Ayat Dakwah

Prioritas: b, Kualitas: b
Dari wikishia
Ayat Dakwah
Informasi Ayat
NamaAyat Dakwah
SurahAn-Nahl
Ayat125
Juz14
Informasi Konten
Tempat
Turun
Makkah
TentangAkhlak
DeskripsiCara-cara menghadapi penentang
Ayat-ayat terkaitAyat ke-46 Surah Al-Ankabut

Ayat Dakwah (bahasa Arab:آية الدعوة) (Surah An-Nahl: ayat 125) adalah ayat yang mengajarkan kepada Nabi Muhammad saw cara-cara mengajak manusia kepada Allah swt. Berdasarkan hal tersebut, Allah swt memerintahkan nabi-Nya untuk menyebarkan dan mendakwahkan agama Islam dengan menggunakan tiga metode: hikmah, nasehat yang baik dan debat dengan cara yang lebih baik (dialog).

Para ahli tafsir menganggap makna hikmah dalam ayat ini adalah burhan (petunjuk) dan ilmu, yang menghilangkan keragu-raguan di hati manusia dan membangunkan pikiran yang tertidur. Menurut mereka, dakwah baik yang ditekankan dalam ayat tersebut sebagai metode kedua, berkaitan dengan emosional manusia dengan mengajak dan mendorong manusia untuk meninggalkan keburukan dan mengerjakan amal saleh. Mereka menganggap argumentasi (debat) yang terbaik adalah bagi mereka yang pikirannya dipenuhi perkara-perkara yang tidak benar sehingga pikirannya harus dijernihkan melalui perdebatan agar siap menerima kebenaran. Dalam metode ini, mereka diyakinkan dengan menggunakan prinsip-prinsip yang mereka terima.

Menurut para ahli tafsir, ayat dakwah telah menjelaskan bahwa kewajiban Nabi Muhammad saw hanya sebatas mengajak berdasarkan tiga cara tersebut dan terkait siapa yang menerima dan yang mendapat hidayah serta siapa yang memilih untuk tetap kafir itu diserahkan pada ilmu Allah.

Poin umum

Ayat Dakwah bersama dengan beberapa ayat terakhir Surah an-Nahl, merupakan seperangkat petunjuk akhlak yang membahas tentang cara menghadapi para penentang.[1] Makarim Syirazi menganggap petunjuk tersebut sebagai prinsip dan metode taktis perjuangan Islam dalam menghadapi kelompok penentang dan percaya bahwa petunjuk tersebut dapat diterapkan di segala waktu dan tempat Menurutnya, dalam rangkaian petunjuk tersebut telah disebutkan hal-hal seperti cara mengajak untuk beragama, metode hukuman dan pengampunan, serta bagamana tetap istiqamah dalam menghadapi konspirasi musuh.[2]

Dalam surah an-Nahl ayat 125, Allah swt mengajari nabi-Nya cara-cara berwacana yang logis dan konstruktif[3] dan memintanya untuk mengajak manusia ke jalan Tuhan melalui hikmah, dakwah yang baik dan perdebatan yang lebih baik.[4]

Allamah Thabathabai menilai ketiga metode ini khusus digunakan dalam dialog dan pembicaraan serta menganggap Nabi Muhammad saw bertanggung jawab menyampaikan risalah Allah swt melalui tiga metode tersebut.[5] Shadiqi Tehrani juga berpendapat bahwa ketiga metode ini adalah prinsip dialog dengan manusia, yaitu metode debat dapat digunakan untuk berbicara dengan orang-orang yang sombong dan keras kepala dan bagi orang-orang yang fitrahnya masih sehat dan bersih, yang diperlukan hanyalah dengan metode hikmah dan nasehat.[6]

Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, alasan ketiga metode dakwah tersebut disebutkan dalam ayat ini adalah karena tabligh dan dakwah harus ditujukan untuk mengajak manusia kepada Allah yang harus jauh dari berbagai bentuk keraguan, dan tidak boleh dianggap sebagai sarana untuk memperkuat posisi diri sendiri di tengah masyarakat.[7]

Para ahli tafsir menganggap ayat di akhir ayat sebagai tanda bahwa tugas Nabi Muhammad saw hanyalah menyampaikan risalah; Namun hanya Allah yang mengetahui siapa yang mendapat petunjuk atau siapa yang menempuh jalan kekufuran dan tidak tahu berterimakasih.[8]

Teks dan Terjemahan Ayat

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
[Qs. An-Nahl: 125]

Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pengajaran yang baik serta debatlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang paling tahu siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia (pula) yang paling tahu siapa yang mendapat petunjuk. (Qs. An-Nahl: 125)

Tiga Metode Mengajak kepada Allah

Dalam surat an-Nahl ayat 125 disebutkan tiga cara berdakwah atau mengajak manusia kepada Allah, yaitu hikmah, dakwah yang baik, dan berdebat dengan cara yang lebih baik.[9] Murtadha Muthahari seorang pemikir dan cendekiawan Syiah, mengatakan tentang alasan kekhususan menyeru kepada Allah dengan tiga metode dalam ayat ini adalah sebagian dari manusia adalah orang-orang yang bijaksana, berakal dan bernalar kuat yang oleh karenanya seorang pendakwah harus masuk melalui kebijaksanaan, berakal dan bernalar kuat. Beberapa orang tidak tahu apa-apa dan lalai sehingga perlu diberi pengarahan dan pengajaran. Sebagian orang berperilaku arogan dan keras kepala, yang mereka harus dihadapi dengan berdialog dan berdebat yang tentu saja dengan argumentasi yang baik.[10] Ketiga cara tersebut menurut Allamah Thabathabai sama dengan tiga istilah yang terkenal dalam ilmu mantiq yaitu burhan, khatabah dan jidal.[11]

Metode Hikmah

Syekh Thabarsi menyebut hikmah terdapat dalam Ayat Dakwah di dalam Al-Qur’an.[12] Menurut Allamah Thabathabai, hikmah itu sama dengan argumentasi yang logis, sehingga tidak ada lagi keraguan atau ambiguitas bagi para pendengarnya.[13] Sebagian ahli tafsir juga menganggap hikmah adalah ilmu dan pengetahuan yang dapat mencegah kerusakan dan penyimpangan, membangunkan akal-akal yang tertidur dan memisahkan antara yang hak dan yang batil.[14]

Metode Pengarahan

Cara kedua mengajak kepada Allah berdasarkan Ayat Dakwah, adalah dengan menggunakan pengajaran dan pengarahan yang menyentuh emosional manusia[15] dan memberikan perhatian, kelemahlembutan dan kebaikan pada jiwa dan raga manusia[16] Metode ini memberi dorongan dan semangat kepada manusia agar meninggalkan keburukan-keburukan dan melakukan perbuatan-perbuatan baik. Sehingga keburukan-keburukan dalam pandangan mereka menjadi kebencian dan perbuatan baik terasa nikmat bagi mereka. Menurut Tabarsi, seorang pendakwah yang berbicara kepada manusia dengan lemah lembut akan melembutkan hati mereka dan menaburkan benih kerendahan hati di hati-hati mereka.[17]

Mughniyah juga mengatakan mengenai penyampaian yang baik bahwa sedemikian rupa seseorang berupaya menghindari metode menghukum dan mencela, dan berbicara dengan pelaku maksiat dengan cara sarkastik sehingga tanpa sadar ia akan merasa bersalah.[18] Menurut Makarim Syirazi, dakwah yang efektif adalah dakwah yang terbebas dari kekerasan, arogansi dan penghinaan terhadap pihak lain yang itu dapat memicu sikap keras kepala, dan jika syarat-syarat ini tidak dipenuhi, maka kemungkinan terjadinya efek sebaliknya sangat tinggi[19]

Berdebat dengan Cara yang Baik

Metode mengajak kepada Allah swt yang ketiga menurut Ayat Dakwah adalah berdebat dengan cara yang baik melalui dialog. Cara ini dianggap khusus bagi mereka yang pikirannya dipenuhi persoalan-persoalan yang salah dan hendaknya dijernihkan pikirannya melalui perdebatan agar siap menerima kebenaran. Juga telah dikatakan bahwa metode ini tidak boleh disertai dengan hinaan, celaan dan debat kusir agar apa yang disampaikan berefek positif bagi orang-orang.[20] Allamah Thabathabai, mengutip riwayat dari Imam Shadiq as, mengatakan bahwa makna jidal ahsan adalah perdebatan menurut tradisi Al-Qur'an, yang di dalamnya adab Allah swt ditempatkan sebagai teladan dan pedoman.[21] Menurutnya, hujjah atau argumen yang digunakan dalam jidal ahsan adalah sumber-sumber yang juga diakui dan diterima oleh pihak yang dihadapi berdialog.[22]

Catatan Kaki

  1. Mudarrisi, Min Hudā al-Qur'ān, jld. 6, hlm. 154; Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 11, hlm. 455; Fadhlullah, Min Wahy al-Qur'ān, jld. 13, hlm. 321.
  2. Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 11, hlm. 455.
  3. Rezai Isfahani, Tafsir-e Qur'an-e Mehr, jld. 11, hlm. 356.
  4. Thabrasi, Majma' al-Bayān, jld. 6, hlm. 605.
  5. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 12, hlm. 371.
  6. Shadeqi Tehrani, al-Furqān, jld. 16, hlm. 533.
  7. Mughniyah, al-Kāsyif, jld. 4, hlm. 564.
  8. Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 11, hlm. 455; Mughniyah, al-Kāsyif, jld. 4, hlm. 564.
  9. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 12, hlm. 371-374.
  10. Muthahari, Asyna'i Ba Qur'an, jld. 5, hlm. 72.
  11. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 12, hlm. 371-374.
  12. Thabrasi, Majma' al-Bayān, jld. 6, hlm. 605.
  13. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 12, hlm. 371.
  14. Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 11, hlm. 455; Mughniyah, al-Kāsyif, jld. 4, hlm. 564.
  15. Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 11, hlm. 455.
  16. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 12, hlm. 371-372.
  17. Thabrasi, Majma' al-Bayān, jld. 6, hlm. 605.
  18. Mughniyah, al-Kāsyif, jld. 4, hlm. 564.
  19. Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 11, hlm. 456.
  20. Makarim Syirazi, Tafsir-e Nemune, jld. 11, hlm. 456-457.
  21. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 12, hlm. 373-377.
  22. Thabathabai, al-Mīzān, jld. 12, hlm. 372.

Daftar Pustaka

  • Alquran
  • Fadhlullah, Muhammad Husain. Min Wahy al-Qur'ān. Beirut: Dar al-Mullak, 1419 H.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Tafsir-e Nemune. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyyah. Cet. 2, 1371 HS/1992.
  • Mudarrisi, Muhammad Taqi. Min Hudā al-Qur'ān. Teheran: Dar Muhibbi al-Husain, 1419 H.
  • Mughniyah, Muhammad Jawad. Al-Kāsyif Fī Tafsīr al-Qur'ān. Teheran: Dar al-Kitab al-Islami, 1424 H.
  • Muthahari, Murtadha. Asyna'i Ba Qur'an. Teheran: Shadra, 1389 HS/2010.
  • Rezai Isfahani, Muhammad Ali. Tafsir-e Qur'an-e Mehr. Qom: Pazuhesygaha-e Tafsir va Ulum-e Qur'an, 1387 HS/2008.
  • Shadeqi Tehrani, Muhammad. Al-Fur'qān Fī Tafsīr al-Qur'an. Qom: Farhangg-e Eslami, 1406 H.
  • Thabathabai, Sayid Muhammad Husein. Al-Mīzān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Beirut: Yayasan al-A'lami Li al-Mathbu'at. Cet. 2, 1390 H.
  • Thabrisi, Fadhl bin Hasan. Majma' al-Bayān Fī Tafsīr al-Qur'ān. Teheran: Nashir Khusru, 1372 HS/1993.