2 Surah Al-Hujurat, orang-orang mukmin dilarang meninggikan suara mereka di atas suara Nabi saw serta berbicara dengan suara keras di hadapan beliau, agar tidak sampai menghapus perbuatan-perbuatan mereka. Para mufassir Syiah memberikan berbagai jawaban untuk menjelaskan ayat ini, tentang bagaimana mungkin suatu perbuatan selain kufur dan syirik dapat menyebabkan penghapusan perbuatan. Beberapa penjelasan tersebut adalah sebagai berikut:[36]
1. Meninggikan suara di atas suara Nabi atau berbicara dengan suara keras di hadapan beliau, jika dilakukan dengan maksud menghina Nabi saw adalah suatu bentuk kekufuran. Sesuai pendapat semua umat Islam, dengan menjadi kafir, semua perbuatan manusia akan dihapus.[37]
2. Hadir di hadapan Nabi adalah suatu perbuatan yang memiliki pahala. Jika orang-orang mukmin berbicara dengan suara keras di hadapan Nabi dengan maksud menghina, perbuatan ini akan menghapus pahala menghadiri majelis Nabi saw.[38]
3. Penghapusan semua amal baik seorang mukmin akibat menghina Nabi saw adalah mungkin saja terjadi dan tidak ada argumen rasional yang bertentangan dengan hal tersebut.[39]