Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab
Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar bin Khattab (Bahasa Arab: زواج أم كلثوم من عمر بن الخطاب) merupakan salah satu peristiwa bersejarah yang mana dalam kejadian, cara dan motivasinya terjadi perbedaan pendapat antara Syiah dan Ahlusunnah. Sebagian Ahlusunnah meyakini pernikahan ini sebagai bukti atas tidak adanya perbedaan antara Imam Ali as dan Umar bin Khattab dan menegaskan akan terjadinya pernikahan tersebut. Beberapa sumber Syiah menolak terjadinya pernikahan tersebut dan menganggap penukilan-penukilan yang ada terkait masalah ini tidak valid. Namun, beberapa sumber Syiah lainnya, dengan menerima kejadian ini, meyakininya sebagai perrnikahan yang dipaksakan dan menolak klaim bahwa tidak ada perbedaan antara Imam Ali as dan Umar bin Khattab. Banyak buku-buku yang ditulis mengenai pernikahan ini.
Alasan Pernikahan
Ummu Kultsum adalah anak keempat Imam Ali as dan Fatimah Zahra sa. Beberapa sumber menyebutkan pernikahannya dengan Umar bin Khattab, khalifah kedua.
Alasan pentingnya pernikahan ini dalam sumber-sumber Syiah dan Sunni karena hasil yang akan diambil darinya oleh sebagian ulama Ahlusunnah. Mereka meyakini terjadinya pernikahan ini sebagai bukti atas tidakadanya perselisihan antara Imam Ali as dengan Umar bin Khattab paska peristiwa Saqifah. Dan, mereka menyakini penetapan pernikahan ini memiliki arti penafian perebutan kekhalifahan dan pengingkaran kesyahidan Sayidah Zahra sa.[1]
Sebaliknya, beberapa ulama Syiah menjawab bahwa sekalipun pernikahan ini dapat dibuktikan, namun itu dilakukan tanpa restu Imam Ali as dan muncul dari pemaksaan.[2] Terdapat beberapa riwayat dalam sumber-sumber hadis Syiah yang menguatkan klaim ini.[3]
Motivasi Pernikahan
Diriwayatkan bahwa Umar berkata, "Hal yang mendorongku pada pernikahan ini bukan karena kenikmatan dan kepuasan, namun aku mendengar Nabi saw bersabda, 'Pada hari kiamat semua hubungan nasab dan sebab akan terputus, kecuali nasab dan sebabku.'"[4]
Dalam sumber Syiah, riwayat ini dinukil juga dari Imam Ridha As.[5] Namun dalam mengomentari masalah ini dikatakan, "Sekiranya riwayat yang dijadikan sandaran Umar dan Ahlusunah ini benar, syaratnya adalah Rasulullah Saw ridha kepadanya dan jika tidak maka pada hari Kiamat keluarga Nabi lainnya seperti Abu Jahal akan aman dari siksa neraka."[6] Dari sisi lain, Umar pernah menikahkan putrinya, Hafshah, dengan Rasulullah saw yang membuatnya sudah memiliki hubungan dengan Nabi saw.
Pendapat Pertama: Terjadi Pernikahan
Mayoritas Ahlusunnah menekannkan terjadinya pernikahan ini dan bahkan mereka menyebutkan kadar maskawin dan nama anak-anak yang lahir dari pernikahan ini.
Thabari menjelaskan peristiwa pernikahan, "Awalnya Umar melamar Ummu Kultsum putri Abu Bakar melalui Aisyah dan Aisyah berbicara lamaran Umar pada saudarinya itu. Namun Ummu Kultsum menolak lamaran tersebut karena kehidupan keras Umar dan mempersulit para wanita. Amru bin 'Ash menyampaikan penolakan itu pada Umar, lalu memperkenalkan Ummu Kultsum putri Ali as sehingga ia dan Rasulullah Saw akan memiliki hubungan.[7]
Sebagian sumber Ahlusunnah juga menyebutkan lamaran Umar tanpa adanya perantara, "Umar melamar Ummu Kultsum dari Ali As. Dalam menjawab lamaran tersebut, Ali As berkata, "Ia masih kecil." Umar berkata, "Ia bukan anak kecil dan engkau tidak ingin memberikannya padaku. Jika demikian, kirimlah ia padaku hingga aku melihatnya." Imam as mengirim Ummu Kultsum kepada Umar. Umar yang melihatnya berkata, "Katakanlah pada ayahmu: Bukanlah seperti yang engkau katakan!" Kemudian Ali As menyetujui pernikahan mereka."[8]
Dalam sumber Ahlusunnah lainnya disebutkan bahwa Umar menyentuh sarung kaki Ummu Kultsum dan melepaskannya. Ummu Kultsum berkata, "Jika engkau bukan seorang khalifah, telah kubutakan matamu dan kupatahkan hidungmu." Ummu Kultsum pulang menemui ayahnya dan mengadukan perbuatan Umar seraya berkata, "Engkau telah mengutus aku pada seorang kakek bejat."[9] Mengenai perbuatan Umar ini, Sabath bin Jauzy berkata, "Demi Allah, perbuatan seperti ini adalah buruk, bahkan jika ia seorang budak wanita sekalipun; Umar tidak punya hak untuk melakukan hal tersebut karena menurut ijma' kaum muslimin tidak boleh (haram) menyentuh wanita non mahram."[10]
Sebagian ulama Syiah menerima terjadinya peristiwa ini.[11] Kulaini menukil sebuah riwayat dimana Ali as membawa Ummu Kultsum kembali ke rumahnya setelah kematian Umar.[12]
Sebagian sumber menyebutkan bahwa penanggung jawab pernikahan ini adalah Imam Ali as[13], sebagian menyebut Abbas bin Abdul Muthalib dan sebuah riwayat menyebut Imam Hasan as dan Imam Husain as.
Pernikahan Yang Dipaksakan
Sekelompok ulama Syiah dengan bersandar pada riwayat yang ada terkait masalah ini menyetujui terjadinya pernikahan tersebut dan menyakini bahkwa pernikahan itu dilakukan secara paksa dan tidak dari keinginan hati. Misalnya, Sayid Murtadha mengatakan, 'Imam Ali as menerima pernikahan ini karena terpaksa dan dalam rangka taqiyah serta atas perantara Abbas pamannya'. Dalam menjawab pertanyaan mengenai pernikahan Umar dengan Ummu Kultsum ia berkata: "Pernikahan ini tidak dilakukan dengan kehendak dan keinginan Imam Ali as. Akan tetapi, itu terjadi setelah terjadi pelamaran yang berulang kali dan pemaksaan yang hampir berujung pada perkelahian."[14] Dalam hal ini juga terdapat beberapa riwayat yang dinukilkan. Contohnya, Imam Shadiq as berkenaan dengan pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar ditanya, dan beliau menjawab: "Ini adalah pernikahan pertama dalam Islam yang direbut".[15]
Dalam kitab al-Kafi juga dimuat: "Amirul Mukminin Ali as menolak lamaran Umar dan berkata padanya, "Ia hanyalah anak perempuan kecil." Umar pergi menemui Abbas bin Abdul Muthalib, paman Ali as, dan mengancamnya, "Demi Allah, aku akan menghancurkan sumur Zamzam dan aku tidak akan bermurah hati kepadamu serta akan kupanggil saksi bahwa Ali as pernah mencuri dan akan kupotong tangan kanannya." Abbas menceritakan hal tersebut kepada Ali as dan ia meminta menyerahkan perkara ini padanya dan Ali As pun mengabulkannya."[16]
Pendapat Kedua: Tidak terjadi Pernikahan
Kebalikan dari pendapat pertama, sebagian ulama Syiah mengingkari kejadian ini. Syaikh Mufid dalam hal ini mengatakan: "Hadis yang masuk dalam bab pernikahan Ummu Kultsum tidak dapat dibuktikan kebenarannya dan Zubair bin Bakkar yang meriwayatkan hadis tersebut adalah seorang yang tertuduh dan musuh Amirul Mukminin as."[17] Dalam buku lainnya, ia menerima masalah tersebut dan meriwayatkannya.[18]
Ibnu Syahr Asyub menukil perkataan Abu Muhammad Nubakhti yang mengatakan, "Terjadi akad nikah, tetapi Ummu Kultsum masih kecil. Umar bersabar hingga ia dewasa, namun sebelum bercampur dengannya Umar telah meninggal."[19]
Dzabihullah Mahallati menuliskan, "Dengan sedikit merenung, secara yakin kita mendapati bahwa peristiwa ini sama sekali tidak dapat diterima.[20] Dalam menjelaskan peristiwa ini, sebagian ulama kontemporer juga menyebut bukti-bukti tidak adanya peristiwa pernikahan ini."[21]
Agha Buzurgh Tehrani menyebutkan buku-buku yang pernah ditulis dalam menyanggah pernikahan ini, antara lain:
- Ifahamu al-'A'dai wa al-Khushumi fi Nafyi 'Aqdi Ummi Kultsum, karya Nashir Husain bin Amir Hamid Husain.[22]
- Tazwiiju Ummi Kultsum binti Amiril Mukminin wa Inkaru Wuqu'ihi (Itsbatu 'Adamihi), karya Syaikh Muhammad Jawad Balaghi.[23]
- Raddul Khawarij fi Jawabi Raddi Syi'ah, ditulis dalam bahasa Urdu dan dicetak di Lahor.[24]
- Risalah fi Tazwiji Umar li Ummi Kultsum binti Ali As, karya Syaikh Sulaiman bin Abdullah Mahuzi dimana ia dalam risalah ini menolak pernikahan tersebut seperti Syaikh Mufid dan Ibnu Syahr Asyub.[25]
- Al'ajalah al-Mufahalah fi Ibthali Riwayati Nikahi Ummi Kultsum, karya Sayyid Mustafa Deldar Ali Naqawi.[26]
- Qaulu Mahtum fi 'Aqdi Ummi Kultsum, karya Sayyid Karamat Ali Hindi.[27]
- Kanzu Maktum fi Halli 'Aqdi Ummi Kultsum, karya Sayyid Ali Azhar Al-Hindi.[28]
Telah dicetak pula buku-buku ulama kontemporer yang menjelaskan dan mengkaji peristiwa ini, seperti Tazwiju Ummi Kultsum min Umar dan Fi Khabari Tazwiji Ummi Kultsum min Umar karya Sayyid Ali Milani.[29]
Pendapat Ketiga: Ummu Kultsum Putri Abu Bakar
Beberapa ulama memberikan kemungkinan bahwa Ummu Kultsum yang menikah dengan Umar adalah putri Abu Bakar, bukan putri Imam Ali as. Nawawi adalah salah seorang ulama Ahlusunnah yang dalam buku Tahdzib al-Asma' juga menerima kemungkinan ini. [30]Ayatullah Mar'asyi Najafi, dalam catatan kaki buku Ihqaq al-Haq, ketika mendukung pendapat ini, menganggap Ummu Kultsum sebagai putri Asma' binti 'Umais dari Abu Bakar. Setelah kematian Abu Bakar, Asma' menikah dengan Imam Ali as dan gadis inipun dibawa ke rumahnya, lalu Umar menikah dengan gadis ini. Karena ia dianggap sebagai anak tiri Imam Ali as, maka sejumlah orang keliru mencatat Ummu Kultsum putri Abu Bakar dengan Ummu Kultsum, putri Imam Ali as dalam sejarah. [31]
Catatan Kaki
- ↑ Silakan rujuk: Izdiwaje Ummu Kultsum ba Umar wa 'Illate Izdiwaje Ummu Kultsum ba Umar (Pernikahan Ummu Kultsum dengan Umar dan sebabnya)
- ↑ Sayid Murtadha, Rasail, jld. 3, hlm. 149
- ↑ Kulaini, Kafi, jld. 5, hlm. 366
- ↑ Sunan Baihaqi, jld. 7, hlm. 64. Al-Mushannif, jld. 6, hlm. 164.
- ↑ Wasail asy-Syiah, jld. 20, hlm. 38.
- ↑ Gharawi Naini, Muhdatsati Syiah, hlm. 102.
- ↑ Tarikh Thabari, jld. 4, hlm. 270.
- ↑ Thabaqat Ibnu Sa'ad, jld. 8, hlm. 463.
- ↑ Al-Ishabah, jld. 8, hlm. 464; Sair 'Alami an-Nubala, jld. 3, hlm. 501.
- ↑ Ibnu Jauzi, Tadzkirah al-Khawash, hlm. 321.
- ↑ Syusytari, Qamus al-Rijal, jld. 12, hlm. 216; Alamul Huda, Rasail, jld. 3, hlm. 149; Kulaini, Kafi, jld. 5, hlm. 346
- ↑ Kulaini, Kafi, jld. 6, hlm. 115 dan 116.
- ↑ Ibnu Sa'd, al-Thabaqat al-Kubra, jld. 8, hlm. 463.
- ↑ Alamul Huda, Rasail, jld. 3, hlm. 149
- ↑ Kulaini, Kafi, jld. 5, hlm.366
- ↑ Kualini, Kafi, jld. 5, hlm. 346.
- ↑ Mufid, al-Masail al-Sarwiyah, hlm. 86 dan 87
- ↑ Mufid, al-Masail al-Abkariyah, hlm. 60
- ↑ Ibnu Syahrasyub, Al-Manaqib, jld. 3, hlm. 189.
- ↑ Mahallati, Riyahin al-Syari'ah, jld. 3, 245.
- ↑ Anshari Zanjani, Al-Mausu'ah al-Kubra 'an Fathima Az-Zahra, jld. 7, hlm. 340-354.
- ↑ Tehrani, al-Dzariah, jld. 12, hlm. 257.
- ↑ Tehrani, al-Dzariah, jld. 4, hlm. 172; jld. 11, hlm. 146.
- ↑ Tehrani, al-Dzariah, jld. 10, hlm. 175.
- ↑ Tehrani, al-Dzariah, jld. 11, hlm. 146.
- ↑ Ibid, jld. 15, hlm. 223.
- ↑ Tehrani, al-Dzariah, jld. 17, hlm. 214.
- ↑ Tehrani, al-Dzariah, jld. 18, hlm. 168.
- ↑ Situs Sayid Ali Husaini Milani
- ↑ Nawawi, Tahdzib al-Asma', jld. 2, hlm. 630
- ↑ Syusytari, Ihqaq al-Haq, jld. 2, hlm. 490
Daftar Pustaka
- 'Alamul Huda, Sayyid Murtadha. Rasail. Qom: Dar al-Quran, 1405 H.
- 'Amili, Muhammad bin al-Hasan al-Hurr. Wasail al-Syi'ah ila Tahshili Masail al-Syari'ah. Qom: Alulbait, 1414 H.
- Anshari Zanjani, Ismail. Al-Mausu'ah al-Kubra 'an Fathima Az-Zahra. Qom: Dalil-e Ma, 1428 H.
- Baihaqi, Ahmad bin Husain. Al-Sunan al-Kubra. TanpaTempat, Darul Fikr, Tanpa Tahun.
- Dzahabi, Muhammad bin Ahmad. Siar 'Alami al-Nubala. Beirut: Yayasan al-Risalah, 1413 H.
- Gharawi Naini, Nahlah. Muhaditsat Syiah. Teheran: Daneshgah Tarbiyat-e Madaris, 1387 HS.
- Ibnu 'Abdilbar, Ahmad bin 'Abdullah. Al-Isti'ab fi Ma'rifat al-Shahabah. Beirut: Dar al-Jail, 1412 H.
- Ibnu 'Askari, Ali bin Hasan. Tarikh Madinah Dimasyq. Beirut: Dar al-Fikr, 1415 H.
- Ibnu Atsir, 'Ali bin Abil Karam. Usd al-Ghabah fi Ma'rifat al-Shahabah. Beirut: Darul Kitab al-'Arabi, Tanpa Tahun.
- Ibnu Jauzi, Yusuf bin Qazawughuli. Tadzikrah al-Khawash. Qom: Majma' Jahani Ahlilbait, 1426 H.
- Ibnu Sa'ad, Muhammad bin Mani' al-Bashri. Al-Thabaqat al-Kubra. Beirut: Daru Shadir, Tanpa Tahun.
- Ibnu Syahr Asyub, Muhammad bin Ali. Manaqib Ali bin Abi Thalib. Najaf: al-Mathbu'ah al-Haidariyah, 1376 H.
- Kulaini, Muhammad bin Yaqub. Ushul Kafi. Riset: Ali Akbar Ghaffari. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1363 HS.
- Mahallati, Dzabihullah. Riyahin al-Syariah. Teheran: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1368 H.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Masail al-'Akbariyah. Beirut: Dar al-Mufid, 1414 H.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man. Al-Masail al-Sarwiyah. Riset: Shaib 'Abdulhamid. Beirut: Dar al-Mufid, 1414 H.
- Shan'ani, Abdurazaq. Al-Mushannif. Riset oleh Syaikh Abdurahman A'zhami.
- Syusytari, Muhammad Taqi. Qamus al-Rijal. Qom: Jamiah Mudarisin, 1419 H.
- Tehrani, Agha Buzurg. Al-Dzari'ah ila Tashanif al-Syia'h. Beirut: Dar al-Adhwa, 1403 H.
- Thabari, Muhammad bin Jarir. Tarikh al-Umam wal Muluk. Beirut: Yayasan 'Alami, 1430 H.