Konsep:Suara Mayoritas
Suara Mayoritas (bahasa Arab:رأي الأكثرية) atau mayoritas suara adalah konsep sosial-politik yang berarti pendapat, pandangan, dan kebijakan sebagian besar individu dalam suatu kelompok, lembaga, atau negara. Konsep ini memiliki nilai universal dan dianggap sebagai salah satu mekanisme terpenting dalam pengambilan keputusan kolektif. Penerimaan suara mayoritas sebagai salah satu pilar pemerintahan demokratis di Dunia Islam, telah meningkatkan urgensinya di mata para pemikir agama. Masalah ini dalam fikih Syiah dibahas dalam bab-bab seperti Ijtihad dan Taklid, Peradilan, Syirkah (kongsi), Pemilihan Umum, penentuan Wali Fakih, dan proses Legislasi, serta dianggap sebagai salah satu Masail Mustahdatsah (masalah-masalah baru) dalam bidang Fikih Politik dan Fikih Sosial.
Tinjauan sejarah menunjukkan bahwa masalah suara mayoritas di dunia Islam, khususnya di Iran dan Pemerintahan Utsmaniyah, muncul bersamaan dengan penyebaran pemikiran konstitusionalisme dan masuknya konsep-konsep modern. Di Iran pada masa Konstitusi dan setelahnya, hingga era Republik Islam Iran, beberapa fakih berusaha memberikan landasan syariat bagi suara mayoritas.
Dalam literatur fikih Syiah, pendekatan terhadap suara mayoritas sebagian besar terbentuk berdasarkan pandangan para fakih mengenai sumber legitimasi penguasa dan pemerintahan, yang menghasilkan tiga pendekatan utama. Sejumlah fakih Syiah berpendapat bahwa suara mayoritas memiliki validitas (i'tibar) dalam urusan publik dan masalah politik. Penganut pandangan ini menganggap legitimasi dan akseptabilitas pemerintahan bergantung pada kerelaan rakyat dan meyakini bahwa dalam urusan sosial dan politik yang tidak memiliki nas (Manthiqah Al-Faragh), suara mayoritas adalah valid. Sayid Kazim al-Haeri, Husain Ali Montazeri, dan beberapa lainnya termasuk dalam kelompok ini, dan untuk membuktikan klaim mereka, mereka berdalil dengan kaidah akal, Ayat Syura, serta sirah Nabi saw dan Imam Ali as.
Berlawanan dengan teori validitas, sebagian meyakini ketidakvalidan suara mayoritas. Kelompok ini menganggap legitimasi semata-mata bersifat Ilahi dan menganggap suara mayoritas tidak memiliki peran dalam menentukan pemerintahan atau hukum. Mereka berdalil dengan beberapa ayat Al-Qur'an yang mencela mayoritas dan riwayat tentang keterbatasan peran rakyat. Syaikh Fadhlullah Nuri, Muhammad Taqi Misbah Yazdi, dan beberapa lainnya memiliki pandangan ini. Di antara kedua kelompok ini, ada juga yang berpendapat bahwa suara mayoritas memiliki validitas bersyarat dan menganggapnya hanya sebagai alat untuk mendiagnosis kebenaran, bukan kriteria untuk menetapkan kebenaran. Abdullah Jawadi Amuli termasuk di antara fakih kelompok ini.
Mas'ud Imami, seorang peneliti fikih politik, meyakini bahwa perbedaan pendekatan ini disebabkan oleh perbedaan landasan (mabna) para fakih; dengan penjelasan bahwa berdasarkan Hak Menentukan Nasib Sendiri, suara mayoritas memiliki validitas, sedangkan berdasarkan penemuan kebenaran, atau legitimasi agama dan maslahat serta akseptabilitas, mereka meyakini ketidakvalidannya.
Konseptualisasi dan Kedudukan
Suara mayoritas dianggap sebagai salah satu konsep modern yang dengan masuknya ke ranah sosial-politik Dunia Islam, seperti konsep modern lainnya, juga mendapat perhatian dari para peneliti agama dan fakih.[1] Suara mayoritas diperkenalkan sebagai nilai universal[2] yang dimanfaatkan oleh banyak sistem politik untuk memperoleh Legitimasi Politik.[3] Selain itu, dengan diterimanya pemerintahan demokratis di negara-negara Islam, dikatakan bahwa kajian ilmiah mengenai masalah ini memiliki urgensi ganda bagi para pemikir agama.[4]
Suara mayoritas, selain memberikan legitimasi bagi sistem politik saat menentukan jenis pemerintahan dan memilih pejabat pemerintahan seperti presiden dan anggota parlemen, juga dianggap sebagai salah satu mekanisme pengambilan keputusan kolektif[5] dan penetapan hukum.[6] Berdasarkan hal ini dikatakan, kehendak mayoritas dengan memiliki cakupan yang luas dalam sistem republik, menentukan nasib negara; karena baik penetapan hukum dan legitimasinya maupun penentuan pembuat hukum dan pelaksana hukum akan didasarkan pada keinginan mayoritas rakyat.[7]
Suara mayoritas, di samping mekanisme seperti Partisipasi Politik, Pemisahan Kekuasaan (Trias Politika), dan pengawasan rakyat terhadap kinerja pejabat pemerintahan, juga dianggap sebagai elemen terpenting dari sebuah Sistem Republik atau demokratis.[8]
Kedudukan Fikih
Masalah ini dalam ilmu fikih termasuk dalam masail mustahdatsah fikih (masalah-masalah baru) dan oleh karena itu, telah diteliti oleh para peneliti agama dalam dua bidang: Fikih Politik[9] dan Fikih Sosial.[10] Suara mayoritas dibahas dalam kitab-kitab fikih pada bab-bab seperti Ijtihad dan Taklid,[11] Peradilan,[12] Akad Syirkah,[13] Pemilihan Umum,[14] penentuan penguasa atau Wali Fakih[15] dan dalam proses Legislasi.[16]
Suara mayoritas juga disebut sebagai salah satu alat untuk menentukan Fatwa; dengan penjelasan bahwa para fakih jami'us syara'ith dan ahli berkumpul dalam dewan fatwa dan bertukar pandangan mengenai masalah fikih berdasarkan akal kolektif, dan pendapat mana pun yang diterima oleh mayoritas, diumumkan kepada para muqallid (orang yang bertaklid) untuk menjadi dasar amal mukalaf.[17]
Definisi
Suara mayoritas atau mayoritas suara (dalam bahasa Inggris "Majoriti Vote" dan "Aghlabiyat al-Ashwat" dalam bahasa Arab) didefinisikan sebagai pendapat, pandangan, dan kebijakan sebagian besar individu dalam suatu kelompok, lembaga, atau individu suatu negara yang memiliki karakteristik bersama dari segi bahasa, agama, dan ras.[18] Mengenai kata mayoritas (aksariyat), dikatakan bahwa kata ini awalnya digunakan dalam ajaran Islam untuk merujuk pada situasi umat Islam berhadapan dengan minoritas non-Muslim seperti Ahli Kitab dalam masyarakat Islam; sedangkan saat ini kedua kata ini lebih banyak digunakan untuk menggambarkan situasi kekuatan politik yang hadir dalam kompetisi pemilu.[19]
Sejarah
Latar belakang pembahasan masalah suara mayoritas dan pengelolaan masyarakat berdasarkan hal itu dianggap sebagai masalah baru di Dunia Islam yang muncul di negara-negara seperti Iran dan Pemerintahan Utsmaniyah dengan menyebarnya pemikiran konstitusionalisme.[20] Konsep ini, seperti konsep modern lainnya, meskipun masuk ke ruang intelektual dunia Islam melalui kaum intelektual;[21] namun selanjutnya menghadapi penilaian mendalam dari para pemikir agama sebagai pengelola terpenting sistem pengetahuan.[22]
Di Iran Era Revolusi Konstitusi, beberapa fakih dan pemikir agama dengan pendekatan positif menyajikan landasan syariat untuk legitimasi suara mayoritas[23] dan sebaliknya, sekelompok orang dengan pendekatan skeptis dan terkadang konfrontatif,[24] menganggapnya bertentangan dengan ajaran agama dan Bid'ah.[25] Demikian pula pada masa Republik Islam Iran, proses ini berlanjut dan sebagian orang menentangnya[26] dan sebagian lainnya menganggapnya sebagai keharusan bagi Pemerintahan Islam.[27]
Pendekatan Agama
Pendekatan Syiah mengenai masalah suara mayoritas lebih mengarah pada sumber legitimasi penguasa masyarakat Islam (Wali Fakih); tentu saja penggunaan mayoritas suara sebagai metode untuk mengelola urusan publik juga menjadi perhatian para peneliti fikih. Dalam menjawab pertanyaan utama apakah suara mayoritas dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan legitimasi kepada penguasa dan juga dalam penyusunan undang-undang, mereka memberikan beberapa pendapat.[28] Tentu saja pandangan beberapa fakih mengenai legitimasi atau ketidakabsahan suara mayoritas serta batasan validitasnya, tidak begitu jelas dan transparan; misalnya, berbagai ungkapan dan perilaku Imam Khomeini dalam bidang legitimasi suara mayoritas telah memicu berbagai interpretasi.[29] Juga menurut pendapat Mirza Naini dan fakih konstitusionalis lainnya, meskipun suara mayoritas sampai batas tertentu valid, namun di era kegaiban (Ghaibah) tidak dapat mewujudkan pemerintahan ideal Syiah; oleh karena itu suara mayoritas tidak membawa legitimasi mutlak dan hanya dianggap diinginkan karena mengurangi kezaliman dan lebih mendekati keadilan.[30]
Para peneliti fikih dengan menelaah pendapat para fakih mengenai validitas atau ketidakvalidan suara mayoritas dalam pengelolaan urusan publik, telah menyimpulkan tiga pandangan umum: validitas, ketidakvalidan, dan validitas bersyarat suara mayoritas dalam urusan publik dan pemerintahan.[31] Tentu saja, Masoud Emami, seorang peneliti Fikih Politik, meyakini bahwa perbedaan pendapat para fakih mengenai validitas atau ketidakvalidan suara mayoritas disebabkan oleh perbedaan landasan (mabna) mereka. Ia dengan menggambarkan beberapa landasan "Hak Menentukan Nasib Sendiri", "penemuan kebenaran", "legitimasi agama", "Maslahat", dan "akseptabilitas", meyakini bahwa mereka yang berpendapat valid memilih pandangan ini berdasarkan hak menentukan nasib sendiri; sementara para penentang menganggap suara mayoritas tidak valid berdasarkan landasan lain.[32]
Validitas
Penganut validitas suara mayoritas dalam urusan publik dan pemerintahan meyakini bahwa akseptabilitas dan legitimasi pemerintahan, penguasa, dan hukum pemerintahan bergantung pada kerelaan dan suara mayoritas rakyat.[33] Dalam menentukan ruang lingkup validitas suara mayoritas, kelompok fakih ini sepakat bahwa dalam urusan syariat yang pasti (qath'i) yang hukumnya telah ditentukan oleh Syari', suara mayoritas tidak akan valid;[34] namun wilayah yang disebut sebagai Manthiqah Al-Faragh[35] atau hukum yang tidak memiliki nas (ghairu manshush),[36] penentuan ketetapan wilayah ini oleh Syari' diserahkan kepada rakyat dan dasar tindakannya adalah mayoritas suara rakyat.[37]
Husain Ali Montazeri, Muhammad Hadi Ma'rifat, Sayid Kazim Husaini Haeri, dan Sayid Abdul Karim Musavi Ardabili adalah fakih era Republik Islam Iran yang berpendapat validitas suara mayoritas dalam masalah umum dan pemerintahan. Mereka berdalil dengan dalil aqli dan naqli seperti kaidah buruknya mendahulukan yang lemah (marjuh) di atas yang kuat (rajih),[38] strategi untuk mencapai Maslahat,[39] ayat 159 Surah Ali Imran, ayat 38 Surah Asy-Syura,[40] sirah Nabi saw dan Imam Ali as,[41] sirah uqala, dan wilayah orang-orang mukmin yang adil (udulul mukminin).[42] Penganut pandangan ini dengan menghubungkan suara mayoritas dan konsep syura,[43] meyakini bahwa jika terjadi perbedaan pendapat dalam urusan publik, demi menjaga ketertiban (hifzh nizham) harus bersandar pada suara mayoritas dan alasan kewajiban mengikutinya adalah sama dengan alasan kewajiban menjaga ketertiban.[44]
Selain mereka yang meyakini teori pemilihan wali fakih, beberapa pendukung teori pengangkatan wali fakih untuk pemerintahan juga dengan cara lain menganggap suara mayoritas valid dalam urusan pemerintahan dan publik. Misalnya, menurut Imam Khomeini, para Imam Syiah as telah menyerahkan pengaturan urusan agama, sosial, dan manajemen politik masyarakat kepada para fakih yang adil[45] dan pembentukan pemerintahan oleh fakih di era kegaiban adalah kelanjutan dari wilayah Nabi saw dan para Imam as;[46] namun demikian, mengenai bagaimana Fakih yang Memenuhi Syarat mendapatkan wilayah dalam masyarakat Islam, beliau menekankan bahwa di antara para fakih yang memenuhi syarat dan mampu membentuk pemerintahan, hanya fakih yang dipilih oleh rakyat yang dapat memikul tanggung jawab ini.[47]
Ketidakvalidan
Ketidakvalidan suara mayoritas dalam urusan publik adalah teori yang dianut oleh sebagian fakih Syiah. Menurut kelompok fakih ini, dalam pandangan Islam, legitimasi dan akseptabilitas hanya diciptakan oleh Syari' dan hanya pemerintahan dan hukum yang ditentukan oleh Tuhan yang sah,[48] dan mereka menganggap teori legitimasi pemerintahan dari suara mayoritas sebagai Bid'ah.[49] Menurut mereka, mendahulukan pendapat sekelompok orang di atas pendapat orang lain meskipun mereka mayoritas, bertentangan dengan akal; karena mayoritas orang biasanya berada di bawah pengaruh propaganda orang lain dan hawa nafsu serta tidak bergerak sesuai logika dan akal; oleh karena itu, mereka tidak memiliki legitimasi untuk menentukan jenis pemerintahan atau penguasa dan hukum.[50]
Syaikh Fadhlullah Nuri dan Muhammad Husain Tabrizi dari fakih era Konstitusi, serta Sayid Muhammad Husain Husaini Tehrani dan Muhammad Taqi Misbah Yazdi dari fakih era Republik Islam Iran, termasuk fakih yang tidak mengakui kedudukan suara mayoritas dalam masalah pemerintahan dan urusan publik dan menganggapnya tidak valid. Kelompok ini juga untuk membuktikan pendapat mereka berdalil dengan ayat-ayat Al-Qur'an yang mencela mayoritas[51] atau menganggap pemerintahan dan penetapan hukum khusus milik Tuhan,[52] serta beberapa riwayat.[53]
Kelompok ini mengenai kasus-kasus tindakan berdasarkan musyawarah dan suara mayoritas yang ada dalam sirah Ahlulbait as, mengatakan bahwa penguasa masyarakat Islam terkadang bermusyawarah dengan rakyat untuk menemukan maslahat dan setelah itu ia sendiri yang memutuskan, baik sesuai dengan suara mayoritas seperti peristiwa mengikuti pendapat mayoritas dalam Perang Uhud oleh Nabi saw, atau tuntutan maslahat adalah bertindak bertentangan dengan pendapat mayoritas.[54]
Kelompok pemikir ini pada akhirnya menganggap suara mayoritas sebagai syarat efisiensi atau akseptabilitas pemerintahan; sebagaimana Misbah Yazdi dalam bukunya Nazariyeh Siyasi Eslam berpendapat bahwa penguasa harus diterima dan disetujui oleh rakyat agar tercipta landasan pelaksanaan hukum Islam; tetapi suara rakyat bukan kriteria legalitas atau legitimasi pemerintahan. Ia menjelaskan bahwa suara rakyat bagaikan wadah dan roh legitimasi dibentuk oleh izin Ilahi.[55]
Validitas Bersyarat
Sejumlah fakih dan peneliti agama berpendapat validitas bersyarat suara mayoritas. Abdullah Jawadi Amuli, termasuk fakih kelompok ini, meyakini bahwa harus dibedakan antara penetapan kebenaran dan diagnosis (penemuan) kebenaran. Menurutnya, dalam pandangan Islam, kebenaran bersumber dari Tuhan; oleh karena itu mengikuti mayoritas dalam arti mengambil keyakinan dan nilai moral dari mereka dicela; tetapi mayoritas hanya dapat digunakan sebagai alat atau kaidah dan metode untuk mendiagnosis kebenaran, artinya di tempat di mana mendiagnosis kebenaran sulit dan para ahli berbeda pendapat, dalam kasus-kasus seperti ini dapat merujuk pada suara mayoritas.[56] Sayid Muhammad Shadiq Rohani juga tidak menganggap suara mayoritas valid dalam menentukan penguasa[57] dan hukum, dan meyakini hanya di tempat di mana tidak ada hukum syariat dan penguasa Islam juga tidak mengetahui kebaikan dan kerusakan (salah dan fasad) hal tersebut, dapat merujuk pada diagnosis mayoritas ahli.[58]
Monografi

Dalam kitab-kitab fikih, dalam rangka pembahasan masalah pemerintahan, bagian-bagian tertentu dikhususkan untuk masalah suara mayoritas, misalnya Mirza Naini dalam kitab Tanbih al-Ummah atau Husain Ali Montazeri dalam kitab Dirasat fi Wilayah al-Faqih telah menyinggung topik ini; namun demikian, beberapa buku telah ditulis secara monograf (khusus) mengenai hal ini, di antaranya:
- "E'tebar-e Aqli va Syar'i-ye Ra'y-e Aksariyat" (Validitas Rasional dan Syar'i Suara Mayoritas) karya Masoud Emami yang membahas lima landasan yang diajukan mengenai suara mayoritas. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Adineh pada tahun 1399 HS/2020 M.
- "Demokrasi va E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Eslam" (Demokrasi dan Validitas Suara Mayoritas dalam Islam) ditulis oleh Muhammad Javad Salehi yang diterbitkan oleh Pusat Penelitian Suara dan Visi (IRIB) pada tahun 1384 HS/2005 M.
Catatan Kaki
- ↑ Salehi dkk, «Baztab-e Monazaeh-ye Mafhumi-ye Foqaha-ye Asr-e Mashruteh...», hlm. 183.
- ↑ Emami, «E'tebar-e Aqli-ye Ra'y-e Aksariyat bar Mabna-ye Haqq-e Ta'yin-e Sarnevesht», hlm. 105.
- ↑ Fuladvand, Kherad dar Siyasat, 1377 HS, hlm. 363.
- ↑ Salehi, Demokrasi va E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Eslam, 1384 HS, hlm. 60.
- ↑ Emami, «E'tebar-e Aqli-ye Ra'y-e Aksariyat...», hlm. 105; Salehi, Demokrasi va E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Eslam, 1384 HS, hlm. 63-64.
- ↑ Alam, Tarikh-e Falsafeh-ye Siyasi-ye Gharb, 1376 HS, hlm. 12.
- ↑ Rostami, «Negahi Tathbiqi be Karkard-e Aksariyat dar Demokrasi va Ketab va Sonnat», hlm. 110-111.
- ↑ Shakeri dan Rajaei, «E'tebar va Jaygah-e Ra'y-e Aksariyat dar Nezam-e Siyasi-ye Eslam», hlm. 394; Moradi dan Mousavizadeh, «Mashru'iyat-e Jomhuriat dar Eslam», hlm. 98.
- ↑ Emadi dan Ghasemi, «Syarth-e Rezayat-e Aksariyat dar Tasykil-e Hukumat va Estemrar-e An az Didgah-e Imam Khomeini», hlm. 25.
- ↑ Ayazi, «E'tebar-e Aksariyat dar Fiqh-e Syi'eh ba Tekiyeh bar Ara-ye Imam Khomeini va Ayatullah Montazeri», dimuat di Portal Imam Khomeini.
- ↑ Makarem Syirazi, Al-Fatawa al-Jadidah, 1427 H, hlm. 12-13.
- ↑ Makarem Syirazi, Al-Fatawa al-Jadidah, 1427 H, hlm. 133.
- ↑ Fazel Lankarani, Jami' al-Masail, 1425 H, hlm. 276-277.
- ↑ Montazeri, Dirasat fi Wilayah al-Faqih, 1409 H, jld. 1, hlm. 551-571; Husaini Haeri, Al-Marja'iyyah wa al-Qiyadah, 1425 H, hlm. 43-44.
- ↑ Husaini Tehrani, Wilayah al-Faqih fi Hukumat al-Islam, 1418 H, jld. 3, hlm. 183; Araki, Nazariyah al-Hukm fi al-Islam, 1425 H, hlm. 332-333.
- ↑ Naini, Tanbih al-Ummah, 1382 HS, hlm. 115-117; Husaini Syirazi, Al-Fiqh, Al-Qanun, 1419 H, hlm. 195.
- ↑ Ayazi, «E'tebar-e Aksariyat dar Fiqh-e Syi'eh ba Tekiyeh bar Ara-ye Imam Khomeini va Ayatullah Montazeri», dimuat di Portal Imam Khomeini.
- ↑ Dehkhoda, Loghat-nameh Dehkhoda, entri Ra'y dan Aksariyat; Anvari, Farhang-e Bozorg-e Sokhan, entri Ra'y dan Aksariyat.
- ↑ Salehi, Demokrasi va E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Eslam, 1384 HS, hlm. 61.
- ↑ Khanmohammadi, Jaygah-e Ra'y-e Aksariyat dar Quran ba Ta'kid bar Ara-ye Ayatullah Mousavi Ardebili», hlm. 59-60.
- ↑ Adamiyat, Ideologi-ye Nehzat-e Mashrutiyat-e Iran, 1985 M, hlm. 226.
- ↑ Salehi dkk, «Baztab-e Monazaeh-ye Mafhumi-ye Foqaha-ye Asr-e Mashruteh...», hlm. 183.
- ↑ Naini, Tanbih al-Ummah, 1382 HS, hlm. 115-117; Dehkharqani, «Risalah Taudhih Maram», hlm. 667.
- ↑ Kermani, Tarikh-e Bidari-ye Iranian, 1357 HS, hlm. 322.
- ↑ Nuri, «Risalah Hormat-e Mashruteh», 1363 HS, hlm. 106; Tabrizi, «Risalah Kasyf al-Murad», 1374 HS, hlm. 132.
- ↑ Husaini Tehrani, Wilayah al-Faqih fi Hukumat al-Islam, 1418 H, jld. 3, hlm. 182-185; Misbah Yazdi, Nazariyeh-ye Siyasi-ye Eslam, 1391 HS, hlm. 282.
- ↑ Imam Khomeini, Shahifah Imam, 1385 HS, jld. 20, hlm. 459; Montazeri, Hukumat-e Dini va Hoquq-e Ensan, 1429 H, hlm. 37-38.
- ↑ Ayazi, «E'tebar-e Aksariyat dar Fiqh-e Syi'eh ba Tekiyeh bar Ara-ye Imam Khomeini va Ayatullah Montazeri», dimuat di Portal Imam Khomeini.
- ↑ Hasani, «Chisti-ye Mashru'iyat-e Doganeh dar Andisheh-ye Siyasi-ye Syi'eh», hlm. 88-95.
- ↑ Firahi, «Nezam-e Siyasi va Dowlat dar Eslam (3)», hlm. 70.
- ↑ Shakeri dan Rajaei, «E'tebar va Jaygah-e Ra'y-e Aksariyat dar Nezam-e Siyasi-ye Eslam», hlm. 399; Emami, «E'tebar-e Aqli-ye Ra'y-e Aksariyat...», hlm. 106.
- ↑ Emami, E'tebar-e Aqli va Syar'i-ye Ra'y-e Aksariyat, 1399 HS, hlm. 10-11.
- ↑ Syamsuddin, Fi al-Ijtima' al-Siyasi, 1999 M, hlm. 169-171 dan hlm. 203; Montazeri, Hukumat-e Dini va Hoquq-e Ensan, 1429 H, hlm. 37-38.
- ↑ Thabathaba'i, Al-Mizan, 1390 H, jld. 4, hlm. 56-57; Qardhawi, Fiqh-e Siyasi, 1390 HS, hlm. 183; Rostami, «Negahi Tathbiqi be Karkard-e Aksariyat...», hlm. 115-116.
- ↑ Sadr, Iqtishaduna, 1417 H, hlm. 380.
- ↑ Naini, Tanbih al-Ummah, 1382 HS, hlm. 134-135.
- ↑ Rostami, «Negahi Tathbiqi be Karkard-e Aksariyat...», hlm. 115-116; Emami, «E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Partow-e Ketab va Sonnat», hlm. 54.
- ↑ Montazeri, Dirasat fi Wilayah al-Faqih, 1409 H, jld. 1, hlm. 554 dan 564.
- ↑ Dehkharqani, «Risalah Taudhih Maram...», hlm. 667.
- ↑ Ma'rifat, Jame'eh-ye Madani, 1378 HS, hlm. 73-75; Salehi Najaf Abadi, Wilayat-e Faqih Hukumat-e Salehan, 1380 HS, hlm. 278.
- ↑ Emami, «E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Partow-e Ketab va Sonnat», hlm. 64.
- ↑ Mousavi Ardabili, Hampaye Enqelab, 1385 HS, hlm. 464; Khanmohammadi, «Jaygah-e Ra'y-e Aksariyat dar Quran...», hlm. 68.
- ↑ Haeri, Wilayah al-Amr fi Ashr al-Ghaibah, 1413 H, hlm. 146.
- ↑ Naini, Tanbih al-Ummah, 1382 HS, hlm. 116-117; Montazeri, Dirasat fi Wilayah al-Faqih, 1409 H, jld. 1, hlm. 553-554.
- ↑ Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1421 H, jld. 2, hlm. 622.
- ↑ Imam Khomeini, Wilayat-e Faqih, 1394 HS, hlm. 20.
- ↑ Imam Khomeini, Shahifah Imam, 1385 HS, jld. 20, hlm. 459.
- ↑ Shakeri dan Rajaei, «E'tebar va Jaygah-e Ra'y-e Aksariyat dar Nezam-e Siyasi-ye Eslam», hlm. 402.
- ↑ Nuri, «Risalah Hormat-e Mashruteh», hlm. 106; Tabrizi, Risalah Kasyf al-Murad, 1374 HS, hlm. 132.
- ↑ Husaini Tehrani, Wilayah al-Faqih fi Hukumat al-Islam, 1418 H, jld. 3, hlm. 182-185.
- ↑ Surah Al-A'raf, ayat 131 dan 187; Surah Yusuf, ayat 21 dan 40; Surah Al-An'am, ayat 37; Surah Al-Ankabut, ayat 63; Surah Al-An'am, ayat 116.
- ↑ Surah Al-Ahzab, ayat 36; Surah An-Nisa', ayat 59.
- ↑ Misbah Yazdi, Hakimaneh-tarin Hukumat, 1394 HS, hlm. 218-222 dan hlm. 289-300; Husaini Tehrani, Wilayah al-Faqih fi Hukumat al-Islam, 1418 H, jld. 3, hlm. 182-185; Moradi dan Mousavizadeh, «Mashru'iyat-e Jomhuriat dar Eslam», hlm. 103; Karimi dan Shabannia, «E'tebar Sanji-ye Sodur va Dalali-ye Mashverat-haye Siyasi-Ijtima'i Payambar (saw)...», hlm. 72.
- ↑ Moradi dan Mousavizadeh, «Mashru'iyat-e Jomhuriat dar Eslam», hlm. 97; Misbah Yazdi, Nazariyeh-ye Siyasi-ye Eslam, 1391 HS, hlm. 289; Karimi dan Shabannia, «E'tebar Sanji-ye Sodur va Dalali-ye Mashverat-haye Siyasi-Ijtima'i Payambar (saw)...», hlm. 72.
- ↑ Misbah Yazdi, Nazariyeh-ye Siyasi-ye Eslam, 1391 HS, jld. 2, hlm. 44-45.
- ↑ Jawadi Amuli, Wilayat-e Faqih, 1379 HS, hlm. 90-92.
- ↑ Rohani, Nezam-e Hukumat dar Eslam, 1357 HS, hlm. 28-31.
- ↑ Rohani, Nezam-e Hukumat dar Eslam, 1357 HS, hlm. 69-72.
Daftar Pustaka
- Adamiyat, Fereydun, *Ideologi-ye Nehzat-e Mashrutiyat-e Iran*, Teheran, Nashr-e Payam, 1985 M.
- Araki, Mohsen, *Nazariyah al-Hukm fi al-Islam*, Qom, Majma' Andisheh Eslami, 1425 H.
- Imam Khomeini, Sayid Ruhullah, *Kitab al-Bai'*, Qom, Muassasah Ismailiyan, 1363 HS.
- Imam Khomeini, Sayid Ruhullah, *Shahifah Imam*, Teheran, Muassasah Tanzim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, 1385 HS.
- Imam Khomeini, Sayid Ruhullah, *Wilayat-e Faqih*, Teheran, Muassasah Tanzim wa Nasyr Atsar Imam Khomeini, 1394 HS.
- Emami, Masoud, *E'tebar-e Aqli va Syar'i-ye Ra'y-e Aksariyat*, Teheran, Nashr-e Adineh, 1399 HS.
- Emami, Masoud, «E'tebar-e Aqli-ye Ra'y-e Aksariyat bar Mabna-ye Haqq-e Ta'yin-e Sarnevesht», dalam *Faslnameh Fiqh*, No. 72, 1391 HS.
- Emami, Masoud, «E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Partow-e Ketab va Sonnat», *Majallah Fiqh*, No. 77, 1392 HS.
- Anvari, Hasan, *Farhang-e Bozorg-e Sokhan*, Teheran, Entesharat-e Sokhan, 1381 HS.
- Ayazi, Sayid Muhammad Ali, «E'tebar-e Aksariyat dar Fiqh-e Syi'eh ba Tekiyeh bar Ara-ye Imam Khomeini va Ayatullah Montazeri», dimuat di Portal Imam Khomeini, Tanggal posting 21 Aban 1403 HS, Diakses 10 Azar 1404 HS.
- Tabrizi, Muhammad Husain, «Risalah Kasyf al-Murad», dalam buku *Rasail Mashrutiyat*, diedit oleh Gholamreza Zargarinejad, Teheran, Nashr-e Kavir, 1374 HS.
- Jawadi Amuli, Abdullah, *Wilayat-e Faqih*, Qom, Nashr-e Isra, 1379 HS.
- Hasani, Mehdi, «Chisti-ye Mashru'iyat-e Doganeh dar Andisheh-ye Siyasi-ye Syi'eh», dalam *Faslnameh Din va Siyasat*, No. 16, Musim Panas 1387 HS.
- Husaini Tehrani, Sayid Muhammad Husain, *Wilayah al-Faqih fi Hukumat al-Islam*, Beirut, Dar al-Hujjah al-Baidha', 1418 H.
- Husaini Haeri, Sayid Kazim, *Al-Marja'iyyah wa al-Qiyadah*, Qom, Dar al-Tafsir, 1425 H.
- Husaini Haeri, Sayid Kazim, *Wilayah al-Amr fi Ashr al-Ghaibah*, Qom, Majma' al-Fikr al-Islami, 1413 H.
- Husaini Syirazi, Sayid Muhammad, *Al-Fiqh, Al-Qanun*, Beirut, Markaz al-Rasul al-A'zham (saw) lil-Tahqiq wa al-Nasyr, 1419 H.
- Khanmohammadi, Yousef, «Jaygah-e Ra'y-e Aksariyat dar Quran (ba Ta'kid bar Ara-ye Ayatullah Mousavi Ardebili)», dalam *Dofaslnameh Din va Donya-ye Moaser (Partow-e Vahy)*, No. 8, 1397 HS.
- Dehkhoda, Ali Akbar, *Loghat-nameh Dehkhoda*, Teheran, Universitas Teheran, 1377 HS.
- Dehkharqani, Reza, «Risalah Taudhih al-Maram», dalam buku *Rasail Mashrutiyat*, diedit oleh Gholamreza Zargarinejad, Teheran, Nashr-e Kavir, 1374 HS.
- Rostami, Ali Akbar, «Negahi Tathbiqi be Karkard-e Aksariyat dar Demokrasi va Ketab va Sonnat», dalam *Dofaslnameh Amuzeh-haye Qurani*, No. 14, 1390 HS.
- Rohani, Sayid Muhammad Shadiq, *Nezam-e Hukumat dar Eslam*, Qom, Maktabah al-Imam al-Shadiq, 1357 HS.
- Shaker Zavardehi, Ruhollah dan Hossein Rajaei Rizi, «E'tebar va Jaygah-e Ra'y-e Aksariyat dar Nezam-e Siyasi-ye Eslam», dalam *Faslnameh Siyasat*, Vol. 48, No. 2, 1397 HS.
- Syamsuddin, Muhammad Mahdi, *Fi al-Ijtima' al-Siyasi*, Beirut, Al-Muassasah al-Dauliyah lil-Dirasat wa al-Nasyr, 1999 M.
- Salehi Najaf Abadi, Ni'matullah, *Wilayat-e Faqih Hukumat-e Salehan*, Teheran, Entesharat-e Omid-e Farda, 1380 HS.
- Salehi, Alireza, Sayid Mostafa Abtahi, dan Abolghasem Taheri, «Baztab-e Monazaeh-ye Mafhumi-ye Foqaha-ye Asr-e Mashruteh darbareh Qanun bar Farayand-e Towse'eh-ye Siyasi-ye Iran-e Moaser», dalam *Faslnameh Siyasat-e Muta'aliyeh*, No. 28, 1399 HS.
- Salehi, Muhammad Javad, *Demokrasi va E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat dar Eslam*, Teheran, Markaz Pazhuhesh-haye Seda va Sima, 1384 HS.
- Sadr, Sayid Muhammad Baqir, *Iqtishaduna*, Dikoreksi oleh Abdul Hakim Dhiya dkk, Qom, Daftar Tablighat Eslami, 1417 H.
- Thabathaba'i, Sayid Muhammad Husain, *Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an*, Beirut, Muassasah al-A'lami lil-Mathbu'at, 1390 H.
- Alam, Abdurrahman, *Tarikh-e Falsafeh-ye Gharb*, Teheran, Entesharat-e Vezarat-e Kharejeh, 1376 HS.
- Emadi, Abbas dan Alireza Ghasemi, «Syarth-e Rezayat-e Aksariyat dar Tasykil-e Hukumat va Estemrar-e An az Didgah-e Imam Khomeini», dalam *Faslnameh Pazhuhesh-nameh Matin*, No. 102, 1403 HS.
- Fazel Lankarani, Muhammad, *Jami' al-Masail*, Qom, Entesharat-e Amir-e Qalam, 1425 H.
- Fuladvand, Ezzatullah, *Kherad dar Siyasat*, Teheran, Tarh-e Now, 1377 HS.
- Firahi, Davoud, *Astaneh-ye Tajaddod*, Teheran, Nashr-e Ney, 1394 HS.
- Firahi, Davoud, «Nezam-e Siyasi va Dowlat dar Eslam (3)», dalam *Faslnameh Ulum-e Siyasi*, No. 16, Musim Dingin 1380 HS.
- Qardhawi, Yusuf, *Fiqh-e Siyasi*, Terjemahan Abdul Aziz Salimi, Teheran, Nashr-e Ehsan, 1390 HS.
- Kermani, Nazhim al-Islam, *Tarikh-e Bidari-ye Iranian*, Teheran, Nashr-e Agah, 1357 HS.
- Karimi, Abolghasem dan Ghasem Shabannia, «E'tebar Sanji-ye Sodur va Dalali-ye Mashverat-haye Siyasi-Ijtima'i Payambar (saw) dar E'tebar-e Ra'y-e Aksariyat», dalam *Dofaslnameh Ma'rifat-e Siyasi*, No. 28, 1401 HS.
- Moradi, Zabihullah dan Ebrahim Mousavizadeh, «Mashru'iyat-e Jomhuriat dar Eslam», *Dofaslnameh Andisheh-haye Hoquq-e Omumi*, No. 11, 1396 HS.
- Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, *Hakimaneh-tarin Hukumat: Kavoshi dar Nazariyeh-ye Wilayat-e Faqih*, Diedit oleh Ghasem Shabannia, Qom, Muassasah Amuzeshi va Pazhuheshi Imam Khomeini, 1394 HS.
- Misbah Yazdi, Muhammad Taqi, *Nazariyeh-ye Siyasi-ye Eslam*, Qom, Muassasah Amuzeshi va Pazhuheshi Imam Khomeini, 1391 HS.
- Ma'rifat, Muhammad Hadi, *Jame'eh-ye Madani*, Qom, Muassasah Entesharat al-Tamhid, 1378 HS.
- Makarem Syirazi, Naser, *Al-Fatawa al-Jadidah*, Qom, Madrasah al-Imam Ali bin Abi Thalib, 1427 H.
- Montazeri, Husain Ali, *Dirasat fi Wilayah al-Faqih wa Fiqh al-Daulah al-Islamiyyah*, Qom, Nashr-e Tafakkur, 1409 H.
- Montazeri, Husain Ali, *Hukumat-e Dini va Hoquq-e Ensan*, Teheran, Nashr-e Sayeh, 1429 H.
- Naini, Muhammad Husain, *Tanbih al-Ummah wa Tanzih al-Millah*, Dikoreksi oleh Sayid Javad Varaei, Qom, Entesharat Daftar Tablighat Eslami, 1382 HS.
- Nuri, Fadhlullah, «Risalah Hormat-e Mashruteh», dalam buku *Rasail, Maktubat, E'lamiyeh-ha va Ruznameh-ye Syaikh-e Syahid Fadhlullah Nuri*, Diedit oleh Muhammad Torkaman, Teheran, Khadamat-e Farhangi-ye Rasa, 1363 HS.
- Varaei, Sayid Javad, *Pazhuheshi dar Andisheh-ye Siyasi-ye Naini*, Qom, Dabirkhaneh Majles-e Khobregan, 1382 HS.