Konsep:Mazaq Syari
Mazaq Syari (bahasa Arab:مذاق الشارع) atau Mazaq Syara (bahasa Arab:مذاق الشرع) merupakan suatu metode penalaran yang bertujuan menyingkap orientasi dan kecenderungan pada Syari'. Pendekatan ini diperoleh oleh seorang mujtahid melalui pengamatan terhadap kumpulan prinsip-prinsip umum, kebijakan, serta sikap Syariat yang tercermin dalam berbagai ketentuan hukum. Dengan metode tersebut, mujtahid berusaha memahami arah pandangan Syariat terhadap persoalan-persoalan yang tidak memiliki nash atau dalil eksplisit.
Istilah Mazaq Syari' menjadi populer di kalangan fuqaha Syiah periode muta’akhirin (akhir). Disebutkan bahwa tokoh pertama yang menggunakannya—meskipun dengan istilah Mazaq Ashab—adalah Al-Sayyid Muhammad Jawad al-'Amili. Setelah itu, konsep ini banyak digunakan oleh Shahib Jawahir, hingga akhirnya dikenal luas dan mapan dalam literatur fikih.
Pembahasan mengenai Mazaq Syari' dan cara menyingkapnya termasuk persoalan yang sangat penting dalam proses istinbath hukum, terutama dalam menghadapi persoalan-persoalan mustahdatsah (kontemporer atau baru). Penetapan hukum terhadap kasus-kasus yang tidak memiliki landasan langsung dari Al-Qur’an, Sunnah, maupun dalil-dalil lainnya, serta penentuan objek hukum (maudhu'), merupakan bidang-bidang fikih yang sering memanfaatkan pendekatan Mazaq Syari'.
Untuk dapat memahami Mazaq Syari' secara tepat, diperlukan penguasaan yang mendalam terhadap hukum-hukum Syariat, berikut prinsip-prinsip umum dan kecenderungan Syari' dalam berbagai permasalahan. Terkait kehujjahannya (validitasnya sebagai dalil), para ulama menyatakan bahwa apabila pendekatan ini menghasilkan keyakinan yang pasti (qath') terhadap hukum Syariat, maka ia dianggap hujjah dan dapat dijadikan pegangan. Namun, apabila hanya melahirkan dugaan (zhan), maka tidak terdapat dalil yang menunjukkan keabsahan dan kekuatan hukumnya.
Selain istilah Mazaq Syari', dalam literatur fikih juga dijumpai sejumlah istilah lain yang digunakan dengan makna yang berdekatan, seperti Dzauq Syariat (rasa atau intuisi Syariat), Mazaq Masyhur, Mazaq Fiqh, dan Ruh Syariat.
Terminologi
"Mazaq Syari'" merupakan gaya dan metode penalaran Syari' yang dipahami oleh seorang Mujtahid melalui penelaahan terhadap himpunan prinsip-prinsip dasar dan sikap-sikap Syariat dalam berbagai hukum. Melalui metode ini, mujtahid berupaya menyingkap pandangan Syari' dalam kasus-kasus yang belum memiliki penegasan atau pernyataan eksplisit.[1] Dalam definisi lain, Mazaq Syari' dipahami sebagai kedalaman pemahaman para fukaha (mutabahhir) terhadap fondasi-fondasi hukum fikih, yang dijadikan rujukan ketika tidak ditemukan dalil khusus, keumuman dalil, maupun kaidah-kaidah umum yang dapat diterapkan.[2]
Kasyif al-Ghita, salah seorang Marja Taklid Syiah abad ke-13 H, mengisyaratkan adanya suatu bentuk makrifat (pengetahuan) yang terbentuk dalam benak mujtahid melalui penggunaan dzauq salim (selera yang lurus), setelah melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap kumpulan dalil-dalil Syariat.[3] Sejumlah peneliti memandang makrifat yang dimaksud ini sebagai bentuk Mazaq Syari', meskipun Kasyif al-Ghita sendiri tidak menyebutkannya secara eksplisit dengan istilah tersebut.[4]
Istilah-istilah seperti "Mazaq Syar'",[5] "Dzauq Syariat",[6] "Mazaq Masyhur",[7] "Mazaq Fiqh"[8] dan "Mazaq Ashab"[9] merupakan istilah-istilah lain yang dalam sejumlah karya fikih digunakan oleh para fukaha untuk merujuk pada makna yang sepadan dengan "Mazaq Syari'". Selain itu, sebagian fukaha juga menggunakan istilah "Ruh Syariat" untuk mengungkapkan konsep yang sama.[10]
Kedudukan
Istilah "Mazaq Syari'" lazim digunakan di kalangan fukaha Syiah mutaakhirin (periode akhir).[11] Karena konsep ini digunakan oleh para fukaha dalam proses istinbath hukum-hukum Syariat, ia juga memperoleh perhatian dari para pakar Ushul Fikih. Hal ini tampak dalam sejumlah karya ushul fikih kontemporer yang membahas syarat-syarat kehujjahan (validitas), serta metode penyingkapan dan cara pencapaian Mazaq Syari'.[12]
Haidar Hobbollah, seorang peneliti fikih dan pengajar di Hauzah Ilmiah Qom, menyatakan bahwa ia tidak menemukan penggunaan istilah ini dalam fikih Ahlusunah. Menurutnya, Al-Sayyid Muhammad Jawad al-'Amili (1160–1228 H) merupakan fukaha pertama yang mengisyaratkan konsep Mazaq Syari' dalam karyanya, Miftah al-Karamah, meskipun dengan menggunakan istilah "Mazaq Ashab".[13]
Setelah Husseini Amili, Shahib Jawahir menggunakan istilah ini secara luas dalam Jawahir al-Kalam,[14] sehingga konsep tersebut semakin dikenal dan mendapat perhatian di kalangan fukaha generasi berikutnya. Penggunaannya kemudian dapat ditemukan secara signifikan dalam karya-karya para fukaha seperti Agha Ridha Hamedani,[15] Sayid Abul Qasim Khui,[16] Sayid Muhsin Hakim[17] serta Imam Khomeini.[18]
Pentingnya
Shahib Jawahir memandang pemahaman dan penyingkapan Mazaq Syari' sebagai suatu nikmat (rezeki) yang dianugerahkan Allah kepada orang yang berhasil mencapainya.[19] Oleh karena itu, Mazaq Syari' beserta upaya penyingkapannya dinilai sebagai salah satu persoalan yang penting dan mendesak dalam ranah ijtihad dan istinbath hukum-hukum Syariat, khususnya ketika berhadapan dengan persoalan-persoalan dan hukum-hukum mustahdatsah (baru).[20]
Dalam kitab Al-Faiq fi al-Ushul, yang disusun oleh sekelompok pengajar Bahtsul Kharij Hauzah Ilmiah Qom di bawah pengawasan Muhammad Mahdi Syab Zindeh-dar sebagai buku ajar hauzah ilmiah, satu bab secara khusus dialokasikan untuk membahas Mazaq Syari', meliputi terminologi, metode penyingkapan, serta pembahasan kehujjahannya.[21] Dalam karya tersebut, Mazaq Syari' diposisikan sebagai salah satu sarana untuk memperluas penerapan hukum suatu masalah syar'i yang memiliki dalil khusus kepada masalah syar'i lain yang tidak memiliki dalil khusus.[22] Disebutkan pula bahwa sebab-sebab dan mekanisme perluasan hukum semacam ini sangat dibutuhkan oleh para fukaha dalam posisi istinbath hukum-hukum Syariat, terutama ketika menghadapi persoalan-persoalan syar'i yang baru muncul.[23]
Mahdi Mehrizi, seorang peneliti fikih asal Iran, dalam pengantar buku Bibliografi Ushul Fikih Syiah, menilai pembahasan tentang Mazaq Syari' dan tema-tema sejenisnya sebagai isu yang memiliki peran kunci dalam proses istinbath hukum-hukum Syariat. Ia bahkan memandang bahwa topik-topik tersebut lebih layak untuk mendapat perhatian serius dibandingkan sejumlah pembahasan dalam ilmu ushul fikih yang dinilai kurang memberikan manfaat praktis.[24]
Cara Memahami Mazaq Syari
Beberapa metode yang dapat ditempuh untuk memahami dan menyingkap Mazaq Syari' antara lain sebagai berikut:
- Penguasaan yang menyeluruh terhadap hukum-hukum Syariat, prinsip-prinsip dasarnya, serta sikap dan orientasi Syari'.[25] Untuk menyingkap Mazaq Syari', seorang mujtahid dituntut memiliki penguasaan atas keseluruhan hukum-hukum Syariat dan sikap Syari' dalam berbagai bidang. Apabila yang ingin diketahui adalah Mazaq Syari' dalam suatu persoalan khusus, maka ia perlu menguasai sikap Syari' dalam bab atau bab-bab fikih yang berkaitan langsung dengan persoalan tersebut.[26]
- Apabila Syari' menetapkan suatu hukum terhadap perkara yang memiliki batas atas dan batas bawah, dan penetapan tersebut tertuju pada batas bawahnya, maka Mazaq Syari' dapat disimpulkan dari ketentuan tersebut dan diperluas penerapannya hingga mencakup batas atasnya.[27] Sebagai contoh, salah satu syarat taklid kepada seorang Marja' Taklid adalah bersifat adil. Namun, tidak terdapat dalil lafaz khusus yang secara tegas menjelaskan apakah keadilan ini hanya disyaratkan pada awal taklid atau harus terus berlanjut (istimrar). Berdasarkan hal ini, sebagian ulama—dengan memperhatikan bahwa Syari' mensyaratkan keadilan bagi Imam Jamaah baik pada awal maupun kelanjutannya—menyimpulkan bahwa melalui Mazaq Syari' dapat dipahami bahwa keadilan bagi seorang Marja Taklid, yang memiliki kedudukan lebih penting dan sensitif, harus menjadi syarat baik di awal taklid maupun dalam kelanjutannya.[28]
- Memahami metode Syari' dalam menjelaskan dan menurunkan ketentuan-ketentuan syariat.[29] Sebagai ilustrasi, terkait hukum jarak antara laki-laki dan perempuan yang berdiri sejajar dalam Salat, terdapat sejumlah riwayat yang menyebutkan jarak yang berbeda-beda, seperti satu jengkal, satu hasta, dan satu langkah.[30] Sayid Muhammad Muhaqqiq Damad berpendapat bahwa kepatuhan terhadap jarak-jarak tersebut tidak mungkin bersifat Wajib. Alasannya, di satu sisi, jarak-jarak yang disebutkan dalam riwayat-riwayat tersebut tampak tidak seragam dan tersebar; sementara di sisi lain, dari Mazaq Syari' dalam perkara-perkara yang bersifat wajib—seperti penentuan jarak syar'i untuk salat qashar dan penetapan nisab dalam Zakat—dapat dipahami bahwa dalam hukum-hukum ilzami tidak dijumpai perbedaan dan ketidakteraturan semacam itu dalam dokumen-dokumen syar'i.[31]
Penerapan Mazaq Syari dalam Fikih
Beberapa contoh penerapan Mazaq Syari' dalam proses istinbath hukum-hukum Syariat antara lain sebagai berikut:
- Menetapkan hukum pada kasus-kasus yang tidak memiliki dalil langsung dari Al-Qur'an, Sunnah, maupun dalil-dalil lainnya;[32] dalam sejumlah keadaan, melalui penyingkapan Mazaq Syari', hukum suatu kasus yang memiliki dalil syar'i diperluas penerapannya kepada kasus lain yang tidak memiliki dalil syar'i;[33] Sebagai contoh, Sayid Abul Qasim Khui dalam pembahasannya tentang keharaman menjerumuskan orang lain ke dalam perbuatan haram menyatakan bahwa menjual minyak Najis kepada seorang Muslim menyebabkan orang tersebut terjerumus ke dalam perbuatan haram yang nyata (waqi'i). Oleh karena itu, perbuatan tersebut dihukumi haram dalam syariat Islam; dari sini, melalui Mazaq Syari', dipahami bahwa secara umum menjerumuskan orang lain ke dalam perbuatan haram yang nyata adalah perbuatan yang diharamkan.[34]
- Menjelaskan dan memurnikan (tanqih) subjek hukum;[35] dalam sejumlah kasus, subjek hukum atau batasannya mengandung ambiguitas dan keraguan, yang kemudian dapat dijelaskan dengan merujuk pada Mazaq Syari';[36] Misalnya, dalam pembahasan keharaman Menikahi Dua Perempuan Bersaudara secara bersamaan, muncul persoalan apakah keharaman tersebut juga mencakup kondisi ketika salah satu dari dua saudari tersebut, atau keduanya, lahir dari hubungan tidak sah atau Zina. Dalam hal ini terdapat ketidakjelasan.[37] Sayid Muhsin Hakim berpendapat bahwa meskipun Syari' menafikan nasab syar'i dalam kasus zina, namun dari Mazaq Syari' dapat dipahami bahwa dalam masalah Nikah, tolok ukur yang diperhitungkan bukanlah nasab syar'i (hakiki), melainkan nasab 'urfi (secara adat atau biologis). Dengan demikian, dua saudara perempuan yang salah satu atau keduanya lahir dari jalan tidak sah tetap dianggap sebagai saudara secara 'urf, sehingga menikahi keduanya secara bersamaan tetap dihukumi haram.[38]
- Membatasi penunjukkan (dilalah) suatu dalil pada satu makna tertentu di antara beberapa kemungkinan makna yang ada;[39] Sebagai contoh, dalam sebuah hadis, Imam Shadiq as ditanya mengenai hukum menimbun (ihtikar) bahan makanan, lalu beliau menjawab bahwa jika bahan makanan berlimpah maka hal tersebut tidak bermasalah, sedangkan jika bahan makanan sedikit hingga masyarakat berada dalam kesulitan, maka perbuatan tersebut dinilai makruh.[40] Imam Khomeini dalam Kitab al-Bai' menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “karahat” dalam riwayat ini bukanlah makruh dalam pengertian istilah fikih. Menurut beliau, dengan memperhatikan Mazaq Syari', sangat tidak mungkin penimbunan bahan makanan pokok yang menyebabkan kesulitan masyarakat hanya dihukumi makruh dan bukan Haram.[41]
Contoh Penggunaan Mazaq Syari dalam Istinbath Hukum
Beberapa pandangan fikih yang dihasilkan oleh para fukaha dengan bersandar pada Mazaq Syari' antara lain sebagai berikut:
- Sayid Abul Qasim Khui, dengan bersandar pada Mazaq Syari', mensyaratkan jenis kelamin laki-laki bagi seorang Marja' Taklid.[42] Menurutnya, di satu sisi, kedudukan Marjaiah menuntut para mukallid untuk sering merujuk kepada Marja Taklid mereka dalam berbagai urusan. Di sisi lain, dari Mazaq Syari' dipahami bahwa Syari' menghendaki perempuan untuk berada dalam keadaan tertutup dan lebih berfokus pada urusan rumah tangga, serta tidak merelakan mereka menempatkan diri sebagai pusat rujukan bagi para mukallid atau laki-laki non-mahram.[43]
- Menurut para fukaha, apabila seseorang menitipkan harta kepada orang yang amanah dalam bentuk Wadiah (titipan), dan penerima titipan tersebut menjaganya secara cuma-cuma (gratis), maka apabila harta tersebut rusak tanpa adanya kelalaian darinya, ia tidak berkewajiban untuk menjamin (dhamin) harta tersebut.[44] Namun, terkait kemungkinan pemilik harta mensyaratkan bahwa penerima titipan wajib mengganti harta apabila terjadi kerusakan, Shahib Jawahir menilai bahwa syarat semacam ini tidak sah dan bertentangan dengan Mazaq Syari'.[45]
- Menurut sebagian fukaha, inseminasi buatan pada seorang wanita dengan sperma laki-laki asing (bukan suami), atau dengan kata lain memasukkan sperma laki-laki asing secara langsung ke dalam rahim wanita tanpa adanya kontak fisik, dihukumi haram.[46] Nashir Makarim Syirazi dalam bagian Makasib dari kitab Anwar al-Faqahah menyimpulkan keharaman perbuatan ini berdasarkan Mazaq Syari' dalam upaya pencegahan percampuran nasab.[47]
Validitas Mazaq Syari
Dijelaskan bahwa Mazaq Syari' atau Mazaq Syara', dari sisi validitas (hujjiyat) dan kredibilitasnya, terbagi ke dalam dua bentuk.[48] Pertama, apabila melalui Mazaq Syari' diperoleh kepastian (qath') dan keyakinan terhadap hukum-hukum Syariat, maka dalam kondisi ini ia dipandang sebagai hujjah dan memiliki validitas. Kedua, apabila Mazaq Syari' hanya melahirkan dugaan (zhan), maka dalam keadaan tersebut tidak terdapat dalil yang menunjukkan keabsahan dan kredibilitasnya sebagai hujjah.[49]
Prasyarat Validitas Dalil Mazaq Syari
Disebutkan bahwa pencapaian hukum-hukum Syariat melalui Mazaq Syari' bergantung pada penerimaan tiga prasyarat (asumsi dasar) berikut:
- Syari' memiliki ketentuan hukum pada setiap tempat dan dalam seluruh peristiwa.
- Sifat dasar setiap pembuat hukum adalah tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan gaya (masyrab) dan selera (mazaq)-nya sendiri.
- Hukum yang disimpulkan melalui Mazaq Syari' tidak menghadapi penghalang atau faktor penyaing yang lebih kuat.[50]
Catatan Kaki
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.
- ↑ Tim Penulis, Farhang-name-ye Ushul-e Fiqh, 1389 HS, hlm. 715.
- ↑ Kasyif al-Ghita, Kasyf al-Ghita 'an Mubhamat al-Syari'ah al-Gharra, 1422 H, jld. 1, hlm. 188.
- ↑ Qaderi, "Mazaq-e Syar' dar Keifiyat va E'tebar", hlm. 80-81.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 30, hlm. 195; Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 3, hlm. 414; Syekh Anshari, Kitab al-Makasib, Turats al-Syekh al-A'zham, jld. 4, hlm. 298.
- ↑ Mehrizi, Ketabshenasi-ye Ushul-e Fiqh-e Syi'ah, 1373 HS, hlm. 34.
- ↑ Syekh Anshari, Kitab al-Makasib, Turats al-Syekh al-A'zham, jld. 2, hlm. 28.
- ↑ Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 4, hlm. 298.
- ↑ Husseini Amili, Miftah al-Karamah, 1419 H, jld. 2, hlm. 38.
- ↑ Sebagai contoh lihat: Alavi, Al-Qaul al-Rasyid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Syihabuddin Mar'asyi Najafi), 1422 H, jld. 1, hlm. 427.
- ↑ Tim Penulis, Farhang-name-ye Ushul-e Fiqh, 1389 HS, hlm. 715.
- ↑ Sebagai contoh lihat: Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.
- ↑ Hobbollah, "Al-Ijtihad al-Mazaqi au Mazaq al-Syari' wa Mizaj al-Syari'ah", Situs Resmi Haidar Hobbollah.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 1, hlm. 303 dan jld. 2, hlm. 329 dan jld. 15, hlm. 196 dan jld. 27, hlm. 217 dan jld. 30, hlm. 310.
- ↑ Hamedani, Misbah al-Faqih, 1376 HS, jld. 5, hlm. 253 dan hlm. 130.
- ↑ Khui, Mausu'ah al-Imam al-Khui, 1417 H, jld. 1, hlm. 185 dan 187 dan 200 dan 292 dan jld. 21, hlm. 345 dan jld. 30, hlm. 379.
- ↑ Hakim, Mustamsak al-Urwah al-Wutsqa, 1391 H, jld. 2, hlm. 424 dan jld. 4, hlm. 154 dan jld. 9, hlm. 129 dan jld. 14, hlm. 259.
- ↑ Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 1, hlm. 243 dan jld. 2, hlm. 544 dan jld. 3, hlm. 414 dan jld. 4, hlm. 298.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 30, hlm. 195.
- ↑ Itsna Asyari, "Muqaddimah", dalam kitab Al-Faiq fi al-Ushul, karya Tim Penulis, 1444 H, hlm. 4.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 177-178.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 177.
- ↑ Mehrizi, Ketabshenasi-ye Ushul-e Fiqh-e Syi'ah, 1373 HS, hlm. 33-34.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 231.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 231.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 232.
- ↑ Khui, Mausu'ah al-Imam al-Khui, 1417 H, jld. 1, hlm. 185.
- ↑ Alidust, Asyayeri Monfared, "Estenad-e Fiqhi be Mazaq-e Syari'at dar Bute-ye Naqd", hlm. 20.
- ↑ Sebagai contoh lihat: Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, 1416 H, jld. 5, hlm. 123-127.
- ↑ Jawadi Amuli, Mu'min, Kitab al-Shalat (Taqrirat pelajaran Sayid Muhammad Muhaqqiq Damad), Yayasan al-Nasyr al-Islami, jld. 3, hlm. 26.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 233.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 233.
- ↑ Khui, Mausu'ah al-Imam al-Khui, 1417 H, jld. 35, hlm. 181.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 234.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 234.
- ↑ Tabataba'i Yazdi, Al-Urwah al-Wutsqa, 1417 H, jld. 5, hlm. 551.
- ↑ Hakim, Mustamsak al-Urwah, 1391 H, jld. 14, hlm. 259.
- ↑ Hobbollah, "Al-Ijtihad al-Mazaqi au Mazaq al-Syari' wa Mizaj al-Syari'ah", Situs Resmi Haidar Hobbollah.
- ↑ Kulaini, Al-Kafi, 1407 H, jld. 5, hlm. 165.
- ↑ Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 3, hlm. 607-608.
- ↑ Gharavi Tabrizi, Kitab al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Abul Qasim Khui), 1410 H, hlm. 226.
- ↑ Gharavi Tabrizi, Kitab al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Abul Qasim Khui), 1410 H, hlm. 226.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 27, hlm. 216.
- ↑ Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 27, hlm. 217.
- ↑ Sebagai contoh lihat: Fadhil Lankarani, Ahkam-e Pezesykan va Bimaran, 1427 H, hlm. 98.
- ↑ Makarim Syirazi, Anwar al-Faqahah (Al-Makasib), 1426 H, hlm. 59.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 237.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 237.
- ↑ Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.
Daftar Pustaka
- Alavi, Sayid Adil. Al-Qaul al-Rasyid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Syihabuddin Mar'asyi Najafi). Qom, Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1422 H.
- Alidust, Abul Qasim dan Muhammad Asyayeri Monfared. "Estenad-e Fiqhi be Mazaq-e Syari'at dar Bute-ye Naqd". Jurnal Huquq-e Eslami, No. 22, Musim Gugur 1388 HS.
- Fadhil Lankarani, Muhammad. Ahkam-e Pezesykan va Bimaran (Hukum Dokter dan Pasien). Qom, Markaz-e Fiqhi-ye A'immeh Athar as, 1427 H.
- Gharavi Tabrizi, Mirza Ali. Kitab al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Abul Qasim Khui). Qom, Dar al-Hadi, 1410 H.
- Hakim, Sayid Muhsin. Mustamsak al-Urwah. Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1391 H.
- Hamedani, Reza. Misbah al-Faqih. Qom, Al-Yayasan al-Ja'fariyyah li Ihya al-Turats, 1376 HS.
- Hobbollah, Haidar. "Al-Ijtihad al-Mazaqi au Mazaq al-Syari' wa Mizaj al-Syari'ah", Situs Resmi Haidar Hobbollah, Tanggal akses: 30 Shahrivar 1403 HS.
- Hurr Amili, Muhammad bin Hasan. Wasail al-Syi'ah. Qom, Yayasan Alu al-Bait as, 1416 H.
- Husseini Amili, Muhammad Jawad. Miftah al-Karamah fi Syarh Qawa'id al-Allamah. Qom, Jama'ah al-Mudarrisin fi al-Hauzah al-Ilmiyyah bi Qum; Yayasan al-Nasyr al-Islami, 1419 H.
- Imam Khomeini, Sayid Ruhullah. Kitab al-Bai'. Qom, Yayasan Ismailiyan, 1410 H.
- Itsna Asyari, Husein. "Muqaddimah". Dalam kitab Al-Faiq fi al-Ushul, karya Tim Penulis. Qom, Yayasan al-Nasyr li al-Hauzat al-Ilmiyyah, 1444 H.
- Jawadi Amuli, Abdullah dan Muhammad Mu'min. Kitab al-Shalat (Taqrirat pelajaran Sayid Muhammad Muhaqqiq Damad). Qom, Yayasan al-Nasyr al-Islami, Tanpa Tahun.
- Kasyif al-Ghita, Syekh Ja'far. Kasyf al-Ghita 'an Mubhamat al-Syari'ah al-Gharra. Qom, Daftar Tablighat-e Eslami-ye Hauze-ye Elmi-ye Qom, 1422 H.
- Khui, Sayid Abul Qasim. Mausu'ah al-Imam al-Khui. Qom, Ihya Atsar al-Imam al-Khui, 1417 H.
- Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kafi. Disunting oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, Teheran, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1407 H.
- Makarim Syirazi, Nashir. Anwar al-Faqahah (Al-Makasib). Qom, Madrasah al-Imam Ali bin Abi Thalib as, 1426 H.
- Mehrizi, Mehdi. Ketabshenasi-ye Ushul-e Fiqh-e Syi'ah (Bibliografi Ushul Fikih Syiah). Qom, Kongres Internasional Peringatan Dua Ratus Tahun Kelahiran Syekh A'zham Anshari, 1373 HS.
- Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-Kalam fi Syarh Syara'i al-Islam. Disunting oleh Abbas Quchani dan Ali Akhundi, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan ketujuh, 1362 HS.
- Qaderi, Sayid Razi. "Mazaq-e Syar' dar Keifiyat va E'tebar". Jurnal Fiqh (Kavosyi No dar Fiqh-e Eslami), No. 4, Musim Dingin 1392 HS.
- Syekh Anshari, Murtadha. Kitab al-Makasib. Qom, Turats al-Syekh al-A'zham, Tanpa Tahun.
- Tabataba'i Yazdi, Sayid Muhammad Kazim. Al-Urwah al-Wutsqa. Qom, Yayasan al-Nasyr al-Islami, 1417 H.
- Tim Penulis. Al-Faiq fi al-Ushul. Qom, Yayasan al-Nasyr li al-Hauzat al-Ilmiyyah, Cetakan kedelapan, 1444 H.
- Tim Penulis. Farhang-name-ye Ushul-e Fiqh (Kamus Ushul Fikih). Qom, Pazhuhesygah-e Ulum va Farhang-e Eslami, 1389 HS.