Lompat ke isi

Konsep:Keadilan Sosial

Dari wikishia

|| || || || || - || || || editorial box Keadilan Sosial (bahasa Arab: العدالة الاجتماعية) dimaknai sebagai kemungkinan bagi semua orang untuk menikmati kondisi yang adil dalam mengakses sumber daya dan peluang sosial, di mana menurut prinsip ini, semua orang diperlakukan sama dalam kondisi yang sama, dan dalam kondisi yang berbeda, perlakuan disesuaikan dengan kemampuan, kelayakan (istihqaq), dan kebutuhan individu. Meskipun keadilan sosial dianggap sebagai konsep modern, namun memiliki akar yang dalam pada studi Islam dan berkaitan dengan ilmu-ilmu seperti fikih, kalam, filsafat, akhlak, hukum, politik, dan ekonomi. Dalam beberapa penelitian, keadilan sosial diajukan sebagai sebuah kaidah fikih yang berfungsi baik dalam menetapkan atau menafikan hukum syariat, maupun sebagai tolak ukur untuk menilai kebenaran atau ketidakbenaran hukum fikih. Berdasarkan pendekatan fikih pemerintahan, kaidah fikih ini dapat menjadi dasar istinbath (penggalian hukum) bagi seorang mujtahid dalam kasus-kasus di mana tidak terdapat nas (teks) agama.

Meluasnya teori keadilan sosial dalam pemikiran Syiah dianggap sebagai hasil dari reformasi pendekatan individualistik terhadap keadilan, di mana pendekatan ini menghindari pembatasan keadilan hanya pada urusan moral dan karakteristik kepribadian (Keadilan Individu). Terwujudnya keadilan sosial, dengan merujuk pada ayat-ayat Al-Qur'an, dianggap sebagai salah satu tujuan diutusnya para nabi (bi'tsah). Para pemikir seperti Imam Khomeini, Allamah Thabathaba'i, dan Murtadha Muthahhari, memandang perintah Tuhan untuk berlaku adil dalam Al-Qur'an lebih mengarah pada keadilan sosial daripada keadilan individu. Selain itu, para pemikir Islam menganggap sumber keadilan sosial terletak pada fitrah manusia dan merupakan nilai kemanusiaan umum yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.

Pemahaman terhadap konsep keadilan sosial dianggap bergantung pada pemahaman terhadap unsur-unsur dan indikator-indikatornya, antara lain kebebasan, kesetaraan, kerja sama sosial, memperhatikan kelayakan dan kompetensi, serta memberikan hak kepada setiap pemilik hak. Para peneliti meyakini bahwa keadilan sosial akan terwujud ketika hak-hak sosial warga negara diakui dan terdapat keseimbangan antara hak individu dan masyarakat. Pembentukan pemerintahan dianggap sebagai syarat lain bagi terwujudnya keadilan sosial; pemerintahan yang menyediakan landasan keadilan di bidang politik, ekonomi, dan budaya. Keadilan sosial dalam dimensi politik bermakna partisipasi yang setara, ketidakberpihakan negara, dan Meritokrasi; dalam dimensi ekonomi, mengacu pada distribusi kekayaan yang adil, pemberantasan korupsi, dan pengurangan kesenjangan kelas; dan dalam budaya, bermakna distribusi peluang pendidikan dan budaya yang setara. Menciptakan keseimbangan dan ketertiban dalam masyarakat, menjaga kemuliaan manusia, dan mengembangkan kemampuannya dianggap sebagai hasil dan tujuan dari keadilan sosial, yang jika dipatuhi akan membawa keamanan, ketenangan, perbaikan masyarakat, dan penghapusan kezaliman.

Beberapa aliran Islam dan sejumlah mazhab pemikiran di Barat, serta pendukung pemikiran Marxis, memperkenalkan keadilan sosial sebagai konsep yang tidak praktis, melanggar kebebasan, atau produk dunia kapitalis yang tidak perlu dikejar perwujudannya. Penentangan Muslim terhadap konsep keadilan sosial (sebagai konsep modern) meyakini bahwa karena Islam adalah agama yang sempurna di mana mencakup seluruh kebutuhan spiritual dan material manusia, maka tidak diperlukan lagi lembaga dan pengetahuan manusia seperti keadilan sosial untuk membuat model sosial.

Kedudukan

Meskipun keadilan sosial dianggap sebagai konsep baru,[1] namun ia memiliki latar belakang yang sangat tua dan menempati bagian luas dari penelitian terkait studi keadilan di masa lalu dan sekarang. Beberapa orang menelusuri akar pembahasan topik ini dalam ilmu-ilmu Islam hingga karya-karya filsuf seperti Farabi.[2] Masalah keadilan sosial berkaitan dengan berbagai bidang ilmu seperti filsafat, akhlak, ilmu politik dan sosial, hukum, ekonomi, ilmu pendidikan, dan psikologi,[3] serta ilmu-ilmu agama seperti kalam dan fikih.[4]

Meluasnya teori ini dalam pemikiran Syiah dianggap sebagai hasil dari ditinggalkannya pandangan individualistik yang umum di kalangan sebagian Ahlusunah, yang membatasi keadilan hanya pada urusan moral atau Keadilan Individu.[5] Selain itu, peningkatan peran sosial dan politik manusia serta kehadirannya di ranah publik seperti ekonomi, budaya, dan politik, dianggap sebagai alasan semakin menonjolnya topik keadilan sosial;[6] hingga PBB pun menetapkan tanggal 20 Februari sebagai "Hari Keadilan Sosial".[7]

Para pemikir Islam seperti, Imam Khomeini menganggap terwujudnya keadilan sosial, berdasarkan ayat-ayat seperti Ayat 25 Surah Al-Hadid, sebagai salah satu tujuan penting diutusnya para Nabi as.[8] Allamah Thabathaba'i terkait ayat 90 Surah An-Nahl menegaskan bahwa perintah Ilahi untuk berlaku adil berkaitan dengan keadilan sosial, bukan keadilan individu.[9] Murtadha Muthahhari juga meyakini bahwa sebagian besar ayat tentang keadilan dalam Al-Qur'an adalah mengenai keadilan sosial.[10] Ahmad Wa'izhi, salah satu peneliti agama di bidang keadilan sosial, juga menganggap perintah Al-Qur'an tentang keadilan dan Qist sebagai perintah pendirian yang wajib ditegakkan oleh masyarakat dan sistem politik di semua bidang kehidupan.[11]

Para peneliti agama menganggap sejumlah ajaran Nahjul Balaghah berkaitan dengan masalah keadilan sosial. Di antaranya, ungkapan Imam Ali as dalam Khotbah Syiqsyiqiyah saat menerima Kekhalifahan[12] dianggap sebagai tanda bahwa Imam menerima pemerintahan demi mewujudkan jenis keadilan ini.[13] Selain itu, anjuran untuk berlaku inshaf (adil) terhadap semua warga negara dalam perjanjian Malik al-Asytar,[14] menciptakan kesempatan yang setara bagi semua,[15] pelaksanaan hukum tanpa diskriminasi,[16] dan perhatian kepada kaum miskin[17] dianggap sebagai hal-hal yang dimaksudkan Imam as sebagai penegakan keadilan sosial.[18]

Keadilan sosial, yang dalam penelitian agama diperkenalkan sebagai salah satu pilar Islam,[19] dianggap sebagai poros utama dalam mengatur hubungan antarindividu dan hubungan negara dengan rakyat,[20] yang pada akhirnya akan membentuk struktur yang adil.[21] Oleh karena itu, dikatakan bahwa keadilan sosial terkait erat dengan konsep negara dan hak kewarganegaraan, dan perwujudannya adalah tugas negara.[22]

Kaidah Fikih Keadilan Sosial

Dalam beberapa penelitian fikih, keadilan sosial disebut sebagai sebuah Kaidah Fikih. Kaidah ini dapat digunakan oleh para fukaha baik untuk menetapkan atau menafikan hukum syariat, maupun sebagai tolak ukur untuk menilai kebenaran atau ketidakbenaran hukum fikih.[23] Berdasarkan hal ini, dikatakan bahwa kaidah keadilan sosial dapat menjadi panduan bagi mujtahid dalam kasus-kasus di mana tidak terdapat nas agama (Manthiqat al-Faragh); karena dasar agama dan hukum syariat dibangun di atas keadilan, dan jika suatu hukum tidak sesuai dengan keadilan, maka berdasarkan kaidah ini hukum tersebut dapat dikesampingkan.[24]

Poin lain yang disebutkan mengenai kaidah fikih keadilan sosial adalah bahwa kaidah ini tidak akan dapat terwujud berdasarkan pendekatan individualistik terhadap fikih, dan hanya dengan pendekatan Fikih Pemerintahan kondisi dan landasan pelaksanaannya dapat disediakan.[25]

Konseptualisasi

Para peneliti keadilan dalam penelitian mereka tidak memberikan definisi yang spesifik dan presisi mengenai konsep keadilan sosial; melainkan lebih banyak menjelaskan unsur-unsur, rukun, dan contoh-contohnya;[26] namun demikian, beberapa orang mencoba memberikan definisi keadilan sosial dengan memperhatikan unsur-unsur utamanya. Menurut mereka, keadilan sosial berarti "kemungkinan bagi semua orang untuk menikmati kondisi yang adil dalam mengakses sumber daya dan peluang sosial"[27] atau "menjaga dan mematuhi hak-hak seluruh masyarakat dan memperhatikan kemaslahatan umum".[28] Dalam menjelaskan definisi ini dikatakan bahwa keadilan sosial berarti dalam kondisi yang sama, semua orang diperlakukan sama, dan dalam kondisi yang berbeda, perlakuan diatur berdasarkan kemampuan, kebutuhan, dan kelayakan nyata individu.[29]

Transformasi Konseptual Keadilan Sosial

Keadilan sosial pada awalnya dipahami dengan pandangan ekonomi. Dalam pandangan ini, keadilan sosial dianggap bermakna "distribusi fasilitas dan kekayaan yang adil di antara individu" dan biasanya disebut sebagai Keadilan Distributif;[30] namun secara bertahap, konsep keadilan sosial dianggap sebagai nilai yang mencakup semua ranah sosial. Berdasarkan hal ini, keadilan sosial dibayangkan sebagai situasi di mana kondisi yang diperlukan disediakan agar setiap pemilik hak dapat mencapai haknya; akibatnya, urusan sosial juga akan tertata.[31]

Pengenalan yang tepat tentang hakikat keadilan sosial juga dianggap bergantung pada pengenalan pola pikir Islam tentang eksistensi, kehidupan, dan manusia.[32] Berdasarkan hal ini dikatakan bahwa karena Islam adalah agama yang komprehensif mencakup ibadah, muamalah, akidah dan amal, nilai-nilai ekonomi dan spiritual, serta dunia dan akhirat; maka keadilan sosial juga merupakan keadilan manusiawi umum yang mencakup seluruh manifestasi kehidupan, bukan dimensi ekonomi atau individu yang terbatas.[33]

Untuk mengenali konsep keadilan sosial juga ditunjukkan bahwa pemahamannya di setiap masyarakat bergantung pada pengenalan keyakinan dan adat istiadat yang diterima oleh masyarakat tersebut; oleh karena itu, pemahaman keadilan sosial bersifat historis dan tidak dapat diharapkan adanya konsep abstrak yang asing dari realitas budaya dan universal darinya; artinya setiap masyarakat akan memiliki persepsi khusus tentang keadilan sosial berdasarkan budaya dan kondisinya.[34]

Sumber Keadilan Sosial

Mengenai sumber keadilan sosial, berbagai pandangan telah dikemukakan. Beberapa orang seperti Imam Khomeini[35] dan Murtadha Muthahhari[36] menganggapnya berdasarkan fitrah manusia. Sebaliknya, sejumlah pemikir Barat seperti John Rawls yang dikenal sebagai teoretisi keadilan, menganggapnya hanya sebagai keutamaan moral.[37] Kelompok lain juga menerimanya karena manfaat keadilan bagi manusia; artinya karena keadilan menguntungkan manusia, maka ia memiliki legitimasi.[38] Berdasarkan pandangan yang mendasarkan keadilan pada fitrah manusia, dikatakan bahwa landasan ini juga memungkinkan pengajuan konsep yang lebih luas seperti Keadilan Global dan Keadilan Antargenerasi.[39]

Unsur dan Indikator

Menurut para pemikir, untuk memahami konsep keadilan sosial, kita harus memahami unsur-unsur atau indikator-indikator yang disebut sebagai unsur pembentuk makna keadilan sosial. Beberapa unsur tersebut antara lain kebebasan, persamaan, kerja sama sosial, memberikan hak kepada setiap pemilik hak, dan memperhatikan kelayakan serta kepantasan.[40]

  • Kebebasan: Kebebasan berarti terbebasnya manusia dari dominasi orang lain dan hanya tunduk kepada Allah swt. Menurut beberapa pemikir Islam, jenis kebebasan spiritual dan psikologis ini membuat manusia tahan terhadap faktor-faktor diskriminatif dan merupakan salah satu faktor untuk mencapai keadilan sosial.[41]
  • Kesetaraan dan Persamaan: Kesetaraan adalah lawan dari diskriminasi; artinya di mana kesetaraan itu diinginkan dan seharusnya, segala bentuk diskriminasi seperti etnis, ras, kelas, dan lain-lain akan menjadi contoh ketidakadilan.[42] Murtadha Muthahhari, pemikir Syiah, dengan menolak kesetaraan mutlak yang mengabaikan kelayakan dan kompetensi, mengartikan kesetaraan dan persamaan sebagai penghapusan diskriminasi dan kesetaraan di depan hukum, bukan hukum yang sama untuk semua.[43]
  • Kerja Sama Sosial: Kerja sama sosial (Takaful Ijtima'i) dianggap sebagai penyebab pengaturan batas-batas kebebasan dan persamaan; karena kebebasan mutlak dan persamaan menyeluruh tidak dapat bertahan, dan kemaslahatan masyarakat menuntut adanya pembatasan tertentu dalam kebebasan dan persamaan individu.[44]
  • Memperhatikan Kelayakan dan Kepantasan: Dalam kasus di mana pemanfaatan suatu hak istimewa bergantung pada dimilikinya kelayakan dan kompetensi individu, tidak diperhatikannya kompetensi ini dalam sistem sosial dan keyakinan pada kesetaraan mutlak dianggap sebagai ketidakadilan itu sendiri, yang akan mengarah pada terciptanya hambatan dalam mewujudkan keadilan sosial.[45]
  • Memberikan Hak setiap Pemilik Hak: Menghalangi individu dari hak yang secara hukum dan syariat adalah miliknya, dianggap sebagai contoh ketidakadilan dan salah satu faktor terpenting yang merusak keadilan sosial.[46]

Strategi Realisasi

Prasyarat utama terwujudnya keadilan sosial pada awalnya dianggap bergantung pada pengakuan hak-hak sosial warga negara dan mengutamakan masyarakat di atas individu; berdasarkan hal ini dikatakan bahwa jika terjadi konflik antara hak individu dan masyarakat, maka harus memihak masyarakat; tentu saja tidak secara ekstrem sehingga hak individu diabaikan;[47] dengan kata lain, keadilan sosial terwujud ketika terjadi keseimbangan antara hak individu dan masyarakat; tidak individu yang dihapuskan, tidak pula masyarakat.[48]

Berdasarkan teori prioritas masyarakat atas individu, dikatakan bahwa terwujudnya keadilan sosial tidak akan mungkin tanpa pembentukan pemerintahan;[49] oleh karena itu, berbicara tentang keadilan sosial pada dasarnya berbicara tentang masyarakat yang memiliki negara dan wilayah tertentu yang ingin mengatur lembaga, struktur, peluang, dan tugas individu berdasarkan kriteria yang adil.[50]

Selain prasyarat mengutamakan masyarakat di atas individu dan pembentukan pemerintahan untuk mewujudkan keadilan sosial, strategi juga ditawarkan untuk mewujudkan jenis keadilan ini dalam berbagai dimensi seperti politik, ekonomi, dan budaya.

  • Politik: Keadilan sosial dalam dimensi politiknya dianggap sebagai pencapaian pemerintahan yang adil, di mana keberadaan kebebasan politik sebagai dasar partisipasi politik dijamin oleh negara, landasan untuk mencapai posisi sosial dan partisipasi dalam sistem politik disediakan, negara menjaga ketidakberpihakannya dalam berbagai tahap legislasi, eksekusi, dan peradilan, semua orang dianggap setara di depan hukum, dan pada akhirnya, keberadaan sistem seleksi yang adil untuk semua orang dan kepatuhan pada prinsip meritokrasi ditekankan.[51] Menurut Ahmad Wa'izhi, penegakan keadilan politik bergantung pada realitas sosial dan politik setiap masyarakat, memerlukan pembangunan kelembagaan dan reformasi proses politik serta penetapan peraturan khusus, dan dalam masyarakat Islam, ilmu fikih politik memiliki peran yang menonjol untuk menyusun teori keadilan politik.[52]
  • Ekonomi: Terwujudnya keadilan sosial di bidang ekonomi mensyaratkan distribusi kekayaan dan fasilitas secara adil,[53] intervensi negara untuk menyesuaikan atau menghapus kesenjangan kelas,[54] penghapusan korupsi dari aparatur administrasi dan manajemen negara, reformasi kebijakan moneter dan pajak, penyediaan fasilitas produksi dan kegiatan ekonomi bagi masyarakat umum, pengurangan kesenjangan kelas dengan mekanisme seperti infak, zakat, khumus, wakaf, dan jaminan sosial untuk menciptakan keseimbangan ekonomi, pendidikan umum teknik dan keterampilan, pendirian sistem koperasi, dan lain-lain.[55]
  • Budaya: Berbicara tentang keadilan budaya adalah di tempat di mana dibahas tentang adil atau tidak adilnya kebijakan budaya dan distribusi produk budaya.[56] Masalah keadilan budaya dianggap sebagai masalah distribusi kebaikan dan anugerah budaya secara adil yang mencakup lingkaran luas produk budaya, hak budaya, dan kehidupan budaya.[57] Keadilan budaya dianggap sebagai menemukan cara agar dalam pembentukan mentalitas dan perubahannya, dan akibatnya dalam jenis perilaku individu, keadilan dapat ditegakkan; oleh karena itu, salah satu landasan terwujudnya keadilan budaya adalah kesetaraan individu dalam menikmati ilmu dan pengetahuan sesuai dengan tabiat, selera, dan minat mereka.[58]

Tujuan dan Hasil

Tujuan utama dari keadilan sosial dianggap agar setiap manusia dalam masyarakat dapat menerima respons yang layak sesuai dengan usaha dan kelayakannya,[59] yang mana hal ini menurut sebuah riwayat dari Imam Ali as juga akan mengarah pada perbaikan masyarakat.[60] Murtadha Muthahhari menganggap hasil dari kepatuhan terhadap keadilan sosial adalah kelangsungan masyarakat dan kemajuannya, dan sebaliknya, penyebaran kezaliman sebagai faktor kemerosotan dan keruntuhan masyarakat.[61] Imad Afrugh, seorang peneliti ilmu sosial, dengan merujuk pada sejumlah riwayat dan ajaran agama, meyakini bahwa keadilan sosial akan menyebabkan perbaikan urusan rakyat, kemakmuran kota, pemenuhan hak-hak asasi manusia,[62] penghancuran kezaliman dan orang zalim, serta menjadi sarana kelapangan.[63]

Ahmad Wa'izhi juga berkeyakinan bahwa para pembela keadilan sosial biasanya memiliki sikap kritis terhadap situasi masyarakat mereka saat ini; oleh karena itu, dengan berteori di seputar konsep keadilan sosial, mereka bertujuan untuk mengusulkan model untuk keluar dari situasi saat ini dan berdasarkan model ini, membantu menjadikan berbagai dimensi kehidupan sosial menjadi adil dan menegakkan ketertiban sosial yang adil.[64]

Menjaga martabat manusia dan mengembangkan kemampuannya juga dianggap sebagai hasil dari terwujudnya keadilan sosial dalam masyarakat; karena penghormatan terhadap hak asasi manusia oleh orang lain pada dasarnya adalah penghormatan terhadap martabat orang lain dan akan memperkuat hubungan antar anggota masyarakat.[65] Selain itu, terciptanya ketenangan dan keamanan dalam masyarakat dianggap sebagai hasil dari dilaksanakannya keadilan sosial dalam masyarakat[66] yang hal itu pun tidak akan terjamin tanpa keadilan ekonomi dan keadilah yudisial.[67]

Penentang

Gambar buku Keadilan Sosial karya Ahmad Wa'izhi

Berlawanan dengan mereka yang menganggap keadilan sosial penting untuk membuat hubungan sosial menjadi adil dan mendistribusikan anugerah secara adil di antara semua manusia yang setara,[68] beberapa mazhab pemikiran baik di dunia Islam maupun di dunia Barat seperti kaum liberal radikal semisal Friedrich von Hayek dan juga di dunia Timur dalam pemikiran Marxis, tidak melihat perlunya menggunakan konsep keadilan sosial untuk mengorganisir kehidupan kolektif manusia.[69] Mereka bersandar pada alasan-alasan seperti kesempurnaan syariat Islam dan tidak diperlukannya pengetahuan manusia untuk membuat model sosial,[70] penggunaan konsep ketaatan pada hukum sebagai ganti keadilan sosial untuk mengorganisir kehidupan sosial, ketidakbermaknaan dan ketidakpraktisan keadilan sosial, hilangnya ketertiban sosial dan kebebasan, serta perlunya bergantung pada pemikiran pasar bebas.[71]

Catatan Kaki

  1. Ghani Nejad, «Adalat, Adalat-e Ijtima'i Wa Iqtisad», hlm. 780; Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 51-52.
  2. Waizi, «Adalat-e Ijtima'i wa Masa'il-e An», hlm. 189-190.
  3. Ghani Nejad, «Adalat, Adalat-e Ijtima'i wa Iqtisad», hlm. 777; Waizi, «Adalat-e Ijtima'i wa Masa'il-e An», hlm. 192.
  4. Makarim Syirazi, Khuthut-e Iqtisad-e Islami, 1360 HS, hlm. 23; Sulaimani dan Raghibi, «Barresi-ye Fiqhi-ye Qa'ideh-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 34-35; Ahmadi dan Zali, «Tabyin-e Fiqhi-ye Adalat-e Ijtima'i be Masabeh-ye Wazifeh-ye Hakimiyat-e Siyasi dar Andisheh-ye Imam Khomeini», hlm. 114-116.
  5. Jamsyidi, Nazariyeh-ye Adalat..., 1380 HS, hlm. 227-228; Fauzi dan Muradi, «Barresi-ye Tathbiqi-ye Nazariyeh-ye Adalat-e Ijtima'i dar Islam wa Gharb», hlm. 97-98.
  6. Jamsyidi dan Iran Nejad, «Muqaddameh-i bar Tabyin-e Adalat-e Ijtima'i dar Andisheh-ye Imam Khomeini», hlm. 16.
  7. Mir Husseini, «Ruz-e Jahani-ye Adalat-e Ijtima'i», dimuat di koran Itimad.
  8. Imam Khomeini, Shahifah Imam, 1378 HS, jld. 11, hlm. 386 dan jld. 15, hlm. 213.
  9. Thabathaba'i, Al-Mizan fi Tafsir al-Qur'an, 1393 H, jld. 12, hlm. 331.
  10. Muthahhari, Adl-e Ilahi, 1391 HS, hlm. 37.
  11. Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 150-151.
  12. Nahjul Balaghah (Subhi Shalih), Khutbah 3, hlm. 50.
  13. Jahani Pur, «Adalat-e Ijtima'i dar Kalam wa Sireh-ye Amir-e Momenan», hlm. 119.
  14. Nahjul Balaghah (Subhi Shalih), Surat 53, hlm. 428.
  15. Nahjul Balaghah (Subhi Shalih), Khutbah 15, hlm. 57.
  16. Nahjul Balaghah (Subhi Shalih), Khutbah 37, hlm. 81.
  17. Nahjul Balaghah (Subhi Shalih), Hikmah 328, hlm. 533.
  18. Jahani Pur, «Adalat-e Ijtima'i dar Kalam wa Sireh-ye Amir-e Momenan», hlm. 13-21; Ahmadi, «Adalat-e Ijtima'i az Manzar-e Nahjul Balaghah», hlm. 100-106.
  19. Makarim Syirazi, Payam-e Quran, 1386 HS, jld. 4, hlm. 576.
  20. Fauzi dan Muradi, «Barresi-ye Tathbiqi-ye Nazariyeh-ye Adalat-e Ijtima'i dar Islam wa Gharb», hlm. 94.
  21. Waizi, «Adalat-e Ijtima'i wa Masa'el-e An», hlm. 191-192.
  22. Ahmadi dan Zali, «Tabyin-e Fiqhi-ye Adalat-e Ijtima'i be Masabeh-ye Wazifeh-ye Hakimiyat-e Siyasi dar Andisheh-ye Imam Khomeini», hlm. 114.
  23. Sulaimani dan Raghibi, «Barresi-ye Fiqhi-ye Qa'ideh-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 34-35 dan 38.
  24. Ali Akbarian, Qa'ideh-ye Adalat dar Fiqh-e Imamiyeh, 1386 HS, hlm. 221.
  25. Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 157-159.
  26. Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 31-36.
  27. Anwari, Farhang-e Buzurg-e Sukhan, entri terkait.
  28. Muthahhari, Bist Guftar, 1402 HS, hlm. 96; Saliba, Farhang-e Falsafi, 1366 HS, hlm. 461.
  29. Ghanawi, «Adalat-e Ijtima'i az Didgah-e Islam», hlm. 96-97.
  30. Ghani Nejad, «Adalat, Adalat-e Ijtima'i wa Iqtisad», hlm. 781-782.
  31. Sayid Baqiri, Rahkar-haye Adalat-e Ijtima'i dar Nizam-e Islami, 1387 HS, hlm. 25; Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 58-67.
  32. Sayyid Qutb, Adalat-e Ijtima'i, 1379 HS, hlm. 41.
  33. Jamsyidi dan Iran Nejad, «Muqaddameh-i bar Tabyin-e Adalat-e Ijtima'i dar Andisheh-ye Imam Khomeini», hlm. 22; Sayyid Qutb, Adalat-e Ijtima'i, 1379 HS, hlm. 52; Larijani, Sanjesh-e Sazgari-ye Adalat-e Ijtima'i wa Tuwse'eh, hlm. 16-18.
  34. Waizi, «Karkard-e Fiqh-e Siyasi dar Nazariyeh-pardazi-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 11-12.
  35. Imam Khomeini, Syarh-e Chehel Hadits, 1376 HS, hlm. 113; Imam Khomeini, Junud-e Aql wa Jahl, 1386 HS, hlm. 147.
  36. Muthahhari, Majmu'eh Atsar, 1389 HS, jld. 18, hlm. 155-157; Fayyaz Bakhsh dkk, «Rabeteh-ye Adalat-e Ijtima'i ba Mabani-ye Huquq-e Islami...», hlm. 129-133.
  37. Fauzi dan Muradi, «Barresi-ye Tathbiqi-ye Nazariyeh-ye Adalat-e Ijtima'i dar Islam wa Gharb», hlm. 100.
  38. Jalili Marand dkk, «Adalat-e Ijtima'i az Didgah-e Hayek, Rawls, Syahid Muthahhari wa Syahid Sadr» hlm. 187.
  39. Fayyaz Bakhsh dkk, «Rabeteh-ye Adalat-e Ijtima'i ba Mabani-ye Huquq-e Islami...», hlm. 123.
  40. Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 36-41; Sayyid Qutb, Adalat-e Ijtima'i dar Islam, 1379 HS, hlm. 63; Eywazlu, «Mafahim wa Me'yar-haye Adalat-e Ijtima'i wa Iqtisadi...», hlm. 164-165.
  41. Piruzmand, «Tahlil-e Nesbat-e Adalat wa Azadi ba Tekieh bar Mafhum-e Ubudiyat...», hlm. 72; Ismailpur Niazi, «Tabyin-e Jaygah-e Asl-e Azadi dar Adalat-e Ijtima'i...», hlm. 104-106; Sayyid Qutb, Adalat-e Ijtima'i dar Islam, 1379 HS, hlm. 86.
  42. Asghari, «Mafhum, Mabani wa Shakhesh-haye Asli-ye Adalat-e Ijtima'i az Manzar-e Inqilab-e Islami», hlm. 50-51; Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 36-37.
  43. Muthahhari, Adl-e Ilahi, 1391 HS, hlm. 54-58.
  44. Sadr, Iqtisad-e Ma, 1350 HS, jld. 1, hlm. 263-269; Sayyid Qutb, Adalat-e Ijtima'i dar Islam, 1379 HS, hlm. 103-104.
  45. Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 38-39.
  46. Muthahhari, Adl-e Ilahi, 1391 HS, hlm. 54-58; Eywazlu, «Mafahim wa Me'yar-haye Adalat-e Ijtima'i wa Iqtisadi...», hlm. 165; Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 37-38.
  47. Afrugh, Huquq-e Shahrwandi wa Adalat, 1387 HS, hlm. 23; Muthahhari, Majmu'eh Atsar, 1390 HS, jld. 21, hlm. 223.
  48. Sulaimani dan Raghibi, «Barresi-ye Fiqhi-ye Qa'ideh-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 41.
  49. Imam Khomeini, Shahifah Imam, 1378 HS, jld. 4, hlm. 427; Haqq Panah, «Adalat-e Ijtima'i dar Quran», hlm. 71-72.
  50. Waizi, «Adalat-e Ijtima'i wa Masa'il-e An», hlm. 192.
  51. Keykha, «Sazokar-haye Tahqiq-e Adalat-e Ijtima'i dar Islam», hlm. 216; Makhzan Musawi, «Rahkar-haye Tahqiq-e Adalat-e Ijtima'i», hlm. 222; Waizi, «Karkard-e Fiqh-e Siyasi dar Nazariyeh-pardazi-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 22.
  52. Waizi, «Karkard-e Fiqh-e Siyasi dar Nazariyeh-pardazi-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 23-25.
  53. Misbahi Muqaddam, «Adalat-e Ijtima'i dar Islam», hlm. 229-230.
  54. Jamshidi dan Iran Nejad, «Moqaddameh-i bar Tabyin-e Adalat-e Ijtima'i dar Andisheh-ye Imam Khomeini», hlm. 30-31.
  55. Ghanawi, «Adalat-e Ijtima'i az Didgah-e Islam», hlm. 97-99; Makhzan Musawi, «Rahkar-haye Tahqiq-e Adalat-e Ijtima'i», hlm. 223-224; Keykha, «Sazokar-haye Tahqiq-e Adalat-e Ijtima'i dar Islam», hlm. 216-217.
  56. Waizi dan Owliaie, «Adalat-e Farhangi; Unsur-e Muqaweme-e Hukumat-e Alawi», hlm. 49.
  57. Owliaie, «Taswir-e Me'yar-haye Adalat-e Farhangi», hlm. 256.
  58. Keykha, «Sazokar-haye Tahqiq-e Adalat-e Ijtima'i dar Islam», hlm. 218.
  59. Dastranj, «Tahlil-e Gufteman-e Adalat-e Ijtima'i ba Ta'kid bar Amuzeh-haye Quran Karim...», hlm. 28.
  60. Laitsi, Uyun al-Hikam wa al-Mawa'izh, 1376 HS, hlm. 48.
  61. Muthahhari, Bist Guftar, 1402 HS, hlm. 71.
  62. Hakimi, Al-Hayat, 1368 HS, jld. 6, hlm. 400, 404, dan 407.
  63. Afrugh, «Pish Farz-ha wa Ruykard-haye Nazari-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 55.
  64. Waizi, «Karkard-e Fiqh-e Siyasi dar Nazariyeh-pardazi-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 10-11.
  65. Haqq Panah, «Adalat-e Ijtima'i dar Quran», hlm. 74-75.
  66. Makarim Syirazi, Payam-e Imam Amirul Mukminin as, jld. 3, hlm. 587; Makarim Syirazi, Tafsir Nemuneh, 1374 HS, jld. 5, hlm. 321.
  67. Makarim Syirazi, Eslam dar Yek Negah, 1383 HS, hlm. 105.
  68. Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 95.
  69. Haji Heydar, «Niyaz be Mafhum-e Adalat-e Ijtima'i...», hlm. 140-141; Waizi, «Karkard-e Fiqh-e Siyasi dar Nazariyeh-pardazi-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 15.
  70. Waizi, «Karkard-e Fiqh-e Siyasi dar Nazariyeh-pardazi-ye Adalat-e Ijtima'i», hlm. 15.
  71. Waizi, Bazandishi-ye Adalat-e Ijtima'i, 1401 HS, hlm. 96-109; Haji Heydar, «Niyaz be Mafhum-e Adalat-e Ijtima'i...», hlm. 140-141.

Daftar Pustaka