Lompat ke isi

Konsep:Madzaq Syari

Dari wikishia

Madzaq Syari (bahasa Arab:مذاق الشارع) atau Madzaq Syara merupakan metode pemikiran Syari' (Pembuat Hukum) yang diperoleh seorang mujtahid dari keseluruhan prinsip dasar dan sikap-Nya dalam berbagai hukum, yang dengannya pandangan Syari' dapat ditemukan dalam kasus-kasus yang belum dinyatakan secara langsung. Istilah ini populer di kalangan fuqaha (ahli fikih) Syiah kontemporer. Disebutkan bahwa istilah ini pertama kali digunakan oleh Sayid Muhammad Jawad al-Husaini al-'Amili dengan sebutan "Madzaq Ashab", kemudian diikuti oleh penggunaannya oleh Shahib al-Jawahir, hingga secara bertahap menjadi lazim dalam literatur fikih.

Madzaq Syari' dan pengungkapannya merupakan salah satu isu penting dan esensial dalam istinbaṭh (penyimpulan) hukum syar'i, terutama dalam permasalahan dan hukum-hukum baru (mustaḥdatsah). Pembuktian hukum dalam kasus-kasus yang tidak ditemukan dalil dari Al-Qur'an, Sunah, atau dalil lainnya, serta penjelasan subjek (maudhu') suatu hukum, termasuk dalam penerapan Madzaq syari' yang sering digunakan dalam fikih.

Untuk memahami Madzaq syari', diperlukan pengetahuan mendalam tentang hukum-hukum syar'i serta prinsip dasar dan sikap Syari' dalam berbagai masalah. Mengenai kehujjahannya, dikatakan bahwa jika Madzaq syari' menghasilkan keyakinan (qath') dan kepastian terhadap suatu hukum syar'i, maka ia dianggap hujjah dan mu'tabar. Namun, jika hanya menghasilkan dugaan (Zhann), maka tidak ada dalil yang menunjukkan kehujjahan dan keabsahannya.

Istilah-istilah seperti "Dzauq Syari'ah", "Madzaq Masyhur", "Madzaq Fiqh" dan "Ruh Syari'ah" terkadang juga digunakan sebagai pengganti "Madzaq Syar'i'".

Terminologi

"Madzaq Syari'" adalah gaya dan metode pemikiran Syari' yang diperoleh seorang Mujtahid dari kumpulan dasar-dasar dan sikap-sikap-Nya dalam berbagai hukum, yang dengannya mujtahid menyingkap pandangan Syari' dalam kasus-kasus yang belum dinyatakan secara eksplisit.[1] Menurut definisi lain, ini bermakna pemahaman fukaha yang mendalam (mutabahhir) terhadap dasar-dasar hukum fikih yang dijadikan pegangan ketika tidak adanya dalil khusus serta tidak adanya keumuman (umum) dan kaidah-kaidah umum.[2]

Kasyif al-Ghita, salah seorang Marja Taklid Syiah abad ke-13 H, mengisyaratkan sejenis makrifat (pengetahuan) yang diperoleh dalam benak mujtahid dengan menggunakan "dzauq salim" (insting yang sehat) setelah melakukan penelusuran pada kumpulan dalil.[3] Sebagian peneliti menganggap makrifat ini sebagai Madzaq Syari', meskipun Kasyif al-Ghita tidak menyebutkannya secara eksplisit.[4]

Istilah-istilah seperti "Madzaq Syar'",[5] "Dzauq Syariat",[6] "Madzaq Masyhur",[7] "Madzaq Fiqh"[8] dan "Madzaq Ashab"[9] adalah istilah lain yang terkadang digunakan oleh para fukaha sebagai ganti istilah "Madzaq Syari'". Sebagian fukaha juga menggunakan istilah "Ruh Syariat" untuk makna ini.[10]

Kedudukan

Istilah "Madzaq Syari'" umum digunakan di kalangan fukaha Syiah mutaakhirin (periode akhir)[11] dan karena digunakan oleh fukaha dalam proses istinbat hukum-hukum syariat, istilah ini juga mendapat perhatian para ahli Ushul Fikih dalam beberapa kitab ushul baru, di mana mereka membahas syarat-syarat validitas (hujjah) serta cara-cara penyingkapan dan pencapaiannya.[12]

Haidar Hubbullah, seorang peneliti fikih dan pengajar di Hauzah Ilmiah Qom, mengatakan bahwa ia tidak menemukan istilah ini dalam fikih Ahlusunah dan menemukan bahwa Sayid Muhammad Jawad Amili (1160-1228 H) adalah fukaha pertama yang mengisyaratkan Madzaq Syari' dalam kitabnya, Miftah al-Karamah, dengan istilah "Madzaq Ashab".[13] Setelah Husseini Amili, Shahib Jawahir menggunakan istilah ini secara luas dalam Jawahir al-Kalam,[14] dan kemudian menjadi populer serta mendapat perhatian di kalangan fukaha setelahnya, khususnya dalam karya-karya fukaha seperti Agha Ridha Hamadani,[15] Sayid Abul Qasim Khui,[16] Sayid Muhsin al-Hakim[17] dan Imam Khomeini,[18].

Pentingnya

Shahib Jawahir menganggap pemahaman dan penyingkapan Madzaq Syari' sebagai nikmat (rezeki) yang diberikan Allah kepada orang yang mencapainya.[19] Madzaq Syari' dan penyingkapannya dianggap sebagai salah satu masalah penting dan mendesak dalam ijtihad dan istinbat hukum-hukum syariat, terutama dalam masalah-masalah dan hukum Mustahdatsah (baru).[20]

Dalam kitab Al-Faiq fi al-Ushul yang disusun oleh sekelompok pengajar Bahtsul Kharij (pelajaran fikih tingkat tinggi) Hauzah Ilmiah Qom di bawah pengawasan Muhammad Mahdi Syab Zindeh-dar sebagai buku pelajaran hauzah ilmiah, satu bab dikhususkan untuk membahas Madzaq Syari', terminologi, cara penyingkapan, dan validitasnya.[21] Dalam buku ini, Madzaq Syari' disebut sebagai salah satu cara untuk memperluas hukum suatu masalah syar'i yang memiliki dalil khusus kepada masalah syar'i lain yang tidak memiliki dalil khusus.[22] Dikatakan bahwa sebab-sebab dan cara-cara perluasan hukum ini sangat dibutuhkan oleh fukaha dalam posisi istinbatا hukum-hukum syariat, khususnya dalam masalah-masalah syar'i baru.[23]

Mahdi Mehrizi, seorang peneliti fikih asal Iran, dalam pengantar buku "Bibliografi Ushul Fikih Syiah", menganggap masalah Madzaq Syari' dan masalah-masalah sejenisnya sebagai isu yang memiliki peran kunci dalam istinbat hukum-hukum syariat dan memandang pembahasan mengenainya lebih patut diperhatikan daripada masalah-masalah yang kurang berfaedah dalam ilmu ushul fikih.[24]

Cara Memahami Madzaq Syari

Beberapa cara yang dapat digunakan untuk memahami dan menyingkap Madzaq Syari' antara lain:

  • Penguasaan dan cakupan terhadap hukum-hukum syariat, dasar-dasar, dan sikap Syari'.[25] Untuk menyingkap Madzaq Syari', seorang mujtahid harus menguasai seluruh hukum-hukum syariat dan sikap Syari' dalam berbagai hal, atau jika ingin mengetahui Madzaq Syari' dalam masalah khusus, ia harus menguasai sikap Syari' dalam bab atau bab-bab fikih yang berkaitan dengan masalah tersebut.[26]
  • Jika Syari' telah mengeluarkan hukum mengenai sesuatu yang memiliki batas atas dan batas bawah, tertuju pada batas bawahnya, maka Madzaq-Nya dapat diperoleh dari hukum ini dan diperluas ke batas atasnya;[27] Misalnya, salah satu syarat taklid kepada seorang Marja Taklid adalah harus adil. Namun, tidak ada dalil lafaz khusus yang menyatakan bahwa keadilan hanya disyaratkan di awal taklid ataukah harus terus berlanjut (istimrar). Oleh karena itu, sebagian ulama dengan memperhatikan bahwa Syari' mensyaratkan keadilan bagi Imam Salat Jamaah, baik di awal maupun seterusnya, mengatakan bahwa dari Madzaq Syari' dipahami bahwa bagi seorang Marja Taklid yang urusannya lebih penting dan sensitif, keadilan harus menjadi syarat baik di awal taklid maupun kelanjutannya.[28]
  • Memahami metode Syari' dalam menjelaskan syariat;[29] Sebagai contoh, mengenai hukum jarak antara laki-laki dan perempuan yang berdiri sejajar dalam Salat, terdapat riwayat-riwayat berbeda yang masing-masing menyebutkan jarak tertentu seperti satu jengkal, satu hasta, dan satu langkah.[30] Sayid Muhammad Muhaqqiq Damad berpendapat bahwa mematuhi jarak-jarak ini tidak mungkin Wajib. Alasannya, di satu sisi jarak-jarak yang disebutkan tidak teratur dan tersebar; di sisi lain, dari Madzaq Syari' dalam kasus-kasus wajib (seperti ukuran jarak syar'i untuk salat [qashar] dan nisab dalam Zakat), diperoleh pemahaman bahwa dalam hukum-hukum yang bersifat mengikat (ilzami), tidak ada perbedaan dan ketidakteraturan seperti itu dalam dokumen syar'i.[31]

Penerapan Madzaq Syari dalam Fikih

Beberapa contoh penerapan Madzaq Syari' dalam istinbat hukum-hukum syariat adalah sebagai berikut:

  • Membuktikan hukum dalam kasus yang tidak memiliki dalil dari Al-Qur'an, Sunnah, atau dalil lainnya;[32] Terkadang dengan menyingkap Madzaq Syari', hukum dari suatu kasus yang memiliki dalil syar'i diperluas ke kasus yang tidak memiliki dalil syar'i;[33] Sebagai contoh, Sayid Abul Qasim Khui mengenai keharaman menjerumuskan orang lain ke dalam perbuatan haram mengatakan bahwa menjual minyak Najis kepada seorang Muslim menyebabkan dia terjerumus ke dalam haram yang nyata (waqi'i); oleh karena itu, dalam syariat Islam dihukumi haram; dengan demikian, dari Madzaq Syari' dipahami bahwa secara umum menjerumuskan orang lain ke dalam haram yang nyata adalah haram.[34]
  • Menjelaskan dan memurnikan (tanqih) subjek hukum;[35] Terkadang terdapat ambiguitas dan keraguan dalam subjek hukum dan batasannya tidak jelas, yang kemudian menjadi terang dengan merujuk pada Madzaq Syari';[36] Misalnya, dalam masalah keharaman Menikahi Dua Saudara Perempuan (sekaligus), muncul pembahasan jika salah satu dari dua saudari itu atau keduanya lahir dari hubungan tidak sah atau Zina, apakah keharaman menikahi dua saudara perempuan secara bersamaan juga mencakup kasus ini atau tidak, terdapat ketidakjelasan.[37] Sayid Muhsin Hakim berpendapat bahwa meskipun Syari' menafikan nasab syar'i dalam kasus zina, namun dari Madzaq-Nya terungkap bahwa dalam Nikah, yang menjadi patokan bukanlah nasab syar'i (hakiki), melainkan nasab 'urfi (secara adat/biologis). Oleh karena itu, dua saudara perempuan yang salah satu atau keduanya lahir dari jalan tidak sah, secara 'urf dianggap saudara, dan menikah dengan mereka secara bersamaan adalah haram.[38]
  • Membatasi penunjukkan (dilalah) suatu dalil pada satu makna di antara berbagai kemungkinan;[39] Sebagai contoh, berdasarkan sebuah hadis, Imam Shadiq as ditanya tentang hukum menimbun (ihtikar) bahan makanan dan beliau menjawab: "Jika bahan makanan berlimpah, tidak masalah, dan jika bahan makanan sedikit sehingga orang-orang berada dalam kesulitan, maka perbuatan ini makruh."[40] Imam Khomeini dalam Kitab al-Bai' menyatakan bahwa yang dimaksud dengan "karahat" (kemakruhan) dalam riwayat ini bukanlah makruh istilah fikih; karena dengan memperhatikan Madzaq Syari', sangat tidak mungkin penimbunan yang menyebabkan masyarakat kesulitan mendapatkan bahan makanan pokok dianggap sebagai perbuatan makruh dan tidak Haram.[41]

Contoh Penggunaan Madzaq Syari dalam Istinbath Hukum

Beberapa pandangan fikih yang dicapai oleh para fukaha dengan bersandar pada Madzaq Syari' adalah sebagai berikut:

  • Sayid Abul Qasim Khui, dengan bersandar pada Madzaq Syari', mensyaratkan jenis kelamin laki-laki untuk seorang Marja Taklid.[42] Ia berpendapat bahwa di satu sisi, posisi Marjaiyah menuntut para mukallid (pengikut) untuk sering merujuk kepada Marja Taklid mereka dalam berbagai urusan. Dan disisi lain, dari Madzaq Syari' dipahami bahwa Syari' mengharapkan perempuan untuk tertutup (berada di balik tabir) dan sibuk dengan urusan rumah, serta tidak rela jika mereka menempatkan diri mereka sebagai tempat rujukan para mukallid atau laki-laki non-mahram.[43]
  • Menurut para fukaha, jika seseorang menitipkan harta kepada orang yang amanah sebagai Wadiah (titipan) dan orang tersebut menjaga harta itu secara cuma-cuma (gratis) untuk pemiliknya, maka jika harta tersebut rusak dan ia tidak berperan dalam kerusakan itu, ia tidak menjamin (dhamin) harta tersebut.[44] Namun, mengenai apakah pemilik harta boleh memberikan syarat bahwa jika harta rusak maka penerima titipan harus menggantinya atau tidak, Shahib Jawahir mengatakan syarat ini tidak sah dan bertentangan dengan Madzaq Syari'.[45]
  • Menurut sebagian fukaha, inseminasi buatan pada wanita dengan sperma laki-laki asing (bukan suami), atau dengan kata lain, memasukkan sperma laki-laki asing secara langsung ke dalam rahim wanita tanpa kontak fisik, adalah haram.[46] Nashir Makarim Syirazi dalam bagian Makasib kitab Anwar al-Faqahah, menyimpulkan keharaman perbuatan ini dari Madzaq Syari' dalam hal pencegahan percampuran nasab.[47]

Validitas Madzaq Syari

Dikatakan bahwa Madzaq Syari' atau Madzaq Syara', dari segi validitas (hujjiyat) atau kredibilitasnya terbagi menjadi dua bentuk:[48] Entah karenanya diperoleh kepastian (qath') dan keyakinan akan hukum-hukum syariat, yang dalam hal ini ia adalah hujjah dan valid; atau hanya menyebabkan terjadinya dugaan (zhan), yang dalam hal ini tidak ada dalil atas validitas dan kredibilitasnya.[49]

Prasyarat Validitas Dalil Madzaq Syari

Dikatakan bahwa pencapaian hukum-hukum syariat melalui Madzaq Syari' disyaratkan dengan penerimaan tiga prasyarat (asumsi dasar):

  • Syari' memiliki hukum di setiap tempat dan untuk semua peristiwa.
  • Sifat dasar setiap pembuat hukum adalah tidak menetapkan hukum yang bertentangan dengan gaya (masyrab) dan selera (Madzaq)-nya sendiri.
  • Hukum yang diperoleh melalui Madzaq Syari' tidak memiliki penghalang atau pengganggu yang lebih kuat.[50]

Catatan Kaki

  1. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.
  2. Tim Penulis, Farhang-name-ye Ushul-e Fiqh, 1389 HS, hlm. 715.
  3. Kasyif al-Ghita, Kasyf al-Ghita 'an Mubhamat al-Syari'ah al-Gharra, 1422 H, jld. 1, hlm. 188.
  4. Qaderi, "Madzaq-e Syar' dar Keifiyat va E'tebar", hlm. 80-81.
  5. Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 30, hlm. 195; Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 3, hlm. 414; Syekh Anshari, Kitab al-Makasib, Turats al-Syekh al-A'zham, jld. 4, hlm. 298.
  6. Mehrizi, Ketabsyenasi-ye Ushul-e Fiqh-e Syi'ah, 1373 HS, hlm. 34.
  7. Syekh Anshari, Kitab al-Makasib, Turats al-Syekh al-A'zham, jld. 2, hlm. 28.
  8. Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 4, hlm. 298.
  9. Husseini Amili, Miftah al-Karamah, 1419 H, jld. 2, hlm. 38.
  10. Sebagai contoh lihat: Alawi, Al-Qaul al-Rasyid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Syihabuddin Mar'asyi Najafi), 1422 H, jld. 1, hlm. 427.
  11. Tim Penulis, Farhang-name-ye Ushul-e Fiqh, 1389 HS, hlm. 715.
  12. Sebagai contoh lihat: Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.
  13. Hubbullah, "Al-Ijtihad al-Madzaqi au Madzaq al-Syari' wa Mizaj al-Syari'ah", Situs Resmi Haidar Hubbullah.
  14. Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 1, hlm. 303 dan jld. 2, hlm. 329 dan jld. 15, hlm. 196 dan jld. 27, hlm. 217 dan jld. 30, hlm. 310.
  15. Hamadani, Misbah al-Faqih, 1376 HS, jld. 5, hlm. 253 dan hlm. 130.
  16. Khui, Mausu'ah al-Imam al-Khoei, 1417 H, jld. 1, hlm. 185 dan 187 dan 200 dan 292 dan jld. 21, hlm. 345 dan jld. 30, hlm. 379.
  17. Hakim, Mustamsak al-Urwah al-Wutsqa, 1391 H, jld. 2, hlm. 424 dan jld. 4, hlm. 154 dan jld. 9, hlm. 129 dan jld. 14, hlm. 259.
  18. Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 1, hlm. 243 dan jld. 2, hlm. 544 dan jld. 3, hlm. 414 dan jld. 4, hlm. 298.
  19. Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 30, hlm. 195.
  20. Itsna Asyari, "Muqaddimah", dalam kitab Al-Faiq fi al-Ushul, karya Tim Penulis, 1444 H, hlm. 4.
  21. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.
  22. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 177-178.
  23. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 177.
  24. Mehrizi, Ketabsyenasi-ye Ushul-e Fiqh-e Syi'ah, 1373 HS, hlm. 33-34.
  25. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 231.
  26. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 231.
  27. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 232.
  28. Khoei, Mausu'ah al-Imam al-Khoei, 1417 H, jld. 1, hlm. 185.
  29. Alidust, Asyayeri Monfared, "Estenad-e Fiqhi be Madzaq-e Syari'at dar Bute-ye Naqd", hlm. 20.
  30. Sebagai contoh lihat: Hurr Amili, Wasail al-Syi'ah, 1416 H, jld. 5, hlm. 123-127.
  31. Javadi Amoli, Mu'min, Kitab al-Shalat (Taqrirat pelajaran Sayid Muhammad Muhaqqiq Damad), Muassasah al-Nasyr al-Islami, jld. 3, hlm. 26.
  32. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 233.
  33. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 233.
  34. Khoei, Mausu'ah al-Imam al-Khui, 1417 H, jld. 35, hlm. 181.
  35. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 234.
  36. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 234.
  37. Tabataba'i Yazdi, Al-Urwah al-Wutsqa, 1417 H, jld. 5, hlm. 551.
  38. Hakim, Mustamsak al-Urwah, 1391 H, jld. 14, hlm. 259.
  39. Hubbullah, "Al-Ijtihad al-Madzaqi au Madzaq al-Syari' wa Mizaj al-Syari'ah", Situs Resmi Haidar Hubbullah.
  40. Kulaini, Al-Kafi, 1407 H, jld. 5, hlm. 165.
  41. Imam Khomeini, Kitab al-Bai', 1410 H, jld. 3, hlm. 607-608.
  42. Gharavi Tabrizi, Kitab al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Abul Qasim Khui), 1410 H, hlm. 226.
  43. Gharavi Tabrizi, Kitab al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Abul Qasim Khui), 1410 H, hlm. 226.
  44. Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 27, hlm. 216.
  45. Najafi, Jawahir al-Kalam, 1362 HS, jld. 27, hlm. 217.
  46. Sebagai contoh lihat: Fadhil Lankarani, Ahkam-e Pezesykan va Bimaran, 1427 H, hlm. 98.
  47. Makarim Syirazi, Anwar al-Faqahah (Al-Makasib), 1426 H, hlm. 59.
  48. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 237.
  49. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 237.
  50. Tim Penulis, Al-Faiq fi al-Ushul, 1444 H, hlm. 230.

Daftar Pustaka

  • Alavi, Sayid Adil. Al-Qaul al-Rasyid fi al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Syihabuddin Mar'asyi Najafi). Qom, Perpustakaan Ayatullah Mar'asyi Najafi, 1422 H.
  • Alidust, Abul Qasim dan Muhammad Asyayeri Munfared. "Estenad-e Fiqhi be Madzaq-e Syari'at dar Bute-ye Naqd". Jurnal Huquq-e Eslami, No. 22, Musim Gugur 1388 HS.
  • Fadhil Lankarani, Muhammad. Ahkam-e Pezesykan va Bimaran (Hukum Dokter dan Pasien). Qom, Markaz-e Fiqhi-ye A'immeh Athar as, 1427 H.
  • Gharavi Tabrizi, Mirza Ali. Kitab al-Ijtihad wa al-Taqlid (Taqrirat pelajaran Ayatullah Sayid Abul Qasim Khoei). Qom, Dar al-Hadi, 1410 H.
  • Hakim, Sayid Muhsin. Mustamsak al-Urwah. Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, 1391 H.
  • Hamadani, Reza. Misbah al-Faqih. Qom, Al-Muassasah al-Ja'fariyyah li Ihya al-Turats, 1376 HS.
  • Hubbullah, Haidar. "Al-Ijtihad al-Madzaqi au Madzaq al-Syari' wa Mizaj al-Syari'ah", Situs Resmi Haidar Hubbullah, Tanggal akses: 30 Shahrivar 1403 HS.
  • Hurr Amili, Muhammad bin Hasan. Wasail al-Syi'ah. Qom, Muassasah Alu al-Bait as, 1416 H.
  • Husaini Amili, Muhammad Jawad. Miftah al-Karamah fi Syarh Qawa'id al-Allamah. Qom, Jama'ah al-Mudarrisin fi al-Hauzah al-Ilmiyyah bi Qum; Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1419 H.
  • Imam Khomeini, Sayid Ruhullah. Kitab al-Bai'. Qom, Muassasah Ismailiyan, 1410 H.
  • Itsna Asyari, Husain. "Muqaddimah". Dalam kitab Al-Faiq fi al-Ushul, karya Tim Penulis. Qom, Muassasah al-Nasyr li al-Hauzat al-Ilmiyyah, 1444 H.
  • Javadi Amuli, Abdullah dan Muhammad Mu'min. Kitab al-Shalat (Taqrirat pelajaran Sayid Muhammad Muhaqqiq Damad). Qom, Muassasah al-Nasyr al-Islami, Tanpa Tahun.
  • Kasyif al-Ghita, Syekh Ja'far. Kasyf al-Ghita 'an Mubhamat al-Syari'ah al-Gharra. Qom, Daftar Tablighat-e Eslami-ye Hauze-ye Elmi-ye Qom, 1422 H.
  • Khui, Sayid Abul Qasim. Mausu'ah al-Imam al-Khoei. Qom, Ihya Atsar al-Imam al-Khoei, 1417 H.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub. Al-Kafi. Disunting oleh Ali Akbar Ghaffari dan Muhammad Akhundi, Teheran, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1407 H.
  • Makarim Syirazi, Nashir. Anwar al-Faqahah (Al-Makasib). Qom, Madrasah al-Imam Ali bin Abi Thalib as, 1426 H.
  • Mehrizi, Mehdi. Ketabsyenasi-ye Ushul-e Fiqh-e Syi'ah (Bibliografi Ushul Fikih Syiah). Qom, Kongres Internasional Peringatan 200 Tahun Kelahiran Syekh A'zham Anshari, 1373 HS.
  • Najafi, Muhammad Hasan. Jawahir al-Kalam fi Syarh Syara'i al-Islam. Disunting oleh Abbas Quchani dan Ali Akhundi, Beirut, Dar Ihya al-Turats al-Arabi, Cetakan ketujuh, 1362 HS.
  • Qaderi, Sayid Razi. "Madzaq-e Syar' dar Keifiyat va E'tebar". Jurnal Fiqh (Kavosyi No dar Fiqh-e Eslami), No. 4, Musim Dingin 1392 HS.
  • Syekh Anshari, Murtadha. Kitab al-Makasib. Qom, Turats al-Syekh al-A'zham, Tanpa Tahun.
  • Thabathaba'i Yazdi, Sayid Muhammad Kazim. Al-Urwah al-Wutsqa. Qom, Muassasah al-Nasyr al-Islami, 1417 H.
  • Tim Penulis. Al-Faiq fi al-Ushul. Qom, Muassasah al-Nasyr li al-Hauzat al-Ilmiyyah, Cetakan kedelapan, 1444 H.
  • Tim Penulis. Farhang-name-ye Ushul-e Fiqh (Kamus Ushul Fikih). Qom, Pazhuhesygah-e Ulum va Farhang-e Eslami, 1389 HS.