Husain bin Musa Alawi
Husain bin Musa Alawi adalah ayah dari Syarif Radhi dan Sayid Murtadha Alamul Huda. Ia merupakan seorang tokoh agama dan politik pada masanya dan memiliki hubungan yang baik dengan Khalifah Abbasiyah. Ia berusaha meredakan konflik antara Syiah dan Ahlusunah. Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama ilmu rijal mengenai apakah Husain bin Musa adalah seorang Imamiyah, Zaidiyah, atau Waqifiyah.
Pada masa Abbasiyah, ia memegang banyak tanggung jawab, termasuk sebagai kepala Diwan Mazalim dan amir haji.
Kelahiran dan Nasab
Husain bin Musa Alawi lahir pada tahun 304 H di Basrah dan dibesarkan di sana.[1] Nasabnya, melalui ayah dengan empat perantara dan melalui ibu dengan tiga perantara, sampai kepada Imam Kazhim as. Ayahnya, Musa Abrasy, adalah seorang pejabat Abbasiyah, dan kakeknya, Muhammad al-A'raj, adalah seorang ulama di Baghdad.[2]
Dari istrinya, Fatimah yang merupakan cucu dari Nashir Kabir Hasan al-Atrush dari pihak ayah, sedangjan dari pihak ibu ia merupakan cucu dari Hasan bin Qasim bin Hasan yang dikenal sebagai Da'i Shaghir.[3]. Ia memiliki empat anak: Zainab, Ali yang dikenal sebagai Sayid Murtadha, Muhammad yang dikenal sebagai Sayid Radhi, dan Khadijah.[4] Nuri[5] menyimpulkan dari apa yang disampaikan oleh Syekh Mufid dalam pengantar buku Ahkam al-Nisa[6] bahwa Syekh Mufid menulis buku tersebut untuk Fatimah yang ia sebut sebagai seorang wanita yang mulia dan berilmu.
Seorang Ulama pada Zamannya
Tidak banyak informasi tentang pendidikan Husain bin Musa, namun fakta bahwa ia mengenakan thailasan[7] - pakaian khas para Syekh dan ulama[8] - menjadi indikasi bahwa ia adalah seorang ulama pada masanya. Hurr Al-Amili[9] juga menulis bahwa para ahli hadis dan sejarawan memuji Husain bin Musa. Putranya, Sayid Murtadha, meriwayatkan darinya[10], dan Kia Gilani[11] menyebutnya sebagai seorang yang berilmu dan terpelajar.
Kehidupan
Nama Husain pertama kali muncul dalam catatan sejarah pada tahun 334 H, saat al-Muthi' Lillah naik tahta, ketika khalifah menugaskannya untuk memasang lentera emas di Ka'bah.[12] Antara tahun 348 hingga 353 H, Abu Abdullah Muhammad, putra Da'i Shaghir, menunjuk Husain bin Musa sebagai naqib (pemimpin) Basrah sebelum ia meninggalkan Baghdad.[13][14]
Naqib Thalibiyin dan Amir Haji
Pada tahun 354 H, Al-Muthi' Lillah menunjuknya sebagai Naqib Thalibiyin, amir haji, dan kepala Diwan Mazhalim.[15] Pada tahun 358 H, Husain bin Musa menjadi perantara Izzuddaulah Bakhtiar untuk menyelesaikan perselisihan antara Abu Taghlib dan Hamdan.[16]
Setelah tujuh tahun menjabat sebagai naqib, pada tahun 361 H, terjadi kebakaran di distrik Karkh di Baghdad - pusat komunitas Syiah - yang memicu perselisihan antara Husain dan Abul Fadzl Syirazi, menteri Izzuddaulah. Akibatnya, menteri tersebut memecatnya dari jabatan naqib.[17]
Jabatan Lainnya
Pada tahun 354, 355, 359, 361, dan 363 H, Husain menjadi amirul haj (pemimpin haji).[18] Pada tahun 363 H, ia menjadi perantara untuk menyelesaikan perselisihan antara Izzuddaulah dan Abu Taghlib.[19] Pada tahun 364 H, ia berusaha mendamaikan Muhammad bin Baqiyah dengan Izzu Daulah[20], dan pada akhir tahun yang sama, Izzu Daulah kembali menunjuknya sebagai naqib[21]. Husain kemudian menemani Izzu Daulah untuk ziarah ke makam Imam Ali as.[22] Pada masa yang sama, Khalifah Al-Tha'i' Lillah (berkuasa: 363-381) menunjuknya sebagai penanggung jawab pengawasan wakaf di Baghdad dan sekitarnya.[23]
Pada tahun 366 H, Husain menjadi perantara dalam menyelesaikan perselisihan antara Izzu Daulah dan Adhud Daulah.[24] Pada tahun 368 H, Adhuddaulah mengusir Izzuddaulah dari Baghdad dan menugaskan Husain bin Musa untuk merebut wilayah Mudhar dari gubernurnya.[25]
Pengasingan
Pada tahun berikutnya, Husain bin Musa dituduh membocorkan rahasia dan menjalin hubungan rahasia dengan Izz al-Daulah. Akibatnya, ia dicopot dari jabatan sebagai naqib (kepala keturunan Nabi Muhammad saw), hartanya disita, dan ia diasingkan ke sebuah benteng di Fars.[26] Ibnu Abi al-Hadid[27] menyebutkan bahwa pencopotan ini disebabkan oleh kekhawatiran Adud al-Daulah terhadap pengaruh Husain bin Musa.
Pembebasan dari Pengasingan
Setelah wafatnya Adud ad-Dawla pada tahun 372 H, putranya, Sharaf ad-Dawla, membebaskan Husain bin Musa. Pada tahun 376 H, seluruh hartanya yang disita dikembalikan dan ia kembali diangkat sebagai naqib hingga akhirnya jatuh sakit.[28]
Kembali ke Jabatan Lama
Pada tahun 380 H, al-Thaii’ Lillah kembali mengangkatnya sebagai naqib bagi Bani Thalibiyin, pemimpin haji, dan kepala Diwan Mazhalim (pengadilan pengaduan).[29] Putra-putranya ditunjuk sebagai penggantinya.[30] Namun, pada tahun 384 H, ia dan putra-putranya kembali dicopot dari jabatan tersebut tanpa alasan yang jelas.[31]
Selama periode antara tahun 384 hingga 394 H, Husain bin Musa tampaknya berusaha meredakan konflik internal di kalangan Bani Buwaih.[32]
Pada tahun 394 H, Baha' al-Daulah kembali mengangkatnya sebagai naqib, pemimpin haji, dan kepala Diwan Mazalim. Ia juga ditambahkan jabatan sebagai Qhadi al-Qhudat (hakim agung) serta diberi gelar "al-Thahir al-Awhad Dzu al-Manaqib". Khalifah al-Qadir Billah menolak pengangkatannya sebagai Qadhi al-Qudhat, tetapi menerima jabatan lainnya.[33]
Wafat
Di masa akhir hayatnya, Husain bin Musa jatuh sakit dan menjadi buta.[34] Ia wafat pada tahun 400 H setelah mewakafkan sebagian hartanya, dan dimakamkan di Baghdad.[35] Sayid Murtadha memimpin salat jenazahnya. Awalnya ia dimakamkan di rumahnya, namun kemudian jenazahnya dipindahkan ke Karbala dan dikebumikan di makam Imam Husain as.[36] Sayid Murtadha[37] dan Syarif Radhi[38], serta Abu al-Ala al-Ma'arri[39] dan Mihyar al-Dailami[40] menulis puisi untuk mengenang kepergiannya.
Karakteristik
Husain bin Musa al-Alawi adalah salah satu tokoh agama dan politik paling menonjol pada masanya. Ia memiliki hubungan baik dengan Khalifah Abbasiyah, menjadi orang kepercayaan dan perantara dalam menyelesaikan perselisihan politik di antara para penguasa Bani Buwaih, serta berperan dalam meredakan konflik antara Syiah dan Sunni.[41] Ketika Khalifah al-Qadir Billah ingin menghapus legitimasi pemerintahan Fatimiyah di Mesir, ia meminta Husain bin Musa untuk menulis bantahan terhadap klaim keturunan Fatimiyah dari Ahlul Bait as.[42]
Mazhab
Bukti sebagai Penganut Syiah Imamiyah
Mengenai mazhab Husain bin Musa, berbagai catatan biografi dan ulama rijal (kritikus sanad) Imamiyah menunjukkan bahwa ia dihormati oleh komunitas Imamiyah. Meski tidak secara eksplisit disebut sebagai penganut Imamiyah, tidak ada pula yang mengaitkannya dengan mazhab Syiah lainnya.[43] Bukti lain termasuk penggunaan istilah "Rafidhi" untuknya dalam karya beberapa ulama Sunni[44], serta posisinya di kalangan Syiah Imamiyah di Baghdad, yang menguatkan dugaan bahwa ia adalah penganut Imamiyah.
Bukti sebagai Penganut Waqifiyah
Ulama Syiah terkenal, Syekh Muhammad Taqi Syusytari[45], berdasarkan pernyataan Syarif Radhi dalam mukadimah Khasha'is al-A'immah[46], menyimpulkan bahwa Syarif Radhi dan Sayid Murtadha adalah anggota pertama dari keturunan Musa yang memeluk mazhab Imamiyah (Itsna Asyariah). Dengan demikian, ayah mereka dianggap penganut Waqifiyah. Namun, kesimpulan ini masih diperdebatkan berdasarkan bukti-bukti lainnya.
Bukti sebagai Penganut Zaidiyah
Syaibi[47] berpendapat bahwa Husain bin Musa adalah penganut Zaidiyah karena hubungannya dengan para pemimpin Zaidiyah dan kebiasaannya mengenakan tilsan (penutup kepala) yang dianggap sebagai tradisi Zaidiyah, termasuk Nashir al-Atrusy. Namun, Syarif Murtadha secara tegas menyebut Nasir al-Utrush sebagai penganut Imamiyah, yang berarti kakek dari pihak ibu Syarif Radhi dan Murtadha juga Imamiyah. Selain itu, tidak semua pemimpin Alawi di Thabaristan terbukti sebagai penganut Zaidiyah. Syarif Radhi bahkan pernah menulis biografi ayahnya, Husain bin Musa al-Alawi,[48] meski naskah tersebut sudah hilang.
Catatan Kaki
- ↑ Umari, hlm. 124; Shafadi, jilid 13, hlm. 76
- ↑ Fakhr Razi, hlm. 82-83
- ↑ Alamul Huda, Masail al-Nashiriyat, hlm. 62; Fakhr Razi, hlm. 83
- ↑ Umari, hlm. 125
- ↑ Jilid 3, hlm. 216
- ↑ hlm. 13-14
- ↑ Umari, hlm. 124
- ↑ Metz, jilid 1, hlm. 103; Dozy, hlm. 279
- ↑ Bagian 2, hlm. 104
- ↑ Imaduddin Thabari Amuli, hlm. 60
- ↑ hlm. 77
- ↑ Ibnu Jauzi, jilid 14, hlm. 46
- ↑ Ibnu 'Inabah, hlm. 78-79
- ↑ Nathiq bil Haq, hlm. 182
- ↑ Ibnu Jauzi, jilid 14, hlm. 161; Ibnu Atsir, jilid 8, hlm. 565-566
- ↑ Miskawaih, jilid 2, hlm. 256; Ibnu Atsir, jilid 8, hlm. 594
- ↑ Miskawaih, jilid 2, hlm. 308-309; Ibnu Atsir, jilid 8, hlm. 619; Ibnu Katsir, jilid 11, hlm. 307; bandingkan dengan Ibnu Jauzi, jilid 15, hlm. 72: 360; Shafadi, hlm. 362
- ↑ Ibnu Jauzi, jilid 14, hlm. 162, 175, 202, 210; Ibnu Atsir, jilid 8, hlm. 647; Dzahabi, jilid 8, hlm. 179
- ↑ Ibnu Atsir, jilid 8, hlm. 634; Ibnu Khaldun, jilid 3, hlm. 530
- ↑ Miskawaih, jilid 2, hlm. 356
- ↑ Ibnu Jauzi, jilid 14, hlm. 237
- ↑ Miskawaih, jilid 2, hlm. 355
- ↑ Qalqasyandi, jilid 10, hlm. 243-247, 259-262; bandingkan dengan Ibnu Hazm, hlm. 63
- ↑ Miskawaih, jilid 2, hlm. 372-373; Ibnu Jauzi, jilid 14, hlm. 247-248
- ↑ Miskawaih, jilid 2, hlm. 392; Ibnu Atsir, jilid 8, hlm. 696
- ↑ Maskawaih, Jilid 2, hlm. 399; Ibnu Jauzi, Jilid 14, hlm. 268; Ibnu al-Atsir, Jilid 8, hlm. 710
- ↑ Jilid 1, hlm. 32
- ↑ Abu Syuja' Rudrawari, hlm. 80-81, 136; Ibnu Jauzi, Jilid 15, hlm. 72
- ↑ Ibnu al-Jauzi, Jilid 14, hlm. 344; Jilid 15, hlm. 72; Ibnu al-Atsir, Jilid 9, hlm. 77-78
- ↑ Ibnu al-Jauzi, Jilid 15, hlm. 72; Ibnu Katsir, Jilid 11, hlm. 352
- ↑ Ibnu al-Jauzi, Jilid 14, hlm. 369; Ibnu al-Atsir, Jilid 9, hlm. 105; Ibnu Katsir, Jilid 11, hlm. 357
- ↑ Syarif Radhi, Diwan, Jilid 1, hlm. 243-246; Abu Syuja' Rudrawari, hlm. 276, 326-327
- ↑ Ibnu al-Jauzi, Jilid 15, hlm. 43; Ibnu al-Atsir, Jilid 9, hlm. 182; al-Dzahabi, Jilid 9, hlm. 687
- ↑ Ibnu Abi al-Hadid, Jilid 1, hlm. 31
- ↑ Ibnu al-Atsir, Jilid 9, hlm. 219
- ↑ Ibnu al-Jauzi, Jilid 15, hlm. 72; Ibnu al-Atsir, Jilid 9, hlm. 182; Ibnu Katsir, Jilid 11, hlm. 394
- ↑ Diwan, Bagian 1, hlm. 200-203
- ↑ Diwan, Jilid 2, hlm. 290-296
- ↑ hlm. 516-554
- ↑ Jilid 3, hlm. 93-95
- ↑ Syarif Radhi, Diwan, Jilid 1, hlm. 88-98
- ↑ Ibnu Abil Hadid, Jilid 1, hlm. 37-38
- ↑ Hurr al-Amili, Bagian 2, hlm. 104; Afandi Isfahani, Jilid 2, hlm. 182; Mamaqani, Jilid 23, hlm. 108; Aqa Buzurgh Tehrani, hlm. 121-122
- ↑ Ibnu Taghri Bardi, Jilid 4, hlm. 223, 240
- ↑ Jilid 3, hlm. 546
- ↑ Khasha'is al-A'immah, hlm. 37
- ↑ Shaybi, hlm. 74
- ↑ Ibnu Inabah, hlm. 189
Daftar Pustaka
- Aqa Buzurg Tehrani. Thabaqat A'lam al-Syi‘ah: Nawabigh al-Ruwwat fi Rabi'ul Mi'at, edited by Ali Naqi Munzawi. Beirut: 1390/1971.
- Ibnu Abi al-Hadid. Syarh Nahj al-Balaghah, edited by Muhammad Abu al-Fadl Ibrahim,. Cairo: 1385–1387/1965–1967, offset print Beirut, n.d.
- Ibnu Atsir.
- Ibnu Azraq. Tarikh al-Fariqi, edited by Badawi Abd al-Latif Awad. Beirut: 1974.
- Ibnu Taghri Bardi. Al-Nujum al-Zhahira fi Muluk Mishr wa al-Qahira. Kairo: 1383.
- Ibnu Jauzi. Al-Muntazam fi Tarikh al-Muluk wa al-Umam, edited by Muhammad Abd al-Qadir Ata and Mustafa Abd al-Qadir Ata. Beirut: 1412/1992.
- Ibnu Hazm. Jamharat Ansab al-'Arab, edited by Abd al-Salam Muhammad Harun. Kairo: 1982.
- Ibnu Khaldun.
- Ibnu Inaba. Umdat al-Thalib fi Ansab Al Abi Thalib, edited by Mahdi Rajai. Qom: 1383 Sh.
- Ibnu Katsir. Al-Bidayah wa al-Nihayah, edited by Ali Syiri. Beirut: 1408/1988.
- Abu al-‘Ala’ al-Ma‘arri. Saqt al-Zand wa Du'uh, edited by Sa‘id Sayid 'Abadah. Kairo: 1424/2003.
- Abu Shuja‘ Ruzrawari. Dhail Kitab Tajrib al-Umam, edited by Amadruz. Mesir: 1334/1916, offset print Baghdad, n.d.
- Afandi Isfahani, Abdallah Ibnu Isa. Riyad al-Ulama wa Hiyad al-Fudhala', edited by Ahmad Husaini. Qom: 1401.
- Hurr ‘Amili, Muhammad Ibnu Hasan. Amal al-Amil, edited by Ahmad Husaini. Baghdad: (1965), offset print Qom 1362 Sh.
- Dhahabi, Muhammad Ibnu Ahmad. Tarikh al-Islam wa Wafayat al-Mashahir wa al-A'lam, edited by Bashar ‘Awwad Ma‘ruf. Beirut: 1424/2003.
- Syarif Radhi, Muhammad bin Husain, Khasa'is al-A'imma ‘alayhim al-salam, edited by Muhammad Hadi Amini. Masyhad: 1406.
- Syarif Radhi, Muhammad bin Husain. Diwan. Beirut: Dar Beirut li al-Tiba‘a wa al-Nashr, n.d.; Beirut: Dar Sader, n.d.
- Syushtari.
- Syaibi, Kamil Mustafa. Al-Fikr al-Syi'i wa al-Naz'at al-Sufiyya hatta Matla' al-Qarn al-Tsani 'Ashar al-Hijri. Baghdad: 1386/1966.
- Safadi.
- Thabari Amuli, Ali Imad al-Din. Bisyarat al-Mustafa li Syi‘ah al-Murtadha. Najaf: 1383/1963.
- ‘Allam al-Huda. Diwan, edited by Rasyid Safar. Kairo: 1378/1958.
- ‘Allam al-Huda, Ali bin Husain. Masa'il al-Nasiriyyat. Teheran: 1417/1997.
- Umari, Ali Ibnu Muhammad. Al-Majdi fi Ansab al-Thalibiyyin, edited by Ahmad Mahdavi Damghani. Qom: 1409.
- Fakhr Razi, Muhammad bin Umar. Al-Syajarah al-Mubarakah fi Ansab al-Thalibiyyah, edited by Mahdi Rajai. Qom: 1409.
- Qalqashandi.
- Kiya Gilani, Ahmad bin Muhammad. Siraj al-Ansab, edited by Mahdi Rajai. Qom: 1409.
- Mamaqani, Abdullah. Tanqih al-Maqal fi ‘Ilm al-Rijal, edited by Muhyi al-Din Mamaqani. Qom: 1423.
- Adam Metz. Islamic Civilization in the Fourth Century AH, or, The Islamic Renaissance, translated by Alireza Zekavati Qaragozlou. Teheran: 1364 Sh.
- Miskawaih.
- Mufid, Muhammad bin Muhammad. Ahkam al-Nisa, edited by Mahdi Najaf. Qom: 1413.
- Maqdisi.
- Mihyar Daylami. Diwan Mihyar al-Dailami, edited by Ahmad Nasim. Beirut: 1420/1999.
- Nathiq bi al-Haqq, Yahya bin Husain. Al-Ifadah fi Tarikh al-A’imma al-Zaydiyyah, edited by Muhammad Yahya Salim ']Azzan. Sana'a: 1417/1996.
- Nuri, Husain bin Muhammad Taqi. Khatimat Mustadrak al-Wasa'il. Qom: 1415–1420.
- Yaqut Hamawi. Mu'jam al-Udaba, edited by Ihsan Abbas. Beirut: 1993.
- Reinhart Pieter Anne Dozy. Dictionnaire détaillé des noms des vêtements chez les Arabes. Amsterdam: 1845, repr. Beirut [n.d.].