Lompat ke isi

Tiga Khalifah

Dari wikishia

Tiga Khalifah atau Khulafa Tsalasah, atau , merujuk pada Abu Bakar, Umar, dan Utsman, yang memimpin umat Islam setelah wafatnya Nabi Muhammad saw. Menurut keyakinan Syi’ah, kekhilafahan ketiga tokoh ini bertentangan dengan perintah Nabi dan merupakan perebutan kekuasaan secara paksa (ghashb), yang menyebabkan munculnya berbagai peristiwa penting seperti wafatnya Sayidah Fatimah sa secara tragis. Selain itu, mereka juga melihat bahwa khilafah tiga khalifah ini menjadi dasar bagi lahirnya paham politik Ahlusunah tentang kepemimpinan dalam Islam.

Imam Ali as, menolak legitimasi khilafah mereka karena dianggap sebagai pengambilan hak yang seharusnya diberikan kepada beliau sendiri sesuai wasiat Rasulullah. Namun demi menjaga stabilitas umat, beliau tetap bekerja sama dengan mereka.

Untuk membenarkan posisi mereka, Khulafa Tsalasah menggunakan beberapa argumen seperti kesepakatan umat (ijma'), penunjukan oleh pemimpin sebelumnya, atau pemilihan oleh suatu majelis tertentu. Mereka juga mengandalkan prinsip-prinsip seperti kelahiran dari suku Quraisy, status sebagai Muhajir, usia yang lebih tua, serta keyakinan bahwa jabatan kepemimpinan tidak boleh tetap dalam satu keluarga kenabian.

Makna dan Kedudukan

Istilah Khulafa Tsalasah digunakan dalam literatur Syi’ah untuk menyebut tiga pemimpin pertama pasca wafatnya Rasulullah saw: Abu Bakar bin Abi Quhafah, Umar bin Khaththab, dan Utsman bin Affan.[1]

Kaum Syi’ah meyakini bahwa kekhilafahan mereka tidak sah karena bertentangan dengan pesan-pesan Nabi. Mereka percaya bahwa Rasulullah telah menunjuk Imam Ali as sebagai penerusnya,[2] namun ketiganya merebutnya secara paksa.[3] Argumen mereka didasarkan pada upaya Nabi menjelang akhir hayatnya, seperti penetapan wilayah Ali di Ghadir Khumm,[4] pengulangan hadis Tsaqalayn,[5] serta rencana pengiriman pasukan Usamah ke wilayah utara Madinah.[6]

Selain itu, mereka juga menghubungkan khilafah tiga khalifah ini dengan terjadinya berbagai peristiwa penting dalam sejarah Islam seperti kematian tragis Fatimah sa putri Nabi,[7] penguasaan tanah Fadak,[8] dan peristiwa Karbala'.[9]

Kekhilafahan Khulafa Tsalasah beserta dinamika politik dan sosial masa mereka dianggap sebagai fondasi bagi terbentuknya teori politik Ahlussunnah tentang pemerintahan dalam Islam. Dalam literatur Sunni, teori ini disebut sebagai "teori khilafah" atau "teori imamah". Awalnya, khilafah hanya dipahami sebagai tanggung jawab spiritual dan agama umat; namun secara bertahap tugas-tugas eksekutif dan administratif ditambahkan, sehingga khilafah kemudian dianggap identik dengan jabatan amir (kepala negara).[10] Templat:Khulafa Tsalasah

Sikap Imam Ali as terhadap Khulafa Tsalasah

Disebutkan bahwa Imam Ali as tidak pernah menganggap kekhalifahan Tiga Khalifah sebagai sah dan menyatakannya sebagai perampasan haknya.[11] Hal ini ditegaskannya dalam Khutbah Syiqsyiqiyyah.[12]

Beberapa alasan yang menunjukkan penolakan Imam Ali as terhadap kekhalifahan mereka meliputi: 1. Protes terhadap [Peristiwa Saqifah Bani Sa'idah](https://id.wikipedia.org/wiki/Saqifah) dan penolakan untuk bergabung dalam proses pemilihan khalifah.[13] 2. Menolak berbaiat pada hari-hari atau bulan-bulan pertama kekhalifahan Abu Bakar, atau berbaiat secara terpaksa.[14] 3. Mengkritik proses pemilihan khalifah dalam [Dewan Enam Orang](https://id.wikipedia.org/wiki/Syura).[15]

Periode kehidupan Imam Ali as selama kekhalifahan Tiga Khalifah dikenal sebagai "[Masa Diam 25 Tahun](https://id.wikipedia.org/wiki/Ali_bin_Abi_Thalib#Masa_kekhalifahan_tiga_khalifah_pertama)",[16] yang penuh dengan kesulitan dan kepahitan bagi beliau. Periode ini juga disebut sebagai bentuk "[taqiyyah madārāti](https://id.wikipedia.org/wiki/Taqiyah)" (menahan diri demi menjaga persatuan).[17]

Meskipun demikian, Imam Ali as rela mengorbankan hak pribadinya demi menjaga kepentingan umat Islam.[18] Beliau tetap memberikan dukungan politik, ekonomi, militer, dan keagamaan kepada para khalifah ketika:

  • Persatuan Islam terancam,[19]
  • Identitas masyarakat Muslim dalam bahaya,
  • Kepentingan Islam membutuhkannya.

Contoh kerja sama tersebut meliputi; nasihat politik dan ekonomi,[20] bantuan militer,[21] fatwa dan bimbingan fikih.[22]

Hal ini menunjukkan bahwa prioritas utama Imam Ali as adalah menjaga Islam, meskipun beliau tidak pernah mengakui legitimasi kekuasaan mereka.[23]

Landasan Legitimasi Khilafah oleh Tiga Khalifah

Khulafa Tsalasah berusaha membenarkan posisi mereka sebagai khalifah dengan menggunakan dua prinsip utama:

  1. Cara pemilihan (seperti ijma’, penunjukan langsung, atau pemilihan melalui majelis tertentu).
  2. Memastikan bahwa jabatan kenabian dan khilafah tidak boleh bersatu dalam satu keluarga.

Cara Pemilihan

Khulafa Tsalasah terpilih melalui berbagai metode, seperti:

  • Ijma’ Ahlul Halli wal Aqdi (konsensus ulama dan tokoh masyarakat),
  • Penunjukan oleh khalifah sebelumnya,
  • Pemilihan oleh majelis terbatas enam orang.[24]

Menurut pandangan Syi’ah, metode-metode ini tidak sesuai dengan prinsip-prinsip yang diyakini oleh mereka, karena menurut Syi’ah, pengganti Nabi saw harus ditentukan langsung oleh Allah swt melalui wahyu (Imamah Nashshashiyah).[25] Selain itu, rakyat biasa juga tidak memiliki kesempatan untuk terlibat dalam pemilihan tersebut.[26]

Sebagaimana dilaporkan oleh Dinuri dalam kitab Al-Imamah wa as-Siyasah, Abu Bakar berbicara kepada Abbas bin Abdul Muthallib dan berkata bahwa urusan umat telah diserahkan oleh Nabi saw kepada mereka, dan mereka telah memilih Abu Bakar sebagai khalifah pertama. Ia menegaskan bahwa siapa pun tidak boleh menentang hasil pilihan ini.[27] Orang-orang Sunni percaya bahwa Nabi saw wafat tanpa menunjuk penggantinya, sehingga sahabat memilih khalifah berdasarkan ijma’. [28]

Penunjukan oleh khalifah sebelumnya menjadi dasar legitimasi untuk khilafah khalifah kedua. Abu Bakar menjelang kematiannya menyerahkan jabatan tersebut kepada Umar melalui wasiat tertulis agar kepemimpinan tetap ada dan umat tidak kehilangan arah.[29] Namun metode ini dianggap bertentangan dengan prinsip yang diyakini oleh khalifah pertama sendiri.[30]

Khalifah kedua, Umar, menciptakan mekanisme baru untuk menentukan penggantinya. Ia membentuk sebuah majelis dari enam sahabat terpercaya dan menugaskan mereka untuk memilih salah satu dari mereka sebagai khalifah berikutnya. Hasil dari majelis ini adalah terpilihnya Utsman sebagai khalifah ketiga.[31]

Syarat-syarat Khalifah

Beberapa syarat yang digunakan oleh Khulafa Tsalasah untuk mendukung klaim mereka antara lain:

  • Harus berasal dari suku Quraisy.
  • Status sebagai Muhajir (orang yang hijrah).
  • Usia lebih tua.
  • Keyakinan bahwa jabatan kenabian dan khilafah tidak boleh berada dalam satu keluarga.

Menurut riwayat sejarah, saat terjadi perselisihan antara Anshar dan Muhajirin di Saqifah, Abu Bakar menegaskan bahwa khalifah harus dari suku Quraisy berdasarkan hadis: "Al-A'immat min Quraisy" (para imam/pemimpin harus dari Quraisy).[32]

Saat ada usulan untuk memilih dua pemimpin (satu dari Anshar dan satu dari Muhajirin), Abu Bakar dan Umar menekankan pentingnya senioritas dalam hal masuk Islam dan hijrah serta hubungan keluarga sebagai faktor penentu layaknya seseorang menjadi khalifah.

Usia juga digunakan oleh para khalifah awal dan sejumlah sahabat dekat mereka untuk menolak klaim Imam Ali as atas jabatan khilafah. Dikatakan bahwa Abu Ubaidah mengatakan kepada Imam Ali bahwa usia belia membuatnya kurang cocok untuk jabatan tersebut, dan menyarankan beliau untuk menyerahkan tanggung jawab itu kepada yang lebih tua dan melakukan baiat kepada Abu Bakar.[33] Pendapat ini juga didukung oleh Umar dan Utsman.[34]

Tidak Dibolehkan Berkumpulnya Nubuwwah dan Khilafah dalam Satu Keluarga

Setelah wafatnya Rasulullah saw, terjadi sebuah diskusi antara Imam Ali as dan Abu Bakar, khalifah pertama. Abu Bakar mengakui bahwa Imam Ali memiliki kemampuan yang layak untuk menjadi khalifah. Namun, ia menolak dengan alasan bahwa ia pernah mendengar dari Rasulullah bahwa Allah tidak akan menggabungkan jabatan kenabian dan khilafah dalam satu keluarga, yaitu Ahlul Bayt as.[35]

Untuk memperkuat pendapatnya ini, Abu Bakar juga meminta dukungan dari Umar, Abu Ubaidah al-Jarrah, Salim (anak angkat Hudzaifah), dan Mu’adz bin Jabal.[36] Dalam tanggapannya, Imam Ali as menyatakan bahwa tindakan mereka itu sesuai dengan suatu perjanjian yang telah mereka buat di dekat Ka’bah, yang disebut sebagai Perjanjian Terkutuk, di mana mereka sepakat untuk tidak menyerahkan jabatan khilafah kepada Ahlul Bayt.[37]

Pranala Terkait

Catatan Kaki

  1. Majlisi, Bihar al-Anwar, 1403 Q, juz 28, hlm. 318; juz 29, hlm. 541; Amini, Al-Ghadir, 1416 Q, juz 9, hlm. 515; Baharani, Al-Insaf fi al-Nushsh ‘ala al-A’immah al-Ithna ‘ashar, 1378 Sy, juz 2, hlm. 539.
  2. Madelung, Al-Khulafa al-Rashidun wa Janishin Muhammad sa, 1377 Sy, hlm. 13.
  3. Muzaffar, Dala'il al-Shidq, 1422 Q, juz 6, hlm. 244; Rostamiyan, Hakimiyat-e Siyasiyyah-e Ma'suman, 1381 Sy, hlm. 31.
  4. Ibn Athir, asad al-Ghabah, juz 5, hlm. 253; Al-Kulayni, Al-Kafi, 1407 Q, juz 8, hlm. 27.
  5. Al-Mufid, Al-Amali, 1413 Q, hlm. 135; Ibn Hajar al-Haytami, Al-Sawa'iq al-Muhriqah, 1417 Q, juz 2, hlm. 438 dan 440.
  6. Al-Waqidi, Al-Maghazi li al-Waqidi, 1409 Q, juz 3, hlm. 1117; Al-Syeikh Al-Mufid, Al-Irsyad, 1413 Q, juz 1, hlm. 180.
  7. 'Amili, Ranjhay-e Hazrat Zahra sa, 1382 Sy, hlm. 115.
  8. Al-Kulayni, Al-Kafi, 1363 Sy, juz 1, hlm. 543; Al-Syeikh Al-Mufid, Al-Muqni’ah, 1410 Q, hlm. 289 dan 290.
  9. Mar'ashi, “asyura: Pesan Perubahan Nilai-Nilai”, hlm. 17; Abdul Muhammadi, “Akar Budaya, Politik, dan Sosial Pemberontakan Imam Husain as”, hlm. 45.
  10. Haji Babaei, “Pendekatan Historis terhadap Perkembangan Makna Khilafah pada Masa Khulafa Tsalasah”, hlm. 23–25.
  11. Ibnu Mutsam al-Bahrani, Syarh Nahj al-Balaghah, 1404 H, jil. 1, hlm. 251; Makarim Syirazi, Payam-e Imam as, 1386 HS, jil. 1, hlm. 318.
  12. Ja'fari, Tasyayyu' dar Masir-e Tarikh, 1380 HS, hlm. 80; Makarim Syirazi, Nahj al-Balaghah bi Tarjamah Ravān-e Fārsi, 1384 HS, jil. 1, hlm. 39.
  13. Salim bin Qais, Kitab Salim bin Qais, 1420 H, jil. 1, hlm. 153-155; Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 124; Askari, Saqifah: Barrasi-ye Nuhud-e Syaklgiri-ye Hukumat Pas az Payambar, 1387 HS, hlm. 99; Thabari, Tarikh al-Thabari, 1387 H, jil. 3, hlm. 202.
  14. Askari, Nakhsy-e 'Aisyah dar Tarikh-e Islam, 1390 HS, jil. 1, hlm. 105; Amili, Al-Shahih min Sirat al-Imam Ali as, 1430 H, jil. 9, hlm. 308; Baydhun, Raftarsyinasi-ye Imam Ali dar Āyineh-ye Tārikh, 1379 HS, hlm. 34.
  15. Ibnu Abi al-Hadid, Syarh Nahj al-Balaghah, 1404 H, jil. 6, hlm. 168; Thabari, Tarikh al-Thabari, 1387 H, jil. 3, hlm. 296-302; Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, Dar Shadir, jil. 2, hlm. 162.
  16. Rafi'i, Zindagi-ye A'immah as, Pazuheshkadeh-ye Tahqiqat-e Islami, hlm. 34-35.
  17. Mousavi, Mabani-ye Fiqhi-ye Taqiyyah-ye Madarati, 1392 HS, hlm. 120.
  18. Subhani, Furugh-e Wilayat, 1376 HS, hlm. 166.
  19. Madelung, The Succession of Muhammad, 1377 HS, hlm. 21.
  20. Ya'qubi, Tarikh al-Ya'qubi, 1379 HS, jil. 2, hlm. 151.
  21. Mas'udi, Muruj al-Dzahab, 1425 H, jil. 2, hlm. 242-244.
  22. Baihaqi, Al-Sunan al-Kubra, 1424 H, jil. 7, hlm. 727.
  23. Danish, "Ta'āmul-e Imam Ali as ba Khulafa dar Jihat-e Wahdat-e Islami", hlm. 96-111.
  24. Islami Ali Abadi dan Turan, “ara wa Mabani Khulafa Tsalasah dar Tabligh-e Mashru‘iyat-e Khalifah Khud va Hamkaran,” hlm. 41–46.
  25. Haji Babaei, "Ruykard-i Tarikhi be Tahawwul-e Ma'na-ye Khilafah dar asr-e Khulafa Tsalasah", hlm. 23; Islami Ali Abadi dan Turan, “ara wa Mabani Khulafa Tsalasah dar Tabligh-e Mashru‘iyat-e Khalifah Khud va Hamkaran,” hlm. 39.
  26. Bayruti, “Barresi Mahal-e Marhum dar Intikhab-e Khulafa Tsalasah va Hukumat Amirul Mukminin Ali as,” hlm. 97.
  27. Dinuri, Al-Imamah wa as-Siyasah, 1410 Q, juz 1, hlm. 33.
  28. Ibn Taimiyah, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, 1406 Q, juz 1, hlm. 126.
  29. Thabari, Tarikh Thabari, 1387 Q, juz 3, hlm. 433; Dinuri, Al-Imamah wa as-Siyasah, 1410 Q, juz 1, hlm. 19.
  30. Islami Ali Abadi dan Turan, “ara wa Mabani Khulafa Tsalasah dar Tabligh-e Mashru‘iyat-e Khalifah Khud va Hamkaran,” hlm. 45.
  31. Ibn Sa'd, Al-Ṭabaqat al-Kubra, 1410 Q, juz 3, tambahan halaman 261; Islami Ali Abadi dan Turan, “ara wa Mabani Khulafa Tsalasah dar Tabligh-e Mashru‘iyat-e Khalifah Khud wa Hamkaran,” hlm. 46.
  32. Dinuri, Al-Imamah wa as-Siyasah, 1410 Q, juz 1, hlm. 25; Thabari, Tarikh Thabari, 1387 Q, juz 3, hlm. 219–220; Balazari, Ansab al-asyraf, 1959 Masehi, juz 5, hlm. 584.
  33. Dinuri, Al-Imamah wa as-Siyasah, 1410 Q, juz 1, hlm. 19.
  34. Ya'qubi, Tarikh Ya'qubi, Dar Shadur, juz 2, hlm. 158; Thabari, Tarikh Thabari, 1387 Q, juz 3, hlm. 231.
  35. Thabari, Tarikh Thabari, 1387 Q, juz 3, hlm. 229.
  36. Ibid.
  37. Bahrani, Ghaayat al-Maraam, 1422 Q, juz 5, hlm. 336.

Daftar Pustaka

  • Ibnu Taimiyah, Ahmad bin Abdul Halim, Minhaj as-Sunnah an-Nabawiyyah, tahqiq Muhammad Rasyad Salim, Kairo (Mesir), Muassasah Qurtubah, 1406 Q.
  • Ibnu Sa'ad, Muhammad bin Sa'ad, Al-Thabaqat al-Kubra, tahqiq Muhammad Abdul Qadir 'Atha, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1410 Q.
  • Ibnu Abi al-Hadid, Abdul Hamid bin Hibatillah, Syarh Nahj al-Balaghah, Qom, Maktabah Ayatullah al-Uzma Mar'asyi al-Najafi, tanpa tahun.
  • Ibnu Atsir, Usd al-Ghabah, tahqiq Muhammad Ibrahim Bana, Beirut, Dar asy-Sya'b, tanpa tahun.
  • Ibnu Hajar al-Haytami, Ahmad bin Muhammad, Al-Shawa'iq al-Muhriqah 'ala Ahl al-Rafd wa adh-Dhalal wa az-Zandaqah, Beirut, Muassasah ar-Risalah, cetakan pertama, 1417 Q.
  • Ibnu Maitsam al-Bahrani, Maitsam bin Ali, Syarh Nahj al-Balaghah, Tehran, Daftr-e Nashr-e Kitab, cetakan kedua, 1404 Q.
  • Islami Aliabadie, Tahereh dan Emad Toran, «ara’ wa Mabani Khulafa al-Salasah fi Mushallihiyat Bakhshi li Khalifat Khud wa Yekdigar», Majalah Taḥqiqi Tarikh, edisi 51, 1397 Syamsi.
  • Amini, Abdul Husain, Al-Ghadir fi al-Kitab wa as-Sunnah wa al-Adab, Qom, Pusat Studi Al-Ghadir, 1416 Q.
  • Bahrani, Sayyid Hasyim, Al-Inṣaf fi al-Nushsh 'ala al-A'immat al-Ithna 'Ashar as, terjemahan Sayyid Hashim Rasuli Mahallati, Tehran, Daftr-e Nashr-e Farhang-e Islami, 1378 Syamsi.
  • Bahrani, Sayid Hasyim, Ghayat al-Maram wa Hujjat al-Khisam fi Ta'yin al-Imam min Thariq al-Khoshos wa al-'Amme, Beirut, Muassasah Tarikh Arabi, 1422 Q.
  • Balazuri, Ahmad bin Yahya, Ansab al-Ashraf, tahqiq Muhammad Hamidullah, Kairo (Mesir), Dar al-Ma'arif, 1959 Masehi.
  • Beirutie, Muhammad, «Barresi Miyan-e Musyarakt-e Marhum dar Intikhab-e Khulafa al-Salasah wa Hukumat Amirul Mukminin Ali as», Majalah Fiqh wa Huquq-e Navin, edisi 15, 1402 Syamsi.
  • Baidhun, Ibrahim, Ruftâr Shenasi Imam Ali dar a'inah-ye Tarikh, 1379 Syamsi.
  • Baihaqi, Ahmad bin al-Husain, Sunan al-Kubra, Beirut, Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, 1424 Q.
  • Ja'fari, Sayyid Husain Muhammad, Tasyayyu' dar Masir al-Tarikh, terjemahan Sayyid Muhammad Taqi Ayatullahi, Tehran, Daftr-e Nashr-e Farhang-e Islami, 1380 Syamsi.
  • Haji Babaei, Majid, «Ru'ykard-i Tarikhi be Tahawwul-e Ma'na-ye Khilafah dar Asr-e Khulafa al-Salasah», Majalah Pajuheshnameh Tarikh-e Eslam, edisi 8, 1391 Syamsi.
  • Danesy, Ismail, «Ta'amul-e Imam Ali as ba Khulfa dar Jihat-e Vahdat-e Eslami», Majalah Andisheh Taqribi, edisi 4, 1384 Syamsi.
  • Dinawari, Ibnu Qutaybah, Al-Imamah wa as-Siyasah, tahqiq Ali Syiri, Beirut, Dar al-Aḍwa', 1410 Q.
  • Rostamiyan, Muhammad Ali, Hakimiyyat Siyasiyyah-e Ma'suman, Qom, Sekretariat Majlis Khobregan Rahbari, 1381 Syamsi.
  • Subhani, Ja'far, Nur-e Vilayat, Qom, Muassasah Imam Shadiq as, 1376 Syamsi.
  • Sulaim bin Qais al-Hilali, Kitab Saleem bin Qais al-Hilali, Qom, Nashr al-Hadi, 1420 Q.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, Al-Irsyad fi Hujajillah 'ala al-'Ibad, Qom, Kongres Syeikh Mufid, 1413 Q.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, Al-Muqni'ah, Qom, Muassasah Nashr-e Islami, cetakan kedua, 1410 Q.
  • Syekh Mufid, Muhammad bin Muhammad bin Nu'man, Al-Amali, Qom, Kongres Syeikh Mufid, 1413 Q.
  • Thabari, Muhammad bin Jarir, Tarikh Thabari (Tarikh al-Umam wa al-Muluk), tahqiq Muhammad Abu al-Fadhl Ibrahim, Beirut, Dar al-Turats, 1387 Q.
  • Amili, Ja'far Murtaḍa, Al-Sahih min Sirah Imam Ali as, Beirut, Markaz Islami lil Dirasat, 1430 Q.
  • Amili, Sayid Ja'far Murtaḍa, Ranjhay-e Hazrat Zahra (s), terjemahan: Muhammad Sepahri, Qom, Tahdzib, 1382 Syamsi.
  • Abdulmuhammadi, Husain, «Rishteh-ha-ye Farhangi, Siyasi wa Ejtema'i Qiyam-e Imam Husain as», Majalah Ma'rifat, edisi 67, Tammuz 1382 Syamsi.
  • Askari, Murtadha, Saqifah: Barrasi Naẓam-e Shakl-giry-e Hokumat Pas az Wafat-e Payambar-e Ekram, Qom, Madrasah Usuluddin, 1387 Syamsi.
  • Askari, Murtadha, Naqsyeh Aisyah dar Tarikh-e Eslam, Qom, Muassasah Ilmiyyah Farhangi Allamah Askari, 1390 Syamsi.
  • Madelung, Wilferd, Janishini Payambar-e Islam (s), terjemahan: Ahmad Namayi dkk., Mashhad, Yayasan Pajuheshha-ye Eslami Astan-e Quds Razavi, 1377 Syamsi.
  • Majlisi, Muhammad Baqir, Bihar al-Anwar al-Jami'ah li Durar Akhbar al-A'immah al-Athar, Beirut, Dar Ihya al-Turath al-Arabi, 1403 Q.
  • Mar'asyi, Syamsullah, «'ashūra Peyamad-e Taghyir-e Arzeshha», Majalah Ma'rifat, edisi 56, Shahrivar 1381 Syamsi.
  • Mas'udi, Abu al-Hasan bin Ali, Muruj adz-Dhahab wa Ma'adin al-Jauhar, Beirut, Al-Maktabah al-'Ashriyyah, 1425 Q.
  • Makarim Syirazi, Nashir, Payam-e Imam Amirul Mukminin as, Tehran, Dar al-Kutub al-Islamiyyah, 1386 Syamsi.
  • Musawi, Sayid Muhammad Ya'qub, Mabani Fiqhiyyah Taqiyah Medarati, Qom, Muassasah Fiqhiyyah A'immah Athar as, 1392 Syamsi.
  • Waqidi, Muhammad, Al-Maghazi, oleh usaha Marsden Jones, Lebanon, Muassasah Al-A'lami lil Matbu'at, 1409 Q.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Ishaq, Tarikh-e Ya'qūbi, terjemahan Ibrahim Ayyati, Tehran, Intisharat-e Ilmi va Farhangi, 1378 Syamsi.
  • Ya'qubi, Ahmad bin Ishaq, Tarikh al-Ya'qūbi, Beirut, Dar Shadur, tanpa tahun.
  • Rafi'i, Ali, Zendegi A'immah as, Tehran, Pajuheshgah-e Taḥqiqat-e Eslami, tanpa tahun.
  • Kulaini, Muhammad bin Ya'qub, Al-Kafi, Qom, Dar al-Hadits, 1429 Q.
  • Muzaffar, Muhammad Hasan, Dala'il al-Shiddiq li Nahj al-Haqq, Qom, Muassasah al-e Bait as li Ihya al-Turats, 1422 Q.